Latest Post

KISAH SEORANG HABIB

Written By MuslimMN on Kamis, 24 Februari 2011 | 17.52


KISAH SEORANG HABIB


Suatu ketika seorang Habaib dari Hadramaut ingin menunaikan ibadah haji dan berziaroh ke kakeknya Rasulullah SAW. Beliau berangkat dengan diiringi rombongan yang melepas kepergiannya. Seorang Sulton di Hadramaut, kerabat Habib tersebut, menitipkan Al Qur’an buatan tangan yang terkenal keindahannya di jazirah arab pada saat itu untuk disampaikan kepada raja Saudi.
Sesampai di Saudi, Habib tersebut disambut hangat karena statusnya sebagai tamu negara. Setelah berhaji, beliau ziarah ke makam Rasulullah. Karena tak kuasa menahan kerinduannya kepada Rasulullah, beliau memeluk turbah Rasulullah. Beberapa pejabat negara yang melihat hal tersebut mengingkari hal tersebut dan berusaha mencegahnya sambil berkata, “Ini bid’ah dan dapat membawa kita kepada syirik.” Dengan penuh adab, Habib tersebut menurut dan tak membantah satu kata pun.
Beberapa hari kemudian, Habib tersebut diundang ke jamuan makan malam raja Saudi. Pada kesempatan itu beliau menyerahkan titipan hadiah Al Quran dari Sulton Hadramaut. Saking girang dan dipenuhi rasa bangga, Raja Saudi mencium Al Qur’an tersebut!
Berkatalah sang Habib, “Jangan kau cium Qur’an tersebut… Itu dapat membawa kita kepada syirik!” Sang raja menjawab, “Bukanlah Al Qur’an ini yang kucium, akan tetapi aku menciumnya karena ini adalah KALAMULLAH!”
Habib berkata, “Begitu pula aku, ketika aku mencium turbah Rasulullah, sesungguhnya Rasululullah-lah yang kucium! Sebagaimana seorang sahabat (Ukasyah) ketika menciumi punggung Rasulullah, tak lain adalah karena rasa cinta beliau kepada Rasulullah. Apakah itu syirik?!”
Tercengang sang raja tak mampu menjawab.
Kemudian Habib tersebut membaca suatu syiir yang berbunyi,
Marortu ‘alad diyaari diyaaro lailah
Uqobbilu dzal jidaari wa dzal jidaaro
Fa ma hubbud diyaar, syaghofna qolbi
Wa lakin hubbu man sakanad diyaro
Kulalui depan rumah laila (sang kekasih)
Kuciumi dinding2 rumahnya
Tidaklah kulakukan itu karena cintaku kepada rumahnya,
Namun karena cintaku kepada si penghuni rumah

THARIQOH ALAWIYYAH - TAREKAT ALAWIYYAH


THARIQOH ALAWIYYAH - TAREKAT ALAWIYYAH


THARIQOH ALAWIYYAH
Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba Alawi yang bergelar Al alamatud dunya (penulis buku Ar-Rosyafat) pernah ditanya, “Apa dan bagaimana thoriqoh Bani Alawi (Sadah al Abiy ‘Alawiy) itu? Apakah cukup didefinisikan dengan ittiba’ (mengikuti) Quran dan sunah? Apakah di antara mereka terdapat perbedaan pendapat? Apakah thoriqoh mereka bertentangan dengan thoriqoh- thoriqoh yang lain?”
Beliau menjawab, “Ketahuilah, sesungguhnya thoriqoh Bani Alawi merupakan salah satu thoriqoh kaum sufi yang asasnya adalah ittiba’ (mengikuti) Quran dan sunah, puncaknya (ro’suha/intinya) adalah sidqul iftiqar (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhadul minnah (bersaksi bahwa semuanya merupakan karunia Allah). Thoriqoh ini mengikuti (ittiba’) manshash [1] dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushul) untuk menyegerakan wushul.
Jadi thoriqoh Bani Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum zhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang juga mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan, bahwa kedudukan manusia dalam agama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang-orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash: ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas. Demikian itulah jalan lurus (shirathol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut.
Sesungguhnya ilmu tasawuf tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan sebagai kendaraan untuk menghampiri Allah Ta’ala. Zhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam ber-tawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala perbuatan yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya.
Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, menyingkirkan sifat-sifat hina dan tercela. Puncak tujuannya adalah untuk meraih kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini mengajarkan seseorang untuk menyandang sifat-sifat mulia dan beramal saleh, serta mewujudkan (tahqaq) asrar, maqamat dan ahwal. Thoriqoh ini diwariskan oleh kaum sholihin kepada orang-orang saleh dengan pengamalan, dzauq dan tindak-tanduk, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah sebagaimana syairku dalam Ar-Rasyafat:
Orang yang menguasai semua ilmu syariat namun tidak merasakan manisnya makrifat maka dia lalai dan lelap dalam tidurnya
Takutlah kepadanya, seperti takutnya orangyang kebingunganketika menghadapi ancaman maut dan segalayang menakutkan
Makrifat diraih berkat curahan karunia Ilahiatau fathsetelah usaha sungguh-sungguh,bukan dari riwayat yang disampaikan makhlukdan buku,juga bukan dari tutur kata manusia.
Sungguh beruntung orang yang baik persiapannyadan hatinya bebas dari perbudakan makhluk-NyaPetunjuk akan menetap di benaknyaIa pun merasakan sepercik makrifat di hatinya
Sungguh sepercik (makrifat) dari gelas yang disegeltelah memenuhi hati dengan berbagai ilmu,melindungi pemahaman dari keraguandan membebaskan akal dari segala belenggu
Ketahuilah, thoriqoh Bani Alawi ini: zhohir-nya adalah ilmu-ilmu agama dan amal, sedangkan batinnya adalah men-tahqaq berbagai maqam dan ahwal. Adab thoriqoh ini adalah menjaga asrar, dan timbul ghirah jika asrar tadi diungkapkan. Jadi, zhohir thoriqoh Bani Alawi adalah ilmu dan amal di atas jalan lurus sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghozali. Dan bathin thoriqohnya adalah tahqaqul haqaqoh dan tajradut tauhid sebagaimana dijelaskan dalam thoriqoh Syadziliyah.
Ilmu Bani Alawi adalah ilmunya kaum (sufi) dan rusam mereka menghapus rusam. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan semua amal. Mereka juga mengikat perjanjian (‘ahd), mengucapkan talqin, mengenakan khirqoh, menjalani kholwat, riyadhoh, mujahadah, dan mengikat tali persaudaraan. Mujahadah terbesar mereka adalah penyucian hati, persiapan untuk menghadang karunia-karunia Ilahi dengan menempuh jalan nan lurus, dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menjalin persahabatan dengan orang-orang yang memiliki petunjuk (ahlil irsyad).
Dengan tawajuh yang sidq, Allah pasti akan memberikan karunia-Nya. Dan dengan perjuangan yang sungguh-sungguh Allah pasti akan memberikan fath. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan (kepada mereka) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang suka berbuat baik.” (QS Al-Ankabut, 29:69)
Sumber thoriqoh Bani Alawi adalah thoriqoh Madaniyyah, yakni thoriqoh Syeikh Abu Madyan Syu’aib Al-Maghrobi. Sedangkan pusat dan sumber hakikat thoriqoh Bani Alawi adalah Al-Fardu Al-Ghauts Syeikh Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba Alawi Al-Huseini Al-Hadhromi.
Thoriqoh ini diturunkan oleh orang-orang saleh yang memiliki maqamat dan ahwal, dan merupakan thoriqoh tahqaq (pengamalan dan pembuktian), dzauq dan asrar. Oleh karena itu, mereka memilih bersikap khumal, menyembunyikan diri, dan tidak meninggalkan tulisan tentang thoriqoh ini. Mereka mengambil sikap demikian sampai zaman Alaydrus (Habib Abdullah Alaydrus bin Abubakar As-Sakran) dan adik beliau Syeikh Ali (bin Abubakar As-Sakran).
Setelah banyak yang melakukan perjalanan, maka ruang gerak (Alawiyin) semakin luas. Yang dekat dapat saling berhubungan, tapi tidak demikian halnya dengan yang jauh. Karena itu dibutuhkan usaha untuk menyusun buku dan memberikan penjelasan. Alhamdulillah, muncullah beberapa karya yang melapangkan dada dan menyenangkan hati, seperti: Al-Kibratul Ahmar, Al-Juz-ul lathaf, Al-Ma’arij, Al-Barqoh, dan karya-karya lain yang cukup banyak dan masyhur.
Thariqah Para Salaf KitaDiambil dari Al-Maslak Al-Qarib, karya Al-Imam Thohir bin Husin Bin Thohir Ba’alawi
Sesungguhnya thariqah Alawiyah adalah suatu thariqah dari golongan sufi yang berdasarkan di atas:

·        Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bersumber dari para Sahabat yang mulia, Tabi’in dan para pengikut Tabi’in yang utama.
·        Mempelajari hukum-hukum yang wajib bagi setiap orang Muslim.
·        Mengikut jejak langkah Nabi SAW yang dapat diketahui melalui perilaku beliau.
·        Berpegang teguh pada syariah yang bersandarkan pada perbuatan dan ucapan yang baik dan terpuji serta mencegah agar tidak terpengaruh oleh pemikiran dan adat resam kebiasaan yang buruk.
Oleh yang demikian, perkara yang harus dilakukan oleh setiap orang yang mengikuti thariqah ini ialah:
·        Menuntut ilmu dengan didasari di atas dasar ketaqwaan
·        Mencegah diri agar tidak memperturutkan hawa nafsunya.
·        Mengikuti thariqah ini dengan sebaik-baiknya
·        Menjaga diri dalam menghadapi berbagai golongan dan berhati-hati dalam menghadapi berbagai ikhtilaf yang terjadi serta mengambil dari apa yang patut atau bermanfa’at untuk dirinya, sebab thariqah Alawiyah adalah suatu thariqah yang amat mulia yang telah dibina oleh para Sa’adah Ba’alawi dari generasi ke generasi dan turun temurun dan seterusnya sampai kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.
Oleh sebab itu, ramai di kalangan orang yang telah mendahului kita yang dapat sampai kepada darjat (maqam) ijtihad, bahkan tidak sedikit yang sampai kepada darjat tertinggi dari tingkat para wali iaitu darjat (maqam) As-Sidqiyyah Al-Kubra.
Begitulah keadaan mereka, selalu berjalan di jalur yang telah dilalui oleh para pendahulu mereka tanpa ada penyimpangan sedikitpun. Pada zahirnya mereka menjalankan ilmu-ilmu dan mengamalkannya, dan pada batinnya mereka sering berusaha memantapkan darjat pendekatan kepada Allah dan menjaga keadaan hati (Al Ahwaal). Sedangkan tingkah laku mereka adalah selalu menjaga keadaan-keadaan batin agar jangan sampai mengalami degradasi. Dan ilmu mereka adalah sesuai dengan yang diajarkan oleh para ulama.
Mereka tidak berkeinginan untuk menampakkan keadaan mereka yang sebenarnya. Tetapi mereka ingin selalu mendekatkan diri kepada Allah Taala dengan cara memberi wasiat yang baik kepada sesama manusia seperti bertaqwa kepada Allah. Mereka juga mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan banyak berzikir, memakai khirqoh (selendang yang biasanya dipakai oleh kaum sufi), berkhalwat (menghindarkan diri dari buruk tingkah laku untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala). juga dengan bermujahadah (memerangi hawa nafsu).
Selain itu, mereka juga sering mengikat tali persaudaraan kerana Allah Taala. Cara mereka dalam bermujahadah adalah dengan membersihkan hati mereka dari segala sesuatu yang tidak baik, mempersiapkan diri untuk mendapatkan kurniaan-kurniaan dari Allah Taala, dan selalu berjalan di atas jalan yang telah mendapat petunjuk.
Di antara mereka, para Saadatuna Ba’alawi di dalam jalan dakwah mereka untuk mengajak manusia menyesuaikan diri dengan jalan yang mereka jalani ialah dengan cara mengadakan majlis-majlis ilmu. Selain dari itu, ada di antara mereka yang melakukan cara bercampur-gaul dengan masyarakat sambil menyebarkan dakwah mereka dan memberi manfaat kepada masyarakat.
Mereka adalah suatu golongan yang siapapun bergaul atau berkumpul dengan mereka maka dia tidak akan tersesat atau merasa hina. Sedangkan orang yang memisahkan diri dari mereka baik orang tersebut dari golongan mereka atau tidak maka orang tersebut akan dikumpulkan nanti pada hari kiamat dengan orang yang mereka ikuti. Hal ini sesuai dengan hadith Nabi SAW bahawa seseorang akan dikumpulkan dengan orang yang dicintainya pada hari kiamat.
Oleh yang demikian, kamu akan menyaksikan amalan-amalan yang telah mereka lakukan seperti mengerjakan amalan yang wajib dan meninggalkan segala bentuk hal-hal yang diharamkan. Mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan seluruh perbuatan yang disunnahkan oleh agama serta menjauhkan diri dari perbuatan yang makruh menurut syariat.
Bahkan mereka meninggalkan mubah (hal-hal yang boleh dilakukan) tetapi di dalamnya masih mengandungi syahwat.
Mereka menghiasi diri mereka dengan budi pekerti dan sifat-sifat yang luhur. Mereka menghilangkan diri dari segala sifat-sifat buruk dan aniaya sehingga nampaklah dari mereka karamah seperti mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib dan sebagainya yang merupakan di luar jangkauan akal manusia biasa.
Sebenarnya mereka tidaklah menginginkan karamah yang luar biasa itu tampak dari mereka. Mereka merasa bahawa dengan beristiqamah dalam amalan mereka itu maka cukuplah hal itu adalah suatu karamah. Tetapi karamah mereka itu merupakan suatu bukti dari Allah Taala bahawa mereka inilah pewaris dan pengikut yang sempurna dari jejak Nabi Muhammad SAW.
Wahai saudaraku sekalian, berusahalah dengan sekuat tenagamu untuk berjalan di atas thariqah yang mulia ini, kerana sesungguhnya untuk mengikutinya dengan sempurna memang amat sulit bagi orang awam kecuali bagi orang-orang yang telah dikurniakan oleh Allah Taala seperti para Auliya yang tinggi kedudukannya di sisi Alla Taala, sepertimana Rasulullah SAW bersabda:“Luruskanlah, dekatilah, gembirakanlah (perkara dakwahmu) dan ketahuilah olehmu sekalian bahawa sesungguhnya seseorang tidak akan masuk syurga disebabkan oleh amalannya, begitu juga aku, kecuali orang-orang yang Allah kurniakan rahmat dan keampunan-Nya” (H.R Imam Ahmad)
Diriwayatkan di dalam hadith Bukhari dan Muslim dari Sayyidatina Aisyah r.a. berkata (mengenai hadith tersebut di atas) iaitu “Dekatilah”, bahawa Rasulullah SAW tidak mengatakan kira-kiralah, sempurnakanlah, selesaikanlah suatu urusan itu sampai pada puncaknya. Hal itu disebabkan oleh terbatasnya manusia dalam melaksanakan suatu amalan. Oleh sebab itu, seseorang apabila mendekati suatu urusan, maka bagaimanapun juga dia akan mendapatkan balasan dari urusan itu.
“Ya Allah, berilah kami taufiq untuk mendapatkan keredhaan-Mu, dan jadikanlah kami orang yang Engkau cintai, dan berilah kenikmatan dari curahan rahmat-Mu. Amin…”
Barangsiapa yang ingin mengetahui keadaan orang-orang yang mempunyai silsilah emas (para Wali Allah) maka bacalah bagian akhir dari kitab Asaasul Islam, dan barangsiapa yang ingin mengetahui riwayat hidup mereka, silakan membaca kitab Kanzil Baraahin dan Masyrour Rawy.
Berkata Sayyidina Syeikh Soleh Al-Ja’afari dalam sya’irnya: Sesungguhnya jalan yang benar sangatlah mudah untuk dilalui,oleh orang yang mendapatkan nur Ilahi dalam perbuatan dan perkataannya.Mereka melihat jalan lurus terbentang di hadapan matanya,yang tidak ada lagi jalan yang lebih benar dari jalan itu.Jalan itu tidak akan didapati hanya dengan mengingat dan berfikir,atau dengan ajakan dan mengikut hawa nafsu untuk saling berbantahan.Tidaklah para penyeru ke jalan ini mendapatkannya,kecuali dengan hati yang bersih dan menghapus segala yang merosakkannya…
Thariqah Alawiyyah adalah suatu thariqah yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam thariqah ini, mereka mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.
Penjelasan di atas dinukil dari buku Qutil Qulub, karya Abul Qosim Al-Qusyairy, dan dari beberapa kitab lain.
Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa thariqah As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan thariqah ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, thariqah ini dikenal sebagai thariqah yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya thariqah ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Thariqah Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, thariqah ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain itu, thariqah ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di jamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, thariqah ini mampu mengatasi tantangan jaman dan tetap eksis sampai saat ini.

Intisari Thariqah Alawiyyah
Kalam Al-Habib Muhammad bin Husin bin Ali Ba’bud
Sesungguhnya asas thariqah para salafunas sholihin dari Bani Alawy yaitu adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, dan yang menjadi bukti tentang itu semua adalah perjalanan hidup mereka yang diridhoi oleh Allah dan hal ihwal mereka yang terpuji. Secara garis besar, thariqah mereka itu adalah sebagai berikut :
·        Menjaga waktu-waktu yang diberikan Allah dan memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya
·        Selalu terikat dan hadir dalam majlis-majlis ilmu dan majlis yang bersifat dapat mengingatkan diri kepada Allah.
·        Berakhlak dengan adab-adab yang baik, menjauhi ketenaran, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, dan menghilangkan semua atribut kecuali atribut kebaikan.
·        Membiasakan diri dalam membaca dzikir terutama dzikir-dzikir Nabawiyyah sesuai dengan batas kemampuannya, seperti amalan-amalan dzikir yang disusun oleh Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad.
·        Ziarah kepada para ulama dan auliya baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal, selalu ingin bermaksud menghadiri perkumpulan-perkumpulan yang penuh dengan dzikir khususnya yang mengandung unsur mengingatkan diri kepada Allah, dan menghadirinya dengan penuh rasa husnudz dzon (berbaik sangka), dengan syarat bahwa perkumpulan-perkumpulan tersebut bebas dari perbuatan-perbuatan mungkar yang dipandang oleh agama.

Menyingkap sifat-sifat aimmah Thariqah Alawiyyah
Kalam Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas
Mereka salafunas sholeh lebih cenderung kepada merendahkan diri dengan hidup sederhana dan mereka puas dengan hal itu, padahal mereka adalah para aimmah (pemimpin) keluarga Bani Alawy. Mereka sebagai pemimpin thariqah ini lebih menyukai untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kepentingan orang lain sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak.
Telah berkata salah seorang ulama dari salafunas sholeh tentang keluarga Bani Alawy, “Banyak dari mereka yang menjadi ulama-ulama besar dan iImam sebagai panutan umat di jamannya. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang kita kenal sebagai seorang Wali Allah yang mempunyai karomah. Hati mereka itu tenggelam dalam lembah cinta kepada Allah SWT. Disamping itu mereka mempunyai perhatian yang besar sekali terhadap kitab-kitab karangan Al-Imam Al-Ghazaly, terutama kitab Ihya’, Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz. Lagipula tidak jarang dari mereka yang mencapai derajat Al-Huffadz (orang yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi SAW).”
Kalau kita teliti sejarah mereka, setiap orang dari aslafunas sholihin berkhidmat kepada orang-orang, makan bersama orang-orang miskin dan anak-anak yatim piatu. Bahkan mereka memikul hajat orang-orang miskin dari pasar, berjabat tangan kepada orang yang kaya dan yang miskin, para pejabat dan rakyat jelata. Oleh karenanya, berkata Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, “Barang siapa yang melihat salah seorang dari mereka, begitu menatap pandangannya kepada mereka, pasti akan merasa kagum akan keanggunan budi pekerti mereka.” Telah diuraikan oleh salah seorang ulama terkenal yaitu Al-Imam Ahmad bin Zain Alhabsyi bahwa dalam diri mereka keluarga Bani Alawy terdapat ilmu dhohir dan batin.
Dalam segi akidah, mereka tidak menyimpang walau seujung kaki semut pun dari akidah Asy’ariyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan bermadzhabkan Syafi’i. Mereka tidak terpengaruh oleh beraneka ragam bid’ah dan kerawanan lilitan harta duniawi. Itulah sebagian daripada sifat-sifat aimmah Bani Alawy dan masih banyak lagi sifat-sifat mereka jika kita mau meninjau jejak mereka dan

Anjuran Kepada Putra-putri Alawiyyin
Dari para leluhur yang saleh dan mulia, kita akan dibimbing kepada jalan yang penuh petunjuk dari Allah SWT. Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad Basaudan RA di dalam kitabnya Al-Futuuhah Al-Arsyiah, setelah menyebutkan beberapa kitab yang terkarang dimana disana disebutkan riwayat hidup para Saadah. Beliau berkata, “Pintasilah jalan yang penuh cahaya sebagaimana yang telah dipaparkan dalam kitab Ihya Ulumiddin, supaya anda tergolong dari orang-orang yang punya rasa malu, dan pintasilah jalan hidayat dengan mengamalkan apa yang ada didalam kitab Bidayatul Hidayah.”
Berkata Sayyiduna Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Ahmad bin Zein Alhabsyi, “Qodho (ketetapan) itu tidak dapat dipungkiri, dan syariat harus diikuti tanpa dikurangi dan ditambahi. Para imam kita keluarga Bani Alawy telah melintasi jalur yang mulus dan jalan yang lurus. Barangsiapa yang mencari aliran baru untuk dirinya sendiri atau untuk putra-putrrinya dengan cara tidak menempuh di jalan para datuk-datuknya yang saleh dan mulia, maka pada akhir umurnya ia akan menemui kekecewaan dan kebinasaan.”
Mereka itulah yang dikatakan sebagai golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dikategorikan pada golongan yang selamat bersama Nabi SAW. Mereka itulah orang-orang yang bakal mendapat syafaat beliau SAW.
Berkata Sayyiduna Al-Imam Al-Ahqof As-Sayyid Umar bin Saggaf Assaggaf kepada anaknya, “Aku berpesan kepadamu, hendaklah kau bersungguh-sungguh mengikuti perjalanan para Salafuna As-sholeh dari Ahlul Bait An-Nabawy, terlebih-lebih dari keluarga Bani Alawy. Bersungguh – sungguhlah dan bergiatlah dalam mengikuti perjalanan mereka niscaya kau akan sukses.

APA ITU SYI'AH?


APA ITU SYI'AH?


Syi'ah adalah kelompok aliran aqidah yang secara umum menyimpang dari aqodah Ahlussunnah wal jamaah. Di dalam tubuh syi'ah sendiri ada banyak sekte dan pecahan. Diantaranya yang paling terkenal adalah Syi'ah Imamiyah atau Syi'ah imam 12. Penyimpangan Aqidah Meski latar belakang awal mula berdirinya lebih merupakan masalah politis, namun pada perkembangan berikutnya, kelompok Syiah berkembang menjadi sebuah paham aqidah tersendiri yang menyimpang. Penyimpangan itu bila disimpulkan antara lain :
1.      Sekte Sabaisme dalam Syiah berkeyakinan bahwa Jibril salah menurunkan wahyu kepada Muhammad, seharusnya kepada Ali bin Abi Thalib.
2.      Mereka memiliki mushaf Al-Quran versi mereka sendiri yang isinya tidak sama dengan mushaf yang dikenal sekarang ini. Kulaini menjelaskan dalam bukunya "Al-Kafi" bahwa Ja'far Shodiq berkata,"Kami mempunyai mushaf Fathimah. Sebuah mushaf yang isinya seperti Al-Quran kalian 3 kali. Demi Allah, tidak ada satu huruf pun isinya dari Al-Quran kalian".
3.      Mereka meyakini bahwa imam mereka ada 12 dan semuanya memiliki mukjizat seperti Nabi dan telah diberi wasiat dan rahasia ajaran Islam. Sehingga mereka berhak menerangkan ajaran Islam yang orang lain tidak diberitahu menjadi rahasia mereka sendiri. Mereka yakin bahwa para imam itu dititipi ilmu oleh Rasulullah SAW untuk menyempurnakan syariat. Tidak ada perbedaan antara imam dengan Rasulullah SAW kecuali bahwa Rasulullah SAW menerima wahyu.
4.      Para imam itu diyakini berada pada derajat ma'shum yang tidak mungkin berdosa dan terpelihara dari segala kesalahan, kelalaian serta dosa-dosa baik besar atau kecil.
5.      Mereka meyakini bahwa imam mereka yang ke-12 sedang ghaibah (menghilang) ke dalam sebuah gua di Samara (surro man ra'a), sebuah kota kecil di Iraq dekat sungai Tigris utara Baghdad. Suatu hari nanti imam ke-12 itu akan muncul lagi (roj'ah). Karena itu sekarang setiap ba'da maghrib mereka rajin berdiri di pintu gua bahkan menyediakan sebuha kendaraan untuk pergi. Perbuatan ini terus berlangsung tiap malam. Harapan mereka imam itu akan datang untuk memenuhi keadilan sebagaiman bumi sedang dipenuhi dengan kekejaman dan kezoliman. Imam ke-12 ini juga akan melacak lawan-lawan syiah sepanjang sejarah.
6.      Dalam menyebarkan paham yang sesat seperti ini senjata andalan mereka adalah TAQIYAH, yaitu siasat berbohong dan menyembunyikan sementara inti ajaran mereka dan identitas aqidah mereka sehingga orang mengira apa yang mereka ajarkan itu sesuai dengan aqidah mereka sebelumnya. Saat orang-orang itu sudah percaya dan bertambah taat, baru identitas asli ajaran mereka dibenamkan. Karena itu semua fakta yang kami sampaikan disini pasti tidak ada satupun yang mereka akui. Mereka punya seribu satu macam cara untuk mengingkari fakta-fakta ini, karena mereka punya prinsip taqiyah. Sehingga orang-orang awam yang sebelumnya sudah paham tentang sesatnya syiah akan berbalik menjadi pembelanya. Senjata ini benar-benar ampuh untuk memperdaya generasi muda Islam yang ilmu sejarahnya dangkal dan wawasannya sempit.
7.      Salah satu daya tarik mereka untuk mencari pendukung adalah 'fasilitas' kawin mut'ah atau kawin kontrak. Hakikatnya tidak lebih dari pelacuran yang diberi kemasan agama. Dengan beragam dalih, mereka menghalalkan zina seperti ini. Memang sejarahnya, Rasulullah SAW pernah membolehkan nikah mut'ah, namun setelah itu dilarang secara total dan hukumnya dinasakh. Semua shahabat dan para ahli ilmu sepakat bahwa mut'ah itu telah diharamkan Allah selamanya. Oleh kelompok syiah, nikah seperti ini dibolehkan dan menjadi salah satu pesona dan daya tarik buat mereka yang suka zina.
8.      Mereka juga memiliki hari raya yang lebih mereka hormati dari Idul Fithri dan Idul Adha, yaitu hari raya Ghadir Khom. Selain itu mereka juga mengagungkan hari raya Nairuz, hari raya agama majusi penyembah api. Juga hari raya tanggal 9 Rabiul Awwal sebagai hari raya 'bapak' mereka, Abu Lu'lu'ah. Abu Lu'lu'ah adalah orang yang berhasil membunuh Umar bin Al-Khattab.
9.      Kebencian mereka kepada para sahabat Nabi dan mengatakan mereka berdosa telah merampas khilafah dari Ali bin Abi Thalib. Sebagian syiah malah mengkafirkan para shahabat Nabi radhiyallahu anhum. Sebaliknya mereka mengagungkan ahlul bait atau keluarga nabi. Ahlul bait ini adalah para shahabat nabi yang utama, tetapi oleh kelompok syiah ini, ahlul bait diseret-seret masuk dalam perangkap aqidah mereka, sehingga seolah-olah antara ahlul bait dengan shahabat yang lain ada pemisah dan permusuhan. Padahal di zaman para shahabat, syiah yang sesat seperti ini belum lagi muncul. Bahkan Hasan dan Husein serta Ali Zaenal Abidin yang sering mereka klaim sebagai imam mereka pun tidak tahu menahu dengan ulah syiah sesat ini. Syiah yang sesat ini baru muncul jauh di kemudian hari setelah generasi para shahabat dan sebagian tabi'in telah meninggal. Aktor intelektual di belakang syiah sesat ini tidak lain adalah Abdullah bin Saba' yang dalam sejarah otentik terbukti menjadi provokator di wilayah-wilayah Islam. Dia telah menyebarkan fitnah, berita bohong, kebencian kepada para shahabat serta paham yang merusak. Dia tidak lain adalah yahudi Yaman yang berpura-pura masuk Islam. Identitas keyahudiannya sangat menonjol ketika dia mengajarkan tentang imam yang akan muncul (raj'ah), tidak mati, menjadi raja di bumi, mengathui apa yang tidak diketahui orang dan lain-lain. Ini tidak lain berakar pada paham yahudi, agama yang dipeluknya masih diakuinya bahwa selama ini dia masih beragama yahudi. Ali bin Abi Thalib sendiri sebagai tokoh yang dijadikan umpan oleh Abdullah bin Saba' untuk memunculkan konflik di antara para shahabat, bukan tidak tahu ulahnya. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri yang berkehendak untuk membunuhnya. Namun atas nasehat dari Abdullah bin Abbas, musuh islam itu tidak jadi dibunuh namun di buang ke Madain. Sosok Abdulah bin Saba' oleh para pengikut fanatik syiah sering dikabur-kaburkan dan dengan segala argumentasi mereka mengatakan bahwa Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif serta sekedar tokokh rekaan musuh-musuh syiah. Padahal sejarah dunia telah mengenal sosok ini dengan beragam ulahnya meski mereka memungkiri dengan berbagai dalih.

7 PERTANYAAN SULIT BAGI ILMUWAN


7 PERTANYAAN SULIT BAGI ILMUWAN


Menurut laporan Inggris, seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan sosial masyarakat, orang-orang telah memiliki pengetahuan yang lebih dalam terhadap sejumlah besar hakekat hal ihwal. Namun terhadap sejumlah soal lainnya hingga sekarang para ilmuwan tetap masih belum dapat memberikan jawaban dan penjelasan. Seperti:

1. Apakah anjing memiliki rasa humor?
Ilmuwan meneliti inteligensi binatang, mereka semakin mengakui suatu pandangan demikian: perilaku binatang bukan hanya bereaksi secara insting, tapi suatu reaksi bawah sadar, substansi pemikiran mereka membuatnya memiliki kemampuan merasakan suka, marah, sedih dan gembira bahkan rasa humor melalui organ sensornya.
Misalnya peneliti telah mendapati, bahwa gajah dapat mengenali dirinya dalam cermin (banyak anak-anak yang belum tentu dapat berbuat seperti demikian) orang utan (atau mungkin sejumlah unggas) dapat belajar sejumlah bahasa tingkat permulaan serta membuat suatu peralatan yang rumit.
Bisa dibayangkan, jika burung dapat membuat cantolan (kait) dengan kawat listrik, untuk dipakai mengait makanan dari kaleng, maka bukankah sangat kejam kalau menggunakan mereka sebagai percobaan yang menyiksa?

2. Bagaimana asal muasal kehidupan?
Kalau anda ingin mempersulit seorang ahli biologi, anda cukup menanyakan bagaimana asal muasal kehidupan ini. Sejak 150 tahun silam, Darwin terus berpikir dan menurutnya bahwa segala kehidupan di atas bumi berasal dari “prebiotic soup”. Namun hingga sekarang, kita masih memikirkan asal muasal kehidupan ini.
Kita tidak tahu berbagai pengetahuan yang yang berhubungan dengan asal muasal kehidupan, misalnya bagaimana mulanya, darimana dan kapan kehidupan itu dimulai, serta apakah kehidupan itu mulai dari hidup hingga mati hanya sekali atau berlangsung berulang-kali dan sebagainya.
Sejumlah ilmuwan menduga, kehidupan berasal dari bawah tanah, atau di sekitar bibir semburan gunung berapi. Sedang para ilmuwan lainnya menduga, bahwa mikroba tunggal adalah nenek moyang segala makhluk hidup di bumi. Kurang lebih pada 3 milyar tahun silam, planet Mars kala itu hangat dan lembab, sedang bumi hanya sebuah padang pasir yang dingin, mikroba-mikroba tunggal ini terbang ke bumi seiring dengan hancuran ledakan batuan di planet Mars. Menurut pandangan ini, berarti kita semua adalah manusia dari planet Mars. Namun hingga saat ini, semua dugaan-dugaan ini belum pernah dibuktikan. Jadi tidak dapat meyakinkan orang. Asal mula kehidupan, besar kemungkinan merupakan misteri yang paling misterius di alam semesta.

3. Apakah reaksi batin hanya omong kosong?
Sebagian besar ilmuwan mengatakan tidak percaya dengan fenomena abnormal, sebab fenomena-fenomena ini menyalahi prinsip normal dan tidak dapat di jelaskan melalui percobaan. Namun apakah kita bisa mengatakan bahwa terapi kristal (menggunakan energi kristal agar “Medan magnetis organisme” tubuh manusia kembali dalam kondisi “seimbang” dan reaksi batin itu adalah omong kosong?)
“Fenomena abnormal” meliputi kekuatan Gamma (δ), “spiritual”, ocehan era baru (new century), ramalan bintang, ramalan kartu/tarot, para ilmuwan punya alasan menganggap bahwa fenomena abnormal adalah suatu ilmu pengetahuan gadungan. Namun ilmuwan justru sebaliknya, mereka cermat dan rasional dalam keilmuan, kerap mempublikasikan temuan riset terbaru mereka di majalah Science terkemuka.”
Namun ketika terapi kristal dan teknik ramalan bintang diyakini hanya sebagai suatu hiburan dan bukan ilmu pengetahuan, lalu bagaimana dengan reaksi batin, terapi akupungtur dan teknik hipnotis? ini masih perlu diteliti secara ilmiah. Dan sudah barang tentu, reaksi batin mungkin juga akan dibuktikan sebagai suatu berita burung, siapa tahu? tidak peduli bagaimana hasilnya, harus berusaha menemukan fakta yang sesungguhnya.

4. Apa waktu itu?
Jika anda ingin mempersulit seorang fisikawan, tanyakan padanya: “Apa itu waktu?” sebab, kita tidak akan tahu jawabannya.
Ada sebuah rumor yang mengatakan, waktu adalah senjata gaib alam yang menghalangi segala benda melakukan aktivitas secara bersamaan. Waktu bisa mendefinisi kehidupan kita, sebab kita mengandalkan waktu untuk mengukur hidup. Namun dalam hal apa itu waktu, kita sama seperti orang zaman dahulu, juga tidak tahu apa-apa. Dan sudah barang tentu, ini bukan berarti kita tidak tahu apa yang telah dilakukan waktu. Fisikawan seperti Einstain, dimana dalam hal karakteristik tentang waktu punya pandangan yang dalam. Jadi kita bisa memberi sebuah tanda pada waktu, kemudian masukkan waktu ke dalam persamaan yang tidak sama, sehingga dengan demikian kita bisa meneliti sejumlah besar fenomena dan menarik kesimpulan.
Akan tetapi, ini belum bisa memberi tahu kita sebenarnya apa itu waktu. Apakah merupakan sebuah “sungai” yang mengalir dari masa lampau ke masa depan? jika ya, lalu sungai apakah itu? Apa yang mendorongnya bergerak dan berdasarkan apa kecepatan arus sungai itu mengalir? jika waktu adalah sebuah sungai, apakah bisa mengalir ke atas menembus sungai ini? dan apakah kita bisa sepenuhnya menghentikan arus sungai yang mengalir ini?
Novelis fiksi mengatakan ini memungkinkan. Yang mengherankan kita adalah, fisikawan juga beranggapan seperti ini. Namun sebelum kami menciptakan sebuah mesin waktu, kami harus mengetahui betul terhadap waktu yang sukar di raba dan mudah lenyap dalam sekilas ini. Hingga terakhir nanti, kami akan menyingkap misteri-misteri yang misterius ini. Namun jika memang demikian, maka dipastikan akan muncul lebih banyak lagi misteri. Mungkin satu-satunya yang layak terhibur adalah, apabila kelak kita dapat menyingkap semua misteri, dan jika benar-benar terpecahkan, maka segalanya akan menjadi hambar.

5. Mengapa obesitas dari hari ke hari kian meningkat?
Pada 100 tahun silam, di dunia nyaris tidak ada satu pun kasus obesitas, selama 100 tahun itu, obesitas telah menjadi krisis yang tiada taranya dalam sejarah penyakit manusia. Jika dikalkulasi menurut situasi saat ini, kita akan semakin kelebihan berat badan.
Sebab obesitas sangat jelas: makan terlalu banyak, kurang olahraga. Namun kondisinya tidak sesederhana ini. Pertama jarang sekali yang mengetahui, di sejumlah besar negara “obesitas” di barat, misalnya Amerika Serikat, kalor yang dibuang orang-orang jauh lebih sedikit dibanding kalor yang dihabiskan orang-orang pada 50 tahun silam. Dibanding dengan orang-orang pada 1950 silam, kita jarang jalan kaki, yang menggantikannya adalah sejumlah besar kendaraan bermotor. Obesitas mulai tumbuh subur sejak 1980, dibandingkan ketika itu, olahraga yang sangat kurang dilakukan.
Sejumlah besar ilmuwan yakin, bahwa dibalik suburnya obesitas pasti terpendam sebuah misteri yang mendalam. Sejumlah ilmuwan pernah menuturkan, obesitas mungkin disebabkan oleh suatu virus, atau dapat dijelaskan dengan ilmu genetika.

6. Apakah manusia bisa awet muda?
Apa kita bisa awet muda? mungkin bisa, mungkin juga tidak. Mencegah penuaan merupakan salah satu hal yang paling tidak suka dibicarakan para ilmuwan, sebab ini dapat menimbulkan serangkaian masalah seperti moral dan logika atau hal-hal yang memusingkan kepala.
Pertama, pada kenyataannya kita tidak tahu apa sebenarnya penuaan itu. Dalam pandangan kita, ketika kita sudah tua, tubuh atau fisik juga akan dengan sendirinya ikut tua. Namun kenyataannya tidaklah demikian. 20 tahun pertama usia kehidupan kita, fisik kita dari hari ke hari semakin berisi dan kuat, fungsi tubuh kita kita kian hari semakin efektif, kemampuan melawan penyakit semakin kuat. Namun, mengapa di hari-hari selanjutnya (usia bertambah), semuanya menjadi sangat berlawanan?
Menurut teori evolusi penuaan, mengapa fungsi tubuh kita mulai mengalami penuaan adalah diperkirakan saat usia 30-50 tahun manusia akan mati karena kedinginan, kelaparan dan mati di mulut harimau buas dan sebagainya. Namun kalau kita tidak bisa hidup begitu lama, kita sama sekali tidak perlu evolusi, untuk menghadapi sakit saat tua nanti. Tetapi ini tidak bisa menjelaskan, dimana ketika kita menjadi tua, perubahan apakah yang telah mengubah “lonceng” gen, sehingga membuat kulit kita menjadi kering, rambut menjadi putih, tulang menjadi rapuh. Hanya setelah kita mengetahui betul apa yang menyebabkan perubahan ini baru memungkinkan mengambil langkah-langkah melawan penuaan.
Namun kita akan menghadapi satu masalah moral: apakah kita bersedia hidup di sebuah dunia yang manusianya tidak akan tua selamanya? atau dengan kata lain, apakah kita benar-benar bersedia hidup di dunia seperti itu jika hanya sejumlah kecil golongan elite masyarakat yang beruntung baru bisa menikmati perlakuan awet muda ini?

7. Semenit saya yang lalu apakah sama dengan saya sekarang ?
“Apakah saya masih sama seperti satu menit yang lalu?” ini kedengarannya seperti sebuah pertanyaan yang sangat aneh! Namun ini adalah satu soal yang paling memusingkan dalam segenap ilmu pengetahuan dan dunia filsafat. Yaitu soal pengakuan jati diri. Secara permukaan, jawabannya jelas adalah: “sudah pasti, saya adalah orang yang sama pada semenit yang lalu. Namun coba renungkan lagi sejenak.”
10 menit yang lalu, semua hal yang dilakukan setiap sel dalam otakmu sama sekali berbeda dengan hal yang dilakukan sel otak anda sekarang. Setiap berselang beberapa tahun, tubuh anda hampir sepenuhnya berganti sekali. Apakah dapat Cutty Sark dibuat kembali dengan kayu yang baru dan berbagai komponen baru itu, apakah akan sama persis dengan Cutty Sark yang berlayar di atas laut pada 150 tahun silam itu? Terhadap hal ini, jawaban teori pemurnian adalah: “Tidak”. Dengan begitu, anda bukan lagi anda dimasa kanak-kanak itu. Pertanyaan ini menunjukkan, bahwa pertimbangan kita terhadap individual selalu berkontradiksi dengan suasana nyata yang sedang terjadi. Dan bagaimana kita mengakui jati diri satu orang yang sama, apakah berdasarkan DNA atau sesuatu lainnya yang lebih samar-samar lagi?

3 Korban Tewas Ahmadiyah Su'ul Khatimah, Ini Dalilnya!

3 Korban Tewas Ahmadiyah Su'ul Khatimah, Ini Dalilnya!

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Bentrok berdarah antara warga muslim dengan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Ahad 6 Februari 2011 lalu menyisakan kontrofersi. Yaitu tentang status tiga orang anggota jemaat Ahmadiyah yang tewas dalam bentrokan tersebut karena membela keyakinannya, gugur mereka sebagai syahid ataukah tidak?
Menurut Juru Bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Zafrullah Ahmad Pontoh, tiga anggotanya yang tewas dalam penyerangan Ahad lalu, mati syahid. "Pemuda kami mati syahid, mereka mempertahankan aset Ahmadiyah," kata Zafrullah Pontoh, juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia, saat mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Selasa (8/2/11).
Sedangkan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengkategorikan ketiga jemaah Ahmadiyah tersebut mati syahid. Sebab, MUI berpendapat mereka tidak sedang berjuang membela agama Islam.
“Mereka tidak termasuk mati syahid. Karena orang yang mati syahid adalah orang yang berjuang di jalan Allah. Kalau mereka kan berjuang untuk Mirza Ghulam Ahmad,” kata Ketua MUI Ahmad Chalil Ridwan kepada okezone, Selasa (8/2/2011).
Keutamaan Mati Syahid
Syahid di medan jihad memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam. Al-Qur'an dan Sunnah telah banyak menyebutkan keutamaannya. Para sahabat dan ulama salaf telah berlomba untuk mendapatkannya.
Al-Qur'an menyebutkan bahwa kesyahidan merupakan anugerah nikmat dari Allah bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Anugerah ini menghantarkan pemiliknya kepada kesempurnaan hidup, keberuntungan dan kebahagiaan. Allah berfirman:

وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. Al Nisaa: 69)
Maksud syuhada' pada ayat di atas, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abdurrahman al-Sa'di, adalah orang-orang yang berperang fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, lalu mereka terbunuh. Kemudian di akhir ayat, Allah menyebutkan bahwa mereka adalah teman terbaik di surga bagi orang yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Orang yang mati syahid merupakan manusia yang paling tinggi kedudukannya. Pahala amalnya tetap mengalir sehingga ia dibangkitkan. Bau darahnya sewangi kesturi. Arwahnya ditempatkan di surga Firdaus yang tertinggi di dalam tembolok burung hijau. Baginya ada lentera-lentera yang tergantung di 'Arsy. Mereka bebas menikmati surga sekehendak mereka, kemudian singgah pada lentera-lentera itu. Kemudian Rabb mereka memperlihatkan diri kepada mereka dengan jelas, dan kemuliaan-kemuliaan lain bagi para syuhada’.
Apakah Mati di Atas Keyakinan Ahmadiyah Syahid?
Syahid adalah orang beriman yang berperang di bawah bendera Islam (di jalan Allah) untuk meninggikan kalimat-Nya sehingga dia gugur di tangan musuh atau meninggal karena penyakit dan lainnya dalam perjalan jihad fi sabilillah.
Kesyahidan dalam perjuangan fi sabilillah merupakan kesyahidan tertinggi. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan beberapa macam kesyahidan bagi umatnya. Dan menyebutkan pada urutan pertamanya, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid. Dan siapa yang meninggal di jalan Allah dia syahid. . . ” (HR. Muslim)
Mereka itulah yang disebut dengan syahid dunia-akhirat, yaitu: orang yang terbunuh dikarenakan berperang melawan orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah dengan tanpa nifak, riya’ (pamer), menilap ghanimah. Dan ini merupakan kesyahidan yang sempurna, kesyahidan paling mulia dan baginya pahala yang besar. (Lihat: al-Jihad Sabiluna, Abdul Baqi Ramdhun, hal. 155)
Syarat utama dari syahid ini adalah mereka yang berjuang di jalan Allah dan bertujuan untuk meninggikan kalimat-Nya. Dan ini merupakan syarat sahnya jihad yang bisa menghantarkan kepada kesyahidan. Ada seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menanyakan tentang orang yang berjihad di jalan Allah, lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Siapa yang  berperang dengan tujuan supaya kalimat Allah-lah yang tertinggi maka dia fi sabilillah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan jemaat Ahmadiyah yang berperang membela agama dan keyakinanya yang kufur, maka mereka bukan fi sabilillah. Tapi fi sabilit taghut (jalan taghut, yakni siapa yang melampaui batas). Maka dalil yang pantas untuk mereka adalah:
الَّذِينَ آَمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS. Al-Nisa’: 76)
Orang-orang beriman berperang dalam ketaatan kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Berperangnya mereka karena tuntutan iman dan pembelaan kepada keyakinannya. Sedangkan orang-orang kafir (di antaranya yang murtad seperti Ahmadiyah yang meyakini ada nabi sesudah Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam) berperang dalam rangka mentaati syetan yang menyeru untuk menyimpang dari jalan Islam. Maka berperangnya ini termasuk cabang kekufuran dan tuntutan dari kekufuran yang diyakininya.
Jemaat Ahmadiyah yang berperang membela agama dan keyakinanya yang kufur, maka mereka bukan fi sabilillah. Tapi fi sabilit taghut . . .
Perang mereka untuk membela keyakinan yang bertentangan dengan sharih nash Al-Qur’an dan sunnah yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah penutup para Nabi. Sedangkan siapa saja yang berkata ada Nabi sesudahnya, dia murtad (keluar) dari Islam. Karena berarti dia telah mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah shahih yang sangat jelas menerangkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam sebagai penutup para nabi. (Lebih lengkapnya silahkan baca: Ahmadiyah Murtad & Dimusuhi Karena Ajarkan Ada Nabi Lagi Sesudah Muhammad)
Menyimpang dari Akidah, Mati Su’ul Khatimah
Sebab utama seseorang mati su’ul khatimah (akhir hayat yang buruk) adalah karena rusaknya akidah. Siapa saja yang meyakini akidah yang berseberangan dengan akidah yang shahih, baik atas penalarannya sendiri atau mengambil dari orang yang berakidah batil, maka tetap berada dalam lingkup bahaya. Kezuhudan dan keshalihan tidak sedikitpun membawa manfaat baginya. Dan sesungguhnya yang bisa mendatangkan kebaikan pada dirinya adalah akidah yang benar, yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wasallam. Karena akidah dalam Islam tidak dianggap kecuali yang berasal dari keduanya.
Maka Jemaat Ahmadiyah yang memiliki keyakinan yang  berseberangan dengan akidah Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan keyakinan tersebut merupakan keyakinan pokok yang tidak boleh di tawar lagi, meninggalnya mereka itu seperti yang disebutkan oleh Allah Ta’ala,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
 Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Matinya tiga orang jemaat Ahmadiyah di Cikeusik bukan sebagai syahid, tapi su'ul khatimah... Karena mereka memiliki keyakinan yang  berseberangan dengan akidah Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan keyakinan tersebut merupakan keyakinan pokok yang tidak boleh di tawar lagi,
Kesimpulan
Perjuangan jemaat Ahmadiyah bukan fi sabilillah, tapi fi sabilit taghut. Karenanya tewasnya tiga jemaat Ahmadiyah dalam bentrokan berdarah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, Ahad (6/2/11) lalu bukan sebagai syahid.
Maka sangat tepat pernyataan yang dikeluarkan oleh ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Chalil Ridwan: “Mereka tidak termasuk mati syahid. Karena orang yang mati syahid adalah orang yang berjuang di jalan Allah. Kalau mereka kan berjuang untuk Mirza Ghulam Ahmad.”
Gelar yang pantas untuk mereka adalah su’ul khatimah, karena mereka meninggal di atas  keyakinan yang batil yang mengeluarkan dari Islam. Mereka meyakini ada nabi (yakni Mirya Ghulam Ahmad) sesudah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Padahal Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan jelas menerangkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah nabi terakhir, tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. Wallahu Ta’ala a’lam. . . [PurWD/voa-islam.com]

MANTAN PENDETA ROMA MENJADI AHLUS SUNNAH


MANTAN PENDETA ROMA MENJADI AHLUS SUNNAH


Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti sunnahnya dan menjadikan ajarannya sebagai petunjuk sampai hari kiamat.
Sejarah Islam, baik yang dulu maupun sekarang senantiasa menceritakan kepada kita, contoh-contoh indah dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk, mereka memiliki semangat yang begitu tinggi dalam mencari agama yang benar. Untuk itulah, mereka mencurahkan segenap jiwa dan mengorbankan milik mereka yang berharga, sehingga mereka dijadikan permisalan, dan sebagai bukti bagi Allah atas makhluk-Nya.
Sesungguhnya siapa saja yang bersegera mencari kebenaran, berlandaskan keikhlasan karena Allah Ta’aala, pasti Dia ‘Azza Wa Jalla akan menunjukinya kepada kebenaran tersebut, dan akan dianugerahkan kepadanya nikmat terbesar di alam nyata ini, yaitu kenikmatan Islam. Semoga Allah merahmati syaikh kami al-Albani yang sering mengulang-ngulangi perkataan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اْلإِسْلاَمِ وَالسُنَّةِ
Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan as-Sunnah
Di antara kalimat mutiara ulama salaf adalah:
إِنَّ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى اْلأَعْجَمِيِّ وَ الشَابِ إِذَا نَسَكَ أَنْ يُوَافِيَ صَاحِبَ سُنَّةٍ فَيَحْمِلَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya diantara nikmat Allah atas orang ‘ajam dan pemuda adalah, ketika dia beribadah bertemu dengan pengibar sunnah, kemudian dia membimbingnya kepada sunnah Rasulullah.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya
Inilah kalimat tauhid, kalimat yang baik, kunci surga. Kalimat inilah stasiun pertama dari jalan panjang yang penuh dengan onak dan duri, kalimat taqwa bukanlah kalimat yang mudah bagi seorang insan yang ingin menggerakkan lisannya untuk mengucapkannya, demikian juga ketika dia ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam. Karena, ketika seorang insan ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam, maka dia harus mengetahui terlebih dahulu, bahwa kalimat itu keluar dengan seizin Allah Ta’aala.
Demikianlah yang dialami oleh Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, meluruskannya diatas jalan keistiqomahan, serta menutup lembaran hidupnya diatas Islam-.
Inilah dia yang akan menceritakan kepada kita, bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya (Nashrani) menuju Islam, dan bagaimana dia telah mengorbankan kekayaan ayahnya serta kemewahan hidupnya, di suatu jalan (hakekat terbesar), demi mencari kebebasan akal dan jiwa.
Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, dan mengokohkannya diatas jalan keistiqomahan- menceritakan:
Saya adalah seorang lelaki dari keluarga Roma, seorang anak dari keluarga kaya, semasa kecil, saya hidup dengan kemewahan dan kemakmuran. Demikianlah, kulalui masa kecilku. Ketika masa remajapun, saya banyak menghabiskan waktu dengan kemewahan bersama teman-temanku, ketika itu saya memiliki sebuah mobil mewah dan uang, sehingga saya bisa memiliki segala sesuatu dan tidak pernah kekurangan.
Akan tetapi sejak kecil, saya senantiasa merasa bahwa dalam kehidupan ini ada yang kurang, dan saya yakin bahwa ada sesuatu yang salah di dalam hidupku, serta suatu kekosongan yang harus kupenuhi, karena semua sarana kehidupan ini bukanlah tujuanku. Saya mulai tertarik dengan agama, dan mulailah kubaca Injil, pergi ke gereja, serta kusibukkan diriku dengan membaca buku-buku agama Kristen. Dari buku-buku yang kubaca tersebut, mulai kudapatkan sebagian jawaban atas berbagai pertanyaanku, akan tetapi tetap saja belum sempurna.
Dahulu saya bangun pagi setiap hari dan pergi ke pantai, saya merenungi laut sambil membaca buku-buku dan shalat. Setelah dua bulan dari permulaan hidupku ini, saya merasa mantap bahwa saya tidak mampu terus menerus menjalani hidupku seperti biasanya setelah beragama, ketika itu, saya mendatangi ayahku dan kukabarkan kepadanya bahwa saya tidak bisa melanjutkan bekerja dengannya, saya juga pergi mendatangi ibu dan saudari-saudariku dan kukabarkan kepada mereka bahwa saya telah mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka.
Kemudian kusiapkan tasku lalu naik kereta tanpa kuketahui ke mana saya hendak pergi, hingga saya tiba di kota Polon, kemudian saya masuk ke ad-dir (Istilah untuk gereja yang terpencil dipedalaman. – pent.) disana, lalu naik gunung yang tinggi. Saya menetap di gunung selama kira-kira sebulan, saya tidak berbicara dengan siapapun, saya hanya membaca dan beribadah.
Sekitar tiga tahun, saya senantiasa berpindah-pindah dari satu ad-dir ke ad-dir yang lain, saya membaca dan beribadah, kebalikannya para pendeta yang tidak bisa meninggalkan ad-dir mereka, karena saya tidak pernah memberikan janji untuk menjadi seorang pendeta di suatu ad-dir tertentu, dan janji tersebut akan menghalangiku untuk keluar masuk darinya.
Setelah itu, saya memutuskan untuk berkeliling ke pelbagai negeri, maka saya memulai perjalanan panjangku dari Italia melalui Slovania, Hungaria, Nimsa, Romania, Bulgaria, Turki, Iran, Pakistan, dari sana menuju India. Semua perjalanan ini saya tempuh melalui jalur darat. Saya mendengar suara adzan di Turki, dan saya sudah pernah mendengarnya di Kairo (Mesir) pada perjalananku sebelumnya, akan tetapi kali ini sangat berkesan, sehingga saya mencintainya.
Dalam perjalanan pulang, saya bertemu dengan seorang muslim Syi’ah di perbatasan Iran dan Pakistan, dia dan temannya menjamuku dan mulai menjelaskan kepadaku tentang Islam versi Syi’ah, keduanya menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak menjelaskan kepadaku tentang Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka menfokuskan pada ajaran Syi’ah dan Imam Ali z, serta tentang penantian mereka terhadap seorang Imam yang ikhlas, yang akan datang untuk membebaskan manusia.
Semua diskusi tesebut sama sekali tidak menarik perhatianku, dan saya belum mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaanku dalam rangka mencari hakekat kebenaran. Orang Syi’ah itu menawarkan kepadaku untuk mempelajari Islam di kota Qum, Iran, selama tiga bulan tanpa dipungut biaya, akan tetapi saya memilih untuk melanjutkan perjalananku dan kutinggalkan mereka.
Kemudian saya menuju India, dan ketika saya turun dari kereta, pertama yang kulihat adalah manusia yang membawa kendi-kendi di pagi hari sekali dengan berlari-lari kecil menuju ke dalam kota, maka kuikuti mereka dan saya melihat mereka berthowaf mengelilingi sapi betina yang terbuat dari emas, ketika itu saya sadar bahwa India bukanlah tempat yang kucari.
Setelah itu, saya kembali ke Italia dan dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh, hampir saja saya meninggal dikarenakan penyakit yang saya derita ketika di India, akan tetapi Allah telah menyelamatkanku. Alhamdulillah.
Saya keluar dari rumah sakit menuju rumah, dan mulailah saya berfikir tentang langkah-langkah yang akan saya ambil setelah perjalanan panjang ini, maka saya memutuskan untuk terus dalam jalanku mencari hakekat kebenaran. Saya kembali ke ad-dir dan mulailah kujalani kehidupan seorang pendeta di sebuah ad-dir di Roma. Pada waktu itu saya telah diminta oleh para pembesar pendeta disana untuk memberikan kalimat dan janji. Pada malam itu, saya berfikir panjang, dan keesokan harinya saya memutuskan untuk tidak memberikan janji kepada mereka lalu kutinggalkan ad-dir tersebut.
Saya merasa ada sesuatu yang mendorongku untuk keluar dari ad-dir, setelah itu saya menuju al-Quds karena saya beriman akan kesuciannya. Maka mulailah saya berpergian menuju al-Quds melalui jalur darat melewati berbagai negeri, sampai akhirnya saya tiba di Siria, Lebanon, Oman, dan al-Quds, saya tinggal disana seminggu, kemudian saya kembali ke Italia, maka bertambahlah pertanyaan-pertanyaanku, saya kembali ke rumah lalu kubuka Injil.
Pada kesempatan ini, saya merasa berkewajiban untuk membaca Injil dari permulaannya, maka saya memulai dari Taurat, menelusuri kisah-kisah para nabi bani Israel. Pada tahap ini mulai nampak jelas di dalam diriku makna-makna kerasulan hakiki yang Allah mengutus kepadanya, mulailah saya merasakannya, sehingga muncullah berbagai pertanyaan yang belum saya dapatkan jawabannya, saya berusaha menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut dari perpustakaanku yang penuh dengan buku-buku tentang Injil dan Taurat.
Pada saat itu, saya teringat suara adzan yang pernah kudengar ketika berkeliling ke berbagai negeri serta pengetahuanku bahwa kaum muslimin beriman terhadap Tuhan yang satu, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Dan inilah yang dulu saya yakini, maka saya berkomitmen : Saya harus berkenalan dengan Islam, kemudian mulailah kukumpulkan buku-buku tentang Islam, diantara yang saya miliki adalah terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah saya beli ketika berkeliling ke berbagai negeri.
Setelah kutelaah buku-buku tersebut, saya berkesimpulan bahwa Islam tidak seperti yang dipahami oleh mayoritas orang-orang barat, yaitu sebagai agama pembunuh, perampok dan teroris akan tetapi yang saya dapati adalah Islam itu agama kasih sayang dan petunjuk, serta sangat dekat dengan makna hakiki dari Taurat dan Injil.
Kemudian saya putuskan untuk kembali ke al-Quds, karena saya yakin bahwa al-Quds adalah tempat turunnya kerasulan terdahulu, akan tetapi kali ini saya menaiki pesawat terbang dari Italia menuju al-Quds. Saya turun di tempat turunnya para pendeta dan peziarah dibawah panduan hause bus Armenia di daerah negeri kuno. Di dalam tasku, saya tidak membawa sesuatu kecuali sedikit pakaian, terjemahan al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kemudian saya mulai membaca lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi, saya membandingkan kandungan al-Qur’an dengan isi Taurat dan Injil, sehingga saya berkesimpulan bahwa kandungan al-Qur’an sangat dekat dengan ajaran Musa dan Isa ‘alaihimassalaam yang asli.
Selanjutnya saya mulai berdialog dengan kaum muslimin untuk menanyakan kepada mereka tentang Islam, sampai akhirnya saya bertemu dengan sahabatku yang mulia Wasiim Hujair, kami berbincang-bincang tentang Islam. Saya juga banyak bertemu dengan teman-teman, mereka menjelaskan kepada saya tentang Islam. Setelah itu, saudara Wasiim mengatakan kepadaku bahwa dia akan mengadakan suatu pertemuan antara saya dengan salah seorang dari teman-temannya para da’i.
Pertemuan itu berlangsung dengan saudara yang mulia Amjad Salhub, kemudian terjadilah perbincangan yang bagus tentang agama Islam. Diantara perkara yang paling mempengaruhiku adalah kisah sabahat yang mulia, Salman al-Farisi z, karena di dalamnya ada kemiripan dengan ceritaku tentang pencarian hakekat kebenaran.
Kami berkumpul lagi dalam pertemuan yang lain dengan saudara Amjad beserta teman-temannya, diantaranya fadhilatusy Syaikh Hisyam al-‘Arif –hafidhohulloh-, maka berlangsunglah dialog tentang Islam dan keagungannya, kebetulan ketika itu saya memiliki beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syaikh.
Setelah itu, saya terus menerus berkomunikasi dengan saudara Amjad yang dengan sabar menjelaskan jawaban atas mayoritas pertanyaan-pertanyaanku. Pada saat seperti itu di depan saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti kebenaran atau menolaknya, dan saya sama sekali tidak sanggup menolak kebenaran tersebut setelah saya meyakini bahwa Islam adalah jalan yang benar.
Pada saat itu juga, saya merasakan bahwa waktu untuk mengucapkan kalimat tauhid dan syahadat telah tiba. Ternyata tiba-tiba saudara Amjad mendatangiku bertepatan dengan waktu dikumandangkannya adzan untuk shalat dhuhur. Waktu itu benar-benar telah tiba, sehingga tiada pilihan bagiku kecuali saya mengucapkan :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya
Maka serta merta saudara Amjad memelukku dengan pelukan yang ramah, seraya memberikan ucapan selamat atas keIslamanku, kemudian kami sujud syukur sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah atas anugerah nikmat ini. Kemudian saya diminta mandi ([1] Sebagaimana hadits Qoish bin ‘Ashim, Ketika beliau masuk Islam, Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air yang dicampur bidara. (HR. An-Nasai, at-Turmudzi dan Abu Daud. Dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwaa’ (128).)) dan berangkat ke al-Masjid al-Aqsho untuk menunaikan shalat dhuhur,
Di tempat tersebut setelah shalat, saya menemui jamaah shalat dengan syahadat, yaitu persaksian kebenaran dan tauhid yang telah Allah anugerahkan kepadaku. Setelah saya mengetahui bahwa siapa saja yang masuk Islam wajib baginya berkhitan, maka segala puji dan anugerah milik Allah, saya tunaikan kewajiban berkhitan tersebut sebagai bentuk meneladani bapaknya para nabi, yaitu Ibrahim q yang melakukan khitan pada usia 80 tahun (Sebagaimana Rasulullah n bersabda : Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “al-Qoduum” (nama alat atau tempat).( HR. Al-Bukhori (3356) dan Muslim (2370).)).
Itulah diriku, saya telah memulai hidup baru dibawah naungan agama kebenaran, agama yang penuh dengan kasih sayang dan cahaya. Saya senantiasa menuntut ilmu agama dari kitab Allah Ta’aala dan sunnah Rasulullah n sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu) umat ini, dari kalangan para sahabat g beserta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Segala puji bagi Allah atas anugerah Islam dan as-Sunnah.

Dialihbahasakan oleh Abu Zahro Imam Wahyudi Lc. dari majalah ad-Da’wah as-Salafiyah-Palestina edisi perdana, Muharram 1427 H halaman: 21-24.

Wilayah Bukan Imamah

Wilayah Bukan Imamah


Submitted by forsan salaf on Saturday, 12 June 201058 Comments

singgasanaAllah SWT berfirman :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) [المائدة/55

Artinya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Syubhat

Sebagian golongan mengklaim ayat tersebut sebagai bukti kuat mengenai hak Imam Ali untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasul SAW, sekaligus bukti bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak syah dalam pandangan syariat. Mereka mengatakan bahwa Wali dalam ayat diatas semestinya diartikan dengan penguasa/pemimpin, dan yang dimaksud dengan :
وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

(Orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, seraya menunaikan zakat, seraya mereka rukuk)

adalah Imam Ali seorang. Karena mereka mengartikan kalimat وَهُمْ رَاكِعُونَ dengan “menunaikan zakat ketika rukuk”. Jika demikian, arti ayat tersebut menjadi :

“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat ketika rukuk (yaitu Imam Ali).”

Menurut mereka, Ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini turun khusus mengenai Imam Ali, yaitu berkenaan dengan sedekah cincin yang dilakukan Imam Ali kepada seorang pengemis ketika beliau sedang rukuk dalam sholatnya. Kemudian, karena lafadz إِنَّمَا dalam bahasa arab berfaedah hashr (membatasi), berarti ayat tersebut intinya menegaskan bahwa pemimpin orang-orang mukmin hanya Allah, Rasul-Nya, dan Imam Ali saja. Dengan demikian secara otomatis pemimpin yang selainnya (seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak syah menurut syariat.
Kalangan ahlussunnah wal jamaah menjawab :

Sebab turun ayat

Pernyataan bahwa ulama bersepakat mengenai sebab turun ayat ini merupakan pernyataan yang tidak objektif dan penuh dengan hawa kefanatikan. Nyatanya, kitab-kitab tafsir penuh dengan komentar beragam para ulama tafsir mengenai sebab turun ayat ini. Sebagian ahli tafsir berpendapat ayat ini turun mengenai Abdullah bin Salam (mu`alaf yahudi) yang mengeluh pada Rasul mengenai rasa kesepian karena dikucilkan kaumnya(1). Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar(2). Dari Ibnu Abbas sendiri terdapat dua riwayat, yang pertama menyatakan ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali(3), sedangkan riwayat kedua menyebutkan sebab turun ayat ini adalah Ubadah bin Shomit, ketika beliau membatalkan ikatan persekutuan dengan Yahudi(4),.

Kalaupun kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun mengenai Imam Ali, itu tidak berarti hukum ayat ini khusus bagi Imam Ali. Karena yang digunakan dalam ayat ini adalah ungkapan untuk orang banyak (shigoh jamak/plural) bukan ungkapan untuk satu orang (single). Ungkapannya yaitu, “ orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” Dalam kaidah tafsir disebutkan, yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab(5). Jadi, semua orang mukmin yang memiliki sifat sesuai dengan apa yang disebut ayat diatas layak untuk dimasukkan dalam kategori Wali, tidak hanya Imam Ali seorang. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Imam Abu Ja`far, Muhammad Al Bagir ( Tokoh Tabi`in yang diagungkan Ahlu Sunnah maupun Syiah) ketika beliau ditanyakan mengenai ayat ini, apakah ayat ini khusus turun mengenai Imam Ali, Beliau menjawab “Ali adalah salah seorang dari orang-orang mukmin”(6). Maksudnya, yang dimaksud wali dalam ayat tersebut adalah setiap mukmin yang sifatnya sesuai dengan apa yang disebutkan dalamnya, dan Imam Ali termasuk salah satunya.

Makna Wali

Lafadz وَلِيُّ memiliki banyak makna, seperti : tuan, hamba, anak paman, penolong, teman, kekasih, pemimpin, dan lain-lain(7). Akan tetapi, makna Wali yang paling umum ada tiga, yaitu penolong, kekasih, dan pemimpin. Kemudian, dari ketiga makna tersebut, yang paling sesuai dengan ayat di atas adalah penolong bukan pemimpin. Hal ini ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:

1. Jika kita memperhatikan ayat-ayat yang ada sebelum dan sesudah ayat ini, kita akan menemukan dalam kedua ayat tersebut juga disebutkan lafadz Wali atau lebih tepatnya Auliya (bentuk majemuk dari kata wali), kedua ayat tersebut adalah:

*
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ ...[المائدة/51

*
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ... [المائدة/57

Dalam kitab-kitab tafsir, lafadz Wali pada kedua ayat tersebut diartikan dengan penolong (sekutu), bukan pemimpin(8). Lantas, jika kita artikan Wali dalam ayat ini dengan Pemimpin, maka kita akan menemukan kerancuan makna ketika ayat ini disandingkan dengan ayat yang ada sebelum dan sesudahnya. Tentunya ini adalah hal yang tidak layak dalam Al-Quran. Berbeda halnya jika kita mengartikannya dengan penolong, maka semua makna potongan ayat- ayat tersebut akan saling menyatu dan melengkapi.

2. Ayat ini menetapkan status kewalian bagi mereka yang disebutkan didalamnya secara langsung tanpa tenggat waktu. Maksudnya begitu ayat ini turun, di saat itu juga status mereka adalah Wali(9). Andai kita artikan Wali sebagai pemimpin, berarti ayat ini akan memiliki makna, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan orang-orang yang beriman...”. Adalah hal yang tidak mungkin orang-orang beriman yang jumlahnya begitu banyak, semuanya menjadi pemimpin bersama-sama dalam satu waktu, anda bisa bayangkan seberapa kacau kesudahannya. Begitu juga jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang beriman adalah Imam Ali seorang--sebagaimana yang mereka yakini. Kalau demikian, maka maksud ayat ini akan menjadi seperti ini, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan Ali”, ini juga tidak tepat karena itu artinya Imam Ali berhak untuk mengatur umat, bersama-sama dengan Rasul saat Rasul masih hidup, padahal kenyataanya, Imam Ali di masa hidup Rasul sama sekali tidak pernah turut campur dalam memerintah umat kecuali sebagai suruhan Rasul(10). Berbeda jika kita artikan wali dengan penolong, maka makna ayat ini akan menjadi jelas tanpa ada kemusykilan.

3. Maksud mereka untuk menjadikan ayat ini sebagai hujjah mengenai hak Imam Ali menjadi khalifah Rasul, tidak akan terealisasikan kecuali jika lafadz إِنَّمَا berfaidah hashr haqiqi (membatasi). kalau lafadz tersebut berfaidah hashr maka arti ayat ini adalah, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanya Allah, Rasul Nya, dan Imam Ali saja”.(tak ada yang lain)

Jika Syiah konsisten dengan pendapatnya ini, seharusnya mereka tidak mengambil imam lain selain Imam Ali. Faktanya, Syiah memiliki sebelas imam lain yang dianggap ma’sum selain Imam Ali.

Andai kita mau meninggalkan kefanatikan, lalu merenungkan dengan objektif mengenai ayat ini beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, akan semakin jelas bagi kita bahwa ayat ini tidak mengarah pada penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah, bahkan tidak ada kaitanya sama sekali dengan kekhalifahan. Jadi, menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk mengingkari kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman merupakan kekeliruan yang besar.

Referensi

(1)تفسير الجلالين - (ج 2 / ص 223(

ونزل لما قال ابن سلام يا رسول الله إن قومنا هجرونا { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله وَرَسُولُهُ والذين ءامَنُواْ الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة وَهُمْ رَاكِعُونَ } خاشعون أو يصلون صلاة التطوّع
(3),(2)تفسير الرازي - (ج 6 / ص 87)

القول الثاني : أن المراد من هذه الآية شخص معين ، وعلى هذا ففيه أقوال : روى عكرمة أن هذه الآية نزلت في أبي بكر رضي الله عنه . والثاني : روى عطاء عن ابن عباس أنها نزلت في علي بن أبي طالب عليه السلام

(4)تفسير الخازن - (ج 2 / ص 302)

قوله تعالى : { إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا } قال ابن عباس : نزلت هذه الآية فى عبادة بن الصامت حين تبرأ من موالاة اليهود وقال : أوالي الله ورسوله والمؤمنين يعني أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم وقال جابر بن عبد الله : نزلت فى عبد الله بن سلام وذلك أنه جاء إلى محمد صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن قومنا قريظة والنضير قد هجرونا وفارقونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، فنزلت هذه الآية ، فقرأ : عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال عبد الله بن سلام :
رضينا بالله ربّاً وبرسوله نبياً وبالمؤمنين أولياء .

(5)تفسير الصاوي (ج1/ص383-384)
قوله: (انما وليكم) الخطاب لعبد الله بن سلام و اتباعه الذين هداهم الله الى الاسلام, فلما نزلت هذه الاية, قال عبد الله بن سالام: رضينا بالله ربا, و برسول الله نبيا, و بالمؤمنين اولياء, و العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب, فكل من انتسب لله فهو وليه....
تفسير الرازي - (ج 6 / ص 87)

المسألة الأولى : في قوله { والذين ءامَنُواْ } قولان : الأول : أن المراد عامة المؤمنين ، وذلك لأن عبادة بن الصامت لما تبرأ من اليهود وقال : أنا بريء إلى الله من حلف قريظة والنضير ، وأتولى الله ورسوله نزلت هذه الآية على وفق قوله . وروي أيضاً أن عبدالله بن سلام قال : يا رسول الله إن قومنا قد هجرونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، ولا نستطيع مجالسة أصحابك لبعد المنازل ، فنزلت هذه الآية ، فقال رضينا بالله ورسوله وبالمؤمنين أولياء ، فعلى هذا : الآية عامة في حق كل المؤمنين ، فكل من كان مؤمناً فهو ولي كل المؤمنين ، ونظيره قوله تعالى : { والمؤمنون والمؤمنات بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ } [ التوبة : 71 ] وعلى هذا فقوله { الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة } صفة لكل المؤمنين…

(6) تفسير البغوي – (ج 3 / ص 73)

وقال جوبير عن الضحاك في قوله: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } قال: هم المؤمنون بعضهم أولياء بعض، وقال أبو جعفر محمد بن علي الباقر: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } نزلت في المؤمنين، فقيل له: إن أناسا يقولون إنها نزلت في علي رضي الله عنه، فقال: هو من المؤمنين .

(7)المصباح المنير في غريب الشرح الكبير – (ج 10 / ص 453)

وَالْوَلِيُّ فَعِيلٌ بِمَعْنَى فَاعِلٍ مِنْ وَلِيَهُ إذَا قَامَ بِهِ وَمِنْهُ { اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا } وَالْجَمْعُ أَوْلِيَاءُ قَالَ ابْنُ فَارِسٍ وَكُلُّ مَنْ وَلِيَ أَمْرَ أَحَدٍ فَهُوَ وَلِيُّهُ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَلِيُّ أَيْضًا عَلَى الْمُعْتِقِ وَالْعَتِيقِ وَابْنِ الْعَمِّ وَالنَّاصِرِ وَحَافِظِ النَّسَبِ وَالصَّدِيقِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَقَدْ يُؤَنَّثُ بِالْهَاءِ فَيُقَالُ هِيَ وَلِيَّةٌ قَالَ أَبُو زَيْدٍ سَمِعْتُ بَعْضَ بَنِي عُقَيْلٍ يَقُولُ هُنَّ وَلِيَّاتُ اللَّهِ وَعَدُوَّاتُ اللَّهِ وَأَوْلِيَاؤُهُ وَأَعْدَاؤُهُ وَيَكُونُ الْوَلِيُّ بِمَعْنَى مَفْعُولٍ فِي حَقِّ الْمُطِيعِ فَيُقَالُ الْمُؤْمِنُ وَلِيُّ اللَّهِ وَفُلَانٌ أَوْلَى بِكَذَا أَيْ أَحَقُّ بِهِ وَهُمْ الْأَوْلَوْنَ بِفَتْحِ اللَّامِ وَالْأَوَالِي مِثْلُ الْأَعْلَوْنَ وَالْأَعَالِي وَفُلَانَةُ هِيَ الْوُلْيَا وَهُنَّ الْوُلَى مِثْلُ الْفُضْلَى وَالْفُضَلُ وَالْكُبْرَى وَالْكُبَرِ وَرُبَّمَا جُمِعَتْ بِالْأَلِفِ وَالتَّاءِ فَقِيلَ الْوَلِيَّاتُ وَوَلَّيْتُ عَنْهُ أَعْرَضْتُ وَتَرَكْتُهُ وَتَوَلَّى أَعْرَضَ .
تفسير البغوي – (ج 7 / ص 173(
(32) وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33(
} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ } تقول لهم الملائكة الذين تنزل عليهم بالبشارة: نحن أولياؤكم أنصاركم وأحباؤكم،
تفسير الطبري – (ج 14 / ص 84)

القول في تأويل قوله : { وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (73) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره:(والذين كفروا)، بالله ورسوله =(بعضهم أولياء بعض)، يقول: بعضهم أعوان بعض وأنصاره، وأحق به من المؤمنين بالله ورسوله.

تفسير الطبري – (ج 14 / ص 347)

القول في تأويل قوله : { وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (71) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: وأما “المؤمنون والمؤمنات”، وهم المصدقون بالله ورسوله وآيات كتابه، فإن صفتهم: أن بعضهم أنصارُ بعض وأعوانهم ….
القاموس المحيط – (ج 3 / ص 486(
ي الوَلْيُ القُرْبُ، والدُّنُوُّ، والمَطَرُ بعدَ المَطَرِ، وُلِيَتِ الأرضُ، بالضم. والوَلِيُّ الاسمُ منه، والمُحِبُّ، والصَّدِيقُ، والنَّصيرُ. ووَلِيَ الشيءَ، و عليه وِلايَةً وَوَلايَةً، أَو هي المَصْدَرُ، وبالكسر الخُطَّةُ، والإِمارَةُ، والسُّلطانُ. ….
(8) تفسير الرازي – (ج 6 / ص 89)

أن اللائق بما قبل هذه الآية وبما بعدها ليس إلا هذا المعنى ، أما ما قبل هذه لآية فلأنه تعالى قال : { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ اليهود والنصارى أَوْلِيَاء } [ المائدة : 51 ] وليس المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أئمة متصرفين في أرواحكم وأموالكم لأن بطلان هذا كالمعلوم بالضرورة ، بل المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أحباباً وأنصاراً ، ولا تخالطوهم ولا تعاضدوهم ، ثم لما بالغ في النهي عن ذلك قال : إنما وليكم الله ورسوله والمؤمنون والموصوفون ، والظاهر أن الولاية المأمور بها ههنا هي المنهي عنها فيما قبل ، ولما كانت الولاية المنهي عنها فيما قبل هي الولاية بمعنى النصرة كانت الولاية المأمور بها هي الولاية بمعنى النصرة ، وأما ما بعد هذه الآية فهي قوله { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الذين اتخذوا دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مّنَ الذين أُوتُواْ الكتاب مِن قَبْلِكُمْ والكفار أَوْلِيَاء واتقوا الله إِن كُنتُم مؤمنين } [ المائدة : 57 ] فأعاد النهي عن اتخاذ اليهود والنصارى والكفار أولياء ، ولا شك أن الولاية المنهي عنها هي الولاية بمعنى النصرة ، فكذلك الولاية في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } يجب أن تكون هي بمعنى النصرة ، وكل من أنصف وترك التعصب وتأمل في مقدمة الآية وفي مؤخرها قطع بأن الولي في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } ليس إلا بمعنى الناصر والمحب ، ولا يمكن أن يكون بمعنى الإمام ، لأن ذلك يكون إلقاء كلام أجنبي فيما بين كلامين مسوقين لغرض واحد ، وذلك يكون في غاية الركاكة والسقوط ، ويجب تنزيه كلام الله تعالى عنه ..
(9)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)

لحجة الثانية : أنا لو حملنا الولاية على التصرف والإمامة لما كان المؤمنون المذكورين في الآية موصوفين بالولاية حال نزول الآية ، لأن علي بن أبي طالب كرم الله وجهه ما كان نافذ التصرف حال حياة الرسول ، والآية تقتضي كون هؤلاء المؤمنون موصوفين بالولاية في الحال ، أما لو حملنا الولاية على المحبة والنصرة كانت الولاية حاصلة في الحال ، فثبت أن حمل الولاية على المحبة أولى من حملها على التصرف ، والذي يؤكد ما قلناه أنه تعالى منع المؤمنين من اتخاذ اليهود والنصارى أولياء ، ثم أمرهم بموالاة هؤلاء المؤمنين ، فلا بدّ وأن تكون موالاة هؤلاء المؤمنين حاصلة في الحال حتى يكون النفي والإثبات متواردين على شيء واحد ، ولما كانت الولاية بمعنى التصرف غير حاصلة في الحال امتنع حمل الآية عليها .
(10)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)

الحجة السادسة : هب أنها دالة على إمامة علي ، لكنا توافقنا على أنها عند نزولها ما دلت على حصول الإمامة في الحال : لأن علياً ما كان نافذ التصرف في الأمة حال حياة الرسول عليه الصلاة والسلام ، فلم يبق إلا أن تحمل الآية على أنها تدل على أن علياً سيصير إماماً بعد ذلك ، ومتى قالوا ذلك فنحن نقول بموجبه ونحمله على إمامته بعد أبي بكر وعمر وعثمان ، إذ ليس في الآية ما يدل على تعيين الوقت
 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template