Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Kyai Pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kyai Pesantren. Tampilkan semua postingan

Cerita Abah Kiai Masruri Brebes Tentang Gus Dur

Written By MuslimMN on Selasa, 11 Oktober 2016 | 10.27



KH. Masruri Abdul Mughni, pernah sama-sama nyantri bersama Gus Dur kepada KH. Abdul Fatah Hasyim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. “Kamar saya dan Gus Dur bersebelahan. Saya di kamar Pangeran Diponegoro 7, Gus Dur di kamar Pangeran Diponegoro 6,” katanya.

“Tapi dia berkali-kali bilang kalau yang benar-benar menjadi gurunya adalah Mbah Fatah (KH. Abdul Fatah Hasyim) dan Mbah Chudlori (KH. Chudlori) Tegalrejo Magelang,” lanjut Abah Masruri.

Ketika semua orang mengecam Gus Dur karena mau berangkat ke Israel, ia mengatakan, “Biar semua orang mau bilang apa yang penting Mbah Fatah dan Mbah Chudlori mangestoni (memberi restu).” Padahal kedua gurunya itu sudah wafat. Karena itulah banyak yang yakin cucu KH. Hasyim Asy’ari itu punya kemampuan berkomunikasi dengan dunia ghaib.

“Gus Dur yakin betul melawan Israel tidak bisa dengan kekerasan, tetapi mau tidak mau harus pakai jalur diplomatik. Ya harus ke sana bicara baik-baik,” tutur Kiai Masruri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah-2, Benda, Sirampog, Brebes itu.

Demikian pula saat terjadi penembakan terhadap umat Islam minoritas di India, KH. Abdurrahman Wahid di Bali malah mengatakan, “Kalau Mahatma Gandhi Islam, ia adalah wali besar.”

Pernyataannya itu kemudian dikutip sebuah majalah Ibu Kota tanpa kata-kata “Kalau”. Sehingga seolah-olah Gus Dur menyebut Mahatma Gandhi wali besar. Gegerlah semua kiai dan habaib di Indonesia. Melalui jalur Forum Demokrasi (Fordem) India, Gus Dur menempuh jalur diplomasi. Hasilnya umat Islam minoritas tidak ditembaki lagi.

“Saya sedih dihujat umat Islam Indonesia, tetapi saya senang karena umat Islam India tidak ditembaki lagi,” tutur Gus Dur seperti ditirukan Kiai Masruri.

Banyak hal yang sudah dilakukan Gus Dur tanpa orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Contoh bagaimana humanisnya cucu KH. Hasyim Asy’ari itu disampaikan Drs. H. Ali Mufiz MPA. Saat itu ia yang menjadi Wakil Gubernur Jateng menemui Gus Dur di kantor PBNU. “Gus Dur satu mobil bersama pamannya, KH. M. A. Sahal Mahfudh keluar dari kantor mengambil honor tulisan di Kantor Majalah Tempo,” katanya.

Pada saat tiba kembali di kantor PBNU, tiba-tiba datang seorang temannya yang mengeluh butuh biaya untuk mengobati keluarganya yang sakit. Tanpa menengok kanak-kiri, amplop honor tulisan yang baru saja diambil dari Majalah Tempo langsung diserahkan kepada temannya itu, tanpa sempat membuka isinya terlebih dahulu. Ya, Gus Dur telah tiada, tetapi spiritnya akan terus ada ila akhir zaman. (Sumber: fiqhmenjawab.blogspot.co.id)



KISAH SAYYID MUHAMMAD AL-MALIKI, HABIB LUTHFI BIN YAHYA, DAN SUHARTO

Written By MuslimMN on Kamis, 26 Mei 2016 | 23.55



Dalam salah satu rihlahnya ke Singapura, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki ditemui oleh seseorang. Setelah lama duduk bersimpuh di hadapan Sayyid Muhammad dan berbincang-bincang lama, sesaat kemudian orang tersebut berpamitan untuk berangkat ke Indonesia hendak menemui salah satu habib yang terkenal di Indonesia yakni Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan Jawa Tengah.

Kemudian Sayyid Muhammad bertanya kepada orang tersebut, "Kenapa kamu ingin menemui Habib Luthfi bin Yahya?”

"Beliau (Habib Luthfi bin Yahya ) adalah salah satu wali min auliyaillah yang terkenal. Saya ingin barokah dari beliau," jawabnya.

Sejenak kemudian Sayyid Muhammad berkata kepadanya: "Kenapa kamu repot-repot datang ke Indonesia? Sebentar lagi yang kamu maksudkan itu akan datang ke sini untuk menemui saya."

Tidak lama kemudian, benar juga apa yang dikatakan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Tiba-tiba Habib Luthfi bin Yahya muncul di hadapannya ketika orang tersebut hendak pergi.

Habib Luthfi bin Yahya lalu berkata kepada orang tersebut: "Selama masih ada Abuya Sayyid Muhammad ini, kamu tidak perlu repot-repot mendatangi saya. Beliau adalah al-‘allamah waliyullah dan seorang Quthub di masanya."

Melihat kejadian itu orang tersebut tercengang dan hanya tertunduk diam.


Sayyid Muhammad Tahu Suharto Akan Lengser 4 Tahun Sebelumnya

Pada musim haji tahun 1994, Habib Abdullah bin Ahmad al-Jufri -menantu Habib Hasan Baharun Bangil- melaksanakan ibadah haji bersama dengan rombongan dari Indonesia. Sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar jamaah haji Indonesia, beliau juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke pondok Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.

Sayyid Muhammad memanggil salah satu santrinya yang bernama Mustafa Husain al-Jufri untuk melakukan suatu tugas. Setelah menyelesaikan tugasnya ia dipanggil menghadap Abuya Sayyid Muhammad. Kemudian beliau bertanya kepada Habib Abdullah yang saat itu sedang duduk di hadapannya, "Apa kamu kenal dengan orang ini?" sambil manunjuk pada Habib Mustafa.

"Ya, Abuya. Dia Mustafa Husain al-Jufri," jawab Habib Abdullah al-Jufri.

Abuya melanjutkan, "Bagaimana kalian bisa saling kenal, sementara Mustafa semenjak kecil sudah di sini. Apakah ada hubungan keluarga?”

Habib Abdullah menjawab, "Kami baru saja berkenalan sesaat sebelum bertemu dengan Abuya."

"Oh, ya”, ucap Abuya. "Tahukah wahai Habib Abdullah, bahwa Mustafa adalah tiangnya pondok ini. Ia tidak akan meninggalkan pondok ini kecuali setelah Suharto (mantan Presiden Indonesia) dilengserkan."

Mereka berdua menanggapi perkataan Abuya itu dengan senyuman manis. Mereka berfikir mungkin Abuya sedang bercanda, karena sepertinya Suharto tidak mungkin dilengserkan. Namun di luar dugaan, sekitar 4 tahun kemudian ketika Habib Mustafa al-Jufri diizinkan pulang, waktu itu adalah saat dimana terjadi demo besar-besaran yang menuntut Suharto lengser.

Ketika Habib Mustafa telah berada di Indonesia dan bertemu dengan Habib Abdullah al-Jufri dalam suatu kesempatan, mereka memperbincangkan kembali apa yang pernah diucapkan oleh Abuya Sayyid Muhammad 4 tahun silam. "Sungguh perkataan Abuya itu tidak main-main. Subhanallah." Ungkap keduanya. (Dimoderasi dari kitab al-Injaz fi Karamat Fakhr al-Hijaz karya Habib Mustafa Husain al-Jufri).

28 DAWUH KH. MAIMOEN ZUBAIR

Written By MuslimMN on Kamis, 19 Mei 2016 | 01.31


Berikut adalah sebagian dawuh Mbah Maimoen Zubair yang sempat saya kumpulkan sewaktu ngaji:

1. "Sampeyan sekolah model apapun, seng penting ojo ninggalno ngaji." (Anda sekolah yang bagaimanapun, terpenting jangan tinggalkan ngaji).

2. "Dzurriyatur Rasul kebanyakan tak terlihat, maka jangan menjelek-jelekkan orang Islam."

3. "Kulo gadah (punya) guru namine (namanya) KH. Abdullah bin Nuh. Beliau kalau mau mengajar harus muthalaah dahulu, padahal beliau sangat alim."

4. "Wong koq neng omah terus kaprahe ora sehat, mulane sekali-kali refreshing." (Umumnya orang yang kebanyakan di rumah itu tidak sehat, maka sesekali perlu refreshing).

5. "Kelompok yang menguasai dataran tinggi Golan maka akan menguasai dunia. Seperti yang terjadi saat ini, Yahudi sekarang yang menguasai dataran itu."

6. "Wong iku kudu duwe jiwa Nasionalis." (Orang itu harus punya jiwa Nasionalis).

7. "Jangan mengatakan negara Uni Soviet itu komunis. Pemerintahannya saja yang komunis. Karena dulu Uni Soviet itu terdiri dari banyak daerah seperti Uzbekistan, Turkmenistan, dll. yang mayoritas Muslim. Dan banyak ulama besar lahir di sana seperti Imam Bukhari, Imam Samarkandi, dll. Cuma Rusia yang non-Muslim."

8. "Setelah shalat Shubuh jangan tidur lagi, karena bisa menyebabkan faqir."

9. "Kalau kamu ditanya alamat oleh seseorang jawablah dengan alamat desamu, jangan kotamu dulu. Karena ulama-ulama itu bangga dengan desanya."

10. "Kiai iku kudu iso moco kitab kosongan." (Kiai itu harus bisa membaca kitab kuning gundul).

11. "Ora kudu pinter bercakap-cakap bahasa Arab. Seng kudu iku biso moco tulisan Arab lan paham." (Tidak harus pandai bercakap bahasa Arab. Yang harus adalah bisa membaca tulisan Arab dan paham).

12. "Syaikh Ihsan Jampes iku ngalim, iso ngarang kitab Sirajut Thalibin. Ngalime koyo ngono tapi ngomong-ngomong Arab gak patek lancar." (Syaikh Ihsan Dahlan Jampes Kediri itu alim, mampu mengarang kitab Siraj ath-Thalibin. Beliau yang begitu alimnya saja dalam percakapan bahasa Arab kurang begitu lancar).

13. "Wong wareg iku angel ngalime." (Orang yang kenyang itu sulit menjadi alim).

14. "Gusti Allah ojo mbok tuntun." (Allah Swt. jangan didikte).

15. "Wong seng apik iku wong seng ora berubah waktu seneng utowo susah." (Orang yang baik itu orang yang tidak berubah sewaktu suka ataupun susah).

16. "Al-Quran keterangane kadang dibolan-baleni. Mulane wong koq bosen karo al-Quran berarti lemah imane." (Al-Quran keterangannya terkadang diulang-ulang. Maka, jika ada orang yang bosan terhadap al-Quran pertanda lemah imannya).

17. خير الامور وسط # حب التناهي غلط . "Yang terbaik dalam segala sesuatu adalah yang moderat (pertengahan) # Sedangkan suka pada penghinaan adalah suatu kesalahan."

18. "Nek arep ngomong ojo waktu jengkel." (Kalau mau berbicara jangan di saat marah).

19. "Orang yang kamu ikuti itu kudu seng pinter agomo (harus yang pandai agama/seorang ulama).

20. "Kanjeng Nabi walaupun sebagian paman-pamane kafir lan mungsuhi (memusuhi), tetapi Beliau (Saw.) tetap bersilaturahim pada mereka."

21. "Kudu biso moco (harus bisa baca kitab) Fathul Mu'in lan Fathul Qarib."

22. "Biso parek karo Allah iku dengan bil ilmi wattaqwa." (Bisa dekat dengan Allah itu dengan ilmu dan ketakwaan).

23. "Ora do iso moco kitab koq arep gawe Khilafah." (Tidak bisa baca kitab kuning koq mau membuat/mendirikan Khilafah!).

24. "Ora usah sombong, seng kurikulum ben kurikulum, pancen wes wayahe. Seng penting Sampeyan ngaji." (Tidak usah sombong, yang memakai sistem kurikulum biarkan saja dipakai, memang sudah waktunya. Yang penting Anda ngaji).

25. "Wong-wong sholeh walaupun faqir mereka tetep nyaman seperti Syaikh Abil Hasan asy-Syadzili."

26. "Apik-apike ke-futuh iku melek dalu karo moco kitab kerono Allah Ta'ala." (Terbukanya hati (futuh) itu paling baiknya terjaga di malam hari sambil baca kitab dengan ikhlas).

27. "Omah nek dinggoni sholat sunnah jembar rizqine." (Rumah jika dipakai untuk shalat sunnah maka rizkinya luas).

28. "Duwe anak iku apike jumlahe sedengan, yo ora akeh yo ora sitik. Mergo Kanjeng Nabi pernah ditakoi sahabat tentang urip susah. Nabi jawabe: كثرت العيال وقلة المال. (Punya anak sebaiknya berjumlah yang cukup/sedang, tidak banyak juga tidak sedikit. Karena Nabi pernah ditanya oleh sahabat tentang hidup susah, maka jawab Nabi Saw.: "Banyak anak sedikit rizki/harta.").

(Diolah dari: fb Si Pitung Masakini).

HABIB LUTHFI BIN YAHYA YANG SAYA SAKSIKAN

Written By MuslimMN on Senin, 02 Mei 2016 | 18.07


Tepat di bulan Ramadhan tahun kemarin, kami serombongan sowan menghadap Habib Luthfi bin Yahya di kediamannya di Pekalongan. Ba'da Isya kami serombongan berlima menghadap Habib Luthfi di ruangan yang biasa beliau menerima para tamu. Di sana sudah banyak tamu yang berjejer mengantri mengutarakan maksud dan keperluan.

Sebelum rombongan kami dipersilakan, Habib Luthfi lebih dulu mempersilakan salah seorang santri Lirboyo yang hendak meminta "tash-hih" (koreksi) atas buku karya ilmiah tamatannya. Perlu diketahui, di Pesantren Lirboyo setiap jenjang akhir (tamatan) aliyah ada tim kodifikasi yang ditugasi menyusun karya-karya ilmiah dan menerbitkannya menjadi sebuah buku. Per-tahunnya minimal ada 3 jilid besar karya baru yang berhasil ditelorkan para santri tamatan. Kembali ke cerita, santri itu lalu membuka buku yang hendak ditash-hih dan mengutarakan inti pembahasan pada Habib Luthfi.

Saya yang tepat di belakangnya tentu bisa melihat betul dan menyimak dengan jelas. Pertanyaan inti yang diutarakan santri itu, sehingga memerlukan koreksi Habib Luthfi, sudah barang tentu bukan pertanyaan ringan. "Kron...", panggil Abah Habib kepada Syukron Ma'mun Cirebon yang duduk persis di sampingku. "Ambilkan kitab ini... di rak sekian... lalu buka pada bab ini, halaman sekian dan baris ke sekian", lanjut Abah Habib menyebut dengan detail kitab yang dimaksud; judul, letak, bab, halaman dan barisnya, di luar kepala.

Dengan segera Kang Syukron mengambilkan kitab tersebut di perpustakaan pribadi milik Habib Luthfi, yang kemudian disuruh menyerahkannya pada si santri. Kitab itu lalu dibuka pada bab, halaman dan baris sesuai petunjuk Abah Habib di atas. "Tolong baca," pinta Habib Luthfi.

Si santri lalu membacakannya, Habib Luthfi yang menjelaskan kemudian. Sesekali keduanya seakan sedang adu argumen, hanya saja Habib Luthfi sangat mumpuni menjabarkannya dengan sangat detail di luar kepala. Kira-kira setengah jam kemudian baru selesai, tibalah rombongan kami yang dipersilakan menghadap.
Bisa jadi seperti inilah cerminan para ulama-kiai terdahulu. Mereka alim 'allamah, pun lama studi di Timur Tengah, tapi tidak suka obral dalil saat ceramah. Karena kalau mau obral dalil bukan di ceramah tempatnya, melainkan di LBM (Lajnah Bahtsul Masail). (Syaroni As-Samfuriy).

KH. ADLAN ALI, KIAI PENAKLUK LANGIT

Written By MuslimMN on Selasa, 19 April 2016 | 03.10


Sosok kiai sepuh yang sabar dan istiqamah ini sangat terkenang betul di benak para santri. Ketika mereka ditanya tentang “Bagaimana sosok Kiai Adlan menurut Panjenengan?” maka berbagai komentar yang hampir tak serupa senantiasa kami dengar. Ada yang menuturkan, "Beliau itu kiai yang tidak hanya hafal isi al-Quran tetapi juga menjalankannya”, “Kiai Adlan adalah kuncinya Kiai Hamid Pasuruan. Jadi kalau ingin mudah bertemu dengan Kiai Hamid harus sowan dulu ke Kiai Adlan.”

Bahkan Prof. Dr. KH. Thalhah Hasan menambahkan; “Di Tebuireng itu ada dua penghuni surga: Kiai Idris Kamali dan Kiai Adlan Ali. Beliau berdua sama-sama alim, wara', zuhud…"

Ada lagi kesan para santri yang membuat kami terkesan unik, “Kiai Adlan Ali itu kiai yang tidak pernah melihat langit.” Istilah ini menunjukkan saking tawadhu’nya Kiai Adlan. Ketika berjalan tidak pernah mengangkat kepala ke atas. Beliau senantiasa menunduk sopan.

Di Tebuireng, setiap bulan Ramadhan, Kiai Adlan membacakan kitab matan at-Taqrib. Tepat di posisi yang dulu digunakan Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengajar, Kiai Adlam duduk di sana, sedangkan para santri mengitarinya sebagai halaqah ilmiah. Dalam pengajian ini ada karomah Kiai Adlan yang tampak di setiap tahunnya. Ketika pembahasan tepat pada bab Istisqa’ (ritual memohon hujan), anehnya langit Tebuireng menjadi gelap. Dan tiba-tiba saja, bulan Ramadhan yang biasanya kemarau turun hujan deras mengguyur lahan pondok.

Langit pun malu oleh Kiai Adlan. Ia tidak pernah dipandang oleh Kiai Adlan. Ketika ia disindir lewat pembacaan bab istisqa’ maka, ia langung menangis menurunkan air mata hujannya. (Sumber: Atunk/Fathurrahman Karyadi via fp Sarungnu.com. Keterangan foto: Almarhum KH. M. Adlan Ali saat membaca kitab at-Taqrib).

MBAH KIAI SHONHAJI DAN SAMBAL

Written By MuslimMN on Sabtu, 16 April 2016 | 19.46



Saya pernah sowan ke Mbah Kiai Shonhaji, Jimbun Sruweng Kebumen. Beliau adalah guru mursyid Gus Dur. Kalau Gus Dur ada acara di Kebumen, pasti singgah ke ndalem Mbah Kiai Shonhaji. Setelah dipersilakan masuk oleh khadimnya, saya duduk di lantai ruang tamu. Sekitar 15 menit kemudian Mbah Kiai keluar dari kamarnya. Setelah jabat tangan dan sungkem cium tangannya, Mbah Kiai tanya pada saya, "Gus, nopo sampean saget nyambel (Gus, apa kamu bisa membuat sambal)?"

Saya kaget dapat pertanyaan seperti itu, langsung saja saya jawab: "Insya Allah saget Mbah Kiai."

Terus Mbah Kiai dhawuh, "Cobi nyambel mriko teng pawon (coba sana membuat sambel di dapur)."

Saya terus ke dapur dikawal oleh khadim beliau, dan di dapur sudah ada cobek dan uleknya juga sudah ada cabe 5 biji, bawang 1 biji dan kencur 1 biji. Yang belum ada hanya garam, saya terus ambil garam dan mulai ngulek sambel. Setelah selesai, saya dan khadimnya disuruh bawa sambel itu ke ruang tamu.

Setelah dekat dengan Mbah Kiai, beliau dhawuh, "Cobi Gus kulo ta nyicipi sambele (coba saya mau nyicipi sambalnya)."

Betul, Mbah Kiai nyicipi sambal buatan saya pakai jari telunjuk kanan. Sambil bergegas ke belakang, Mbah Kiai dhawuh, "Wah sambele enak tapi kok asin banget."

Rupanya Mbah Kiai ke belakang ambil nasi satu piring penuh. Lalu beliau meminta saya memakannya sama sambal dan harus habis, ya nasinya ya sambalnya. Sedikit saya paksakan, luar biasa pedasnya dan langsung terasa panas di perut, mata pun berkaca-kaca. Menetes air mata saking pedasnya.

Setelah habis, Mbah Kiai dhawuh, "Pedes nggeh?"

Saya jawab, "Nggeh..." sambil sedot-sedot ambil napas.

Singkat cerita, saya pulang dan rasa panas di perut hilang, saya juga tidak mencret. Subhanallah, yang luar biasa setelah kejadian itu saya tidak lagi berselera menjadi aktivis. Tidak ada semangat aktif di partai politik dan juga tidak ada nafsu untuk bisnis, waktu itu saya ada sambilan bisnis. Dan sekitar 2 minggu kemudian ada banyak tamu yang menitipkan anaknya untuk mengaji di tempat kami. Ini pengalaman saya, semoga ada hikmahnya. (Oleh: KH. Wahid Hakimnur via santrijagad.org).

Sarung Mbah Wahab dan Presiden Soekarno

Written By MuslimMN on Selasa, 12 April 2016 | 21.26


Pada zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya Barat yang dibawa para penjajah. Para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung dimana kaum Nasionalis abangan telah hampir meninggalkan sarung.

Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH. Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdlatul Ulama (NU). Suatu ketika, KH. Abdul Wahab Chasbullah pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Abdul Wahab Chasbullah tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah. (Sumber: sarungnu.com)

KISAH KH. ALI MAKSUM REKREASI KE BATURRADEN

Written By MuslimMN on Minggu, 10 April 2016 | 05.15



Satu kisah tentang Mbah Ali Maksum Krapyak. Kisah ini saya dengar dari teman santri asal Purworejo, yang didengarnya dari Bu Nafis (Ibu Nyai Hj. Nafisah, putri ragil almarhum KH. Ali Maksum) saat sowan Syawal kemarin. Bu Nafis menceritakan saat-saat manis ketika beliau belia dahulu. Ayah beliau, KH. Ali Maksum, kerap mengajak putra-putrinya jalan-jalan, refreshing sebagai hiburan.

Suatu hari, Mbah Ali menemani putra-putrinya rekreasi ke Baturraden, satu tempat berlibur yang berhawa sejuk di kaki Gunung Slamet. Sesampainya di lokasi wisata, tentu anak-anak sangat riang setelah menahan penat selama perjalanan dari Jogja berjam-jam, mereka melompat keluar, ingin segera memasuki taman wisata. “Ayo Bah turun, kita masuk,” ajak salah seorang putra Mbah Ali.

“Ah, nggak. Kalian saja yang masuk sana, biar Abah di sini saja.” Sahut Mbah Ali.

“Lhoh, masa’ udah jauh-jauh ke sini tapi gak masuk Bah? Ayo dong turun,” rayu sang putra.

“Sudahlah, sana kalian saja yang main-main. Paling di dalam cuma gitu-gitu aja,” jawab Mbah Ali, keukeuh tak berminat.

Akhirnya, anak-anak ngalah, mereka masuk ke lokasi wisata Baturraden, sedangkan Mbah Ali dan Ibu Nyai tetap di luar, di mobil. Setelah beberapa lama menunggu, anak-anak tidak juga keluar. Entah karena bosan atau karena khawatir, akhirnya Mbah Ali turun juga.

Beliau masuk ke lokasi wisata dan mencari anak-anaknya. Tak lama, beliau mendapati putra-putrinya sedang asyik menikmati suasana. “Sudah jalan-jalannya? Ayo pulang,” tegur Mbah Ali.

“Nanti Baaah, sebentar lagi.” Sahut putra-putrinya, manja merayu.

“Ya udah. Sebentar lagi. Setelah itu kita pulang,” kata Mbah Ali.

Beliau pun ikut berkeliling bersama putra-putrinya di tempat wisata itu, bercengkrama, menyegarkan kembali pikiran dengan menikmati keindahan dan kesejukan alam pegunungan. Setelah dirasa puas, dan jatah waktu ‘sebentar lagi’ dirasa sudah habis, anak-anak pun minta pulang. “Abah, udah yuk. Ayo pulang,” ajak anak-anak.

“Lhah, nanti dulu...” sahut Mbah Ali.

“Lho kok nanti? Tadi Abah ngajak pulang duluan kan?” Protes anak-anak.

“Nanti dulu lah pulangnya. Tempatnya enak juga ya...” jawab Mbah Ali, betah. (Sumber: Ust. Zia Ul Haq via gubuk-cahaya.blogspot.co.id).

(Keterangan foto: Berita yang beredar banyak menuliskan mereka ialah Gus Miek, Kiai Ali Maksum berdiri, dan Mbah Maimoen Zubair. Sebagai koreksi, inilah yang betul: Yang berdiri Itu Mbah Abul Khoir Sedan Rembang, lalu sebelah kanan beliau Mbah Abdurrahim Sarang, dan di kanannya adalah Mbah Maimoun Zubair Sarang. Jadi yang berdiri bukan Mbah Ali Maksum).

ANAK RUHANI GUS DUR

Written By MuslimMN on Sabtu, 02 April 2016 | 14.20



Dalai Lama, pemimpin spiritual dari Tibet, pernah bertemu dengan Gus Dur, dan ia "menitipkan" umat Budha di Indonesia pada cucu Kiai Hasyim Asy'ari itu. Seorang transmigran Hindu Bali, seorang lelaki yang senantiasa menitikkan air mata bila nama Tuhan disebut dalam bahasa apa pun, jauh-jauh dari Sulawesi Tengah, menemui Gus Dur di Ciganjur, juga menyatakan "menitipkan" umat Hindu di Indonesia pada pemimpin organisasi Islam terbesar sedunia itu.

Saat terjadi demo besar-besaran menolak Syiah di Bangil tahun 2007, serombongan ulama Syiah menemui Gus Dur mengadukan keadaan mereka. Gus Dur langsung menelpon ulama NU di Bangil dan memerintahkan untuk menjaga pemeluk Syiah dan mencegah segala bentuk kekerasan. Karena keberpihakannya terhadap "kelompok-kelompok ini", bermacam tuduhan dialamatkan kepada Gus Dur: Liberal, Syiah, Antek Israel, hingga... Murtad! Dan Gus Dur menanggapinya dengan guyonannya yang tak habis-habisnya.

Delapan tahun setelah tokoh besar ini meninggal, dunia berubah. Arab Spring pecah dan menyebar sejauh 2000 km sejak Libya hingga Suriah. Konflik-konflik sektarian terus meletus: Libya, Mesir, Iraq, Suriah dan Yaman. Dan boleh jadi sebentar lagi ke sini, ke Indonesia, dengan pola yang sama: Sunni vs Syiah, Muslim vs Kristen, Muslim vs Budha dll.

Gus Dur telah kembali ke alam tenang. Takdirnya selesai ditulis. Tapi kisahnya tetap mengabadi. Semangatnya tetap tumbuh. Cita-citanya tetap hidup diteruskan oleh anak-anak ruhaninya. Ya, anak-anak ruhani Gus Dur. Anak Ruhani dari seorang Kiai yang kalau berjalan harus dituntun karena saraf kranialis nomer 7 nya mengalami paralisis akibat stroke beberapa kali, tetapi ayunan jari telunjuknya bisa menggerakan ratusan ribu Banser dan puluhan juta Nahdliyin di seantero Indonesia.

Anak-anak ruhani Gus Dur akan terus lahir.. lahir... lahir.. berjalan... berjalan.. hingga berlari... memesrai semua manusia, apa pun agamanya... menebar kedamaian di persada Nusantara. (Sumber: Fp mikirositik.com).

Kisah Kiai Hasyim Asy'ari Dicegah Habib Abdullah Alattas Tinggal di Tanah Suci

Written By MuslimMN on Selasa, 29 Desember 2015 | 12.42



Ada kisah menarik mengenai keputusan Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari untuk tetap tinggal di Indonesia (tidak menetap di Mekkah) yang tidak termuat dalam lembaran buku-buku sejarah. Berikut adalah sebagaimana yang pernah dituturkan oleh al-Habib Ahmad bin Abdullah Alattas Bojonegoro.

Alkisah setelah Kiai Hasyim Asy'ari lama belajar agama di tanah suci beliau pulang ke Indonesia. Namun setelah beberapa waktu tinggal di Indonesia, beliau merasa tidak kerasan dan ingin kembali ke tanah suci. Di sana majelis ilmu hidup, tiap hari bisa menimba ilmu langsung dari para ulama Allah yang mutafannin (ahli dalam berbagai bidang ilmu agama), bisa beribadah dengan pahala yang berlipat-lipat, bisa hidup bersama-sama ahli ibadah dan ahli ilmu. Keadaan yang sangat menyenangkan para ahli ilmu dan ahli khair (kebaikan). Sangat bertolak-belakang dengan keadaan di Indonesia yang carut-marut, banyak maksiat dan sepinya majelis ilmu serta kurangnya keinginan orang-orang untuk bertafaqquh fiddin (mendalami dan mengamalkan ilmu agama).

Beliau lalu mengkabarkan 'azamnya (keinginan) ini kepada keluarga dan teman-teman dekat beliau. Ketika berita ini didengar oleh al-Habib Abdullah Alattas (ayah dari Habib Ahmad Alattas, beliau adalah sahabat dekat dari Kiai Hasyim Asy'ari), maka langsung saja sang habib berangkat ke Jombang bersama al-Habib Ahmad (yang waktu itu masih kecil) menuju Tebu Ireng untuk menemui Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari.

Al-Habib Ahmad menuturkan bahwa pada saat itu beliau tidak diperkenankan masuk oleh ayahandanya, tetapi disuruh menunggu di luar ruangan (namun beliau bisa melihat dan mendengar isi pembicaraan kedua ulama ini). Beliau melihat tas-tas yang sudah dipack/diikat siap untuk dibawa pergi. Pada saat itu al-Habib Abdullah mengambil posisi duduk di hadapan Kiai Hasyim Asy'ari dengan kaki yang saling menempel sambil berkata (yang intinya): "Ya Syaikh, ilmu Njenengan (Anda) itu sangat diperlukan di sini. Kalau Njenengan kembali ke tanah suci, di sana sudah banyak orang alim. Ilmu jenengan tidak begitu diperlukan di sana. Indonesia sangat butuh ulama seperti Njenengan!"

Mendengar apa yang disampaikan oleh al-Habib Abdullah Alattas ini lalu KH. Hasyim Asy'ari menangis kemudian merangkul beliau dan mengurungkan keinginannya untuk kembali tinggal di tanah suci. Wallahu A'lam. (Sumber: Ali Abdurahman Al Habsyi atau darussolihin.net).

PERHATIAN KIAI SAHAL TERHADAP KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN

Written By MuslimMN on Kamis, 12 November 2015 | 07.37


Islam itu tidak melulu berbicara masalah halal-haram saja, melainkan kondisi yang sedang dialami masyarakatnya perlu diberikan sebuah solusi nyata. Setelah Muktamar 1984, Kiai Sahal Mahfudh memberanikan diri di tengah-tengah forum Syuriah NU: "Sekarang ini kita perlu mengurangi pembicaraan tentang masalah-masalah yang hanya menjawab halal dan haram!"

Hal itu bukan berarti Kiai Sahal tidak menyutujuinya. Maksud beliau, kalau sudah menyetujuinya sebagai yang halal, juga harus membicarakan pendekatan konseptualnya untuk umat. Kalau haram, diharuskan membicarakan bagaimana pemecahannya agar umat tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Untuk itu perlu konsep. Konsep seperti apa? Kalau konsep itu bersifat individual tentu tidak mungkin diterapkan secara massal, sebelum diterima umum.

Kemiskinan dan pengangguran adalah salah satu faktor penting yang harus dibicarakan secara serius. Masalah kemiskinan sangat terkait dengan masalah lingkungan. Sebelum berbicara soal lingkungan menurut konsepsi Islam, lebih dahulu harus diklasifikasi masalah lingkungan dari segi fisik dan non-fisik. Dari segi fisik, manusia harus menggunakan dan memanfaatkan apa yang ada di alam ini, disertai upaya melestarikan lingkungan hidup. Penggunaan alam harus didasarkan pada manfaat dan maslahat. Sedangkan dari segi non-fisik, ajaran Islam memang tidak menghendaki terjadinya kerusakan, katakanlah kerusakan moral.

Sudah jelas, Islam mendorong orang untuk bekerja dan tidak menganggur. Ada hadits Nabi yang mengatakan:

أشد الناس عذابا يوم القيامة المغفي الباطل

"Siksaan paling berat pada hari kiamat adalah orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup menganggur!"

Pun dalam al-Quran, Allah berfirman: "Apabila kamu telah selesai menunaikan shalat Jum'at, menyebarlah untuk mencari rizki Tuhanmu." (QS. al-Jum'ah ayat 10).

Ada banyak hal yang menyebabkan pengangguran. Faktor pendidikan yang rendah, keterampilan kurang memadai, disamping kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja terbatas. Anak-anak sekarang hanya menunggu pekerjaan, bukan mencari dan menciptakan pekerjaan.

"Yang saya maksudkan menunggu pekerjaan adalah, mencari pekerjaan pada lapangan kerja yang sudah mapan dan jelas. Sedangkan mencari kerja adalah, orang tidak hanya terfokus pada satu sasaran pekerjaan, namun berusaha secara kreatif menciptakan lapangan kerja. Dalam mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, himbauan saya kepada kelompok muda adalah, jangan cepat putus asa. Sebab dengan putus asa, kreativitas mandeg. Bagaimana kecilnya kreativitas itu, ia akan selalu tumbuh dan berkembang." Kata Kiai Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial.

Hikmah Kiai Mahrus dan Kiai Marzuqi Berbeda dalam Merujuk Dhamir


Setiap ada dhamir yang terkesan rujuk pada kalimat fi'il, maka KH. Mahrus Aly selalu merujukkan pada bentuk mashdarnya, seperti lafadz:

 اعدلوا هو اقرب للتقوى 

Dhamir هو rujuknya bukan pada lafadz اعدلوا, melainkan rujuk pada lafadz عدلكم yang menjadi bentuk mashdarnya. Sebab dhamir adalah kalimat isim, karenanya marja'nya pun juga harus berupa kalimat isim, disamping memang yang dikehendaki dari dhamir semacam itu adalah makna yang terkandung dari kalimat fi'il itu, yaitu mashdarnya bukan lafadz dari kalimat fi'il itu sendiri.

Sementara KH. Marzuqi Dahlan tidaklah demikian. Beliau selalu merujukkan dhamir pada kalimat fi'il, seperti pada ayat di atas beliau memaknainya: هو utawi اعدلوا

Suatu hari, ketika sedang membacakan kitab dan ada dhamir yang seperti contoh di atas, KH. Mahrus Aly sambil tersenyum berkata:

 من ارجع الضمائر الى الافعال فليس من الرجال 

"Barangsiapa merujukkan kalimat-kalimat dhamir pada kalimat-kalimat fi'il, maka dia bukanlah seorang laki-laki (orang yang mengerti tentang bahasa Arab)."

Tentu saja dawuh itu membuat santri-santri yang sedang mengikuti pengajian beliau menjadi tersenyum semua.

Beberapa hari kemudian, ketika KH. Marzuqi Dahlan sedang membacakan kitab dan ada dhamir yang seperti di atas, beliau tetap merujukkan pada kalimat fi'il sambil berkata dengan tersenyum: "Wes, ora lanang ora popo kang yo, seng penting ndang faham" (Sudahlah, tidak dianggap laki-laki ya tidak apa-apa, yang penting segera bisa dipaham dan dimengerti).

Hal itu tentu saja juga membuat para santri yang mengikuti pengajian beliau jadi pada tertawa disertai dengan penuh keheranan, dari mana beliau bisa tahu dawuhnya Kiai Mahrus Aly?

KH. Mahrus Aly memang jarang sekali memberikan makna ketika membaca kitab, justeru beliau lebih sering memberikan tafsiran dengan bahasa Arab pula, اي .. اي .. seperti itu. Sehingga hanya santri-santri yang sudah punya bekal cukup dalam penguasan ilmu nahwu, sharaf dan balaghah saja yang mengikuti pengajian beliau. Karena itu beliau sangat disiplin dalam menerapkan aturan-aturan tata bahasa Arab ketika membacakan kitab kepada mereka, termasuk ketika merujukkan dhamir yang seperti contoh di atas.

Sementara KH. Marzuqi Dahlan selalu memberikan makna yang lengkap ketika membacakan kitab. Sehingga yang mengikuti pengajian beliau tidak hanya santri-santri yang sudah punya kemampuan cukup saja, tetapi banyak pula diikuti oleh para santri yang masih tingkatan pemula. Karena itu beliau lebih memilih pendekatan makna yang segera mudah dipahami para santri yang mengikuti pengajian beliau meski sebenarnya itu kurang pas dengan aturan tata bahasa Arab.

Sebab, menurut beliau, kalau setiap dhamir dirujukkan pada bentuk mashdarnya tentu akan menyulitkan para santri tingkat pemula dalam mencari rujuknya, terlebih ketika bentuk mashdarnya berbeda jauh dengan bentuk fi'ilnya.

Walhasil, meski beliau berdua berbeda metode dalam memberikan pengajian, tetapi tetap berdasar pada dawuh:

كلموا الناس على قدر عقولهم

"Berbicaralah pada manusia sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka."

Itulah mungkin makna tersirat yang ingin disampaikan beliau berdua terhadap para santrinya atas perbedaan dalam merujukkan dhamir, bahwa dalam menyampaikan ilmu pada masyarakat kelak haruslah menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan masyarakatnya. Wallahu a'lam.

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template