Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Karomah Para Auliya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karomah Para Auliya. Tampilkan semua postingan
Kyai Menguak Keberkahan Air dan Tanah (bag. 1)
Written By MuslimMN on Kamis, 21 September 2017 | 02.27
HABIB LUTHFI BIN YAHYA; RAHASIA DI BALIK MUKJIZAT DAN KAROMAH
Written By MuslimMN on Kamis, 26 Januari 2017 | 15.23
Terdapat dalam
manaqibnya Sayyidi Syaikh Abul Abbas al-Mursi dan Sayyidi Syaikh Abil Hasan
asy-Syadziliy sebuah hadits Nabi Saw.: الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُاْلأَنْبِيَاءِ (ulama adalah
pewaris para nabi). Imam asy-Syadziliy menafsirkan ulama itu ada dua macam; Ulama
Shadiqun dan Ulama Shalihun. Yang pertama ulama shadiqun itu al-Auliya
mitsl ar-Rusul, para wali seperti para rasul. Yang kedua ulama shalihun itu
al-Auliya mitsl al-Anbiya, para wali seperti para nabi.
Kenapa dipisah
(dibagi) menjadi dua, sebab kalau rasul itu berkewajiban (bertugas) balagh
(menyampaikan), waballagha ar-risalah wa adda al-amanah wanashaha al-ummah
wajahada fillahi haqqa jihadih. Masalah mengeluarkan mukjizat itu suatu
kewajiban (bagi para rasul Allah) karena tashdiq (menjadi pernyataan
kebenaran adanya risalah) untuk memperkuat kaum awam.
Kalau ulama
berbeda dengan rasul dengan diberi karomah-karomah oleh Allah Swt. Semisal
karomahnya Habib Ahmad Bafaqih Syihr Hadhramaut. Suatu ketika ada seorang
Maghrabi ahli sihir yang ingin menjajal kewalian Habib Ahmad Bafaqih. Orang
tersebut meniup pohon kurma yang sedang tumbuh dan berbuah, seketika pohon
kurma tersebut terbakar hebat sampai habis. Habib Ahmad lalu berkata, “Coba tiup
lagi agar pohon kurmanya hidup kembali.”
Orang tersebut
menjawab tidak bisa. Lalu Habib Ahmad pun bertanya, “Oh ilmumu hanya segitu?”
Kemudian Habib Ahmad langsung berucap, “Hai pohon kurma, bi-idznillah
hiduplah seperti semula!” Seketika pohon kurma yang sudah hitam gosong tadi
hidup kembali bahkan dengan dedauan dan buah-buahan yang lebih baik dari
semula.
Menyaksikan yang
demikian orang Maghrabi itu pun hanya terdiam melongo, tak bisa berbuat apa-apa
lagi. Akhirnya ahli sihir itu pun tunduk kepada Habib Ahmad Bafaqih.
Begitupula karomahnya
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Dulu di Tarim Hadhramaut ada seseorang asal Maghrabi
yang sangat kaya, dia sedang jatuh cinta pada seorang wanita. Jaman itu
ukir-ukiran terbaik emas dan perak adalah ukirannya Maghrabi. Akhirnya orang
tersebut pergi ke Maghrabi hanya untuk memesan ukiran tersebut. Dipesanlah ukiran
(gelang) teristimewa yang nantinya dipakai untuk melamar sang wanita pujaan.
Begitu pesanan
sudah jadi, diajaklah si wanita itu ke rumah orang asal Maghrabi itu. Gelang itu
lalu dipakaikan ke tangan si wanita pujaan oleh ibunya. Anehnya wanita itu
langsung hilang entah ke mana. Penduduk Tarim pun menjadi geger. Dicari kesana-kemari
bertanya kepada orang-orang pintar pun tidak ada yang sanggup menjawab dan
mencarinya. Hingga bertemulah ia dengan Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad.
“Sudah,
sekarang kamu pergilah kembali ke tukang yang membuat gelang itu.” Jawab
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Lalu pergilang orang tersebut ke Maghrabi
sesuai perintah Habib Abdullah. Dan Habib Abdullah berpesan, “Tanyakan
nanti, kembalikan atau tidak. Jika jawabannya tidak mau mengembalikan,
tinggalkan saja dan pulanglah kembali ke Tarim.”
Sesampai di
sana, ia melihat calon istrinya sedang berada di dalam ruangan seperti kurungan,
tidak bisa keluar. “Orang ini memesan gelang jauh-jauh dari Tarim ke sini,
pasti untuk seorang wanita yang cantik luar biasa,” batin tukang ukir itu saat
pertamakali dipesani untuk membuatkan gelang. Pesan Habib Abdullah lalu
disampaikan, dan ternyata jawaban tukang ukir tadi adalah ‘tidak mau’. Kemudian
orang tersebut pun langsung pulang kembali ke Tarim.
Sesampai di
Tarim ia langsung menghadap Habib Abdullah al-Haddad dan menyampaikan kejadian (jawaban)
di atas. “Depan rumahmu tanahnya luas apa tidak?” Tanya Habib Abdullah
kemudian. Lalu dijawab iya, yang kemudian Habib Abdullah berkata, “Ya sudah,
tunggu saja besok ada apa, tapi jangan kaget nantinya.”
Besoknya di
waktu Shubuh, begitu orang tersebut membuka pintu ia sangat kaget. Pasalnya tiba-tiba
ada rumah di depan rumahnya, dan rumah itu persis seperti (modelnya) rumah orang
Maghrabi. Begitu penghuninya keluar, setelah dilihat ternyata orang itu adalah
tukang ukir asal Maghrabi. Sekarang yang kaget pun bertambah. Si tukang ukir itu
pun bertanya-tanya, “Saya ini sedang di mana, koq tiba-tiba di tempat yang
asing?”
Habib Abdullah al-Haddad
yang sudah datang kemudian menjawab, “Ini di Tarim Hadharamaut. Rumahmu saya
cabut pindah ke sini. Kembalikan wanita itu. Kamu hanya bisa memindah satu
wanita, sedangkan saya memindah rumahmu sekaligus keluargamu saya pindahkan
juga ke sini. Sekarang kamu mau apa?”
Akhirnya tukang
ukir itu pun bertaubat, meminta maaf kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad
seraya mengembalikan si wanita. Itulah karomahnya para ulama jaman dulu. Dan ini
merupakan jawaban-jawaban, namun jangan dimasukkan ke akal melainkan masukkan
ke dalam iman. Sebab jika dimasukkan ke akal tidak akan masuk dan akal tetap akan
menolak.
Begitupula karomah
seorang ulama yang ada di Nusantara ini, Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon.
Kenapa di makam beliau sampai sekarang banyak guci-guci dan piring-piring yang
menempel di dinding makam. Kisah selengkapnya silakan simak dalam video
dokumentasi berikut, sekaligus menyambungkan live streaming yang terputus tadi
malam karena sinyal yang buruk: https://youtu.be/sP7G_m5thPE.
(Tulisan di atas adalah transkrip dan alih bahasa dari cuplikan mau’idzah
hasanah Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya tadi malam dalam acara Maulid
Nabi Saw. dan Haul Habib Umar bin Ali bin Hasyim bin Yahya & Sesepuh Desa
Salakbrojo Kedungwuni, 27 Januari 2017. Oleh: Sya’roni As-Samfuriy via ibjmart.com)
Label:
Habib Luthfi bin Yahya,
HIKAYAT SHUFIYYAH,
Karomah Para Auliya,
KAROMAH PARA WALI,
Ke-NU-an,
Kisah Hikmah Islami,
Manaqib,
Manaqib Shalihin,
MAULANA AL-HABIB LUTHFI BIN YAHYA
SONGKOK HITAM BUNG KARNO DAN SORBAN DIPONEGORO
Written By MuslimMN on Sabtu, 10 Desember 2016 | 14.50
Mbah Wahab seorang ulama yang
multitalenta. Selain menguasai ilmu agama beliau juga seorang politikus ulung,
jago silat dan ahli wirid. Beliau menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa
dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan
wirid Kiai Wahab yang terkenal dan biasa diamalkan terutama di kalangan Pesantren
sampai sekarang adalah:
“Maulaya shalli wasallim da-iman abada #
‘Ala habibika khairil khalqi kullihimi
Huwal habibulladzi turja syafa’atuhu # Likulli
haulin minal ahwali muqtahami.”
Di pentas politik nasional, Mbah Wahab
memperoleh lawan tanding yang layak: Bung Karno. Konon pernah terjadi ketika
seluruh peserta pertemuan sudah siap di ruangan ketika Presiden Soekarno
datang. Berjalan menuju tempat duduknya, Bung Karno menyempatkan diri
menghampiri Mbah Wahab dan menepuk bahunya, “Ikut pendapatku!” kata Bung
Karno, kemudian berlalu.
Mbah Wahab tidak menjawab. Bukan karena
taat atau tak punya kata-kata, tapi tubuhnya mendadak kaku, lidahnya kelu.
Hampir sepuluh menit beliau terpatung seperti itu. “Astaghfirullahal ‘adzim,”
batinnya, “kena aku...”
Mbah Wahab jelas bukan orang yang
gampang menyerah. Bung Karno baru selesai menyapa orang-orang ketika Mbah Wahab
berhasil membebaskan diri dari ‘jurus’ Bung Karno itu. Belum lagi Presiden
mantap duduknya, Mbah Wahab bangkit, ganti menghampiri dan menepuk pundaknya.
“Aku punya pendapat sendiri!” kata Kiai Wahab.
Setengah jam Bung Karno terhenyak tanpa
bergerak, hingga hadirin bengong, tak tahu yang terjadi.
Bagi Bangsa Indonesia, peci hitam
memiliki arti penting. Peci ini dipakai Presiden pertama RI keliling dunia. Tak
ayal, para pemimpin negara sahabat pun akrab dengan peci tersebut. Di mana peci
hitam tampak, di situlah orang Indonesia disebut. Peci hitam memang menjadi
identitas kebangsaan kita. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren”,
Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri menceritakan tentang uniknya peci hitam.
Suatu ketika, di sela-sela sidang Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959 muncul kisah menarik. Bung
Karno, kata Kiai Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman
dengan segala pakaian dinas kebesaran. Akan tetapi, semuanya dipakai untuk
menjaga kebesaran Bangsa Indonesia. “Seandainya saya adalah Idham Chalid
yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai
kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” ujar Bung Karno sambil
melihat respon hadirin.
Dengan yakin dan percaya, proklamator
itu menegaskan tidak akan melepas peci hitam saat acara resmi kenegaraan. “Tetapi
soal Peci Hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya
lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini. Benar enggak, Kiai Wahab?”
tanya Bung Karno pada Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga
anggota DPA, KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Dengan tangkas, Mbah Wahab pun segera
menimpali lontaran Bung Karno itu. “Memang betul, saudara harus
mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah
seperti para muballigh NU,” jawab sang kiai
Sontak, pernyataan kiai kharismatik ini
langsung disambut gelak tawa seluruh anggota DPA. Suasana pun meriah oleh canda
tawa dan tepuk tangan hadirin. “Dengan peci itu saudara telah mendapat
banyak berkah. Karena itu, ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat
tambahan nama Ahmad. Ya, Ahmad Soekarno,” seloroh Kiai Wahab yang lagi-lagi
disambut gelak tawa hadirin.
Dalam buku saku yang diterbitkan Panitia
Haul ke-43 KH. A. Wahab Chasbullah disebutkan, kiai perintis, pendiri, dan
penggerak Nahdlatul Ulama itu hampir tak lepas dari sorban dalam segala
situasi. Baik di rapat-rapat NU, sidang parlemen, resepsi, istana negara, atau
perjalanan. Suatu ketika Kiai Wahab berbicara pada sidang parlemen. Sebelum
berdiri, ia membetulkan letak sorbannya. Sekelompok anggota parlemen komentar, “Tanpa
sorban, kenapa sih?”
“Sorban Diponegoro,” jawab Kiai
Wahab.
Ketika berdiri di podium, Kiai Wahab
mengatakan, bahwa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Kiai Mojo, dan Teuku Umar
juga mengenakan sorban. Penjelasannya itu membuat sebagian anggota parlemen
tergelak, tapi kemudian terdiam.
Menurut sejarawan, silsilah keturunan
Kiai Wahab jika dirunut ke atas maka akan sampai pada kisah heroik Kiai Abdus
Salam. Kakek Kiai Wahab itu merupakan salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro di sektor timur (1825-1830). Kiai Abdus Salam merupakan putra
Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir (Mas Karebet) bin Kebo
Kenongo bin Pangeran Handayaningrat bin Lembu Peteng bin Pangeran Brawijaya VI.
Dari trah para pejuang ini wajar jika kemudian Kiai Wahab tampil sebagai ulama
yang tak pernah berhenti berpikir dan bergerak untuk umat. (Sumber: Ibjmart.Com)
AJARAN KEBANGSAAN HABIB LUTHFI BIN YAHYA
Written By MuslimMN on Kamis, 01 Desember 2016 | 10.59
Banyak sufi sepanjang beratus-ratus tahun sudah meninggalkan cerita mengenai kebijaksanaan mereka terkait dengan raja-raja serta penguasa. Cerita Imam al-Bashri dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, al-Junaid, al-Bisthami serta al-Karkhi dengan tokoh penguasa semasanya. Walau demikian, sekarang ini masihlah ada beberapa kiai yang mengambil posisi senantiasa berhadap-hadapan, mengritik petinggi dengan argumen itu yang diajarkan beberapa ulama kita dulu selalu untuk mengambil posisi berjarak dengan pemerintah. Lantaran argumen itu, masihlah ada penceramah yang menjamah kehormatan petinggi serta mencabik-cabik nama baiknya di hadapan khalayak, dengan argumen mengritik pejabat merupakan ajaran beberapa ulama dulu serta yang sudah mereka contohkan.
Habib Luthfi mengecam keras pandangan seperti itu. Menurut Habib Luthfi, para ulama dulu sebagian bersikap demikian lantaran sistem pemerintah waktu itu tidak sama dengan saat ini. Dulu berbentuk monarki serta rakyat sekalipun tidak bisa ikut serta dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sekarang ini kita hidup dalam alam demokrasi, dimana peran aktif orang-orang serta tokoh agama begitu perlu untuk memberikan pertimbangan pada beberapa petinggi pemerintah dalam memastikan kebijakan. Lantaran lewat masukan orang-orang serta beberapa input dari golongan cerdik pandai pemerintah dapat mengambil policy yang pas. Pendirian Habib Luthfi seperti ini pada masa Orde Baru pasti tak populis. Nyaris semuanya kiai mengambil posisi berhadap-hadapan atau sekurang-kurangnya acuh pada penguasa.
Seorang sufi besar, Ahmad bin Amad al-Barnasi al-Maghribi yang dikenal dengan Syaikh Zaruq (w. 899 H) menyampaikan: “...menjaga kestabilan itu hukumnya wajib. Serta memerhatikan kemaslahatan umum itu berbentuk pasti. Oleh karenanya beberapa ulama setuju kalau lakukan ‘makar’ pada pemimpin yang sah itu haram hukumnya, baik dalam perkataan ataupun perbuatan. Bahkan juga beberapa ulama setuju (ijma’; konsensus) sah shalat di belakang seseorang petinggi maupun orang umum yang baik ataupun yang dzalim sepanjang kefasikannya itu tak dikerjakan waktu shalat. Oleh karenanya Nabi Saw. bersabda, “Tidak mencemooh satu golongan orang-orang pada pemerintah mereka terkecuali mereka bakal terhambat dari kebaikan pemerintahnya itu.” Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, “Tidak melakukan perjalanan satu golongan orang-orang menuju tempat pemerintah dengan maksud menjelek-jelekan pemerintah, terkecuali Allah bakal mengejekkan mereka".”
Habib Luthfi memanglah cuma menyampaikan kita mesti menghormati pemerintah. Mesti menghormati Presiden. Sebab Presiden itu lambang Negara. Serta beberapa lambang Negara punya sifat sakral. Di balik ajarannya itu, nyatanya ada landasan filosofis serta didasarkan atas sebagian alasan syariat. Seperti dijelaskan dalam keterangan Syaikh Ahmad Zaruq di muka kalau menghormati pemerintah tidak cuma menjadi keharusan yang berasaskan kearifan budaya tetapi ajaran Nabi Saw. Nabi mengingatkan barangsiapa yang mencemooh pemerintah, Allah bakal mengejekkannya. Bila petinggi itu dapat dibuktikan lakukan tindak pidana, menurut Habib Luthfi ada mekanisme serta cara perlakuannya. Walau demikian pada prinsipnya jangan pernah mengakibatkan kerusakan kesakralan beberapa lambang Negara.
Dalam pandangan Habib Luthfi menghormati pemerintah yaitu sisi yang tidak terpisahkan dari bentuk kecintaan pada Bangsa serta Negara. Jalinan baik Habib Luthfi dengan pemerintah dapat dilihat dari kehadiran Presiden RI pada perayaan Maulid Nabi Kanzus Shalawat pada tahun 2004 serta 2014. Gubernur serta Wakil Gubernur dari beragam provinsi, serta menteri-menteri dalam perayaan Maulid Nabi. (Dikutip dari buku “Sejarah Maulid Nabi; Meneguhkan Semangat Keislaman serta Kebangsaan Mulai sejak Khaizuran 173 H sampai Habib Luthfi bin Yahya 1947 M-Sekarang)
KUNCI AGAR IBADAHNYA BENAR DAN KHUSYUK
Written By MuslimMN on Minggu, 27 November 2016 | 07.50
Kegemaran
Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-Ishaqi adalah berziarah kepada para wali
Allah, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Beliau mengenal mereka
secara dekat, bukan hanya nama-nama mereka bahkan nasab dan hubungan mereka
satu sama lain. Sampai-sampai beliau hidup-hidupkan dan beliau semarakkan
peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Ra. Sehingga hampir tiada hari yang lewat di kota maupun desa terutama di Jawa
Timur, kecuali di situ terdapat majelis manaqib. Kiai Utsman adalah orang yang
pertamakali menggagas penyelenggaraan Manaqiban.
يوم لاينفع
مال ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم
Kiai Utsman menafsirkan
“qalbun salim” dalam ayat ini sebagai hati yang selamat dari penyakit
batin dan penuh rasa cinta kepada Allah, RasulNya serta para waliNya. Sebab,
kata beliau, tanpa para wali kita tidak mungkin dapat mengabdi kepada Allah Swt.
dengan benar. Maka banyak-banyaklah tawassul kepada Auliya’, insya Allah hati
kita akan menjadi khusyuk.
Pernah terjadi
saat Kiai Utsman memimpin istighatsah tiba-tiba datang seseorang yang tidak
dikenal. Dia langsung menelantangkan Kiai Utsman dan melingkarkan pedangnya
pada leher beliau. Kejadian tragis ini pun diceritakan kepada sang guru, Kiai
Romli. Kiai Romli hanya menjawab, “Teruskan apa yang telah kamu amalkan. Orang
tersebut tidak akan berani menancapkan pedangnya pada lehermu. Bahkan dalam
waktu dekat ini orang itu tidak akan berpisah denganmu sejengkalpun.” Dan
kenyataannya seperti apa yang dinyatakan oleh Kiai Romli Tamim.
Tentang keutamaan
menaqiban, Kiai Utsman pernah mengatakan, “Tidak ada ibadah kepada Allah di
muka bumi ini yang lebih utama daripada mencintai wali-wali Allah.”
Beliau juga
mengatakan, “Mencintai para wali termasuk ketaatan yang terbesar. Dan mereka
yang menghadiri majelis manaqib adalah orang-orang yang cinta kepada mereka
(para wali Allah). Dan mencintai mereka adalah bukti akan adanya rasa cinta
kepada Allah Swt.”
Haul Kiai Sepuh dan Haul Akbar
Jatipurwo Surabaya
Kata Agus A. Danyalin bin Minanurrahman bin Utsman al-Ishaqi,
“Disebut “Haul Akbar” karena yang diperingati haulnya ialah Kanjeng Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani Ra. Adalah acara yang dirintis oleh KH. M. Utsman
al-Ishaqi Surabaya sejak dari tahun 1947-an (Manaqiban) dan Haul Akbar di tahun
1950-an. Bukan melihat berjibun jumlahnya yang hadir, tapi lebih kepada siapa
yang diperingati haulnya. Itulah Haul Akbar.”
Haul Kiai Sepuh KH. M. Utsman al-Ishaqi Ra. akan
diselenggarakan tanggal 4 januari 2017 M. dan Haul Akbar Kanjeng Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani Ra. akan diselenggarakan pada tanggal 9 Januari 2017 M.
Bertempat di Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Raudlatul Muta’allimin Jl.
Jatipurwo VII/15 Kel. Ujung Kec. Semampir Surabaya Utara. (Sumber: ibjmart.com)
SYAIKH MASDUQI LASEM; MACAN PUTIH DARI PULAU JAWA
Written By MuslimMN on Rabu, 26 Oktober 2016 | 06.58
Hadhratus
Syaikh KH. Mashduqi bin Sulaiman al-Lasimi lahir sekitar tahun 1908 M. di Desa
Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang dari pasangan KH. Sulaiman dengan Hj.
Nyai Khadijah (Qolmini). Dari jalur ayah nasab beliau bersambung ke asy-Syaikh as-Sayyid
Mutamakkin Kajen Pati yang bersambung ke Raden Achmad Rahmatullah (Sunan Ampel).
Sejak usia dini
Mbah Mashduqi dididik oleh ayahandanya sendiri. Kemudian ketika menginjak usia remaja
atas petunjuk sang ayah dan pamandanya, KH. Thayyib, beliau melanjutkan jenjang
pendidikannya di Ponpes Tremas yang diasuh oleh Syaikh KH. Dimyathi bin
Abdullah yang merupakan adik dari Syaikh KH. Mahfudz bin Abdullah (murid dari
pengarang kitab I’anah ath-Thalibin) yang makamnya ada di Mekkah. Beliau
menimba ilmu di situ selama 11 tahun dengan rincian 3 tahun belajar dan 8 tahun
mengajar, yang salah satu dari sekian banyak muridnya di Tremas adalah KH.
Hamid Pasuruan. Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya pada Syaikh KH.
Masyhud Pacitan.
Usai belajar
dari Pondok Tremas Mbah Mashduqi melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekkah
al-Mukarramah selama 6 tahun. Di sana beliau belajar kepada Syaikh Umar Hamdan al-Maghrabi
dan Syaikh Muhammad Ali al-Maliki al-Hasani al-Maghrabi. Di sana beliau dipercaya
menjadi pengajar di Haramain. Murid-murid beliau semasa mengajar di Haramain banyak
yang dari Indonesia, diantaranya KH. Bisyri Musthafa Rembang dan KH. Masyhuri Rejoso Jombang.
Mbah Mashduqi mendapat
gelar asy-Syaikh karena termasuk salah satu ulama Indonesia yang
mengajar di Masjidil Haram. Pada waktu itu sebutan Syaikh dimiliki oleh 3 orang
ulama, yaitu Syaikh Mashduqi al-Lasimi, Syaikh Mahfudz at-Turmusi (kakak kandung
Syaikh Dimyathi) dan Syaikh Yasin al-Faddani.
Sepulang dari
Mekkah beliau bertemu dengan Syaikh KH. Sayyid Dahlan, salah satu masyayikh di
Pekalongan, yang kemudian menikahkan putrinya, Nyai Hj. Ma’rifah, dengan Mbah Mashduqi.
Di Pekalongan Mbah Mashduqi sempat mendirikan pesantren, yang akhirnya banyak
murid-murid beliau di Tremas banyak yang pindah ke Pekalongan dengan harapan
dapat melanjutkan belajarnya pada beliau.
Mbah Mashduqi sangat
terkenal kealimannya. Beliau termasuk ulama yang produktif menulis, hasil karyanya
banyak dari beberapa fan ilmu. Setiap beliau mengaji suatu kitab, pasti diterangkan
secara panjang lebar seakan mensyarahi kitab tersebut.
Setelah
beberapa tahun tinggal di Pekalongan, beliau kembali lagi ke Lasem atas permintaan
warga Lasem. Di Lasem Mbah Mashduqi mendirikan Pondok Pesantren al-Ishlah pada tahun
1950 M. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu darinya,
diantaranya dari Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.
Sebelum adanya
bangunan Ponpes al-Ishlah, tanah yang akan dijadikan pesantren tersebut
merupakan tempat judi, pelacuran dan tempat pembantaian PKI. Jauh-jauh hari
sebelum Syaikh Mashduqi dilahirkan, pejabat desa setempat mengeluh kepada
Sayyid Abdurrahman (Mbah Sareman) –ulama asal Tuban yang tinggal di Lasem yang
terkenal kewaliannya- dengan mengatakan, “Mbah, bagaimana tempat itu koq
dibuat sarang maksiat?”
Kemudian Mbah
Sareman mengatakan, “Akan ada Macan (harimau) Putih dari barat melewati
sungai yang akan menempati tempat itu. Dan tanah itu akan menjadi tempat
(produksi) ulama di Tanah Jawa.” Yang dimaksud dengan “Macan Putih” adalah
Syaikh KH. Mashduqi dan yang dimaksud “sungai” adalah Sungai Bagan yang
terletak ± 700 m sebelah barat tanah Ponpes al-Ishlah.
Diantara
murid-murid Mbah Mashduqi adalah KH. Ishomuddin Pati, KH. Nur Rahmat Pati, KH.
Salim Madura, KH. Makhrus Ali Lirboyo, KH. Zayadi Probolinggo, KH. Abdullah
Faqih Langitan, KH. Miftahul Akhyar Surabaya, KH. Jazim Nur Pasuruan, K.
Mukhtar Luthfi Nganjuk, KH. Imam Daroini Nganjuk, KH. Zuhdi Hariri Pekalongan,
KH. Taufiqurrahman Pekalongan, KH. Abdul Ghani Cirebon, KH. Abdul Mu’thi
Magelang, KH. Abdullah Schal Bangkalan, KH. Mashduqi Cirebon, KH. Makhtum Hannan
Cirebon, KH. Syaerozi Cirebon, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Beberapa Kisah Keteladanan Mbah Mashduqi
Kisah berikut
disarikan dari tulisan Gus M. Robert Azmi dari penuturan Kiai Mukhtar Luthfi dan
KH. Imam Daroini (keduanya adik kandung Pendiri PP. Al-Fattah KH. Nahrawi ZAM) Nganjuk
yang merupakan murid dari Mbah Mashduqi Lasem, mulai dari sisi ketawadhu’an, wira’i,
tawakkal dan kesemangatan dalam mengajar.
Suatu ketika ada
santri yang sowan Mbah Mashduqi. Karena saking hormatnya, santri tersebut ingin
mencium tangan Mbah Mashduqi bolak-balik. Namun yang mengejutkan beliau
langsung menampik, dan berkata, “Awakmu marai ndeder racun nang atiku!
(Apakah engkau ingin menumbuhkan bibit racun di hatiku)?” Kemudian beliau melanjutkan,
“Mashduqi kuwi sopo?” Akhirnya santri tersebut mengurungkan niatnya.
Sebuah hal
lumrah bagi santri yang pulang ke rumah karena kangen dengan kampung halaman,
dan merupakan kesunnahan untuk membawa oleh-oleh pada ulama. Namun tidak semua
oleh-oleh diterima oleh Mbah Mashduqi. Beliau sering bertanya pada santri yang
membawa oleh-oleh, “Iki jajan tekan ngendi (Oleh-oleh ini dari mana)?”
Jika si santri menjawab dari orangtuanya, maka Mbah Mashduqi berucap “Alhamdulillah…”
Namun jika
oleh-olehnya bukan dari rumah, Mbah Mashduqi akan berkata, “Haram! Awakmu
disangoni Bapak-Ibumu dingge sangu mondok, ora dingge nukokke jajan aku (Haram!
Kamu dikasih uang Ayah-Ibumu untuk uang saku mondok, bukan untuk membelikanku
oleh-oleh).”
Waktu mengaji Mbah
Mashduqi sering bercerita, “Aku kuwi anake bakul beras, budal mondok adol
pitik, tak tukokne rokok, tak dol nang santri Tremas (Aku hanyalah anak
pedagang beras, pergi mondok dengan menjual ayam, kemudian uangnya aku belikan
rokok, dan kujual ke santri Tremas).”
Dalam
kesempatan lain, waktu beliau ngaji, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Spontan
santri yang mengikuti ngaji semburat melarikan diri. Dengan tersenyum beliau
berkata, “Santri, santri, koq wedi karo rohmate Pengeran.” Kemudian beliau
dengan tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat pengajian dengan berpayungkan
sajadah beliau.
Pernah suatu
ketika Kiai Mukhtar Luthfi mengikuti pengajian Tafsir Jalalain yang dikhatamkan
hanya sebulan Ramadhan saja. Di tengah penat yang mendera dan kantuk yang
sangat, banyak santri yang tertidur. Tiba-tiba Mbah Mashduqi menggebrak meja, “Bruaaakkk…
Setane mlayu, setane mlayu,” diiringi tawa renyah beliau dan santri yang
gelagapan bangun tidur.
Begitu pula sewaktu
Mbah Mashduqi menyemangati para santri agar tidak cepat puas dengan ilmu yang
didapatkannya, beliau dawuh, “Nahwu-shorofmu kuwi opo? Urung enek sak kuku
irengku (Ilmu nahwu-sharafmu seberapa sih? Belum ada secuil kuku hitamku).”
Sebagai ulama
yang ahli fiqih, nahwu, sharaf, tasawwuf dan banyak fan lainnya, sangatlah
wajar apabila waktu mengaji Mbah Mashduqi mengoreksi kitab yang dibacanya.
Syahdan, waktu itu beliau sedang membaca kitab Siraj ath-Thalibin
karangan Syaikh Ihsan Jampes Kediri, yang sekarang menjadi salah satu mata
pelajaran di Universitas Al-Azhar Kairo. Mbah Mashduqi sering berkata, “Iki keliru!”
sambil langsung mencoret lafadz kitab tersebut dengan pena yang beliau bawa.
Kabar ini
terdengar oleh Mbah Mat Jipang, salah seorang ulama Kediri yang sangat terkenal
kecerdasannya sehingga masyarakat sekitar menjulukinya dengan Mbah Jipang,
kepanjangan dari ngaji gampang. Mendengar itu, Mbah Jipang langsung berangkat
ke Pondok Lasem dengan menyamar sebagai orang desa. Kemudian beliau bertamu ke
Ndalem Mbah Mashduqi.
Setelah
dipersilakan masuk, terjadilah adu argumen yang sangat tajam dan lama. Saking
lamanya, debat antara Mbah Mashduqi dan Mbah Mat Jipang terjadi beberapa hari. Istirahat
hanya saat waktu shalat dan waktu istirahat malam. Singkat cerita setelah debat
usai, Mbah Mashduqi mengakui keilmuan Mbah Jipang dan membenarkan Siraj ath-Thalibin
yang disalahkannya.
Pada kesempatan lain, Mbah Mashduqi berkata pada santri yang
mengaji, “Aku kalah karo wong Kediri.” Latar belakang Mbah Mashduqi menyalahkan
beberapa lafadz kitab tersebut adalah karena kehati-hatian beliau. Terbukti,
selang beberapa waktu beliau berkata, “Syariat kuwi koyok dalan nang pinggir
kali, nek minggir-minggir iso gampang kecemplung, sing aman nang tengah wae (Syariat
itu ibarat jalan yang berada di pinggiran sungai, kalau terlalu ke pinggir akan
mudah tergelincir, yang aman berjalan di tengah saja).”
Kewafatan Mbah Mashduqi
Hadhratus Syaikh
KH. Mashduqi al-Lasimi termasuk runtutan pewaris Tanah Jawa setelah kurun asy-Syaikh
KH. Asnawi Banten yang dikenal sebagai simbol Tombak Mangku Mulyo (Quthbul
Jawi). Simbol tersebut merupakan warisan dari asy-Syaikh Subakir, orang pertama
pembabat Tanah Jawa.
Mbah Mashduqi
wafat pada tahun 1975 M, tepatnya tanggal 17 Jumadil Akhir tahun 1396 H. dan
disemayamkan di Pondok Pesantren al-Ishlah Lasem. Sejak tahun itu Ponpes al-Ishlah
diteruskan oleh puteranya, Syaikh KH. Hakim Mashduqie, yang dilahirkan sekitar
tahun 1942 M. Di usia yang sangat muda, 12 tahun, Syaikh Hakim sudah
mengajarkan kitab Jam’ al-Jawami’. Di usia 17 tahun beliau menyusun
karya tulis dalam fan ilmu tauhid berbentuk sya’ir yang dinamai “Nadzam Ibn
al-Lasimiy”. Kemudian kitab tersebut disyarahi pada usia 40 tahun dan
diberi nama “adz-Dzakhair al-Mufidah” yang sudah tersebar di berbagai
penjuru negeri seperti Bangladesh, Mekkah dan Yaman. Karya tulis lainnya
berjudul “Ghayat al-Maram fi Ahadits al-Ahkam” yang berhubungan dengan hadits-hadits
Rasulullah Saw. (*IBJ)
PESAN DI BALIK KISAH HABIB LUTHFI DI HARI SANTRI
Written By MuslimMN on Senin, 17 Oktober 2016 | 17.18
Saya selaku
cucunya Habib Hasyim sendiri baru mengetahui belum lama. Dalam hati saya sendiri
bertanya mengapa saya baru mengerti? Di tempatnya guru saya, Kiai Abdul Fattah,
setiap Selasa pagi diadakan pengajian kitab Ihya Ulumiddin dengan
pengajar al-Alim al-Allamah Kiai Irfan Kertijayan Pekalongan. Kiai Irfan adalah
murid dari Kiai Amir Simbang.
Setiap kali
Kiai Irfan melihat saya selalu memandang dengan serius, tapi nampak ragu untuk
bertanya. Mungkin takut salah (sangka). Waktu itu yang menjadi saksi sejarah
adalah Kiai Irfan, Kiai Abdul Fattah, Kiai Abdul Adzim dan beberapa kiai yang
lain. Sayangnya para saksi sejarah ini sudah tiada semua. Beliau (Kiai Irfan) bertanya
kepada saya, “Habib Luthfi ini kalau saya lihat pakaiannya, cara jalannya, seperti
guru saya al-Habib Hasyim bin Umar bin Yahya. Beliau termasuk menjadi ulama
rujukan di Indonesia. Bahkan setiap bulannya di kediaman beliau sering berkumpul
para ulama dari luar Negara.”
Saya tidak
berani menjawab. Perasaan saya malu. Karena saya mempunyai kakek yang begitu
hebatnya tapi saya sendiri belum mampu untuk bisa meniru walau setetes. Karena saya
diam, Kiai Abdul Adzim dan Kiai Abdul Fattah yang menjawabnya, “Dia cucunya
Habib Hasyim bin Umar.”
Langsung saja
Kiai Irfan menangis dan merangkul saya karena saking gembiranya. Lalu beliau
berkata, “Mumpung saya masih hidup. Umur saya sekarang sudah 83. Mumpung masih
ada umur, saya takut sejarah ini hilang. Ketahuilah, ketika Mbah Hasyim Asy’ari sudah keliling muter untuk mendirikan
Nahdlatul Ulama (NU) beliau terlebih dahulu beristikharakh di Makkah al-Mukarramah.
Singkat ceita, dari istikharahnya tersebut dihasilkan sebuah keputusan oleh
para ulama yang ada di sana seperti Kiai Ahmad Nahrawi, guru tarekat
Syadziliyah terkenal, Kiai Mahfudz at-Turmusi, dan beberapa tokoh ulama lainnya,
bahwa, “Di Jawa, keputusannya hanya ada di dua orang. Yang pertama al-Habib
Hasyim bin Umar bin Yahya Pekalongan, dan yang kedua Mbah Kiai Ahmad Kholil
Bangkalan. Bilamana dua orang ini setuju, maka dirikanlah Nahdlatul Ulama. Tapi
apabila dua orang ini tidak berkenan, jangan dibantah.”
Akhirnya Mbah
Hasyim Asy’ari kembali (ke tanah air). Sesampainya di rumah beliau langsung menuju
ke Kudus untuk meminta Kiai Asnawi dan Kiai Yasin mendampinginya. Terus
(dilanjut) ke Pekalongan menuju rumahnya Kiai Muhammad Amir, dan di situ sudah
ada Kiai Irfan yang memang sudah dipersiapkan, karena mendengar Kiai Hasyim
akan berkunjung.
Lalu Kiai
Hasyim didampingi Kiai Asnawi, Kiai Yasin, Kiai Amir dan Kiai Irfan datang ke rumah
Habib Hasyim. Sesampai di sana, Habib Hasyim berkata, “Hasyim, saya ridhai
kalau kamu mendirikan suatu wadah untuk Ahlussunnah wal Jama’ah.”
(Mendengar
jawaban tersebut) Mbah Hasyim Asy’ari sangat senang hati. Setelah menginap (beberapa
hari) di Pekalongan, beliau meminta kepada Habib Hasyim untuk mengajarinya
(menambah) ilmu hadits. Maka setiap Kamis Wage, beliau mesti datang ke
Pekalongan belajar ilmu hadits kepada Habib Hasyim.
Dari Pekalongan
Mbah Hasyim Asy’ari langsung menuju ke Mbah Kholil Bangkalan. Begitu sampai di
sana, Mbah Kholil langsung dawuh, “Sudah, pokoknya apa kata Habib Hasyim itu
benar. Saya cocok. Dirikanlah, jangan lama-lama lagi.” Sehingga berdirilah Nahdaltul
Ulama.
Saat sebelum
keberangkatan ke Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari dipesani Habib Hasyim, “Tapi
tolong, nama saya jangan ditulis.” Akhirnya Mbah Kholil pun sama (tidak mau
ditulis namanya). Akhirnya Kiai Hasyim bertanya, “Kalau tidak mau ditulis
semua, lalu bagaimana (sejarah nantinya)?”
“Ya sudah ndak
apa-apa saya ditulis, tapi jangan banyak-banyak”, jawab
Mbah Kholil.
Di kesempatan
lain saat Habib Luthfi duduk bersama Gus Dur, Faizin dimintai untuk menjadi
saksi agar tidak dianggap mengada-ada. Habib Luthfi lalu menceritakan kisah di
atas kepada Gus Dur. Tapi ternyata kemudian Gus Dur menerangkan jauh lebih luas
lagi tentang peranan Habib Hasyim dengan Mbah Hasyim ketika awal berdirinya
Nahdlatul Ulama. Maka jangan heran kalau keluarga Mbah Hasyim Asy’ari,
khususnya Gus Dur, dengan kita dekat. Itu meneruskan sebagaimana keakraban para
sesepuh, para ulama kita jaman dulu.
Menceritakan itu
memang mudah, tapi intinya cuma satu, “Mampukah kita meneruskan thariqah (jalan
perjuangan)nya para beliau atau tidak?” Pungkas Habib Luthfi bin Yahya. (*IBJ,
disarikan dari rekaman video berikut: https://youtu.be/xlJg7jxbFxQ).
Cerita Abah Kiai Masruri Brebes Tentang Gus Dur
Written By MuslimMN on Selasa, 11 Oktober 2016 | 10.27
KH. Masruri
Abdul Mughni, pernah sama-sama nyantri bersama Gus Dur kepada KH. Abdul Fatah
Hasyim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. “Kamar saya
dan Gus Dur bersebelahan. Saya di kamar Pangeran Diponegoro 7, Gus Dur di kamar
Pangeran Diponegoro 6,” katanya.
“Tapi dia
berkali-kali bilang kalau yang benar-benar menjadi gurunya adalah Mbah Fatah
(KH. Abdul Fatah Hasyim) dan Mbah Chudlori (KH. Chudlori) Tegalrejo Magelang,” lanjut
Abah Masruri.
Ketika semua
orang mengecam Gus Dur karena mau berangkat ke Israel, ia mengatakan, “Biar
semua orang mau bilang apa yang penting Mbah Fatah dan Mbah Chudlori mangestoni
(memberi restu).” Padahal kedua gurunya itu sudah wafat. Karena itulah
banyak yang yakin cucu KH. Hasyim Asy’ari itu punya kemampuan berkomunikasi
dengan dunia ghaib.
“Gus Dur yakin
betul melawan Israel tidak bisa dengan kekerasan, tetapi mau tidak mau harus
pakai jalur diplomatik. Ya harus ke sana bicara baik-baik,”
tutur Kiai Masruri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah-2, Benda, Sirampog,
Brebes itu.
Demikian pula
saat terjadi penembakan terhadap umat Islam minoritas di India, KH. Abdurrahman
Wahid di Bali malah mengatakan, “Kalau Mahatma Gandhi Islam, ia adalah wali
besar.”
Pernyataannya
itu kemudian dikutip sebuah majalah Ibu Kota tanpa kata-kata “Kalau”. Sehingga
seolah-olah Gus Dur menyebut Mahatma Gandhi wali besar. Gegerlah semua kiai dan
habaib di Indonesia. Melalui jalur Forum Demokrasi (Fordem) India, Gus Dur
menempuh jalur diplomasi. Hasilnya umat Islam minoritas tidak ditembaki lagi.
“Saya sedih
dihujat umat Islam Indonesia, tetapi saya senang karena umat Islam India tidak
ditembaki lagi,” tutur Gus Dur seperti ditirukan Kiai Masruri.
Banyak hal yang
sudah dilakukan Gus Dur tanpa orang lain mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Contoh bagaimana humanisnya cucu KH. Hasyim Asy’ari itu disampaikan
Drs. H. Ali Mufiz MPA. Saat itu ia yang menjadi Wakil Gubernur Jateng menemui
Gus Dur di kantor PBNU. “Gus Dur satu mobil bersama pamannya, KH. M. A.
Sahal Mahfudh keluar dari kantor mengambil honor tulisan di Kantor Majalah
Tempo,” katanya.
Pada saat tiba
kembali di kantor PBNU, tiba-tiba datang seorang temannya yang mengeluh butuh
biaya untuk mengobati keluarganya yang sakit. Tanpa menengok kanak-kiri, amplop
honor tulisan yang baru saja diambil dari Majalah Tempo langsung diserahkan
kepada temannya itu, tanpa sempat membuka isinya terlebih dahulu. Ya, Gus Dur
telah tiada, tetapi spiritnya akan terus ada ila akhir zaman. (Sumber: fiqhmenjawab.blogspot.co.id)
Anda Yakin Lebih Baik dari Pemabuk?
Written By MuslimMN on Selasa, 04 Oktober 2016 | 11.57
Jika Anda
merasa lebih baik dari pemabuk, renungkan nasihat Syaikh Imam Muhammad al-Ghazali,
ulama kenamaan Mesir berikut.
Suatu hari aku berkata
kepada peminum minuman keras, “Kenapa engkau tidak taubat kepada Allah?”
Dia menatapku
dengan perasaan yang hancur, berlinang air mata lalu dia berkata, “Syaikh,
doakanlah aku.”
Aku merenungi
keadaan pria itu, dan hatiku luluh karenanya. Tangisannya menunjukkan kesadaran
atas kelancangannya menerjang larangan Allah, kesedihannya adalah pengakuan
atas kecerobohannya, dan dia mempunyai keinginan kuat untuk memperbaiki diri.
Dia sungguh-sungguh orang beriman, aku sangat yakin, namun dia diuji oleh
Allah. Dia begitu ingin mendapatkan penjagaan dari Allah (‘afiyah), dan
ia memohon aku mendekatkannya.
Aku berkata
pada diriku, “Diri ini tak jauh beda dengan pria itu atau boleh jadi aku lebih
buruk”. Betul aku sama sekali belum pernah meminum minuman keras, tapi
karena memang lingkungan pergaulanku tidak mengenal minuman keras. Namun aku seringkali
lalai kepada Allah yang tak ubahnya dan sama buruknya dengan meminum minuman
keras, karena lalai, Allah hilang dari kesadaranku. Dan aku lupa hak-hak Allah.
Pria peminum khamer itu menyesali perbuatannya, sedangkan aku dan orang yang kondisinya
sama denganku tak pernah menyesali kekeliruan kami. Kami tertipu oleh
angan-angan kami sendiri.
Aku menatap
pria peminum yang meminta doa dariku, aku katakan padanya ayo berdoa
bersama-sama: “Ya Allah kami sungguh menganiaya diri kami, seandainya Engkau
tidak mengampuni kami niscaya kami dalam keadaan merugi.”
Aku berpesan
pada para da’i yang sering berdakwah atau berceramah, berhati-hatilah terhadap
orang lain. Sungguh-sungguhlah memahami agama. Karena orang yang dikehendaki
buruk maka ia tidak diberi pemahaman yang baik tentang agama, walaupun dia
adalah pendakwah ulung yang ceramah di berbagai penjuru kota. (Sumber: Imam
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya “Dustur Tsaqafiyah Baina al-Muslimin”
via Fp IlmuTasawuf.Com)
Profil Singkat Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Di dalam kata
pengantar buku berjudul Studi Kritis atas Hadits Nabi karya Syaikh
Muhammad al-Ghazali, Prof. DR. Quraish Shihab menyatakan secara terbuka
kekaguman beliau terhadap Syaikh Muhammad al-Ghazali. Dan berikut adalah profil
singkatnya.
Syaikh Muhammad
al-Ghazali lahir tahun 1917 di al-Bahirah, Mesir. Beliau adalah alumni al-Azhar
dan menjadi guru besar di sana. Disamping itu, beliau juga guru besar di
beberapa universitas di Timur Tengah. Beliau hafal al-Qur'an 30 juz di usia 10
tahun. Ketika menjadi imam shalat Tarawih, beliau biasa membaca al-Quran
sebanyak satu juz. Beliau sangat suka membaca buku. Karena saking asyiknya, beliau
membacanya sambil makan.
Beliau adalah
orator ulung dan penulis produktif yang banyak menulis artikel di koran maupun
majalah baik lokal maupun internasional. Buku-buku yang beliau tulis sangat
banyak jumlahnya, lebih dari 50 judul. Buku-buku itu bertemakan dakwah, harakah,
sosial politik, tafsir, hadits, fikih, sejarah, dan tasawuf. Karena beragamnya
tema yang beliau tulis, menunjukkan luasnya wawasan keilmuan beliau.
Beliau adalah
ulama yang berakhlak mulia dan takut kepada Allah. Air matanya sering meleleh
karena ketakwaan dan sensitifitas hatinya pada dosa. Karya-karya beliau,
terutama di bidang tasawuf, mencerminkan kepribadian beliau yang satu ini.
Setiap orang yang membaca karya-karya beliau akan merasakan hal ini. Beliau
tidak segan meralat ucapannya bila terbukti salah. Hal ini menunjukkan
keinginan beliau untuk selalu dalam kebenaran.
Pengajian
beliau sangat ramai dikunjungi orang. Ruang kuliah terisi penuh ketika beliau
menyampaikan materi perkuliahan. Bahkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak terkait
dengan perkuliahan tersebut, ikut nimbrung di dalamnya karena merasa tertarik
dengan bahasan-bahasan yang beliau sampaikan. Beliau berbicara tentang masalah
apapun, selalu menarik untuk didengarkan.
Diantara murid
beliau yang terkenal adalah DR. Yusuf al-Qaradhawi, DR. Muhammad Imarah, DR.
Ahmad Assal, DR. Abdul Halim Uwais, DR. Jamal Athiyyah dan DR. Imaduddin
Khalil.
Beliau wafat
pada tahun 1996 saat mengikuti seminar dakwah Islam di Saudi Arabia dan dikubur
di pemakaman Baqi’ Madinah al-Munawarah. Tempat makam ini terkenal sebagai
kuburan bagi para syuhada, ulama dan orang-orang saleh. Semoga Allah merahmati
beliau, membalas kebaikan beliau dan menjadikan karya-karya beliau sebagai amal
jariyah yang tidak putus-putus pahalanya. Amin.
(Dimoderasi dari buku Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang Saya Kenal
karya DR. Yusuf Al-Qaradhawi dan Kata Pengantar Prof. DR. Quraish Shihab dalam
buku Studi Kritis atas Hadits Nabi karya Syaikh Muhammad al-Ghazali).
Langganan:
Postingan (Atom)