Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Referensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Referensi. Tampilkan semua postingan

KRONOLOGI MADZHAB SYAFI’I MAYORITAS DI INDONESIA

Written By MuslimMN on Sabtu, 29 Oktober 2016 | 16.53



Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke pertama Hijriyah dengan damai. Daerah yang mula-mula dimasuki Islam adalah Lamno (kota pelabuhan di Aceh Barat), Fansur (Singkel), Pasai (Lhok Soumawe), Perlak, Perlaman, Jambi, Malaka dan Jepara (Jawa Tengah).

Yang mula-mula menganut Islam di Indonesia ialah orang-orang Persia yang tinggal di pantai-pantai Persia, Perlak. Mereka tinggal di sana adalah dengan tujuan untuk menyambut kawan-kawan mereka sebangsa yang datang berdagang melalui daerah itu menuju Tiongkok.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir (571 M) hubungan dagang antara Persia, India dengan Tiongkok sudah lama terjalin. Pedagang-pedagang Persia dan India banyak yang pergi berdagang ke Tiongkok lewat laut dengan rute perjalanan Persia - Gujarat (pantai Idia sebelah barat) - Ceylon - Koromandel (pantai India sebelah timur) - Malaka (semenanjung Malaya) - Kamboa (Indocina) - Kanton (Tiongkok).

Pada tahun 17 H, kaum Muslimin di bawah pimpinan Khalifah ke II Umar bin Khattab menguasai Persia, sesudah mengadakan pertempuran di Qadisiyah dan Madain. Orang-orang persia sesudah itu berbondong-bondong masuk Islam. Hal ini berpengaruh pada orang-orang Persia yang tinggal di Persia dan Perlak, sehingga mereka segera menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi di negeri mereka dan berbondong-bondong pula masuk Islam. Penduduk asli Indonesia ketika itu pada umumnya menganut agama Hindu, Budha dan banyak pula yang tidak beragama.

Setelah Muawiyah bin Abi Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam tahun 41 H, dipindahkannya ibu kota dari Madinah ke Damaskus, Damaskus pada zaman itu sudah lama menjadi rute perdagangan antara Tiongkok dan Eropa melalui darat. Damaskus menjadi tempat persinggahan kafilah-kafilah dagang yang datang dari Eropa menuju Tiongkok atau sebaliknya untuk istirahat dan melengkapi perbekalan.

Muawiyah bin Abi Sufyan disamping menaruh perhatian kepada kegiatan perdagangan melalui laut antara Bashrah - Teluk Persia - Tiongkok pulang pergi, beliau juga mengirim muballigh-muballigh Islam keluar negeri termasuk juga ke Indonesia. Utusan yang dikirim Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan itu bahkan ada yang sampai ke hulu sungai Jambi di Sumatera Tengah dan ke Jepara di Jawa Tengah.

Sesudah kerajaan Fathimiyah ditumbangkan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi di Mesir pada tahun 577 H, mulailah datang muballigh-muballigh Islam bermazhab Syafi’i ke Indonesia. Mereka diutus oleh kerajaan Ayyubiyah dan kemudian oleh kerajaan Mamalik. Kerajaan Ayyubiyah berkuasa di Mesir selama 52 tahun, kemudian diganti oleh kerajaan Mamalik sampai akhir abad ke 9 H (permulaan abad 14 M).

Kedua kerajaan ini adalah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah bermadzhab Syafi’i yang sangat gigih. Muballigh-muballigh yang dikirim oleh kedua kerajaan ini bertebaran ke seluruh pelosok dunia termasuk Indonesia. Diantara muballigh-muballigh Islam dari kerajaan Mamalik itu adalah Ismail ash-Shiddiq yang datang ke Pasai mengajarkan Islam madzhab Syafi’i. Dengan usaha beliau, ummat Islam Pasai kembali menganut madzhab Syafi’i. Raja-raja Pasai pun sejak saat itu menjadi penganut madzhab Syafi’i yang gigih.

Ismail ash-Shiddiq juga berhasil mengangkat Merah Silu, orang asli Indonesia menjadi raja di Pasai (1225-1297 M) dengan gelar al-Malik ash-Shalih. Berkat pengaruh Sultan al-Malik ash-Shalih ini raja-raja Islam di Malaka, Sumatera Timur, dan orang-orang Islam di Pulau Jawa sekitar abad ke 7 H. berbondong-bondong menganut madzhab Syafi’i.

Mulai tahun 1441 M sampai tahun 1476 M (820-855 H), di Malaka berkuasa Sultan Manshur Syah I, penganut madzhab Syafi’i yang tangguh. Sultan ini mengutus muballigh-muballigh Islam yang bermadzhab Syafi’i ke Minangkabau Timur yang sudah lama ditinggalkan oleh orang-orang yang bermadzhab Syi’ah sesudah dikalahkan oleh kerajaan Majapahit tahun 1399 M. Berkat pejuangan dari muballigh-muballigh itulah madzhab Syafi’i berkembang kembali di Minangkabau Timur.

Kemudian dari Miangkabau Timur madzhab Syafi’i berkembang ke Batak, Muara Sungai Asahan dan Simalungun, disiarkan oleh muballigh-muballigh Islam bermadzhab Syafi’i bekembang kembali di Minangkabau Timur. Mereka juga sampai ke Ujung Pandang dan Bugis, bahkan sampai ke pulau-pulau di Philipina.

Dalam abad ke 15 M/9 H Kesultanan Samudra Pasai di Aceh dan Kesultanan Malaka di Negeri Malaya sangat aktif mengembangkan Islam madzhab Syafi’i ke Pulau Jawa, yaitu Demak dan Cirebon. Itulah sebabnya maka agama Islam bermadzhab Syafi’i dianut oleh ummat Islam di Pulau Jawa.

Sebagaimana diuraikan di atas, di Pulau Jawa Islam juga masuk sejak dini (abad 1 H), tetapi gelombang perkembangan agama Islam besar-besaran di Pulau Jawa terjadi dalam abad ke 15 M/9 H). khususnya sesudah priode Wali Songo (Wali Sembilan).

Wali Songo adalah muballigh-muballigh Islam di tanah Jawa, semuanya menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Syafi’i. Nama-nama mereka adalah: Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Masih Ma’unat (Sunan Derajat), Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri/Raden Paku), Sunan Kalijaga, Syaikh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

Kerajaan Islam Demak juga menganut madzhab Syafi’i berkat dakwah yang dilancarkan oleh muballighin Islam bermadzhab Syafi’i yang diutus oleh Kerajaan Pasai, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Demikian pula kesultanan Aceh di Pasai (abad 5-10 H) dan di Aceh Besar (abad 10-11) semua sultannya bermazhab Syafi’i dan berusaha pula mengembangkan madzhab Syafi’i di daerah kekuasaannya, bahkan sampai ke wilayah-wilayah lain di Nusantara ini.

Sekitar abad 16 dan 17, tercatatlah dalam sejarah seorang ulama besar madzhab Syafi’i dari negeri Arab datang ke negeri Aceh, yaitu Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Ulama ini sangat berpengaruh dan berwibawa baik dalam Kesultanan Aceh maupun di kalangan rakyat negeri itu. Beliau mengarang kitab ash-Shirath al-Mustaqim Kitab Bustan as-Salathin. Kitab ash-Shirath al-Mustaqim pada abad ke 17 diberikan syarah oleh Syaikh Arsyad al-Banjari, mufti Syafi’i di Banjarmasin. Kitab Syafi’i ini tersebar luas di Indonesia dan di Semenanjung Malaya dari abad 18 sampai abad 20 ini.

Upaya Syaikh Nuruddin ar-Raniri dalam mengembangkan Islam madzhab Syafi’i dalam abad ke 16 dan 17 di Aceh mendapat sambutan besar di kalangan ulama-ulama Islam di seluruh Indonesia.

Adapula ulama Aceh yang masyhur ketika itu, yaitu Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Fanshuri, seorang ulama fiqih Syafi’i yang mendapat kedudukan tinggi dan menjadi penasehat Sultan dalam hukum-hukum agama. Beliau pernah menerjemahkan tafsir al-Quran al-Baidhawi ke dalam bahasa Melayu. Banyak thullab dan santri datang belajar kepada beliau, diantarnya Syaikh Arsyad al-Banjiri yang kemudian menjadi mufti di Banjarmasin dan Syaikh Yusuf Tajul Khalwati dari Makasar yang kemudian menjadi mufti di Banten di bawah naungan Sultan Ageng Tirtayasa.

Berkat usaha dan perjuangan murid-murid Syaikh ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf al-Fanshuri dari Aceh ini bertambah tersiarlah agama Islam bermadzhab Syafi’i ke seluruh penjuru tanah air pada abad 17 dan 18 M.

Kitab-kitab karangan ulama-ulama Syafi’iyah diajarkan di surau-surau dan langgar-langgar sampai sekarang bukan saja di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan Brunai Darussalam, seperti kitab ash-Shirath al-Mustaqim karangan Syaikh ar-Raniri dan lain-lainnya.

Di tanah Jawa, pahlawan nasional Pangeran Dipenegoro, keturunan keraton yang berperang melawan Kolonial Belanda di sekitar Yogyakarta (1825-18930) adalah penganut faham Ahlusunnah wal Jama’ah bermadzhab Syafi’i. Keraton Yogyakarta, juga tidak mustahil, keseluruhannya menganut madzhab Syafi’i pula.

Di Sulawesi juga madzhab Syafi’i dianut oleh kaum Muslimin. Yang membawa ajaran madzhab ini ke sana adalah muballigh-muballigh Islam dari Minangkabau Timur. Salah seorang dari mereka yaitu Datuk Ri Bandang, telah berhasil mengislamkan Raja Goa tanggal 22 September 1605 M, dan diberi gelar Sultan Alauddin Awwalul Islam. Wazirnya pun ikut memeluk Islam. Akhirnya seluruh rakyatnya memeluk agama Islam Ahlussunah wal Jama’ah yang bermadzhab Syafi’i.

Kerajaan Goa kira-kira tahun 1606 M, berhasil menaklukkan Raja Bone, kemudian pada tahun 1616-1626 M menaklukkan Raja Bima, Sumbawa dan Nusa Tenggara dan Buton. Islam bermadzhab Syafi’i masuk bersamaan dengan Islam ke Goa, Bone, Bima, Sumbawa, Lombok kemudian Buton.

Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia sampai sekarang ini adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang bemadzhab Syafi’i. Itulah sebabnya Pengadilan Agma di Indonesia menetapkan hukum Islam berdasarkan madzhab Syafi’i. Di Indonesia sekarang ini banyak terdapat organisasi massa yang menganut, memperjuangkan dan menegakkan Islam Ahlusunah wal Jama’ah yang bemadzhab Syafi’i, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (NW), Al-Jam’iyatul Washilah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Matarantai Kitab Syafi’iyyah

Dalam periwayatan madzhab Syafi’i yaitu matarantai penyampaian ajaran Syafi’i hingga sampai ke tangan Muslimin sekarang ini, kita mengenal adanya dua corak/jalur periwayatan; jalur Khurasan dan jalur Irak. Hal ini berkaitan dengan perjalanan beliau dalam memperkenalkan pemikiran-pemikirannya dalam rentang antara tahun 179-204 H.

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat peta pertumbuhan dan perkembangan madzhab Syafi’i berikut ini:
§  Fase persiapan membangun madzhab, yaitu semenjak meninggalnya Imam Malik sampai perjalanan Imam Syafi’i ke Baghdad kali kedua pada tahun 195 H.
§  Fase madzhab qadim, yaitu dimulai semenjak kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad yang kedua (195 H), sampai beliau pindah ke Mesir pada tahun 199 H.
§  Fase penyempurnaan dan pemantapan madzhab yang baru, yaitu semenjak di Mesir sampai wafat pada tahun 204 H.
§  Fase penyelesaian pendapat dan buah pikiran Imam Syafi’i, hal ini dimulai semenjak Imam Syafi’i wafat sampai pada pertengahan abad ke-5 H.
§  Fase stabil, yaitu setelah fase penyelesaian. Ditandai dengan bermunculanya kitab-kitab mukhtashar dalam madzhab yang berisikan pendapat-pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’i dan penjelasanya dengan metode sistematik.

Sebenarnya begitu banyak dan sangat rumit apabila diuraikan anatominya, terdapat mata rantai antara kitab-kitab dalam suatu madzhab yang mengagumkan. Mata rantai itu dapat dilacak dari orang-orang pertama yang menjadi murid Imam Syafi’i. Misalnya Mukhtashar al-Muzanni ditulis oleh Ismail bin Amr bin Ishaq Abu Ibrahim al-Muzanni (170-164 H). Banyak tulisanya tidak sampai kepada kita, hanya Mukhtashar-nya yang sampai kepada kita dan dikembangkan dengan berbagai mukhtashar, syarh, naqat (notasi-notasi) maupun hasyiah. Mukhtashar al-Muzanni beranak tiga buah kitab; Syarh Mukhtashar al-Muzanni oleh al-Qadhi Abu ath-Thayyib Thahir bin Abdullah ath-Thabari (348-450 H), asy-Syamil al-Kabir Mukhtashar al-Muzanni karya Abu an-Nashr Abd Sayyid ash-Shabbagh bin Muhammad (400-477 H), dan al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzanni karya Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H) buku ini tidak ada orang yang menyambung.

Fiqih Madzhab Syafi’i sebagai Madzhab Resmi

Fiqih terdiri atas peraturan atau hukum-hukum yang digali (isthinbath) dari dalil-dalil syara’ oleh seorang mujtahid sesuai pemahamanya dalam kasus-kasus tertentu. Fiqih madzhab Syafi’i merupakan produk (atsar, qauliah) yang berkembang di dalam madzhab Syafi’i. Meskipun itu hasil elaborasi para mujtahid yang lalu, fiqih tetap atas dasar manhaj. Oleh karena itu bagaimanapun madzhab qauli akan tetap membutuhkan manhaj juga. Dengan demikian yang dimaksud madzhab di sini mencakup dua aspek, pertama qauli kedua manhaji.

Di Indonesia fiqih madzhab Syafi’i yang memang telah mengakar dalam sejarah tanah air ditetapkan secara resmi sebagai rujukan pengadilan agama pada tahun 1953. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejak saat itu madzhab Syafi’i adalah madzhab resmi Negara Indonesia.

Karena demikian banyak kitab fiqih yang beredar dan diajarkan di Nusantara maka Departemen Agama membatasi 13 kitab dengan surat instruksi pada tahun 1953 untuk dijadikan di Pengadilan Agama, yaitu:
1.      Bughyat al-Musrtarsyidin oleh Husain Al Ba’alawi
2.      Al-Faraid oleh asy-Syamsuri
3.      Fath al-Mu’in oleh al-Malibari
4.      Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah oleh al-Juzairi
5.      Fath al-Wahab oleh al-Anshari
6.      Hasyiyah Kifayat al-Akhyar oleh al-Bajuri
7.      Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini
8.      Qawa’id asy-Syar’iyyah li al-Jazair al-Indonesiyyah al-Musamma Irsyad dzawi al-Arham Wajibat al-Qudhati wa al-Ahkam oleh Sayyid Shadaqah San’an, buku ini semacam buku acara
9.      Qawa’id Asy’ariyyah oleh Sayyid Utsman Bin Yahya
10.  Qalyubi al-Mahalliy wa Syarhihi
11.  Syarqawi ‘ala at-Tahrir oleh asy-Syarqawi
12.  Tarqib al-Mustaqq
13.  Tuhfat al-Muhtaj oleh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami (909-972 H).  

Faktor Mayoritas Muslim Indonesia Bermadzhab Syafi’i

Didasarkan dari uraian sebelumnya dimana Muslim Indonesia Muslim menjadi mayoritas bermadzhab Syafi’i, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhinya:

1.      Arus penyebaran Islam dilakukan oleh para pendakwah bermadzhab Syafi’i, baik da’i sebelum Wali Songo maupun sesudah mereka. Memang terdapat beberapa daerah yang –diduga- terpengaruh Syiah dengan ritus-ritus khas yang terlestarikan hingga saat ini, begitupun daerah yang di abad ke-19 tersentuh gerakan Wahabi, seperti di Sumatera Barat. Hanya saja ini kasuistik saja, gejala umumnya tetap Sunni-Syafi’i.

2.      Para sultan di berbagai kerajaan Nusantara memberi dukungan atas pengajaran madzhab ini. Secara khusus mereka membiayai penulisan sebuah kitab. Misalnya, Sulthanah Shafiyyatuddin Syah, penguasa Aceh, meminta Syaikh Abdurrauf as-Sinkili merampungkan kitab fiqh Mir’at ath-Thullab yang selesai ditulis pada 1074 H/1663 M. Kitab ini bahkan dijadikan rujukan fiqh hingga di kepulauan Mindanao, Filipina. Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar, meminta Syaikh Arsyad al-Banjari menulis Sabil al-Muhtadin yang rampung pada 1195 H/1781 M.

3.      Matarantai intelektual terjalin atas dasar kesamaan madzhab. Jaringan ini terlestarikan dari Haramain ke Nusantara. Sampai saat ini jaringan tetap terbina.

4.      Arus imigrasi dari Hadhramaut (Yaman) memperkuat jejaring sosial-intelektual yang telah ada. Kitab-kitab karya ulama ‘Alawiyyin Hadhramaut menjadi acuan dalam tazkiyatunnafs, seperti Risalat al-Mu’awanah karya Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad. Demikian pula pembacaan Ratib (al-Aththas, al-Haddad) menjadi rutinitas khas di beberapa pesantren Nusantara.

5.      Penulisan kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh ulama Nusantara merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah. Mir’at ath-Thullab-nya Syaikh as-Sinkili maupun Sabil al-Muhtadin-nya Syaikh Arsyad al-Banjari banyak merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah seperti Fath al-Wahhab, Tuhfat al-Muhtaj, Mughniy al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, Minhaj ath-Thullab, dan sebagainya. Kitab Shirath al-Mustaqim-nya Syaikh Nuruddin ar-Raniri juga banyak dikutip di dalamnya. Hal ini jelas mempengaruhi tradisi intelektual pada babakan sejarah berikutnya. Demikian dominannya madzhab Syafi’i dan kitab-kitab Syafi’iyyah sehingga hal ini sangat mempengaruhi corak istinbath al-ahkam dalam tradisi fiqh di kalangan NU, bahkan terdapat klasifikasi Kutub al-Mu’tabarah. Keberadaan kitab lintas madzhab “baru saja” dikenal setelah Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Imran Chamzah, dan Gus Mus mendorong perubahan paradigmatik dari tradisi qauli ke manhaji, di Munas NU di Lampung.

6.      Para qadhi-penghulu di era kesultanan hingga zaman kolonial menggunakan kitab fiqh Syafi’iyyah sebagai rujukan utama.

Sebagai penutup, berikut ada dua kutipan kisah ulama tentang keutamaan madzhab Syafi’i. Bisa jadi ini juga merupakan faktor utama banyak generasi sekarang yang berpegang teguh pada madzhab Syafi’i. Pertama, dalam kitab ath-Thabaqat al-Fuqaha karya Abi Ishaq asy-Syairazi hal. 175 dikisahkan:

تفقهت لأبي حنيفة فرأيت النبي صلى الله عام حججت، فقلت: يارسول الله قد تفقهت بقول آبي حنيفة أفأخذ به؟ فقال: لا، فقلت : آخذ بقول مالك بن أنس؟  فقال: خذ منه ما وفق سنتي . فقلت: فآخذ بقول الشافعي؟ قال: ما هو له بقول إلا أنه أخذ بسنتي ورد على ما خالفها. ومعنى هذا الخبر أن الشافعي أفضل من أبي حنيفة و مالك لأنه لم يقل الفقه برأيه، بل أخذه من السنة

“Ketika aku telah memahami madzhab fiqih Imam Abu Hanifah, aku bertemu Rasulullah Saw. dalam mimpiku pada musim Haji. Aku mengatakan dalam mimpiku, “Ya Rasulullah, aku telah memahami fiqih Abu Hanifah, apakah aku ambil pendapat darinya?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Jangan.”

Lalu aku berkata lagi, “Apa aku ambil madzhab Imam Malik bin Anas?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Ambillah pendapat Imam Malik jika sesuai dengan Sunnahku.”

Lalu aku bertanya kembali, “Apakah aku ambil pendapat madzhab Imam Syafi’i?”

Rasulullah Saw. bersabda, “Apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i adalah bersumber dari Sunnahku, dan ia menolaknya jika bertentangan dengan Sunnahku.”

Dan dalam kitab Hasyiyah Bujairami ‘ala al-Khathib karya Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami juz 1 hal. 59 cet. Darul Fikr, disebutkan:

فائدة إتفق لبعض الأولياء الله تعالى انه رأى ربه في المنام فقال يا رب بأي المذاهب أستغل فقال له مذهب الشافعي نفيس انتهى

“Ulama sepakat tentang adanya sebagian wali-wali Allah Swt. yang pernah melihat Allah Swt. di dalam tidur (mimpi) mereka. Mereka bertanya, “Wahai Tuhanku, kepada madzhab siapakah kami harus ikut?” Maka Allah berfirman, “Madzhab Syafi’i itu lebih indah dan baik.” Wallahu a’lam.


(*IBJ, diolah dari: kitab ath-Thabaqat al-Fuqaha karya Abi Ishaq asy-Syairazi dan Hasyiyah Bujairami ‘ala al-Khathib karya Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, buku Sejarah Fiqih Islam karya A. Mun’im Sirry, (Terj.) Biografi 10 Imam Besar karya Syaikh M. Hasan al-Jamal, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru karya Dedi Supriadi M. Ag dan Pengaruh Madzhab Syafi’i di Asia Tenggara karya dr. Abdul Hadi Muthohar M.A, web spiritmuda.net dan ribathnurulhidayah.org).

TENTANG GAMBAR SANDAL/TEROMPAH NABI MUHAMMAD SAW.

Written By MuslimMN on Kamis, 13 Oktober 2016 | 16.40



Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam kitab Mitsal an-Na’l asy-Syarif menyatakan bahwa sandal Rasulullah Saw. itu terbuat dari kulit yang dirangkap menggunakan dua “tancapan” seperti batang dari kulit yang dinamakan qibal. Yang satu dimasukkan antara ibu jari dan jari yang di dekatnya, dan yang satunya lagi dimasukkan antara jari tengah dan jari yang ada di dekatnya. Dua tancapan tadi dihubungkan dengan sebuah bingkai berbentuk yang disesuaikan dengan ukuran kaki, yang ada di atas telapak kaki. Tungkainya juga memakai sebuah bingkai berbentuk yang disesuaikan dengan ukuran kaki yang mencakup hingga seluruh telapak kaki.

Warna Sandal Nabi Saw.

Adapun warna sandal Rasulullah Saw. adalah “Kuning”. Gambaran tersebut sudah diuji kebenarannya oleh Ibnu Arabi, Ibnu Asākir, Ibnu Marzuqi al-Fāruqi, as-Suyūthi, as-Sakhāwi, dan at-Tata’i. Sandal tersebut ditunjukkan langsung oleh Siti Aisyah Ra.

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam buku Lentera Al-Quran mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah orang yang sangat sederhana. Hartanya yang paling berharga adalah sepasang alas-kaki (sandal) yang warnanya kuning sebagai hadiah dari Raja Negus di Abbissinia.

Filosofi Warna Sandal Nabi Saw.

Warna kuning memilik filosofi makna sebagai simbol pencerahan (التنوير), simbol kebijaksanaan (الحكمة), simbol antusiasme (الحماسة), simbol optimisme (التفاؤل), simbol harapan (الآمل), simbol kesenangan (المرح), simbol kejelasan (الوضوح), simbol keyakinan (الثقة), dan simbol matahari dan emas (الشمس والذهب).

Berikut adalah beberapa keterangan para sahabat Nabi Saw. tentang warna kuning:

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَحُضُّ عَلىَ لِباَسِ النِّعَالِ الصُّفْرِ، وَكَانَ يَقُوْلُ: الصُّفْرَةُ تَسُرُّ النَّفْسَ

Sesungguhnya Ibnu Abbas Ra. menganjurkan untuk memakai sandal-sandal yang berwarna kuning, sehingga ia berkata, “Warna kuning itu dapat menyenangkan jiwa.” (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an juz 1 hlm. 451 karya Imam al-Qurthubi).

عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ، أَنَّهُ كَانَ يَرْغَبُ فِي النِّعَالِ الصُّفْرِ وَيَقُوْلُ: مَنْ لَبِسَ نَعْلاً أَصْفَرَ قَلَّ هَمُّهُ

Dari sahabat Ali Kw., sesungguhnya ia senang memakai sandal-sandal berwarna kuning, sehingga berkata, “Barangsiapa yang memakai sandal berwarna kuning maka pertanda sedikit kesusahannya.” (Majma’ al-Bayan juz 1 hlm. 302 karya ath-Thabrasi dan al-Kasysyāf juz 1 hlm. 178 karya az-Zamakhsyari).

Imam Ibnu ‘Āsyūr dalam kitab at-Tahrir wa at-Tanwir juz 1 hlm. 535 ketika menafsiri QS. al-Baqarah ayat 69, mengatakan:

وَلَيْسَ لَوْنُ اْلبَقَرَةِ اْلأَصْفَرِ لإِدْخَالِ اْلبَهْجَةِ وَالسُّرُوْرِعَلىَ النَّاظِرِ فَحَسْبُ، بَلْ هُوَدَلِيْلٌ عَلىَ صِحَّةِ اْلبَقَرَةِ وَسَلاَمَتِهِ مِنَ اْلعُيُوْبِ، فَقَدْ قَرَّرَتْ أُصُوْلُ عِلْمِ الطِّبِّ اْلبَيْطَرِيِّ أَنَّ خَيْرَ اْلأَبْقَارِ وَأَفْضَلَهَا هُوَمَاكَانَ لَوْنُهَا شَدِيْدَ الصُّفْرَةِ فِي صَفَاءٍ (فَاقِعٍ) وَأَنَّهُ عَلىَ قَدْرِ صَفَاءِ اللَّوْنِ، وَسَلاَمَةُ اْلأَسْنَانِ تَكُوْنُ صِحَّةَ اْلبَقَرَةِ.

“Sapi betina yang berwarna kuning itu bukan saja menunjukkan kebagusan, kesenangan bagi orang yang memandangnya, tetapi juga sebagai indikasi sapi yang sehat dan selamat dari cacat. Hal ini telah ditetapkan dalam pedoman-pedoman ilmu kedokteran hewan, bahwa sapi-sapi yang baik dan unggul itu warnanya kuning tua, dan itu didasarkan ketuaan warnanya; begitupula apabila sehat giginya menunjukkan sapi betina itu sehat.”

Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani bersyair dalam kitabnya, Jawahir al-Bihar:

على رأس هذا الكون نعل محمد *** علت فجميع الخلق تحت ظلاله
“Alas kaki Nabi Muhammad Saw. berada di atas kepala alam semesta. Dan seluruh makhluk berada di bawah bayang-bayangnya.”

لدى الطور موسى نودي اخلع وأحمد *** على القرب لم يؤمر بخلع نعاله
“Ketika di bukit Tursina, Nabi Musa As. diperintah agar melepaskan (sandalnya), tetapi Nabi Muhammad Saw. biarpun berada pada jarak yang lebih dekat tidak diminta (oleh Allah Swt.) menanggalkan sandalnya.”

مثال حكى نعلاً لأشرف مرسل *** تمنت مقام الترب منه الفراقد
“Gambar Sandal Rasulullah Saw. yang termulia itu membuat bintang-gemintang berangan-angan ingin menjadi tanah agar dipijak olehnya.”

ضرائرها السبع السموات كلها *** غيارى وتيجان الملوك حواسد
“Para madunya; tujuh lapis langit, semua menjadi cemburu. Dan semua mahkota raja merasa hasud padanya.”

مثال لنعل المصطفى ما له مثل *** لروحي به راح لعيني به كحل
“Gambar Sandal al-Musthafa Saw. itu tiada bandingannya. Ia adalah tempat berteduh bagi ruhku dan celak (obat) bagi mataku.”

فأكرم به تمثال نعل كريمة *** لها كل رأس ود لو أنه رجل
“Sungguh mulia Gambar Sandal Nabi yang agung ini! Karenanya semua kepala berharap alangkah baiknya jikalau dapat menjadi kaki (Nabi Saw.).”

ولما رأيت الدهر قد حارب الورى *** جعلت لنفسي نعل سيده حصناً
“Saat aku melihat ad-Dahr (Allah Swt.) mulai memerangi manusia (sebab maksiat mereka), maka akan kujadikan Sandal Nabi Saw. sebagai perisai.”

تحصنت منه في بديع مثالها *** بسور منيع نلت في ظله الأمنا
“Aku berlindung darinya (murka Allah) dengan keagungan Gambar Sandal Nabi Saw., sebagai benteng yang kokoh dimana aku merasa aman di bawah perlindungannya.”

إني خدمت مثال نعل المصطفى *** لأعيش في الدارين تحت ظلالها
“Aku berkhidmat pada Gambar Sandal al-Mustafa Saw., agar hidupku di dunia dan akhirat berada di bawah bayang-bayangnya.”

سعد ابن مسعود بخدمة نعله *** وأنا السعيد بخدمتي لمثالها
“Sungguh beruntung Ibn Mas’ud Ra. karena khidmatnya pada Sandal Nabi Saw. Sedangkan aku, beruntung-bahagia karena khidmatku pada lambing/gambarnya.”

وما حب النعال شغف قلبي *** ولكن حب من لبس النعالا
“Sebenarnya bukanlah pada Lambang Sandal itu hatiku merindu, melainkan pada sosok (Saw.) yang memakainya.”

ونعـل خضعنا هيبـة لوقارهـا *** فإنا متى نخضع لهيبتها نعلـو
“Kita merendahkan diri sebab cinta, untuk memuliakan Sandal ini. Dan jika kita merendahkan diri di hadapannya, kita akan diangkat dan dimuliakan.”

فضعها على أعلى المفارق إنهـا *** حقيقتهـا تاج وصورتها نعـل
“Maka letakkanlah ia di rak-rak teratas. Karena hakikatnya ia adalah mahkota meski secara lahirnya ia hanyalah gambar/lambang/replika/tiruan Sandal Nabi Saw.”

Faidah Gambar Sandal Nabi Saw.

 Al-Allamah asy-Syaikh al-Imam al-Muqarri dalam kitab Fath al-Muta’al fi Math an-Ni’al dan juga Imam al-Qasthallani dalam al-Mawahib al-Laduniyyah (juz 2 hlm. 174) menjelaskan beberapa faidah “Mitsal an-Na’l asy-Syarif” (Replika/Gambar/Lambang Sandal-Terompah Nabi Saw.) sebagai berikut:

1.      Barangsiapa yang menyimpan Gambar Sandal Nabi Saw. di dalam rumah/tempatnya dengan niat tabarruk (mendapatkan berkah), maka tempat itu diliputi keselamatan dari orang yang bermaksud buruk (jahat), pencuri, perampok, orang yang hasud, setan yang menyesatkan serta selamat dari penyakit ‘ain dan sihir (santet-tenung).
2.      Ketika ada perempuan yang kesulitan dalam melahirkan bayi (proses bersalin) jika perempuan tersebut menggenggam Gambar Sandal Nabi Saw. di tangan kanannya maka akan diberi kemudahan dalam proses persalinannya bi-idznillah.
3.      Barangsiapa yang mengistiqamahkan membawa Gambar Sandal Nabi Saw. yang dilipat dan digunakan sebagai ‘azimat atau diletakkan di kopyah/songkok atau sabuk maka apa yang menjadi tujuannya akan tercapai.
4.      Bisa ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan mimpi bertemu Rasulullah Saw.
5.      Jika digunakan untuk berperang di jalan Allah maka akan diberikan kemenangan dan juga tidak sampai melarikan diri (dari peperangan).
6.      Jika digunakan untuk berdagang maka akan selamat dari perampok.
7.      Jika diletakkan pada barang dagangan maka akan aman dari pencurian dan perampokan.
8.      Jika diletakkan di dalam rumah maka akan selamat dari kebakaran.
9.      Jika dibawa di dalam kapal/perahu maka akan diberikan keselamatan dari karam/tenggelam.
10.  Jika dibawa orang yang sedang sakit maka akan segera diberi kesembuhan.
11.  Jika hatinya kalut/galau maka akan segera bahagia.
12.  Jika punya hajat dan mau bertawassul kepada Rasulullah Saw. maka orang tersebut akan segera tercapai hajatnya.


Semua ini tentu harus didasari dengan keyakinan yang teguh/kuat serta cinta kepada Rasulullah Saw. Wallahu a’lam bimuradih. (IBJ)
 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template