Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Karomah Para Auliya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karomah Para Auliya. Tampilkan semua postingan

Kyai Menguak Keberkahan Air dan Tanah (bag. 1)

Written By MuslimMN on Kamis, 21 September 2017 | 02.27

Sewaktu awal saya mondok 6 tahun di Baitul Arqom al-Islami Ciparay Bandung, pada Kyai Ali Imron Faqih, adik iparnya Kyai Ilyas Ruhiyat. Setelah itu melanjutkan ke Kyai Mudzakir di Banyurip Pekalongan, murid dari Mbah Dimyathi Termas, saya dapat ijazah Dalail dari beliau. Anehnya oleh adik Kyai Mudzakir –sosok unik yang selama 40 tahun tidak pernah keluar kamar- saya diajarkan cara berdebat dan cara mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah lewat surat yang ditulis sangat bagus oleh beliau, termasuk diajarkan mencintai para habaib.

Dari Kyai Mudzakir lah saya dipertemukan dengan Habib Luthfi Bin Yahya, yang waktu itu masih muda, dan Habib Ali Alattas (guru Habib Luthfi) saat itu masih hidup. Habib Ali Alattas adalah habib sepuh di Pekalongan yang unik. Tidak bisa melihat tapi mampu mengajar kitab Syarah Bukhari, yang berarti beliau hafal kitab tersebut di luar kepala. Dari Habib Luthfi saya minta petunjuk, dan dijawab oleh beliau, “Nanti setelah beres dari Kyai Mudzakir harus berangkat ke Kyai Abdullah Salam.”

Lalu saya pun (berguru) membaca al-Quran di Kyai Abdullah Salam, sekaligus kepada putra beliau Kyai Nafi’ Abdillah Salam Kajen Pati. Di sana tiba-tiba saya bertemu Mbah Lim. Dan Kyai Abdullah Salam dawuh, “Wis toh Man, ojo suwe-suwe ning Pati. Cukup puasa di sini 4 bulan, ziarah ke Mbah Mutamakkin, jangan lupa terus-menerus khatamin al-Quran, lalu kamu harus ke Tambakberas. Dan 40 hari jangan lepas baca Yasin Fadhilah di makamnya Kyai Wahab Hasbullah. Setelah itu jangan lama-lama mesantrennya, segeralah nikah!”

Akhirnya dari Mbah Mutamakkin saya lanjut ke Tambakberas, ke ar-Raudhah, di situ ada Abah Taufiqul Fattah. Ternyata di sana sudah ada santri putri yang dulu juga pernah 3 tahun mondok di Baitul Arqom Bandung. Akhirnya saya sering minta maaf ke Gus Roqib –yang saat itu Kepala Keamanan Pesantren Putri Tambakberas-  dan beliau bertanya mau ke mana Man, saya jawab “ke adik saya Gus!” Yang lalu dipersilakan masuk oleh beliau.

Mengingat masa-masa itu, Gus Roqib selalu tertawa, “Aku iki diapusi Maman terus-terusan. Saya kira dia itu adiknya beneran, ternyata pacarnya! Untung saja nikah.” Setiap kali saya ketemu Gus Roqib pasti tersenyum-senyum sendiri. 

Dari spirit itulah, sebenarnya ketika saya di Baitul Arqom Kyai Ali Imron terus-menerus menyuruh saya berziarah ke suatu makam leluhur beliau dan satu sumur yang sangat terkenal. Di pesantren pertama saya inilah tempat ditangkapnya Kartosuwiryo. Kyai Ali Imron sering bilang, “Dek,” panggilan beliau kepada saya. “Suatu saat kamu akan berhadapan dengan kelompok-kelompok seperti Kartosuwiryo. Orang bodoh tapi cita-citanya tinggi. Orang yang teriak-teriak Islam tetapi dia tidak mau mengaji. Orang yang kemana-mana ngomong syariat tapi kemana-mana dia bawa keris. Dia lebih percaya kepada keris daripada percaya kepada shalat. Itulah Kartosuwiryo, sahabatnya Bung Karno yang sama-sama belajar di Surabaya pada Pendiri SI (Sarekat Islam).”

Sampai hari ini saya sering datang ke Baitul Arqom karena adik bungsu saya menikah dengan putranya Kyai Ali Imron. Maka pesantren saya al-Mizan, Pesantren Baitul Arqom dan Pesantren Cipasung menjadi bersaudara karena pernikahan itu. Disamping tentu karena nasab keilmuan. 

Begitupula setelah saya di Banyurip Pekalongan, saya terus-menerus disuruh untuk berziarah ke beberapa makam termasuk Habib Ahhmad bin Abdullah bin Thalib Alattas di Sapuro. Sampai sekarang saya masih disuruh untuk mandi di suatu tempat di Banyurip dan Makam Sapuro.

Dan juga saat di Mbah Mutamakkin, yang mana di sana terdapat sumur-sumur keramat dan makamnya Mbah Mutamakkin. Tentu sejarah Mbah Mutamakkin sudah banyak yang membaca dan mengetahuinya. Bagaimana dulu beliau pernah berdebat dengan seorang penghulu Kudus, karena Mbah Mutamakkin memelihara anjing yang diberi nama nama sang penghulu tadi. Kita tahu sejarah mencatat Mbah Mutamakkin dianggap kalah, tetapi sejarah juga mencatat bahwa Mbah Mutamakkin lah yang menang dengan melahirkan Mbah Sahal Mahfudz dan melahirkan begitu banyak tokoh. Inilah NU, yang kadang-kadang disalahkan dalam tulisan sejarah namun realitanya NU-lah yang memenangkan pertarungan besar dalam segala jaman. 

Dan akhirnya sampailah saya di Tambakberas, disuruh mandi juga di salah satu sumur dekat al-Muhajirin. Ada tempat sampah di sana yang di belakangnya terdapat sumur keramat. Di Tambakberas ini mulai kenal dan dekat dengan Gus Dur.

Gus Dur akhirnya menjadi sejarah yang tak terlupakan. Tiba-tiba Gus Dur datang ke Cirebon, memegang erat-erat tangan saya sangat lama. Lalu beliau berkata, “Saya akan datang ke tempat Anda!” Gus Dur selalu menyebut kata ‘Anda’ ke saya waktu itu. “Dan akan menitipkan ruhnya Mbah Fattah di tempat Anda,” lanjut Gus Dur.

Jadi Gus Dur lah yang pertama-tama datang ke pesantren dan Gus Dur tidak pernah mau masuk ke dalam. Tiga kali hanya sekadar duduk di depan gerbang pesantren. Kata Gus Dur, “Pesantren ini akan didatangi banyak tokoh!” dan terbukti begitu banyak tokoh, beberapa menteri, beberapa duta besar, termasuk Presiden Jokowi datang ke pesantren saya. Itu semua hanya karena (berkat) doa Gus Dur. 

Dan Gus Dur waktu itu hanya menancapkan satu benda yang itu menjadi sumber air sampai sekarang. Saya sempat terpikir juga kenapa pesantren saya tidak besar-besar, ada makam di belakang pesantren yang entah makam siapa. Saya pernah bilang ke Gus Dur, “Pak, kadang-kadang Bapak perlu ke sana, cari tahu itu makam siapa.” Padahal Gus Dur bisa saja ngarang waktu itu, tapi beliau malah menjawab, “Tidak usah. Allah akan memberi keberkahan.”

Nah, dari Tambakberas lah memberikan kepada saya begitu banyak anugerah. Dari sana saya dipertemukan dengan wanita yang menjadi istri saya, juga dipertemukan dengan Gus Dur. Dan akhirnya Allah memberikan kemudahan pada saya ketika membangun pesantren yang diberi nama al-Mizan, berdiri tahun 1999.

Saya masih ingat ketika Ayip Rosyidi, seorang tokoh Jatiwangi Majalengka, dengan nyinyir mengatakan, “Sampai kiamat pun tidak akan pernah ada pesantren di tempat ini. Sampai kiamat pun tidak akan pernah ada santri yang mau mondok di pesantrenmu. Itu tempat merah, kotor, dlsb.” Tetapi dengan keramatnya Tambakberas ternyata santri semakin bertambah banyak yang mondok di Pesantren al-Mizan. Allah memudahkan itu semua.

Dari itu yang ingin saya tekankan adalah bahwa Tambakberas bukanlah sekadar nama, bukan sekadar tempat mencari ilmu, tetapi Tambakberas itu barokah. Tanah Tambakberas dalam klasifikasi tanah, itu tanah universitas. Jadi jika kita ingin membangun pesantren, tanyalah dulu kepada ahli hikmah (kyai yang bijak-bestari), “Tanah kita itu tanah tingkat apa?”

Karena ada tanah yang kita habis-habisan; orangnya pintar semua, di pondok dia hebat, menikah dengan istri yang hebat, tetapi tiba-tiba menempati tanah yang derajatnya hanya TK. Yang ada kemudian hanya pertengkaran, kekacauan, dan tidak berkembang. Makanya rata-rata pesantren itu menempati tempat yang klasifikasi tanahnya universitas. Masih ada kyai-kyai kita yang ahli hikmah.

Jadi berkah itu ‘ziyadatul khair’, bertambahnya kebaikan. Jadi Saya yakin sekali ketika Gus Dur bilang menitipkan Mbah Fattah di tempat ini, maka Allah memberikan banyak kemudahan. Ini salah satu kemudahan.

(Syaroni As-Samfuriy. Disampaikan oleh KH. Maman Imanulhaq, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka dan Ketua Umum LDNU Pusat dalam Pengajian Akbar dan Khataman Al-Quran Reuni IKABU (Ikatan Alumni Bahrul Ulum Tambakberas se-Jabodetabek).

HABIB LUTHFI BIN YAHYA; RAHASIA DI BALIK MUKJIZAT DAN KAROMAH

Written By MuslimMN on Kamis, 26 Januari 2017 | 15.23



Terdapat dalam manaqibnya Sayyidi Syaikh Abul Abbas al-Mursi dan Sayyidi Syaikh Abil Hasan asy-Syadziliy sebuah hadits Nabi Saw.: الْعُلُمَاءُ  وَرَثَةُاْلأَنْبِيَاءِ (ulama adalah pewaris para nabi). Imam asy-Syadziliy menafsirkan ulama itu ada dua macam; Ulama Shadiqun dan Ulama Shalihun. Yang pertama ulama shadiqun itu al-Auliya mitsl ar-Rusul, para wali seperti para rasul. Yang kedua ulama shalihun itu al-Auliya mitsl al-Anbiya, para wali seperti para nabi.

Kenapa dipisah (dibagi) menjadi dua, sebab kalau rasul itu berkewajiban (bertugas) balagh (menyampaikan), waballagha ar-risalah wa adda al-amanah wanashaha al-ummah wajahada fillahi haqqa jihadih. Masalah mengeluarkan mukjizat itu suatu kewajiban (bagi para rasul Allah) karena tashdiq (menjadi pernyataan kebenaran adanya risalah) untuk memperkuat kaum awam.

Kalau ulama berbeda dengan rasul dengan diberi karomah-karomah oleh Allah Swt. Semisal karomahnya Habib Ahmad Bafaqih Syihr Hadhramaut. Suatu ketika ada seorang Maghrabi ahli sihir yang ingin menjajal kewalian Habib Ahmad Bafaqih. Orang tersebut meniup pohon kurma yang sedang tumbuh dan berbuah, seketika pohon kurma tersebut terbakar hebat sampai habis. Habib Ahmad lalu berkata, “Coba tiup lagi agar pohon kurmanya hidup kembali.”

Orang tersebut menjawab tidak bisa. Lalu Habib Ahmad pun bertanya, “Oh ilmumu hanya segitu?” Kemudian Habib Ahmad langsung berucap, “Hai pohon kurma, bi-idznillah hiduplah seperti semula!” Seketika pohon kurma yang sudah hitam gosong tadi hidup kembali bahkan dengan dedauan dan buah-buahan yang lebih baik dari semula.

Menyaksikan yang demikian orang Maghrabi itu pun hanya terdiam melongo, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Akhirnya ahli sihir itu pun tunduk kepada Habib Ahmad Bafaqih.

Begitupula karomahnya Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Dulu di Tarim Hadhramaut ada seseorang asal Maghrabi yang sangat kaya, dia sedang jatuh cinta pada seorang wanita. Jaman itu ukir-ukiran terbaik emas dan perak adalah ukirannya Maghrabi. Akhirnya orang tersebut pergi ke Maghrabi hanya untuk memesan ukiran tersebut. Dipesanlah ukiran (gelang) teristimewa yang nantinya dipakai untuk melamar sang wanita pujaan.

Begitu pesanan sudah jadi, diajaklah si wanita itu ke rumah orang asal Maghrabi itu. Gelang itu lalu dipakaikan ke tangan si wanita pujaan oleh ibunya. Anehnya wanita itu langsung hilang entah ke mana. Penduduk Tarim pun menjadi geger. Dicari kesana-kemari bertanya kepada orang-orang pintar pun tidak ada yang sanggup menjawab dan mencarinya. Hingga bertemulah ia dengan Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad.

“Sudah, sekarang kamu pergilah kembali ke tukang yang membuat gelang itu.” Jawab Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Lalu pergilang orang tersebut ke Maghrabi sesuai perintah Habib Abdullah. Dan Habib Abdullah berpesan, “Tanyakan nanti, kembalikan atau tidak. Jika jawabannya tidak mau mengembalikan, tinggalkan saja dan pulanglah kembali ke Tarim.”

Sesampai di sana, ia melihat calon istrinya sedang berada di dalam ruangan seperti kurungan, tidak bisa keluar. “Orang ini memesan gelang jauh-jauh dari Tarim ke sini, pasti untuk seorang wanita yang cantik luar biasa,” batin tukang ukir itu saat pertamakali dipesani untuk membuatkan gelang. Pesan Habib Abdullah lalu disampaikan, dan ternyata jawaban tukang ukir tadi adalah ‘tidak mau’. Kemudian orang tersebut pun langsung pulang kembali ke Tarim.

Sesampai di Tarim ia langsung menghadap Habib Abdullah al-Haddad dan menyampaikan kejadian (jawaban) di atas. “Depan rumahmu tanahnya luas apa tidak?” Tanya Habib Abdullah kemudian. Lalu dijawab iya, yang kemudian Habib Abdullah berkata, “Ya sudah, tunggu saja besok ada apa, tapi jangan kaget nantinya.”

Besoknya di waktu Shubuh, begitu orang tersebut membuka pintu ia sangat kaget. Pasalnya tiba-tiba ada rumah di depan rumahnya, dan rumah itu persis seperti (modelnya) rumah orang Maghrabi. Begitu penghuninya keluar, setelah dilihat ternyata orang itu adalah tukang ukir asal Maghrabi. Sekarang yang kaget pun bertambah. Si tukang ukir itu pun bertanya-tanya, “Saya ini sedang di mana, koq tiba-tiba di tempat yang asing?”
Habib Abdullah al-Haddad yang sudah datang kemudian menjawab, “Ini di Tarim Hadharamaut. Rumahmu saya cabut pindah ke sini. Kembalikan wanita itu. Kamu hanya bisa memindah satu wanita, sedangkan saya memindah rumahmu sekaligus keluargamu saya pindahkan juga ke sini. Sekarang kamu mau apa?”

Akhirnya tukang ukir itu pun bertaubat, meminta maaf kepada Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad seraya mengembalikan si wanita. Itulah karomahnya para ulama jaman dulu. Dan ini merupakan jawaban-jawaban, namun jangan dimasukkan ke akal melainkan masukkan ke dalam iman. Sebab jika dimasukkan ke akal tidak akan masuk dan akal tetap akan menolak.

Begitupula karomah seorang ulama yang ada di Nusantara ini, Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon. Kenapa di makam beliau sampai sekarang banyak guci-guci dan piring-piring yang menempel di dinding makam. Kisah selengkapnya silakan simak dalam video dokumentasi berikut, sekaligus menyambungkan live streaming yang terputus tadi malam karena sinyal yang buruk: https://youtu.be/sP7G_m5thPE.

(Tulisan di atas adalah transkrip dan alih bahasa dari cuplikan mau’idzah hasanah Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya tadi malam dalam acara Maulid Nabi Saw. dan Haul Habib Umar bin Ali bin Hasyim bin Yahya & Sesepuh Desa Salakbrojo Kedungwuni, 27 Januari 2017. Oleh: Sya’roni As-Samfuriy via ibjmart.com)





SONGKOK HITAM BUNG KARNO DAN SORBAN DIPONEGORO

Written By MuslimMN on Sabtu, 10 Desember 2016 | 14.50



Mbah Wahab seorang ulama yang multitalenta. Selain menguasai ilmu agama beliau juga seorang politikus ulung, jago silat dan ahli wirid. Beliau menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkenal dan biasa diamalkan terutama di kalangan Pesantren sampai sekarang adalah:

“Maulaya shalli wasallim da-iman abada # ‘Ala habibika khairil khalqi kullihimi
Huwal habibulladzi turja syafa’atuhu # Likulli haulin minal ahwali muqtahami.”

Di pentas politik nasional, Mbah Wahab memperoleh lawan tanding yang layak: Bung Karno. Konon pernah terjadi ketika seluruh peserta pertemuan sudah siap di ruangan ketika Presiden Soekarno datang. Berjalan menuju tempat duduknya, Bung Karno menyempatkan diri menghampiri Mbah Wahab dan menepuk bahunya, “Ikut pendapatku!” kata Bung Karno, kemudian berlalu.

Mbah Wahab tidak menjawab. Bukan karena taat atau tak punya kata-kata, tapi tubuhnya mendadak kaku, lidahnya kelu. Hampir sepuluh menit beliau terpatung seperti itu. “Astaghfirullahal ‘adzim,” batinnya, “kena aku...”

Mbah Wahab jelas bukan orang yang gampang menyerah. Bung Karno baru selesai menyapa orang-orang ketika Mbah Wahab berhasil membebaskan diri dari ‘jurus’ Bung Karno itu. Belum lagi Presiden mantap duduknya, Mbah Wahab bangkit, ganti menghampiri dan menepuk pundaknya. “Aku punya pendapat sendiri!” kata Kiai Wahab.

Setengah jam Bung Karno terhenyak tanpa bergerak, hingga hadirin bengong, tak tahu yang terjadi.

Bagi Bangsa Indonesia, peci hitam memiliki arti penting. Peci ini dipakai Presiden pertama RI keliling dunia. Tak ayal, para pemimpin negara sahabat pun akrab dengan peci tersebut. Di mana peci hitam tampak, di situlah orang Indonesia disebut. Peci hitam memang menjadi identitas kebangsaan kita. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren”, Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri menceritakan tentang uniknya peci hitam.

Suatu ketika, di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959 muncul kisah menarik. Bung Karno, kata Kiai Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran. Akan tetapi, semuanya dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia. “Seandainya saya adalah Idham Chalid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” ujar Bung Karno sambil melihat respon hadirin.

Dengan yakin dan percaya, proklamator itu menegaskan tidak akan melepas peci hitam saat acara resmi kenegaraan. “Tetapi soal Peci Hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini. Benar enggak, Kiai Wahab?” tanya Bung Karno pada Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga anggota DPA, KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Dengan tangkas, Mbah Wahab pun segera menimpali lontaran Bung Karno itu. “Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para muballigh NU,” jawab sang kiai

Sontak, pernyataan kiai kharismatik ini langsung disambut gelak tawa seluruh anggota DPA. Suasana pun meriah oleh canda tawa dan tepuk tangan hadirin. “Dengan peci itu saudara telah mendapat banyak berkah. Karena itu, ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad. Ya, Ahmad Soekarno,” seloroh Kiai Wahab yang lagi-lagi disambut gelak tawa hadirin.

Dalam buku saku yang diterbitkan Panitia Haul ke-43 KH. A. Wahab Chasbullah disebutkan, kiai perintis, pendiri, dan penggerak Nahdlatul Ulama itu hampir tak lepas dari sorban dalam segala situasi. Baik di rapat-rapat NU, sidang parlemen, resepsi, istana negara, atau perjalanan. Suatu ketika Kiai Wahab berbicara pada sidang parlemen. Sebelum berdiri, ia membetulkan letak sorbannya. Sekelompok anggota parlemen komentar, “Tanpa sorban, kenapa sih?”

“Sorban Diponegoro,” jawab Kiai Wahab.

Ketika berdiri di podium, Kiai Wahab mengatakan, bahwa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Kiai Mojo, dan Teuku Umar juga mengenakan sorban. Penjelasannya itu membuat sebagian anggota parlemen tergelak, tapi kemudian terdiam.


Menurut sejarawan, silsilah keturunan Kiai Wahab jika dirunut ke atas maka akan sampai pada kisah heroik Kiai Abdus Salam. Kakek Kiai Wahab itu merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro di sektor timur (1825-1830). Kiai Abdus Salam merupakan putra Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir (Mas Karebet) bin Kebo Kenongo bin Pangeran Handayaningrat bin Lembu Peteng bin Pangeran Brawijaya VI. Dari trah para pejuang ini wajar jika kemudian Kiai Wahab tampil sebagai ulama yang tak pernah berhenti berpikir dan bergerak untuk umat. (Sumber: Ibjmart.Com)

AJARAN KEBANGSAAN HABIB LUTHFI BIN YAHYA

Written By MuslimMN on Kamis, 01 Desember 2016 | 10.59


Banyak sufi sepanjang beratus-ratus tahun sudah meninggalkan cerita mengenai kebijaksanaan mereka terkait dengan raja-raja serta penguasa. Cerita Imam al-Bashri dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, al-Junaid, al-Bisthami serta al-Karkhi dengan tokoh penguasa semasanya. Walau demikian, sekarang ini masihlah ada beberapa kiai yang mengambil posisi senantiasa berhadap-hadapan, mengritik petinggi dengan argumen itu yang diajarkan beberapa ulama kita dulu selalu untuk mengambil posisi berjarak dengan pemerintah. Lantaran argumen itu, masihlah ada penceramah yang menjamah kehormatan petinggi serta mencabik-cabik nama baiknya di hadapan khalayak, dengan argumen mengritik pejabat merupakan ajaran beberapa ulama dulu serta yang sudah mereka contohkan. Habib Luthfi mengecam keras pandangan seperti itu. Menurut Habib Luthfi, para ulama dulu sebagian bersikap demikian lantaran sistem pemerintah waktu itu tidak sama dengan saat ini. Dulu berbentuk monarki serta rakyat sekalipun tidak bisa ikut serta dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sekarang ini kita hidup dalam alam demokrasi, dimana peran aktif orang-orang serta tokoh agama begitu perlu untuk memberikan pertimbangan pada beberapa petinggi pemerintah dalam memastikan kebijakan. Lantaran lewat masukan orang-orang serta beberapa input dari golongan cerdik pandai pemerintah dapat mengambil policy yang pas. Pendirian Habib Luthfi seperti ini pada masa Orde Baru pasti tak populis. Nyaris semuanya kiai mengambil posisi berhadap-hadapan atau sekurang-kurangnya acuh pada penguasa. Seorang sufi besar, Ahmad bin Amad al-Barnasi al-Maghribi yang dikenal dengan Syaikh Zaruq (w. 899 H) menyampaikan: “...menjaga kestabilan itu hukumnya wajib. Serta memerhatikan kemaslahatan umum itu berbentuk pasti. Oleh karenanya beberapa ulama setuju kalau lakukan ‘makar’ pada pemimpin yang sah itu haram hukumnya, baik dalam perkataan ataupun perbuatan. Bahkan juga beberapa ulama setuju (ijma’; konsensus) sah shalat di belakang seseorang petinggi maupun orang umum yang baik ataupun yang dzalim sepanjang kefasikannya itu tak dikerjakan waktu shalat. Oleh karenanya Nabi Saw. bersabda, “Tidak mencemooh satu golongan orang-orang pada pemerintah mereka terkecuali mereka bakal terhambat dari kebaikan pemerintahnya itu.” Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, “Tidak melakukan perjalanan satu golongan orang-orang menuju tempat pemerintah dengan maksud menjelek-jelekan pemerintah, terkecuali Allah bakal mengejekkan mereka".” Habib Luthfi memanglah cuma menyampaikan kita mesti menghormati pemerintah. Mesti menghormati Presiden. Sebab Presiden itu lambang Negara. Serta beberapa lambang Negara punya sifat sakral. Di balik ajarannya itu, nyatanya ada landasan filosofis serta didasarkan atas sebagian alasan syariat. Seperti dijelaskan dalam keterangan Syaikh Ahmad Zaruq di muka kalau menghormati pemerintah tidak cuma menjadi keharusan yang berasaskan kearifan budaya tetapi ajaran Nabi Saw. Nabi mengingatkan barangsiapa yang mencemooh pemerintah, Allah bakal mengejekkannya. Bila petinggi itu dapat dibuktikan lakukan tindak pidana, menurut Habib Luthfi ada mekanisme serta cara perlakuannya. Walau demikian pada prinsipnya jangan pernah mengakibatkan kerusakan kesakralan beberapa lambang Negara. Dalam pandangan Habib Luthfi menghormati pemerintah yaitu sisi yang tidak terpisahkan dari bentuk kecintaan pada Bangsa serta Negara. Jalinan baik Habib Luthfi dengan pemerintah dapat dilihat dari kehadiran Presiden RI pada perayaan Maulid Nabi Kanzus Shalawat pada tahun 2004 serta 2014. Gubernur serta Wakil Gubernur dari beragam provinsi, serta menteri-menteri dalam perayaan Maulid Nabi. (Dikutip dari buku “Sejarah Maulid Nabi; Meneguhkan Semangat Keislaman serta Kebangsaan Mulai sejak Khaizuran 173 H sampai Habib Luthfi bin Yahya 1947 M-Sekarang)

KUNCI AGAR IBADAHNYA BENAR DAN KHUSYUK

Written By MuslimMN on Minggu, 27 November 2016 | 07.50



Kegemaran Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-Ishaqi adalah berziarah kepada para wali Allah, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Beliau mengenal mereka secara dekat, bukan hanya nama-nama mereka bahkan nasab dan hubungan mereka satu sama lain. Sampai-sampai beliau hidup-hidupkan dan beliau semarakkan peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani Ra. Sehingga hampir tiada hari yang lewat di kota maupun desa terutama di Jawa Timur, kecuali di situ terdapat majelis manaqib. Kiai Utsman adalah orang yang pertamakali menggagas penyelenggaraan Manaqiban.

يوم لاينفع مال ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم

Kiai Utsman menafsirkan “qalbun salim” dalam ayat ini sebagai hati yang selamat dari penyakit batin dan penuh rasa cinta kepada Allah, RasulNya serta para waliNya. Sebab, kata beliau, tanpa para wali kita tidak mungkin dapat mengabdi kepada Allah Swt. dengan benar. Maka banyak-banyaklah tawassul kepada Auliya’, insya Allah hati kita akan menjadi khusyuk.

Pernah terjadi saat Kiai Utsman memimpin istighatsah tiba-tiba datang seseorang yang tidak dikenal. Dia langsung menelantangkan Kiai Utsman dan melingkarkan pedangnya pada leher beliau. Kejadian tragis ini pun diceritakan kepada sang guru, Kiai Romli. Kiai Romli hanya menjawab, “Teruskan apa yang telah kamu amalkan. Orang tersebut tidak akan berani menancapkan pedangnya pada lehermu. Bahkan dalam waktu dekat ini orang itu tidak akan berpisah denganmu sejengkalpun.” Dan kenyataannya seperti apa yang dinyatakan oleh Kiai Romli Tamim.

Tentang keutamaan menaqiban, Kiai Utsman pernah mengatakan, “Tidak ada ibadah kepada Allah di muka bumi ini yang lebih utama daripada mencintai wali-wali Allah.”

Beliau juga mengatakan, “Mencintai para wali termasuk ketaatan yang terbesar. Dan mereka yang menghadiri majelis manaqib adalah orang-orang yang cinta kepada mereka (para wali Allah). Dan mencintai mereka adalah bukti akan adanya rasa cinta kepada Allah Swt.”

Haul Kiai Sepuh dan Haul Akbar Jatipurwo Surabaya

Kata Agus A. Danyalin bin Minanurrahman bin Utsman al-Ishaqi, “Disebut “Haul Akbar” karena yang diperingati haulnya ialah Kanjeng Syaikh Abdul Qadir al-Jilani Ra. Adalah acara yang dirintis oleh KH. M. Utsman al-Ishaqi Surabaya sejak dari tahun 1947-an (Manaqiban) dan Haul Akbar di tahun 1950-an. Bukan melihat berjibun jumlahnya yang hadir, tapi lebih kepada siapa yang diperingati haulnya. Itulah Haul Akbar.”

Haul Kiai Sepuh KH. M. Utsman al-Ishaqi Ra. akan diselenggarakan tanggal 4 januari 2017 M. dan Haul Akbar Kanjeng Syaikh Abdul Qadir al-Jilani Ra. akan diselenggarakan pada tanggal 9 Januari 2017 M. Bertempat di Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Raudlatul Muta’allimin Jl. Jatipurwo VII/15 Kel. Ujung Kec. Semampir Surabaya Utara. (Sumber: ibjmart.com)


SYAIKH MASDUQI LASEM; MACAN PUTIH DARI PULAU JAWA

Written By MuslimMN on Rabu, 26 Oktober 2016 | 06.58


Hadhratus Syaikh KH. Mashduqi bin Sulaiman al-Lasimi lahir sekitar tahun 1908 M. di Desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang dari pasangan KH. Sulaiman dengan Hj. Nyai Khadijah (Qolmini). Dari jalur ayah nasab beliau bersambung ke asy-Syaikh as-Sayyid Mutamakkin Kajen Pati yang bersambung ke Raden Achmad Rahmatullah (Sunan Ampel).

Sejak usia dini Mbah Mashduqi dididik oleh ayahandanya sendiri. Kemudian ketika menginjak usia remaja atas petunjuk sang ayah dan pamandanya, KH. Thayyib, beliau melanjutkan jenjang pendidikannya di Ponpes Tremas yang diasuh oleh Syaikh KH. Dimyathi bin Abdullah yang merupakan adik dari Syaikh KH. Mahfudz bin Abdullah (murid dari pengarang kitab I’anah ath-Thalibin) yang makamnya ada di Mekkah. Beliau menimba ilmu di situ selama 11 tahun dengan rincian 3 tahun belajar dan 8 tahun mengajar, yang salah satu dari sekian banyak muridnya di Tremas adalah KH. Hamid Pasuruan. Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya pada Syaikh KH. Masyhud Pacitan.

Usai belajar dari Pondok Tremas Mbah Mashduqi melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekkah al-Mukarramah selama 6 tahun. Di sana beliau belajar kepada Syaikh Umar Hamdan al-Maghrabi dan Syaikh Muhammad Ali al-Maliki al-Hasani al-Maghrabi. Di sana beliau dipercaya menjadi pengajar di Haramain. Murid-murid beliau semasa mengajar di Haramain banyak yang dari Indonesia, diantaranya KH. Bisyri Musthafa  Rembang dan KH. Masyhuri Rejoso Jombang.

Mbah Mashduqi mendapat gelar asy-Syaikh karena termasuk salah satu ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram. Pada waktu itu sebutan Syaikh dimiliki oleh 3 orang ulama, yaitu Syaikh Mashduqi al-Lasimi, Syaikh Mahfudz at-Turmusi (kakak kandung Syaikh Dimyathi) dan Syaikh Yasin al-Faddani.

Sepulang dari Mekkah beliau bertemu dengan Syaikh KH. Sayyid Dahlan, salah satu masyayikh di Pekalongan, yang kemudian menikahkan putrinya, Nyai Hj. Ma’rifah, dengan Mbah Mashduqi. Di Pekalongan Mbah Mashduqi sempat mendirikan pesantren, yang akhirnya banyak murid-murid beliau di Tremas banyak yang pindah ke Pekalongan dengan harapan dapat melanjutkan belajarnya pada beliau.

Mbah Mashduqi sangat terkenal kealimannya. Beliau termasuk ulama yang produktif menulis, hasil karyanya banyak dari beberapa fan ilmu. Setiap beliau mengaji suatu kitab, pasti diterangkan secara panjang lebar seakan mensyarahi kitab tersebut.

Setelah beberapa tahun tinggal di Pekalongan, beliau kembali lagi ke Lasem atas permintaan warga Lasem. Di Lasem Mbah Mashduqi mendirikan Pondok Pesantren al-Ishlah pada tahun 1950 M. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu darinya, diantaranya dari Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

Sebelum adanya bangunan Ponpes al-Ishlah, tanah yang akan dijadikan pesantren tersebut merupakan tempat judi, pelacuran dan tempat pembantaian PKI. Jauh-jauh hari sebelum Syaikh Mashduqi dilahirkan, pejabat desa setempat mengeluh kepada Sayyid Abdurrahman (Mbah Sareman) –ulama asal Tuban yang tinggal di Lasem yang terkenal kewaliannya- dengan mengatakan, “Mbah, bagaimana tempat itu koq dibuat  sarang maksiat?”

Kemudian Mbah Sareman mengatakan, “Akan ada Macan (harimau) Putih dari barat melewati sungai yang akan menempati tempat itu. Dan tanah itu akan menjadi tempat (produksi) ulama di Tanah Jawa.” Yang dimaksud dengan “Macan Putih” adalah Syaikh KH. Mashduqi dan yang dimaksud “sungai” adalah Sungai Bagan yang terletak ± 700 m sebelah barat tanah Ponpes al-Ishlah.

Diantara murid-murid Mbah Mashduqi adalah KH. Ishomuddin Pati, KH. Nur Rahmat Pati, KH. Salim Madura, KH. Makhrus Ali Lirboyo, KH. Zayadi Probolinggo, KH. Abdullah Faqih Langitan, KH. Miftahul Akhyar Surabaya, KH. Jazim Nur Pasuruan, K. Mukhtar Luthfi Nganjuk, KH. Imam Daroini Nganjuk, KH. Zuhdi Hariri Pekalongan, KH. Taufiqurrahman Pekalongan, KH. Abdul Ghani Cirebon, KH. Abdul Mu’thi Magelang, KH. Abdullah Schal Bangkalan, KH. Mashduqi Cirebon, KH. Makhtum Hannan Cirebon, KH. Syaerozi Cirebon, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Beberapa Kisah Keteladanan Mbah Mashduqi

Kisah berikut disarikan dari tulisan Gus M. Robert Azmi dari penuturan Kiai Mukhtar Luthfi dan KH. Imam Daroini (keduanya adik kandung Pendiri PP. Al-Fattah KH. Nahrawi ZAM) Nganjuk yang merupakan murid dari Mbah Mashduqi Lasem, mulai dari sisi ketawadhu’an, wira’i, tawakkal dan kesemangatan dalam mengajar.

Suatu ketika ada santri yang sowan Mbah Mashduqi. Karena saking hormatnya, santri tersebut ingin mencium tangan Mbah Mashduqi bolak-balik. Namun yang mengejutkan beliau langsung menampik, dan berkata, “Awakmu marai ndeder racun nang atiku! (Apakah engkau ingin menumbuhkan bibit racun di hatiku)?” Kemudian beliau melanjutkan, “Mashduqi kuwi sopo?” Akhirnya santri tersebut mengurungkan niatnya.

Sebuah hal lumrah bagi santri yang pulang ke rumah karena kangen dengan kampung halaman, dan merupakan kesunnahan untuk membawa oleh-oleh pada ulama. Namun tidak semua oleh-oleh diterima oleh Mbah Mashduqi. Beliau sering bertanya pada santri yang membawa oleh-oleh, “Iki jajan tekan ngendi (Oleh-oleh ini dari mana)?” Jika si santri menjawab dari orangtuanya, maka Mbah Mashduqi berucap “Alhamdulillah…”

Namun jika oleh-olehnya bukan dari rumah, Mbah Mashduqi akan berkata, “Haram! Awakmu disangoni Bapak-Ibumu dingge sangu mondok, ora dingge nukokke jajan aku (Haram! Kamu dikasih uang Ayah-Ibumu untuk uang saku mondok, bukan untuk membelikanku oleh-oleh).”

Waktu mengaji Mbah Mashduqi sering bercerita, “Aku kuwi anake bakul beras, budal mondok adol pitik, tak tukokne rokok, tak dol nang santri Tremas (Aku hanyalah anak pedagang beras, pergi mondok dengan menjual ayam, kemudian uangnya aku belikan rokok, dan kujual ke santri Tremas).”

Dalam kesempatan lain, waktu beliau ngaji, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Spontan santri yang mengikuti ngaji semburat melarikan diri. Dengan tersenyum beliau berkata, “Santri, santri, koq wedi karo rohmate Pengeran.” Kemudian beliau dengan tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat pengajian dengan berpayungkan sajadah beliau.

Pernah suatu ketika Kiai Mukhtar Luthfi mengikuti pengajian Tafsir Jalalain yang dikhatamkan hanya sebulan Ramadhan saja. Di tengah penat yang mendera dan kantuk yang sangat, banyak santri yang tertidur. Tiba-tiba Mbah Mashduqi menggebrak meja, “Bruaaakkk… Setane mlayu, setane mlayu,” diiringi tawa renyah beliau dan santri yang gelagapan bangun tidur.

Begitu pula sewaktu Mbah Mashduqi menyemangati para santri agar tidak cepat puas dengan ilmu yang didapatkannya, beliau dawuh, “Nahwu-shorofmu kuwi opo? Urung enek sak kuku irengku (Ilmu nahwu-sharafmu seberapa sih? Belum ada secuil kuku hitamku).”

Sebagai ulama yang ahli fiqih, nahwu, sharaf, tasawwuf dan banyak fan lainnya, sangatlah wajar apabila waktu mengaji Mbah Mashduqi mengoreksi kitab yang dibacanya. Syahdan, waktu itu beliau sedang membaca kitab Siraj ath-Thalibin karangan Syaikh Ihsan Jampes Kediri, yang sekarang menjadi salah satu mata pelajaran di Universitas Al-Azhar Kairo. Mbah Mashduqi sering berkata, “Iki keliru!” sambil langsung mencoret lafadz kitab tersebut dengan pena yang beliau bawa.

Kabar ini terdengar oleh Mbah Mat Jipang, salah seorang ulama Kediri yang sangat terkenal kecerdasannya sehingga masyarakat sekitar menjulukinya dengan Mbah Jipang, kepanjangan dari ngaji gampang. Mendengar itu, Mbah Jipang langsung berangkat ke Pondok Lasem dengan menyamar sebagai orang desa. Kemudian beliau bertamu ke Ndalem Mbah Mashduqi.

Setelah dipersilakan masuk, terjadilah adu argumen yang sangat tajam dan lama. Saking lamanya, debat antara Mbah Mashduqi dan Mbah Mat Jipang terjadi beberapa hari. Istirahat hanya saat waktu shalat dan waktu istirahat malam. Singkat cerita setelah debat usai, Mbah Mashduqi mengakui keilmuan Mbah Jipang dan membenarkan Siraj ath-Thalibin yang disalahkannya.

Pada kesempatan lain, Mbah Mashduqi berkata pada santri yang mengaji, “Aku kalah karo wong Kediri.” Latar belakang Mbah Mashduqi menyalahkan beberapa lafadz kitab tersebut adalah karena kehati-hatian beliau. Terbukti, selang beberapa waktu beliau berkata, “Syariat kuwi koyok dalan nang pinggir kali, nek minggir-minggir iso gampang kecemplung, sing aman nang tengah wae (Syariat itu ibarat jalan yang berada di pinggiran sungai, kalau terlalu ke pinggir akan mudah tergelincir, yang aman berjalan di tengah saja).”

Kewafatan Mbah Mashduqi

Hadhratus Syaikh KH. Mashduqi al-Lasimi termasuk runtutan pewaris Tanah Jawa setelah kurun asy-Syaikh KH. Asnawi Banten yang dikenal sebagai simbol Tombak Mangku Mulyo (Quthbul Jawi). Simbol tersebut merupakan warisan dari asy-Syaikh Subakir, orang pertama pembabat Tanah Jawa.


Mbah Mashduqi wafat pada tahun 1975 M, tepatnya tanggal 17 Jumadil Akhir tahun 1396 H. dan disemayamkan di Pondok Pesantren al-Ishlah Lasem. Sejak tahun itu Ponpes al-Ishlah diteruskan oleh puteranya, Syaikh KH. Hakim Mashduqie, yang dilahirkan sekitar tahun 1942 M. Di usia yang sangat muda, 12 tahun, Syaikh Hakim sudah mengajarkan kitab Jam’ al-Jawami’. Di usia 17 tahun beliau menyusun karya tulis dalam fan ilmu tauhid berbentuk sya’ir yang dinamai “Nadzam Ibn al-Lasimiy”. Kemudian kitab tersebut disyarahi pada usia 40 tahun dan diberi nama “adz-Dzakhair al-Mufidah” yang sudah tersebar di berbagai penjuru negeri seperti Bangladesh, Mekkah dan Yaman. Karya tulis lainnya berjudul “Ghayat al-Maram fi Ahadits al-Ahkam” yang berhubungan dengan hadits-hadits Rasulullah Saw. (*IBJ)

PESAN DI BALIK KISAH HABIB LUTHFI DI HARI SANTRI

Written By MuslimMN on Senin, 17 Oktober 2016 | 17.18



Saya selaku cucunya Habib Hasyim sendiri baru mengetahui belum lama. Dalam hati saya sendiri bertanya mengapa saya baru mengerti? Di tempatnya guru saya, Kiai Abdul Fattah, setiap Selasa pagi diadakan pengajian kitab Ihya Ulumiddin dengan pengajar al-Alim al-Allamah Kiai Irfan Kertijayan Pekalongan. Kiai Irfan adalah murid dari Kiai Amir Simbang.

Setiap kali Kiai Irfan melihat saya selalu memandang dengan serius, tapi nampak ragu untuk bertanya. Mungkin takut salah (sangka). Waktu itu yang menjadi saksi sejarah adalah Kiai Irfan, Kiai Abdul Fattah, Kiai Abdul Adzim dan beberapa kiai yang lain. Sayangnya para saksi sejarah ini sudah tiada semua. Beliau (Kiai Irfan) bertanya kepada saya, “Habib Luthfi ini kalau saya lihat pakaiannya, cara jalannya, seperti guru saya al-Habib Hasyim bin Umar bin Yahya. Beliau termasuk menjadi ulama rujukan di Indonesia. Bahkan setiap bulannya di kediaman beliau sering berkumpul para ulama dari luar Negara.”

Saya tidak berani menjawab. Perasaan saya malu. Karena saya mempunyai kakek yang begitu hebatnya tapi saya sendiri belum mampu untuk bisa meniru walau setetes. Karena saya diam, Kiai Abdul Adzim dan Kiai Abdul Fattah yang menjawabnya, “Dia cucunya Habib Hasyim bin Umar.”

Langsung saja Kiai Irfan menangis dan merangkul saya karena saking gembiranya. Lalu beliau berkata, “Mumpung saya masih hidup. Umur saya sekarang sudah 83. Mumpung masih ada umur, saya takut sejarah ini hilang. Ketahuilah, ketika Mbah Hasyim  Asy’ari sudah keliling muter untuk mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) beliau terlebih dahulu beristikharakh di Makkah al-Mukarramah. Singkat ceita, dari istikharahnya tersebut dihasilkan sebuah keputusan oleh para ulama yang ada di sana seperti Kiai Ahmad Nahrawi, guru tarekat Syadziliyah terkenal, Kiai Mahfudz at-Turmusi, dan beberapa tokoh ulama lainnya, bahwa, “Di Jawa, keputusannya hanya ada di dua orang. Yang pertama al-Habib Hasyim bin Umar bin Yahya Pekalongan, dan yang kedua Mbah Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Bilamana dua orang ini setuju, maka dirikanlah Nahdlatul Ulama. Tapi apabila dua orang ini tidak berkenan, jangan dibantah.”

Akhirnya Mbah Hasyim Asy’ari kembali (ke tanah air). Sesampainya di rumah beliau langsung menuju ke Kudus untuk meminta Kiai Asnawi dan Kiai Yasin mendampinginya. Terus (dilanjut) ke Pekalongan menuju rumahnya Kiai Muhammad Amir, dan di situ sudah ada Kiai Irfan yang memang sudah dipersiapkan, karena mendengar Kiai Hasyim akan berkunjung.

Lalu Kiai Hasyim didampingi Kiai Asnawi, Kiai Yasin, Kiai Amir dan Kiai Irfan datang ke rumah Habib Hasyim. Sesampai di sana, Habib Hasyim berkata, “Hasyim, saya ridhai kalau kamu mendirikan suatu wadah untuk Ahlussunnah wal Jama’ah.”

(Mendengar jawaban tersebut) Mbah Hasyim Asy’ari sangat senang hati. Setelah menginap (beberapa hari) di Pekalongan, beliau meminta kepada Habib Hasyim untuk mengajarinya (menambah) ilmu hadits. Maka setiap Kamis Wage, beliau mesti datang ke Pekalongan belajar ilmu hadits kepada Habib Hasyim.

Dari Pekalongan Mbah Hasyim Asy’ari langsung menuju ke Mbah Kholil Bangkalan. Begitu sampai di sana, Mbah Kholil langsung dawuh, “Sudah, pokoknya apa kata Habib Hasyim itu benar. Saya cocok. Dirikanlah, jangan lama-lama lagi.” Sehingga berdirilah Nahdaltul Ulama.

Saat sebelum keberangkatan ke Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari dipesani Habib Hasyim, “Tapi tolong, nama saya jangan ditulis.” Akhirnya Mbah Kholil pun sama (tidak mau ditulis namanya). Akhirnya Kiai Hasyim bertanya, “Kalau tidak mau ditulis semua, lalu bagaimana (sejarah nantinya)?”

“Ya sudah ndak apa-apa saya ditulis, tapi jangan banyak-banyak”, jawab Mbah Kholil.

Di kesempatan lain saat Habib Luthfi duduk bersama Gus Dur, Faizin dimintai untuk menjadi saksi agar tidak dianggap mengada-ada. Habib Luthfi lalu menceritakan kisah di atas kepada Gus Dur. Tapi ternyata kemudian Gus Dur menerangkan jauh lebih luas lagi tentang peranan Habib Hasyim dengan Mbah Hasyim ketika awal berdirinya Nahdlatul Ulama. Maka jangan heran kalau keluarga Mbah Hasyim Asy’ari, khususnya Gus Dur, dengan kita dekat. Itu meneruskan sebagaimana keakraban para sesepuh, para ulama kita jaman dulu.

Menceritakan itu memang mudah, tapi intinya cuma satu, “Mampukah kita meneruskan thariqah (jalan perjuangan)nya para beliau atau tidak?” Pungkas Habib Luthfi bin Yahya. (*IBJ, disarikan dari rekaman video berikut: https://youtu.be/xlJg7jxbFxQ).


Cerita Abah Kiai Masruri Brebes Tentang Gus Dur

Written By MuslimMN on Selasa, 11 Oktober 2016 | 10.27



KH. Masruri Abdul Mughni, pernah sama-sama nyantri bersama Gus Dur kepada KH. Abdul Fatah Hasyim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. “Kamar saya dan Gus Dur bersebelahan. Saya di kamar Pangeran Diponegoro 7, Gus Dur di kamar Pangeran Diponegoro 6,” katanya.

“Tapi dia berkali-kali bilang kalau yang benar-benar menjadi gurunya adalah Mbah Fatah (KH. Abdul Fatah Hasyim) dan Mbah Chudlori (KH. Chudlori) Tegalrejo Magelang,” lanjut Abah Masruri.

Ketika semua orang mengecam Gus Dur karena mau berangkat ke Israel, ia mengatakan, “Biar semua orang mau bilang apa yang penting Mbah Fatah dan Mbah Chudlori mangestoni (memberi restu).” Padahal kedua gurunya itu sudah wafat. Karena itulah banyak yang yakin cucu KH. Hasyim Asy’ari itu punya kemampuan berkomunikasi dengan dunia ghaib.

“Gus Dur yakin betul melawan Israel tidak bisa dengan kekerasan, tetapi mau tidak mau harus pakai jalur diplomatik. Ya harus ke sana bicara baik-baik,” tutur Kiai Masruri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah-2, Benda, Sirampog, Brebes itu.

Demikian pula saat terjadi penembakan terhadap umat Islam minoritas di India, KH. Abdurrahman Wahid di Bali malah mengatakan, “Kalau Mahatma Gandhi Islam, ia adalah wali besar.”

Pernyataannya itu kemudian dikutip sebuah majalah Ibu Kota tanpa kata-kata “Kalau”. Sehingga seolah-olah Gus Dur menyebut Mahatma Gandhi wali besar. Gegerlah semua kiai dan habaib di Indonesia. Melalui jalur Forum Demokrasi (Fordem) India, Gus Dur menempuh jalur diplomasi. Hasilnya umat Islam minoritas tidak ditembaki lagi.

“Saya sedih dihujat umat Islam Indonesia, tetapi saya senang karena umat Islam India tidak ditembaki lagi,” tutur Gus Dur seperti ditirukan Kiai Masruri.

Banyak hal yang sudah dilakukan Gus Dur tanpa orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Contoh bagaimana humanisnya cucu KH. Hasyim Asy’ari itu disampaikan Drs. H. Ali Mufiz MPA. Saat itu ia yang menjadi Wakil Gubernur Jateng menemui Gus Dur di kantor PBNU. “Gus Dur satu mobil bersama pamannya, KH. M. A. Sahal Mahfudh keluar dari kantor mengambil honor tulisan di Kantor Majalah Tempo,” katanya.

Pada saat tiba kembali di kantor PBNU, tiba-tiba datang seorang temannya yang mengeluh butuh biaya untuk mengobati keluarganya yang sakit. Tanpa menengok kanak-kiri, amplop honor tulisan yang baru saja diambil dari Majalah Tempo langsung diserahkan kepada temannya itu, tanpa sempat membuka isinya terlebih dahulu. Ya, Gus Dur telah tiada, tetapi spiritnya akan terus ada ila akhir zaman. (Sumber: fiqhmenjawab.blogspot.co.id)



Anda Yakin Lebih Baik dari Pemabuk?

Written By MuslimMN on Selasa, 04 Oktober 2016 | 11.57



Jika Anda merasa lebih baik dari pemabuk, renungkan nasihat Syaikh Imam Muhammad al-Ghazali, ulama kenamaan Mesir berikut.

Suatu hari aku berkata kepada peminum minuman keras, “Kenapa engkau tidak taubat kepada Allah?”

Dia menatapku dengan perasaan yang hancur, berlinang air mata lalu dia berkata, “Syaikh, doakanlah aku.”

Aku merenungi keadaan pria itu, dan hatiku luluh karenanya. Tangisannya menunjukkan kesadaran atas kelancangannya menerjang larangan Allah, kesedihannya adalah pengakuan atas kecerobohannya, dan dia mempunyai keinginan kuat untuk memperbaiki diri. Dia sungguh-sungguh orang beriman, aku sangat yakin, namun dia diuji oleh Allah. Dia begitu ingin mendapatkan penjagaan dari Allah (‘afiyah), dan ia memohon aku mendekatkannya.

Aku berkata pada diriku, “Diri ini tak jauh beda dengan pria itu atau boleh jadi aku lebih buruk”. Betul aku sama sekali belum pernah meminum minuman keras, tapi karena memang lingkungan pergaulanku tidak mengenal minuman keras. Namun aku seringkali lalai kepada Allah yang tak ubahnya dan sama buruknya dengan meminum minuman keras, karena lalai, Allah hilang dari kesadaranku. Dan aku lupa hak-hak Allah. Pria peminum khamer itu menyesali perbuatannya, sedangkan aku dan orang yang kondisinya sama denganku tak pernah menyesali kekeliruan kami. Kami tertipu oleh angan-angan kami sendiri.

Aku menatap pria peminum yang meminta doa dariku, aku katakan padanya ayo berdoa bersama-sama: “Ya Allah kami sungguh menganiaya diri kami, seandainya Engkau tidak mengampuni kami niscaya kami dalam keadaan merugi.”

Aku berpesan pada para da’i yang sering berdakwah atau berceramah, berhati-hatilah terhadap orang lain. Sungguh-sungguhlah memahami agama. Karena orang yang dikehendaki buruk maka ia tidak diberi pemahaman yang baik tentang agama, walaupun dia adalah pendakwah ulung yang ceramah di berbagai penjuru kota. (Sumber: Imam Muhammad al-Ghazali dalam bukunya “Dustur Tsaqafiyah Baina al-Muslimin” via Fp  IlmuTasawuf.Com)


Profil Singkat Syaikh Muhammad Al-Ghazali


Di dalam kata pengantar buku berjudul Studi Kritis atas Hadits Nabi karya Syaikh Muhammad al-Ghazali, Prof. DR. Quraish Shihab menyatakan secara terbuka kekaguman beliau terhadap Syaikh Muhammad al-Ghazali. Dan berikut adalah profil singkatnya.

Syaikh Muhammad al-Ghazali lahir tahun 1917 di al-Bahirah, Mesir. Beliau adalah alumni al-Azhar dan menjadi guru besar di sana. Disamping itu, beliau juga guru besar di beberapa universitas di Timur Tengah. Beliau hafal al-Qur'an 30 juz di usia 10 tahun. Ketika menjadi imam shalat Tarawih, beliau biasa membaca al-Quran sebanyak satu juz. Beliau sangat suka membaca buku. Karena saking asyiknya, beliau membacanya sambil makan.

Beliau adalah orator ulung dan penulis produktif yang banyak menulis artikel di koran maupun majalah baik lokal maupun internasional. Buku-buku yang beliau tulis sangat banyak jumlahnya, lebih dari 50 judul. Buku-buku itu bertemakan dakwah, harakah, sosial politik, tafsir, hadits, fikih, sejarah, dan tasawuf. Karena beragamnya tema yang beliau tulis, menunjukkan luasnya wawasan keilmuan beliau.

Beliau adalah ulama yang berakhlak mulia dan takut kepada Allah. Air matanya sering meleleh karena ketakwaan dan sensitifitas hatinya pada dosa. Karya-karya beliau, terutama di bidang tasawuf, mencerminkan kepribadian beliau yang satu ini. Setiap orang yang membaca karya-karya beliau akan merasakan hal ini. Beliau tidak segan meralat ucapannya bila terbukti salah. Hal ini menunjukkan keinginan beliau untuk selalu dalam kebenaran.

Pengajian beliau sangat ramai dikunjungi orang. Ruang kuliah terisi penuh ketika beliau menyampaikan materi perkuliahan. Bahkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak terkait dengan perkuliahan tersebut, ikut nimbrung di dalamnya karena merasa tertarik dengan bahasan-bahasan yang beliau sampaikan. Beliau berbicara tentang masalah apapun, selalu menarik untuk didengarkan.

Diantara murid beliau yang terkenal adalah DR. Yusuf al-Qaradhawi, DR. Muhammad Imarah, DR. Ahmad Assal, DR. Abdul Halim Uwais, DR. Jamal Athiyyah dan DR. Imaduddin Khalil.

Beliau wafat pada tahun 1996 saat mengikuti seminar dakwah Islam di Saudi Arabia dan dikubur di pemakaman Baqi’ Madinah al-Munawarah. Tempat makam ini terkenal sebagai kuburan bagi para syuhada, ulama dan orang-orang saleh. Semoga Allah merahmati beliau, membalas kebaikan beliau dan menjadikan karya-karya beliau sebagai amal jariyah yang tidak putus-putus pahalanya. Amin.


(Dimoderasi dari buku Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang Saya Kenal karya DR. Yusuf Al-Qaradhawi dan Kata Pengantar Prof. DR. Quraish Shihab dalam buku Studi Kritis atas Hadits Nabi karya Syaikh Muhammad al-Ghazali).
 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template