Latest Post

SEJARAH PERJUANGAN SAYYID AWUD BIN YAHYA (MURID KIAI SAMPARWADI) NGALIAN WONOSOBO

Written By MuslimMN on Minggu, 24 April 2016 | 11.27



DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar
2. Muqadimah
3. Silsilah/Nasab Sayyid Awud bin Husain bin Yahya
4. Sejarah Singkat Berdirinya Desa Ngalian
5. Sejarah Perjalanan Hidup Sayyid Awud Sampai ke Desa Ngalian
6. Narasumber Sejarah

Kata Pengantar

السلام عليكم ورحمة الله وبركا ته

Alhamdulillah wasyukrullillah, tim penyusun sampaikan kehadirat Allah Swt. karena dengan izin dan ridhaNya serta ijin dari pihak keluarga yang diwakili oleh Maulana Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan, akhirnya kami dapat menyusun buku "Sejarah Perjuangan Sayyid Awud bin Husain bin Yahya” yang makamnya ada di Desa Ngalian Kec. Wadaslintang Kab. Wonosobo.

Adapun maksud dan tujuan buku ini agar kalangan santri, keluarga santri dan masyarakat pada umumnya dapat membaca dan mengetahui sehingga dapat menteladani laku-lampahnya dalam keimanan, kesabaran, keistiqamahan dalam beribadah menuju mardhatillah, serta perjuanganya dalam membela agama dan negara, yang pada waktu itu tiada mengenal lelah dan pamrih hanya semata-mata mencari ridha Allah Swt.

Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terimakasih khususnya kepada: Sayyid Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan, Simbah Kiai Abdurrokib Sesepuh dan Pengasuh PP Riyadhus Sholihin Ngalian Wadaslintang Wonosobo, Segenap sesepuh dan para ulama serta semua pihak yang telah memberikan sumbangsih fikiran dan informasi dengan tulus dan ikhlas demi lancarnya penyusunan buku ini.

Kami sangat menyadari bahwa penyusunan buku ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan kami. Maka dari itu kami sangat mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak yang bersifat membangun demi perbaikan buku ini.

Semoga buku "Sejarah Perjuangan Sayyid Awud bin Husain bin Yahya” ini dapat memberikan kemanfaatan kepada kita semua khususnya bagi semua pengurus makam dan keluarganya serta masyarakat pada umumnya, di dunia hingga akhirat. Amin.

Wonosobo, 27 Shafar 1432/2 Februari 2011

Ketua Tim Penyusun
Abdulloh

Muqaddimah

الحمد لله الذى خلق السموات وِالارض وجعل من الظلمات الى النور
والصلاة والسّلام على سيد الانبياء والمرسلين سيدنا ومولانا وحببينا
محمّد رسول الله وعلى اله وصحبه اجمعن اما بعد

Segala puji hanya milik Allah Swt., yang telah menjalankan hambaNya dari perjalanan yang sangat gelap gulita (tidak menemukan cahaya kebenaran) menuju kepada cahaya yang sangat terang, jelas nan indah yaitu perjalanan para anbiya, auliya dan shalihin, serta memberikan petunjuk perjalaan ma’rifat kepada orang-orang yang dikehendaki. Dan kami bersaksi bahwa tiada yang wajib disembah dengan sebenarnya kecuali Allah Swt. dan kami bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. utusan Allah Swt.

Shalawat serta salam barakah kami haturkan keharibaan beliau, sanjungan para nabi dan para utusan, sanjungan para umat semuanya yaitu Nabi Besar Muhammad bin Abdullah Saw. Semoga Allah Swt. selalu memberikan pertolongan kepada kami dan para pembaca buku sejarah ini, untuk bisa mengambil hikmah yang tercantum dalam buku sejarah ini dan semoga mendapatkan syafa’at dari beliau Nabi Muhammad Saw.

Shalawat serta salam barakah Allah Swt. juga kami haturkan pula kepada para auliya khususnya kepangkuan “Sayyid Awud bin Husain bin Yahya". Mudah-mudahan kita semua mendapatkan pancaran nadzrah dari para beliau tersebut khususnya dari Sayyid Awud bin Husain bin Yahya.

Adapun tentang para wali Allah Swt. atau orang-orang yang menjadi pilihan Allah, di dalam al-Quran Allah berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (QS. Yunus ayat 62-63). Sudah jelas bagi kita untuk menghormati dan mengikuti apa yang para beliau kerjakan.

Dengan kehadiran buku ini semoga dapat mejadikan pegangan dalam melaksanakan tabarukan kepada Allah Swt., serta mencontoh perjalanan  auliya menuju mardhatillah. Dan sekali lagi tim panyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Dengan harapan semoga buku ini memberi manfaat di bidang agama, dunia dan akhirat. Amin.

Silsilah/Nasab Sayyid Awud bin Yahya

1. Sayyidina Muhammad Rasulullah Saw.
2. Sayyidina Ali bin Abi Thalib wa Sayidatina Fathimah az-Zahra
3. Sayyidina Husain as-Sibthi
4. Sayyidina Ali Zainal Abidin
5. Sayyidina Muhammad al-Baqir
6. Sayyidina Ja’far ash-Shadiq
7. Sayyidina Ali al-Uraidhi
8. Sayyidina Muhammad an-Naqib
9. Sayyidina Isa an-Naqib
10. Sayyidina Ahmad al-Muhajir
11. Sayyidina Ubaidillah
12. Sayyidina Alwi
13. Sayyidina Ali Khali' Qasam
14. Sayyidina Muhammad Shahib Mirbath
15. Sayyidina Ali
16. Sayyidina Muhammad Faqih al-Muqaddam
17. Sayyidina Alwi
18. Sayyidina Ali
19. Sayyidina Muhammad Mauladawilah
20. Sayyidina Alwi an-Nasik
21. Sayyidina Ali al-'Inaz
22. Sayyidina Hasan al-Ahmar al-Wara'
23. Sayyidina Yahya
24. Sayyidina Hassan
25. Sayyidina Muhammad
26. Sayyidina Idrus
27. Sayyidina Hassan
28. Sayyidina Awud
29. Sayyidina Hassan
30. Sayyidina Awud
31. Sayyidina Husain
32. Sayyidina Awud (Ngalian).

Sejarah Berdirinya Desa Ngalian

Pada awalnya desa Ngalian pada abad 18 adalah adalah sebuah kawasan hutan belantara dan masuk dalam kawasan Kawedanan Kaliwiro yang pada waktu itu dikepalai seorang wedono yang bernama R.T. Selomanik utusan dari Mataram.

Setelah Mataram memperluas daerahnya sampai wilayah Wonosobo, setelah menjadi kecamatan maka desa Ngalian masuk dalam wilayah Kecamatan Wadaslintang. Dan setelah itu kawasan hutan belantara diganti dengan hutan pohon jati. Tapi setelah Belanda masuk maka oleh Belanda diganti dengan pohon kopi.

Di saat itulah maka Belanda dibantu pejabat Mataram membutuhkan banyak tenaga kerja tani untuk mengurusi hutan kopi. Maka dibangunlah sebuah gudang kopi yang bertempat di Desa Ngalian yang sampai saat ini bangunan gudang kopi masih ada.

Setelah banyaknya petani kopi, yang pada waktu itu kebanyakan dari orang Kebumen dan Purworejo dan sedikit dari Sepuran masuk, di wilayah Wadaslintang khususnya di Desa Ngalian maka dibutuhkan seorang pemimpin. Dan yang pertama memimpin adalah seorang gelondong bernama R. Ca Menggala dan diteruskan oleh anak keturunan beliau. Dan yang mejadi lurah atau demang pada waktu itu adalah Mbah Kiai Noyogati (Glondong Pekrok), tapi pada waktu masih bernama Desa Gumelam dan diganti lagi Desa Cagak Wesi. Dan setelah itu maka Desa Ngalian berdiri.

Waktu itu kurang lebih sekitar tahun 1900-an awal, diantara pendiri Desa Ngalian tokoh-tokohnya yaitu:
1. Mbah Kiai Ali Murtojo pendatang dari Sepuran, bertempat di Dukuh Blawong sampai wafat.
2. R. Wiro Atmojo dari Kebumen, beliau juga di Dukuh Blawong sampai wafat.
3. Mbah Kiai Ali Mashud dari Sigedong Sepuran, beliau menetap di Dukuh Larangan.
4. Mbah Mustofa dari Kebumen.
5. Mbah Ilham dari Kebumen, beliau menetap di Desa Ngadisono dan wafat di Ngadisono.
6. R. Singo Menggolo (Mbah KH. Hanafi) dari Keraton, menetap di Dukuh Gedongan dan dimakamkan di depan Masjid Gedongan.

Kemudian dibangunlah pasar pada tahun 1919, mulai saat itulah Pemerintahan Desa Ngalian mulai berjalan sampai saat ini. Para beliau ini adalah para pejuang yang mengikuti perjuangannya Pangeran Negoro Mbah Kiai Suryan dari Beduk Ngambal.

Diantara orang yang pernah menjadi lurah di Desa Ngalian dari dulu hingga sekarang adalah:
1. Mbah Kasan Murja
2. Mbah Noyogat (Glondong Pekrok bin Singo Menggolo)
3. Mbah Demang Larangan Maryo
4. Mbah Dullah Hadi
5. Mbah Joyo Sumargo
6. Bpk. Ikhsanudin
7. Bpk. Suwandi
8. Bpk. Samin
9. Bpk. Slamet Tiono
10. Bpk. Pramono

Demikianlah sekelumit sejarah Ngalian. Pasti banyak kekurangannya mohon maaf sebesar-besarnya dan mohon saran sertapetunjuk kepada semua pihak, terimakasih.

Asal-Muasal Sayyid Awud bin Husain bin Yahya

Sayyid Awud adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw. generasi ke-34. Dilahirkan di Desa Wirodeso dari seorang ibu yang bernama Raden Ajeng Ayu, putri bupati Batang yang bernama R.T. Jayeng Rono atau Bupati Wiroto. Beliau juga kakak dari bupati Batang yang bernama R.T. Sido Rawuh, ayah dari R. Muhammad Isa atau Mbah Batang yang wafat di Kec. Kaliwiro dan dimakamkan di Kaliwiro. Maka Sayyid Awud dengan R. Muhammad Isa adalah sepupu.

Ayah Sayyid Awud adalah Sayyid Syarif Husain Yahya, yang pada waktu itu beliau mengasuh salah satu pondok pesantren di Kec. Wirodeso serta wafat di Wirodeso dan dimakamkan di pemakaman umum Kec. Wirodeso. Sayyid Syarif Husain Yahya mempunyai beberapa putra yaitu:
1. Sayyid Alwi Syarif Bustaman yang terkenal dengan Ki Ageng Purworejo. Beliau wafat di Purworejo  dan dimakamkan di Desa Kedung Pucang Kec. Bener Kab. Purworejo.
2. Sayyid Awud atau Ndoro Sayyid yang ada di Desa Ngalian.
3. Sayyid Sholeh yang terkenal dengan sebutan R. Saleh, pelukis peta Indonesia dan terkenal sampai mancanegara. Beliau wafat di Jakarta  dan dimakamkan di Bogor sekitar tahun 1880.
4. Sayyid Ali Murtadho, beliau berjuang mengikuti jejak kakaknya yaitu Sayyid Awud. Beliau wafat di Ngalian dan dimakamkan di Desa Ngalian bersebelahan dengan makamnya Sayyid Awud.
5. Syarifah Ruqayah yang menjadi istri Habib Abdurrahman Jakarta bapak dari Habib Ali al-Habsyi Kwitang Jakarta.

Ketika Sayyid Awud masih kecil ia diasuh oleh kakaknya yaitu Sayyid Alwi Bustaman hingga dewasa. Setelah itu beliau mulai mencari ilmu pertama dari bapaknya sendiri, orang yang sangat alim dan bersahaja yaitu Sayyid Husain bin Yahya. Kemudian dilanjutkan belajar pada kakaknya yang sangat terkenal kealiman dan ketinggian ilmu agamnya serta pencetak pejuang-pejuang Pantai Selatan dan Utara, namanya sangat disegani, beliau adalah Sayyid Alwi Syarif Bustaman Kiai Agung Purworejo.

Beberapa diantara guru-guru Sayyid Awud yang lain adalah seorang satria yang gagah berani, yang terkenal pula tentang keluasan ilmunya dan wawasannya dan lagi seorang wali quthb yaitu Sayyid Hasan bin Thoha bin Yahya Semarang yang dikenal dengan Mbah Sayyid Kramat Jati atau Pangeran Sumodiningrat. Dan beliau juga mengambil ilmu kepada seorang yang sangat alim lagi banyak karomahnya yang bernama Sayyid Hasan bin Muhsin Al Ba'bud Purworejo yang bergelar Tumenggung Samparwadi.

Selanjutnya Sayyid Awud meneruskan mencari ilmu kepada seorang pembesar para wali yakni Sayyid Abdullah Bafaqih. Tidak lupa pula beliau medapatkan ilmu dari beberapa tokoh para kiai di zaman itu. Setelah beliau mendapatkan ilmu dan ijazah dalam mengajar dan berdakwah dan lain sebagainya, beliau tinggal di Pekalongan menggantikan ayahnya.

Sayyid Awud melakukan apa yang diperintahkan para gurunya untuk mengajar dan berdakwah. Beliau selalu tetap memegang teguh prinsip al-Quran dan as-Sunnah dan selalu mengikuti jejak para salafnya yang sangat shaleh. Beliau merupakan penganut Thariqah Syathariyah Alawiyah. Setelah itu beliau terpanggil untuk berjuang melepaskan dari belenggu penjajah dan kebodohan. Maka beliau bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo dan tokoh yang lain.

Pertempuran demi pertempuran berjalan mengikuti Kanjeng Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro terrtangkap, maka setiap pengikutnya meneruskan perjuangannya dengan segala cara. Akan tetapi tetap dalam landasan tuntunan Baginda Nabi Muhammad Saw. Sayyid Awud tidak terlepas dicurigai bahkan dikejar-kejar dimanapun beliau berada. Disamping itu beliau cukup besar pengaruhnya di kalangan masyarakat dan sangat disegani. Maka beliau sering berpindah-pindah tempat dan berganti nama untuk mengelabuhi Belanda.

Yang terakhir beliau membuat pertahanan dan meneruskan untuk dakwah di suatu desa yang bernama Gumelam. Maka setelah kedatangan beliau Gumelam dikenal dengan "Ngalian" atau hijrah beliau di situ, berdakwah dan berjuang sampai akhir hayatnya.

Kedatangan Sayyid Awud ke desa itu dengan menyamar. Atas segala keberanian dan ilmu yang dimilikanya, maka diangkatlah beliau oleh bupati Wonosobo menjadi kepala mandor kopi. Beliau terkenal dengan kebijaksanaan dan kearifannya. Walaupun beliau sangat ditakuti oleh para jagoan atau para centeng dan warok akan tetapi beliau tidak manunjukan kesombongannya. Beliau terkenal sangat lemah lembut, yang mana tadinya situasi dan kondisi sangat rawan akhirnya timbul rasa aman dan nyaman karena tumbuhnya kesadaran. Itulah salah satu bentuk perjuangan beliau sampai wafat.

Ada suatu kejadian sangat menarik yang pada waktu itu Sayyid Awud atau Mbah Arjodwiryo diprotes oleh salah satu pejabat pemerintah. Tugas beliau sebagai mandor hutan kopi kenapa kerjanya hanya duduk di dalam rumah atau mushalla terus? Maka dijawab oleh beliau: "Insya Allah hutan kopi akan aman."

Dan ternyata Allah Swt. menolong. Disaat para pencuri dan gerombolan perampok mau memasuki hutan kopi dan gudang kopi meraka ketakutan dan lari tunggang-langgang dikarenakan mereka melihat harimau yang sangat besar. Dan itu diyakini sebagai ciri khas kewalian atau khadamnya Sayyid Awud bin Husain bin Yahya.

Dan kejadian itu berulangkali, walaupun mereka sudah berpindah-pindah tempat untuk memasuki kawasan hutan kopi. Sehingga akhirnya para pencuri tersebut sadar dan ada yang bertaubat. Sejak kisah itu menyebar ke seluruh wilayah Wadaslintang dan Kaliwiro maka situasi dan kondisi hutan kopi dan keadaaan masyarakat jadi tentram. Dan sejak saat itu juga penjajah Belanda tidak bisa memasuki wilayah Wadaslintang khususnya Ngalian.

Diantara nama Sayyid Awud ketika dalam penyamaran adalah Mbah Arjodwiryo, Raden Gondo Kusumo dan Mbah Kiai Wiroto. Belanda baru mengetahui dan mengerti bahwa nama samaran tersebut di atas sebenarnya adalah Sayyid Awud bin Husain bin Yahya, senopatinya Pangeran Diponegoro, setelah wafatnya beliau.

Setelah Sayyid Awud wafat jenazahnya dimakamkan di pemakaman khusus keluarga priyayi dan santri di Dusun Blawong Desa Ngalian, kurang lebih 400 m dari jalan raya pada tahun 1898 M. Dan yang sering menziarahi makam beliau pada waktu itu adalah keluarga dari bupati Kebumen yang bernama KRT. Istikno Sosro Busono, sekitar tahun 1950.

Hingga pada tahun 1973 ada seorang yang terkenal kewaliannya, yaitu Mbah Kiai Abu Na'im, ziarah ke makam Sayyid Awud. Pada waktu itu masyarakat belum mengetahui siapa Sayyid Awud. Mereka hanya mengetahui dengan sebutan Ndoro Sayyid. Maka Mbah Abu Na'im mengatakan bahwa Ndoro Sayyid adalah termasuk waliyullah.

Dikarenakan penduduk sekitar makam tidak mengetahui siapa Sayyid Awud atau makam di Blawong maka sejak dulu jarang yang menziarahi ke makam itu. Tapi setelah dijelaskan oleh ahli keluarganya, yaitu Maulana Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, pada waktu diadakan haul yang pertama pada akhir Jumadil Akhir tahun 1431 H. Siapa sebenarnya Ndoro Sayyid atau Sayyid Awud, mulai saat itu ramai dikunjungi para peziarah dari masyarakat sekitar Wadaslintang dan dari luar daerah dan sering dikunjungi oleh kalangan habaib dari Wonosobo, Pekalongan, Cirebon, dan sebagainya.

Maka dari itu tidak disangsikan lagi bahwa Sayyid Awud adalah pejuang Negara sekaligus keluarga dari Rasulullah Saw. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari sejarah ini.

Sejarah Perjalanan Sayyid Awud Sampai ke Desa Ngalian 

Kedatangan Sayyid Awud ke Desa Ngalian sebenarnya pada masa itu terjadi krisis ekonomi atau sulitnya mencari nafkah. Maka situasi hutan kopi pun menjadi tidak aman. Terjadilah pencurian dan perampokan hasil dari hutan kopi tersebut yang dilakukan oleh orang di sekitar Wadaslintang dan Kaliwiro. Sehingga pemerintah waktu itu merasa rugi dan menimbulkan kegelisahan.

Dan akhirnya pihak pemerintah pada waktu itu mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh seluruh mandor hutan kopi dan seluruh gelondong kecamatan Kaliwiro dan Wadaslintang. Adapun tempat yang digunakan untuk musyawarah kala itu adalah di kantor Kawedanan Kaliwiro.

Disaat musyawarah berlangsung, diantara yang hadir ada yang mengusulkan untuk menghadirkan orang pintar atau sesepuh yang intinya supaya diusahakan secara batiniah agar hutan kopi tersebut menjadi aman. Dan ternyata usulan tersebut disetujui oleh peserta musyawarah pada waktu itu.

Secara kebetulaan diantara yang hadir ada yang mengenal seorang sesepuh yang bernama Mbah Arjodwiryo asli orang Pekalongan dan kemudian diminta untuk hadir di Kawedanan Kaliwiro Wadaslintang. Ternyata beliau menyetujui apa yang menjadi keinginan pemerintah. Tapi beliau mengajukan suatu permintaan, agar didirikan mushalla.

Pihak pemerintah waktu itu pun menyetujui. Sehingga berdirilah mushalla yang bertempat di pertigaan jalan menuju Desa Kalidadap. Setelah itu Mbah Arjodwiryo (Sayyid Awud) mengumumkan kepada seluruh masyarakat sekitar Wadaslintang dan Kaliwiro: "Barangsiapa mengambil kopi untuk kepentingan hidup, maka diperbolehkan. Tapi jika untuk hura-hura atau maksiat maka tidak boleh."

Setelah Sayyid Awud berada di Desa Ngalian, maka beliau bertempat tinggal di Dukuh Blawong. Tepatnya di kediaman Mbah Sinder Sepuh atau kepala mandor hutan kopi, yang lokasinya berada di bawah pasar Ngalian atau di bawah gudang kopi pada waktu itu.

Hari-hari berikutnya Sayyid Awud memanfaatkan waktunya dengan cara mengajar ngaji kepada penduduk sekitar Wadaslintang dan Kaliwro. Terkadang pula beliau berkeliling ke tempat terpencil seperti ke Desa Lamuk, Desa Lancar dan sebagainya.

Sayyid Awud berjuang di wilayah Wadaslintang Kaliwiro tidaklah sendirian melainkan dibantu oleh teman seperjuangannya, antara lain Sayyid Ali Murtadho (adik beliau), Mbah Kiai Muhammad Fadlil dari Sepuran yang kemudian menetap dan wafat tahun 1917 di Wadaslintang, Mbah Ali Murtojo, Mbah Kiai Muhammad Isa di Kaliwiro, dan masih banyak lagi.

Dan mulai saat itu agama Islam mulai kelihatan gerakannya. Pesantren-pesantren mulai didirikan meski masih berskala kecil. Karena situasi pada waktu itu belum stabil dan masih banyak terjadi pertempuran, akhirnya mereka ada yang gugur dalam medan perang, wafat di tempat pengungsian dan ada yang karena memang sudah tua, hingga masa kemerdekaan.

Demikianlah sejarah waliyullah Sayyid Awud bin Husain bin Yahya dalam melaksanakan ibadah dan perjuangan dalam membela agama dan negaranya sampai beliau wafat pada tahun 1898 M. Semoga kita bisa meneruskan perjuangannya maupun apa yang beliau cita-citakan. Amin.

Daftar Narasumber Sejarah:
1. Maulana Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
2. Simbah Kiai Abdurrokib.
3. Sesepuh Kecamatan Wadaslintang dan Kaliwiro.

Wonosobo, 27 Shafar 1432/02 Februari 2011

Ketua Tim Penyusun: Abdulloh

(Diedit ulang oleh: Sya'roni As-Samfuriy, Tegal 25 April 2016).

Pengaruh Kebudayaan Arab-Hadhramaut di Nusantara, Al-Qadri di Kalimantan dan Al Ba'abud di Yogyakarta

Written By MuslimMN on Sabtu, 23 April 2016 | 15.34



Kedatangan orang-orang Arab-Hadhramaut membawa pula kebudayaannya. Turut mewarnai praktik kehidupan masyarakat lokal. Di Nusantara, orang-orang Hadhrami bukan hanya mencari penghidupan yang lebih baik dengan berdagang. Beberapa dari mereka kemudian berperan dalam menyebarkan agama Islam. Bahkan beberapa dari mereka membangun dan mempunyai pengaruh kuat di kerajaan-kerajaan atau kesultanan.

Di Kalimantan, misalnya. “Kesultanan Pontianak di bawah keluarga al-Qadrie adalah yang paling menonjol, sedangkan kesultanan Berau juga memiliki bangsawan-bangsawan keturunan Arab yang sudah beberapa generasi melakukan asimilasi. Kesultanan yang terbesar di Kalimantan Timur, Kutai Kertanegara, memiliki pejabat dan penasehat keturunan Arab yang paling banyak,” tulis Burhan D. Magenda, “Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab di Tingkat Lokal”, dimuat di jurnal Antropologi.

Di Jawa, van den Berg menemukan adanya sebuah keluarga Arab yang menduduki posisi penting di Kesultanan Yogyakarta. Mereka menghilangkan ciri-ciri Arab mereka dan menjadi orang Jawa. Sayangnya, van den Berg tak menjelaskan lebih lanjut keluarga tersebut. Siti Hadayati Amal dari Universitas Indonesia mengisi kekosongan itu lewat penelitiannya.

Dari informan-informannya, Siti Hayati menyoroti jejak Sayyid Alwi Ba’abud (1724-1815), saudagar kuda asal Hadhramaut yang juga dikenal sebagai ulama dan tabib. Dia bersahabat dengan Sultan Hamengku Buwono II dan diangkat menjadi penasihat agama (penghulu) di Keraton Yogyakarta. Hubungan terjalin kian erat melalui perkawinan Sayyid Hasan al-Munadi, anak Alwi Ba’abud, dengan BRA Samparwadi, putri Sultan.

“Bagi sang Sultan –yang dikenal berwatak keras dan sangat tidak menyukai Belanda, hubungan besan dengan Alwi Ba’abud merupakan upaya untuk memperoleh legitimasi agama atas kekuasaan politiknya. Bagi Alwi Ba’abud, hubungan besan dengan Sultan merupakan upaya legitimasi politik atas kepentingannya menyebarkan agama Islam di wilayah Kesultanan Yogyakarta,” tulis Siti Hadayati Amal dalam “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta”, dimuat jurnal Antropologi Indonesia Vol 29 No 2 tahun 2005.

Dari perkawinan Sayyid Hasan al-Munadi dengan BRA Samparwadi, lahirlah Ibrahim atau Raden Mas Haryo Madiokusumo. Tahu bahwa Belanda bersikap tak adil terhadap orang Jawa dan Arab, dia sebagai keturunan Arab-Jawa mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Dalam peperangan, nama Madiokusumo adalah Pekih.

Menariknya, pada masa perang, mereka bertukar pakaian. Diponegoro mengenakan pakaian Arab (sorban dan jubah) sebagai penanda dia seorang pemimpin spritual, sementara Ibrahmim mengenakan pakaian Jawa –yang diikuti keturunan-keturunannya. Setelah penangkapan Diponegoro, Ibrahim diasingkan ke Penang dan kemudian dipindahkan ke Ambon sampai meninggal dunia.

Pengaruh dan kedekatan dengan kekuasaan masih berlangsung beberapa tahun kemudian, bahkan hingga kini.

Pada awal abad ke-20, masyarakat Hadhrami di Hindia Belanda memulai perkembangan budaya yang luar biasa, dengan mendirikan sejumlah organisasi, sekolah dan berbagai majalah. Sehingga, menurut Ulrike Freitag, mereka layak disebut diaspora karena, “mereka menunjukkan dampak intelektual khusus bagi masyarakat di Asia Tenggara pada Hadhramaut." (Sumber: Majalah Historia No. 15 Tahun II 2014).

Wisata Ziarah di Purworejo dari Kiai Samparwadi hingga Eyang Giri Sumantoko



Menengok Kab. Purworejo, bagaikan membaca ulang kisah patriotik penyebaran agama Islam dan tokoh Islam terkemuka. Tak heran, di kota berusia 1.105 tahun itu, banyak ditemukan lokasi wisata ziarah. Alasannya jelas, banyak makam para pemimpin Islam dan tokoh agama yang dianggap berpengaruh. Sebut saja Makam Kiai Tumenggung Hasan Munadi Samparwadi, Mbah Kiai Ahmad Alim Bulus, Habib Abdullah Bafagih, Habib Zein Baraqbah, Kiai Imam Poera, Eyang Zarkasih dan Eyang Giri Sumantoko.

Begitu pula masjid bersejarah dan peninggalan masa lalu yang dibuat sekitar tahun 1600-an, dengan arsitektur kuno elegan dapat ditemukan utuh. Bahkan, pengunjung bisa mendengarkan kisah pendiri masjid itu melalui juru kunci masjid, yang umumnya dijabat turun-temurun. Misalnya Masjid Loano dan Masjid Santren Bagelen. Masjid Loano sangat unik, didirikan Sunan Geseng murid Sunan Kalijaga, dibangun sebelum Masjid Demak. Loano dulunya sebuah kerajaan yang jaya di masa Kerajaan Pajajaran hingga Kerajaan Mataram.

Keistimewaannya, selain tiang penyangga masih asli dengan gaya masa lalu, kayu bagian atas menyimpan guratan berbahasa Arab tentang doa dalam salat, Masjid Loano juga pada bagian puncak bangunan masjid ada Mustaka dan kayu petunjuk yang dapat berubah-ubah. Konon, perubahan kayu petunjuk menunjukkan tempat adanya musibah di Indonesia.

Sementara Santren Bagelen, adalah masjid hadiah Sultan Agung kepada Kiai Badlowi, dibangun tahun 1618 dan memiliki arsitektur Jawa dengan atap Tajuk Tumpang Satu. Satu lagi Masjid Agung Kadipaten Darul Muttaqien (Masjid Kauman), dibangun hari Ahad 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa, bertepatan dengan 16 April 1834 Masehi. Dibangun bupati pertama, Raden Corkronegoro I (menjabat 1831-1856).

Arsitektur Masjid Agung arsitektur Jawa berbentuk Tanjung Lawakan lambang Teplok, bahan tiang utamanya dari jati. Mempunyai cabang lima buah dengan diameter lebih 200 cm dan tingginya puluhan meter. Uniknya, dilengkapi beduk raksasa yang sengaja dibuat Cokronegoro I, untuk memberitahukan warga jadual salat.

Beduk terbuat dari jati yang tumbuh di Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kec. Purwodadi. Panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling belakang 564 cm, diameter depan 194 cm, diameter belakang 180 cm. Jumlah paku bagian belakang 98 buah, paku depan 120 buah. Kulit yang ditabuh dari kulit banteng. Beduk Pendowo itu dipakai tiap hari Jumat dan hari besar. Hampir tiap pagi selepas Shubuh, banyak orang sengaja melihat-lihat bahkan meraba-raba beduk raksasa itu. (Dikutip dari: abdulhadidjokolelono.blogspot.co.id).

AL BA'ABUD; DARAH ARAB DALAM KERATON YOGYAKARTA


Seperti diketahui, para pendatang Arab (Hadharim) telah melakukan pembauran (pernikahan) dengan warga pribumi Nusantara sebelum datangnya Kolonial Belanda. Pembauran tersebut tidak sedikit yang berhasil memasuki tembok-tembok Kerajaan Nusantara, meski sebagian dari mereka menghapuskan nama Arabnya dan menggantinya dengan nama lokal. Di kemudian hari, para keturunan Arab-Keraton tersebut juga menggunakan pakaian, mengikuti budaya, bahkan bertatakrama adat setempat.

Keraton Yogyakarta merupakan salah satu contoh sempurna dari pembauran pendatang Arab dan para anggota keluarga kerajaan. Van den Berg dalam penelitiannya menemukan adanya keluarga Arab yang menduduki posisi penting dalam Kesultanan Yogyakarta, meski mereka telah kehilangan beberapa ciri menonjol bangsa Arab, termasuk nama dan budaya asli.

Dalam riset berjudul Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta oleh Siti Hidayati Amal (Universitas Indonesia), disebutkan beberapa nama sebagai sumber pencarian hilangnya rantai keturunan Arab dalam Kesultanan Yogyakarta.

Adalah Ibu Wida, seorang keturunan Arab-Jawa dari pihak ibu, mengatakan bahwa dalam Serat Kekancingan (Surat keterangan silsilah) dari Keraton Yogyakarta, disebutkan bahwa dirinya merupakan keturunan Arab dan Jawa. Beliau dalam pencariannya menemukan silsilah keluarga Arabnya, yakni:

Muhammad Shahib Mirbath – Ali Ba’alwi – al-Faqih al-Muqaddam Muhammad – Alwi al-Ghayyur – Ali – Muhammad Mauladawilah – Ali – Abdullah Ba’abud – Abdurrahman Ba’abud – Abu Bakar Ba’abud Kharbasyan – Ahmad – Husein – Abu Bakar – Abdullah – Muchsin – Umar – Muchsin – Abdullah – Alwi Ba’abud – Hasan al-Munadi – Ibrahim Ba’abud – Mohamad Irfan – Ya’kub – Hasan Manadi – Siti S (ibunya ibu Wida).

Sumber kedua bernama Soemitro Oetomo (Tommy) yang masih merupakan kerabat ibu Wida, merupakan tokoh yang tekun melacak garis keturunannya dengan dibantu beberapa ahli sejarah seperti Peter Carrey, Sartono Kartodirjo, Arnold Tynbee, de Graaf, dan juga Kantor Arsip Nasional. Beliau menemukan bahwa orang Arab pertama yang memasuki Keraton Yogyakarta yakni Alwi Ba’abud yang datang di Nusantara melalui jalur perdagangan Jepara dan Demak pada tahun 1755, tepat ketika Pangeran Mangkubumi (1717-1792), seorang putra Sultan Amangkurat IV dari garwo ampeyan (selir) bernama Mas Ayu Tejowati, dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono I setelah perjanjian Giyanti 1755.

Selain berprofesi sebagai pedagang kuda, Alwi Ba’abud juga dikenal sebagai tabib. Beliau bersahabat dengan sultan dan diangkat sebagai penasihat agama di Keraton Yogyakarta. Menurut cerita para pini sepuh (generasi yang dituakan/dihormati), Alwi Ba’abud yang berasal dari Hadhramaut (Yaman Selatan) menikahkan putranya, Hasan al-Munadi dengan putri Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) bernama Bendoro Raden Ayu Samparwadi dari ibu bernama Bendoro Mas Ajeng Citrosari. 

Kala itu diceritakan bahwa Samparwadi tengah jatuh sakit dan Sultan Hamengku Buwono II menggelar sayembara guna mengobati sang putri. Orang yang berhasil menyembuhkan sang putri yakni Alwi Ba’abud, namun dikarenakan usianya yang telah lanjut, beliau akhirnya menikahkan sang putra dengan Samparwadi. Pernikahan tersebut dilaksanakan pada tahun 1789 dan menghasilkan seorang keturunan bernama Ibrahim Ba’abud Madiokusumo yang akhirnya menghasilkan banyak garis keturunan Keraton Yogyakarta hingga saat ini.

(Referensi: L.W.C. Van den Berg, Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010 dan Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta, Siti Hidayati Amal, Universitas Indonesia).

Waliyullah Hasan Munadi Ungaran Air Sendang Keramat


Bagi para pecinta ziarah makam auliya di Jawa Tengah, kota Ungaran tidak asing lagi di telinga mereka. Di kota inilah terdapat makam wali besar yang terletak di lereng Gunung Sukroloyo yang asri. Yakni makam waliyullah Hasan Munadi dan putranya, waliyullah Hasan Dipuro. Letak makam ini tepatnya di Dusun Nyatnyono. Asal-usul nama dusun Nyatnyono sendiri tidak terlepas dari kisah keramat Waliyullah Hasan Munadi.

Makam keramat waliyullah Hasan Munadi hingga kini masih terawat dan terpelihara dengan baik. Kini yang dipercaya sebagai pemangku makam keramat tersebut adalah KH. Hasan Asy’ari, tokoh kiai muda yang menjadi panutan masyarakat Ungaran dan sekitarnya.

Di Ungaran, salah satu bangunan peninggalan dari Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Karomah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih tua daripada Masjid Agung Demak.

Awalnya, Kiai Hasan Munadi dan putranya Kiai Hasan Dipuro nyantri kepada Sunan Ampel bersama Raden Patah. Setelah dianggap cukup ilmunya, Raden Patah diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk membangun pesantren di Desa Glagah Wangi, Demak, sedangkan Kiai Hasan Munadi dan putranya disuruh untuk kembali ke kampungnya, untuk mengembangkan Islam di daerah Semarang dan sekitarnya.

Sebelum mulai melakukan aktivitas dakwah, Kiai Hasan Munadi berkhalwat di puncak Gunung Sukroloyo untuk meminta petunjuk kepada Allah Swt. Setelah 100 hari melakukan khalwat, Kiai Hasan mendapat isyarat. Dalam khalwatnya itu ia melihat sebuah masjid di salah satu dusun yang terletak di lereng bukit yang kemudian dikenal sebagai Dusun Nyatnyono.

Masjid Subulussalam, Nyatnyono

Asal-muasal nama Nyatnyono sendiri, yang berarti “berdiri tahu-tahu sudah ada”, tidak terlepas pula dari hasil khalwat yang dilakukan Kiai Hasan. Setelah mendapat isyarat itu, Kiai Hasan pun keluar dari khalwatnya untuk menuju kampung tempat masjid dalam isyarat itu berada.

Keluarbiasaan terjadi. Atas izin Allah, begitu Kiai Hasan keluar dari tempat khalwatnya, ternyata masjid yang ada dalam isyarat itu benar-benar sudah berdiri tegak di Lereng Gunung Sukroloyo.

Karena peristiwa luar biasa itulah, yang merupakan karamah dari waliyullah Hasan Munadi, pada akhimya masjid dan dusunnya kemudian dinamakan “Nyatnyono”. Nyat artinya “berdiri” dan Nyono artinya “sudah ada”. Maksudnya, berdiri dari khalwat, tiba-tiba masjidnya sudah ada dengan sendirinya.

Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.

Karomah Waliyullah Hasan Munadi

Riwayat tentang karamah waliyullah Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih hidup. Bahkan ratusan tahun setelah wafatnya, karamah itu masih dirasakan oleh masyarakat. Diantaranya pada waktu Masjid Keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985.

Sebagaimana kelaziman para pemangku makam yang hendak merehab Masjid Keramat, Kiai Asmui pemangku makam keramat pada waktu itu melakukan mujahadah selama satu tahun terlebih dahulu. Setelah mujahadah selesai dilaksanakan, ia pun berinisiatif untuk meminta bantuan masyarakat sekitar yang bersedia menjadi dermawan untuk menyumbangkan hartanya.

Masyarakat Nyatnyono memang bisa dibilang kelas menengah ke bawah, hanya beberapa pejabat dan keluarga tertentu yang memiliki kekayaan yang dianggap berlebih di masa itu. Proposal yang ditawarkan, termasuk kepada instansi-instansi tertentu dan beberapa orang kaya yang ada di lingkungan sekitar, kembali dengan tidak membawa hasil apa pun.

Dalam kondisi semacam itu, Kiai Asmui gamang untuk melanjutkan renovasi. Akhirnya ia sowan kepada Kiai Hamid (KH. Abdul Hamid Magelang), yang termasyhur dengan kewaliannya, untuk meminta pendapat tentang situasi yang sedang dihadapinya. Namun, Kiai Hamid malah menjawab ringan, “Sudah, pulang sana, mulai renovasi masjidnya. Waliyullah Hasan itu kaya. Kuburannya ada gambar uang.”

Sepulang dari kediaman Kiai Hamid, Kiai Asmui makin bingung memikirkan kata-kata Kiai Hamid. Tapi, karena taat kepada sang guru, ia tidak berpikir panjang lagi. Meski tidak memiliki modal, ia pun mulai merenovasi. Bagian-bagian bangunan masjid yang dinilai sudah tidak layak mulai dirobohkan untuk direnovasi.

Tiba-tiba keanehan kembali terjadi. Tidak diduga-duga, seorang peziarah yang datang ke makam dan tengah menderita sakit kronis dalam waktu yang singkat sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah meminum dan mengusapkannya ke bagian tubuh air yang keluar dari sumber yang berada tak jauh dari makam.

Sejak kejadian itu, para peziarah semakin banyak berdatangan ke Makam Keramat dan mengambil air dari mata air itu. Dan makin aneh pula, mata air yang semula kecil menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya peziarah yang berebut memanfaatkannya.

Melihat kejadian aneh itu, Kiai Asmui kembali datang kepada Kiai Hamid untuk meneceritakan dan menyatakan fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat itu Kiai Hamid mengisyaratkan bahwa semua itu adalah bagian dari karamah waliyullah Hasan Munadi.

Komplek Makam di Nyatnyono

Hari demi hari kata-kata Kiai Hamid semakin menjadi kenyataan. Peziarah yang datang semakin membludak. Dan air yang keluar dari sumber di dekat makam pun di luar kebiasaan, semakin membesar dengan sendirinya seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang, hingga menjadi sendang. Sendang itu kemudian dikenal dengan nama “Sendang Kalimah Thayyibah”, karena untuk bisa mendapatkan khasiat dari air itu untuk hajat tertentu seseorang terlebih dahulu harus membaca dua kalimah syahadat.

Pundi-pundi amal yang berasal dari peziarah pun semakin melimpah ruah. Dua puluh ribu, seratus ribu, satu juta, bahkan sampai-sampai per hari kotak-kotak amal itu terisi tidak kurang dari 12 juta hingga 18 juta, sampai kurang lebih sepuluh bulan lamanya.

Hasil dari kotak amal yang telah dikumpulkan dan melimpah ruah itu pada akhirnya bukan hanya dipergunakan untuk merenovasi masjid. Makam, madrasah, jalanan umum, bahkan masyarakat pun mendapatkan bagian yang tidak sedikit dari jariyah para peziarah yang melimpah ruah itu.

Masyarakat Nyatnyono yang tadinya hidup serba kekurangan mulai membangun dan merenovasi rumah-rumah mereka. Aktivitas perekonomian masyarakat sekitar makam terangkat karena keberkahan dari membludaknya para peziarah yang datang. Bahkan beberapa ribu orang masuk Islam berkat dari sendang itu.

Sendang Keramat

Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian/sendang yang konon dahulunya untuk tempat mandi dan mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ke tanah. Bila kita rasakan air tersebut maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat Sendang Kalimat Thoyibah berkhasiat istimewa wasilah mengobati segala penyakit.

Namun pengunjung sebelum mandi diwajibkan untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan, cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa sarung maka disediakan jasa untuk penyewaan sarung di pintu masuk Sendang Air Keramat Kalimat Thoyibah. (Sumber: www.sarkub.com).
 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template