Latest Post

Tampilkan postingan dengan label WASIAT PARA ULAMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WASIAT PARA ULAMA. Tampilkan semua postingan

HABIB ZAID BIN YAHYA: BEKAL NIKAH DAN BERKELUARGA

Written By MuslimMN on Minggu, 29 Januari 2017 | 12.29



Habib Zaid bin Abdurrahman bin Yahya dari Tarim, Hadhramaut, Yaman dalam mau’idzah hasananya menekankan bagaimana pentingnya peran kedua orangtua, peran ayah dan ibu di dalam membina rumah tangga, memberikan pendidikan kepada anak-anak, sebagai generasi penerus yang bisa membanggakan dan membahagiakan Baginda Nabi Saw. Sesuai dengan tuntunan Baginda Nabi Saw., dalam QS. at-Tahrim ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً

“Wahai orang-orang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Ayat di atas berisi perintah Allah Ta’ala kepada orang-orang beriman untuk melindungi diri dan keluarganya dari api neraka. Ini penting menjadi perhatian setiap Muslim yang beriman. Sebab ukuran kesuksesan dan kebahagiaan manusia di akhirat kelak adalah ketika dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. “Setiap jiwa akan merasakan kematian, maka barangsiapa yang diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka dia telah beruntung.” (Qs. Ali Imran ayat 185).

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam butiran ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Swt., serta melarang mereka dari bermaksiat kepadaNya. Seorang suami atau ayah, wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang difardhukan oleh Allah Swt. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasihati dan diperingatkan.

Ayat ini menunjukkan amanah dari Allah Swt. terhadap seorang laki-laki, wajibnya suami mengajari anak-anak dan istri tentang perkara agama, kebaikan, serta adab yang dibutuhkan. Hal ini semisal dengan firman Allah Swt. kepada Nabi Saw.: “Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya.” (QS. Thaha ayat 132). “Berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.” (QS. asy-Syu’ara ayat 214).

Ayat-ayat ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan kita memiliki kelebihan dibandingkan lainnya dalam hal memperoleh pengajaran dan pengarahan untuk taat kepada Allah Swt. Beliau Saw. bersabda:

ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ

“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674).

Dalam hadits di atas, Nabi Saw. memerintahkan kepada sahabatnya untuk memberikan ta’lim (pengajaran) kepada keluarga dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan saat bermajelis dengan seorang alim.

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa tanggungjawab seorang laki-laki sebagai suami/ kepala rumah tangga sangat berat. Jangan sampai ia menjadi seorang ayah yang hanya bisa memberikan makan dan minum, tetapi tidak dididik yang nanti akhirnya akan mengantarnya menuju ke nerakanya Allah Swt. Na’udzubillah min dzalik. Hendaknya suami atau ayah harus membekali dirinya memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik anak istrinya adab dan akhlak, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari penyimpangan. Juga karena Rasulullah Saw. bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَاْلأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829), Ahmad (II/5, 54, 111) dari Ibnu Umar Ra.).

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ؟ حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ.

“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia pelihara ataukah ia sia-siakan, hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.” (HR. an-Nasai dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 292) dan Ibnu Hibban (no. 1562) dari Anas bin Malik Ra.).

Seorang suami harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang shalih, dengan mengkaji ilmu-ilmu agama, memahaminya serta mengamalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya, serta menjauhkan diri dari setiap yang dilarang oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya. Kemudian dia mengajak dan membimbing sang isteri untuk berbuat demikian juga, sehingga anak-anaknya akan meneladani kedua orangtuanya karena tabiat anak memang cenderung untuk meniru apa-apa yang ada di sekitarnya.

Sebelum menjadi seorang ayah, semestinya ia telah menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik anak-anaknya kelak karena; “Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya.”

Perlu juga diperhatikan bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak istri yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita yang harus ditunaikan walinya. Sementara Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. mengatakan, makna “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, adalah “didiklah mereka dan ajarkan ilmu kepada mereka (addibuhum wa ‘allimuhum)”.

Singkatnya, ilmu adalah bekal sekaligus panduan dalam mengarungi kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat. Bahkan nabi Muhammad Saw. bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka dengan itu Allah mudahkan baginya jalan menuju surge.” (HR. Muslim). Dimudahkan masuk surga mengandung makna dijauhkan dari neraka.

Kedua orangtua, baik ayah maupun ibu harus memiliki kesadaran yang sesungguhnya, bahwa mengajar dan mendidik anak bukan menjadi tanggungjawab di madrasah, pondok pesantren atau di sekolah/universitas. Yang paling penting sesuai dengan ayat tersebut di atas adalah pendidikan dimulai dari rumah. Karena di rumah inilah, anak akan melihat langsung apa yang dilakukan oleh kedua orangtuanya, melihat langsung perilaku ayah dan ibunya begitu pula kakek dan neneknya.

Oleh sebab itu kedua orangtua harus memperhatikan penididikan anak-anaknya dari rumahnya, memberikan teladan yang baik sehingga anak tersebut tumbuh menjadi anak yang shalih penuh dengan akhlak yang mulia. Oleh sebab itu orangtua harus memperhatikan akhlak anak dan juga ilmu pengetahuan anak, disamping juga memperhatikan kebutuhan makan dan tunjangan hidup anak.

Kedua orangtua, ayah dan juga ibu harus memperhatikan kawan-kawan dari anaknya tersebut, dengan siapa anaknya berkawan, sesungguhnya Rasulullah Saw. sudah menegaskan:

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ (أخيه) الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin cerminan dari saudara (teman)nya yang mukmin.” (HR. al-Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad no. 239 dan Abu Dâwud no. 4918).

Memilih teman yang baik adalah sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan agar kita tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Saw. bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu berada pada agama teman karibnya, maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapakah yang dia jadikan teman karibnya.” (HR. Abu Dâwud no. 4833 dan at-Tirmidzi no. 2378).

Maka dari itu lihatlah kawan-kawan anak-anak kalian dan juga lihatlah kawan-kawan kalian (ayah dan ibu), karena seseorang itu akan mengikuti agama kawannya. Oleh sebab itu juga, seorang ayah dan ibu harus mengingatkan anaknya punya kawan yang tidak baik harus diingatkan dengan baik-baik. Yang dimaksudkan juga bukan hanya kawan-kawan di dunia nyata ini, tetapi juga kawan-kawan di dunia maya, pertemanan media sosial, seperti di facebook, whatssap, email, internet dsb. harus diperhatikan, dicarikan kawan-kawan bermain yang baik, kawan-kawan yang shalih dan diingatkan jika kawan-kawannya itu tidak benar, bahwa kawan-kawannya itu tidak mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.

Orangtua juga harus memperhatikan kesehatan anak-anaknya, kesehatan dzahir dan batinnya. Jika anak-anak terlalu sering memegang gadget handphone, smartphone, melihat TV terlalu lama, bermain PS terlalu lama, hal itu akan menyebabkan sakit, kesehatannya berkurang dan akan mengganggu daya pikirnya, perkembangan daya pikirnya, kekuatan daya pikirnya. Oleh sebab itu orangtua sangat harus mengarahkan dan mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang baik dengan memperhatikan apa yang mereka lakukan sehari-harinya.

Shahibul Maulid, Rasulullah Saw., bisa menjadi contoh di dalam mendidik putra dan putrinya. Suatu ketika Rasulullah Saw. melihat dan mendengarkan putrinya mengucapkan sesuatu yang kurang patut. Maka Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa apa yang diucapkan itu sangat besar pengaruhnya (tidak baik) dan sangat besar dosanya.

Anak-anak memang boleh dan berhak mendapatkan istirahat, dan waktu untuk bermain. Tapi kita sebagai orangtua harus memperhatikan apakah permainan tersebut akan membawa dampak positif bagi anak tersebut. Jangan sampai permainan-permainan tersebut membawa anak menjadi anak-anak yang tidak shalih, sering melaknat, sering mengumpat, sering melakukan tindakan-tindakan yang tidak patut, berkata kotor dan lain sebagainya.

Rasulullah Saw. merupakan pendidik yang perlu dicontoh, dan sudah memberikan contoh keteladanan yang paling baik dan sempurna melalui sabda-sabadanya Saw. bahwa didiklah anak-anak kalian sejak dini. Diantara sabda Rasulullah Saw.:

مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggalkan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).” (HR. Abu Dawud no. 495).

Dipukul di sini adalah pukulan untuk ‘pelajaran’ bukan menyakitkan. Rasulullah Saw. mencontohkan dengan kayu siwak atau dengan sesuatu yang tidak menyakitkan. Dan pada umur 10 tahun itu juga anak laki-laki dan perempuan harus dipisahkan tempat tidurnya, tidak berada dalam satu tempat tidur dan tidur bersama. Namun sayangnya sebagian orangtua, seorang ayah atau ibu, ada yang menganggap remeh hal seperti ini, mendidik anak dari semenjak dini. Mereka beranggapan bahwa ‘ini adalah hal yang biasa, ini adalah hal yang lumrah’.

Jika anak kecil dibiarkan seperti itu, maka suatu saat keburukannya akan kembali kepada kedua orangtuanya. Di suatu saat nanti bisa jadi anak tersebut akan membangkang terhadap orangtuanya, ia lebih suka kepada kawan-kawannya, lebih suka kepada teman sepermainannya, dan dia benci kepada kedua orangtuanya dan tidak mau patuh kepada kedua orangtuanya. Dan itu akan menjadikan apa yang dilakukan kedua orangtua sewaktu kecil, maka akan dipetik sendiri oleh orangtuanya ketika ia telah dewasa nanti menjadi seorang ‘orangtua’. Oleh karena itu ini pentingnya mendidik anak sejak umur masih dini/kecil.

Beliau al-Habib Zaid bin Abdurrahman bin Husain bin Abu Bakar bin Umar bin Yahya berpesan kepada para anak-anak muda, “Kita harus patuh dan taat kepada kedua orangtua karena kita harus ingat bahwa dengan melalui keduanyalah kita bisa hadir di muka bumi ini. Dengan melalui keduanya kita bisa hidup di muka bumi ini, dan jangan sampai kita dalam hidup ini menyebabkan orangtua kita menjadi sedih, menjadi merana karena tingkah laku dan akhlak kita. Dan jadilah kita bisa membanggakan kedua orangtua, menjadikan mereka bahagia di dunia dan akhirat.”

“Anak-anak muda harus mengetahui, para remaja yang hadir juga harus mengetahui bahwa dengan berbaktinya kita kepada kedua orangtua, yang nantinya akan kembali kepada kita, InsyaAllah besok ketika kita sudah menikah dan mempunyai anak, maka akan mendapatkan anak-anak yang shalih, yang taat kepada kita, yang patuh kepada kita. Begitu pula sebaliknya, jika kita-kita ini menyebabkan hati orang tua kita terluka, menyebabkan orangtua merana dan sedih, tidak bisa membanggakan mereka, maka besok juga kita akan mendapatkan karmanya.” Lanjut Habib Zaid.

Inilah yang ditegaskan melalui sabda Rasulullah Saw. dari Jabir Ra., “Berbaktilah kepada kedua orangtua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.” Jagalah kehormatan kalian, lindungilah kehormatan kalian, maka beliau Saw. bersabda, “Maka perempuan-perumpuan kalian, istri-istri kalian akan terjaga kehormatannya.”

Oleh sebab itu jika kita berkeinginan agar istri-istri kita mendapatkan perlindungan dari Allah Swt., tidak diganggu oleh orang lain, tidak melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang tidak diinginkan, maka kita harus menjaga kehormatan kita sendiri, menjaga mata kita tidak melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt., tidak menggoda wanita-wanita yang bukan dihalakan kepada kita. Sehingga dengan cara demikian maka istri-istri kita dan juga anak-anak perempuan kita akan dilindungi oleh Allah Swt. dari fitnah-fitnah yang akan mengganggu mereka.

Dan yang terakhir, kami berpesan kepada para mempelai laki-laki dan wanita juga yang sudah berkeluarga, laki-laki dan perempuan yang sudah menikah baik yang diakad-nikahkan pada malam hari ini, maupun yang hadir di sini, maupun yang belum menikah InsyaAllah besok akan mendapatkan istri yang shalihah yang dipilihkan oleh Allah Swt. Ketahuilah Rasulullah Saw. bersabda:

خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي

“Orang terbaik diantara kamu adalah dia yang terbaik dalam hal berlaku baik terhadap ahli (penghuni) rumahnya, dan aku (Rasulullah Saw.) adalah yang terbaik dari antara kalian dalam hal memperlakukan dengan baik terhadap keluarganya.” Oleh sebab itu mahkota yang akan diberikan oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya adalah mahkota kehormatan yang bisa menghormati dan memuliakan keluarganya dan anggota keluarganya.

Bagi wanita yang belum menikah, semoga Allah Swt. nanti akan menganugerahkan laki-laki yang shalih sebagai pendampingnya. Wahai wanita yang hadir di sini, perempuan-perempuan yang hadir di dalam majelis yang penuh berkah, keberkahan maulid ini, Rasulullah Saw. telah berpesan kepada kalian: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai’.” (HR. Ahmad 1/191).

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1159, Ibnu Hibban no. 1291 dan al-Baihaqi VII/291, dari Abu Hurairah Ra.).


Ini menunjukkan bahwa bagaimana besarnya hak suami dalam keluarga. Semoga semuanya bisa memenuhi sunnah-sunnah Baginda Nabi Saw. Amin. (Disampaikan oleh al-Habib Zaid bin Yahya dalam acara Peringatan Maulid Nabi Saw. dan Haul KH. Abdul Lathif serta Sesepuh Desa Medono Pekalongan, di PP Al-Mubarok asuhan KH. Zakaria Anshor, 27 Januari 2017, dan diterjemahkan langsung oleh KH. Arif Chasanul Muna. Sumber: fp resmi Maulana Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya).

DEMO BUKAN DAKWAH KITA, SERUAN GURU MULIA

Written By MuslimMN on Rabu, 12 November 2014 | 23.19




A.    Belajar dari “Tragedi Monas”, Hentikan Demo Ahmadiyah

KedermawananNya Swt. semoga selalu menaungi hari-hari Anda dengan kesejahteraan. Saudara-saudariku muslimin muslimat yang kumuliakan, dengan semakin padatnya desakan terhadap saya lewat email, forum web ini, surat, fax dll untuk memberi tanggapan dan penjelasan permasalahan apa yang diperbuat Majelis Rasulullah Saw. terhadap Tragedi Monas, maka dengan ini saya menyampaikan sekilas singkat saja tindakan Majelis Rasulullah Saw. atas hal ini.

Saudara-saudariku muslimin muslimat yang kumuliakan, jumlah pengikut Ahmadiyyah di Nusantara ini tidak mencapai 250.000 personil saja. Mereka sudah ada sebelum Indonesia merdeka, jumlah mereka sangat sedikit masa itu. Namun yang menyebabkan perkembangan mereka bukanlah kehebatan dakwah mereka, namun penyebabnya adalah kegelapan ummat atas iman dan pemahaman akan akidah Islam. Jumlah mereka tak mencapai 1% muslimin di muka bumi. Sedangkan yang mesti kita benahi bukan hanya Ahmadiyah, namun juga saudara-saudara kita muslimin yang terjebak narkoba, miras, perzinahan, perjudian, kriminal, korupsi, penipuan, kemalasan melakukan hal yang fardhu, seperti meninggalkan shalat lima waktu, tidak mau puasa Ramadhan, wanita muslimah yang tak mau menutup auratnya, maraknya aliran sesat seperti Lia Eden, Ahmad Mushoddiq, dan sangat banyak lagi dan diantaranya adalah Ahmadiyah. Penyebabnya satu saja, yaitu kerusakan iman.

Maka janganlah kita terpaku hanya pada Ahmadiyah satu saja yang tak mencapai 1% dari jumlah muslimin di Indonesia, sedangkan kerusakan ummat yang lain kita lupakan sedangkan jumlahnya jauh lebih banyak, merusak anak-anak kita, keluarga dan sahabat kita yang terus berjatuhan pada kemurkaan Allah Swt. setiap detiknya. Ahmadiyyah dibubarkan atau tidak oleh pemerintah kita, itu bukan tolak ukur bagi kita. Karena pembubaran itu akan bersifat semu jika akidah dan iman ummatnya tidak dibenahi, dan pembubaran itu hanya akan menutup satu golongan, yang kemudian timbul ratusan lagi aliran sesat yang membingungkan ummat.

Kita jangan terpaku pada pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah atau tidak, kita muslimin muslimat berjuang membenahi anggota Ahmadiyah agar kembali kepada al-Haqq. Maka pemerintah membubarkannya atau tidak, memeranginya atau tidak, kita tetap bergerak tanpa harus menunggu dahulu pemerintah yang melakukannya. Kita lihat sendiri betapa dahsyatnya kerusakan akidah muslimin, saat bangkit saudara kita mengkontra Ahmadiyah, namun muslimin lainnya bangkit pula mendukung Ahmadiyah dan membelanya.

Saudaraku muslimin muslimat yang kumuliakan, hentikan Demo Ahmadiyah, hentikan kekerasan atas Ahmadiyah, hentikan tuntutan untuk pembubaran atas Ahmadiyah. Karena dengan perbuatan saudara-saudara kita yang memerangi Ahmadiyah dengan kasar dan menuntut dengan desakan keras pada pemerintah untuk pembubaran Ahmadiyah justru bukanlah membuat Ahmadiyah sirna, justru sebaliknya!

Bagaimana? Subhanallah... inilah yang sangat menakutkan dan berbahaya, justru bukan Ahmadiyahnya yang tak mencapai 1% jumlah muslimin, namun justru Muslimin yang membela dan melindungi Ahmadiyah berubah menjadi jutaan banyaknya! Pendukung Ahmadiyah semakin banyak, yang mendukungnya kini bukan hanya Negara Adikuasa musuh Islam, namun kini jutaan muslimin muslimat menaruh simpatik dan iba terhadap Ahmadiyah. Mungkin sebagian muslimin yang awam kini akan memberi infak besar dan rela melindungi Ahmadiyah dari kejaran muslimin karena tak tega melihat mereka dikejar-kejar dan didzalimi. Inilah dampak yang sangat buruk dari kekerasan sebagian saudara kita muslimin.

Saudara-saudariku yang kumuliakan, bangkitlah, kembalilah pada kelembutan Nabi Saw., pada akhlak beliau Saw., pada kesantunan beliau Saw. Dengan itu anggota-anggota Ahmadiyah akan luntur dan kembali pada iman dan Islam. Undang dan ajak mereka ke majelis-majelis ta’lim, ajak mereka makan bersama, undang mereka saat acara-acara Islami, ajak anak-anak mereka hadir acara-acara Islami, bantu mereka yang susah, selalulah berlemah-lembut pada mereka, namun tetap bahwa kita tak sefaham dengan mereka dalam masalah akidah. Sungguh mereka akan mulai merasa bahwa merekalah yang salah, karena merasa beda sendiri dari muslimin lainnya, terpuruk dan membenci orang muslimin banyak, sedangkan orang-orang muslim ternyata baik pada mereka. Mereka akan malu sendiri dan menemukan kebenaran.

Dan ingat, bukan hanya Ahmadiyah, tapi seluruh lapisan masyarakat yang terkena ajaran sesat, seperti Lia Eden, Mushoddiq, dll, juga saudara-saudara kita yang terjebak narkotika, perzinahan, perjudian, miras, dll janganlah dikasari dan dicaci-maki dan dimusuhi. Rangkullah mereka untuk berbaur dengan orang yang baik-baik hingga mereka mengenal hal yang baik-baik bersama orang yang baik dan ramah pada mereka.

Mengenai pemerintah, maka hati-hatilah, memang Negara Adikuasa sangat menginginkan muslimin bisa diadu-domba dengan pemerintahnya sendiri. Maka tak perlu negara musuh-musuh Islam itu turun tangan menghancurkan simpul-simpul kekuatan Islam, namun biarlah pemerintah di negeri mereka masing-masing yang menghantam mereka, sehingga muslimin saling hantam dengan pemerintahan di negaranya masing-masing, mereka kuffar bertepuk tangan atas kejadian ini. Media terus meliput kekerasan dan anarkis beberapa gelintir para pemuda peci putih dan pakaian sunnah, namun itu membuat pakaian sunnah dibenci dan identik dengan kekerasan, bukan kedamaian. Inilah harapan besar para negara musuh Islam, agar muslimin yang awam menjadi benci pada pakaian Islami, atau malu memakai pakaian Islami, karena takut dituduh anarkisme.

Maka setelah bulan Maulid yang diberkahi Allah Swt. di negeri kita dengan semakin dahsyatnya gerakan perayaan Maulid yang semarak dan menarik perhatian muslimin yang awam untuk memperbaiki diri dan bernaung di bawah sunnah, di saat Jakarta dan wilayah wilayah lainnya mulai terang benderang dengan muslimin yang memakai peci putih, sarung, dll, kini berubahlah mereka pada kemunduran. Semua asesoris Islami didentikkan dengan kekerasan dan terorisme.

Selama ini ketika misalnya naik beberapa pemuda bepeci putih, berbaju putih dan berbusana Islami ke sebuah Bus umum misalnya, maka masyarakat awam akan simpatik dan tenang, “Wah... pasti anak baik-baik, harapan bangsa, pasti dari maulidan atau pengajian.” Alhamdulillah, keberadaan mereka membuat sejuknya jiwa manusia di sekitarnya.

Namun kini ketika naik sekelompok pemuda berbusana muslim, peci putih, baju putih, maka orang orang awam mencibir benci, atau risau dan takut, “Jangan-jangan mau swiping, jangan-jangan mau merusak, jangan-jangan anggota gerakan anarkis.” Mereka sudah takut dan benci dengan pakaian Islami. Jika masuk sekelompok anak muda dengan busana muslim ke sebuah pasar atau pertokoan, maka para satpam tidak lagi merasa aman, mereka langsung curiga dan bermuka masam. Muslimin yang awam kini merasa lebih aman jika melihat orang berbusana kuffar, wanita yang bercelana pendek, pria beranting dan memakai cincin besi di hidung dan bibirnya, mereka merasa lebih aman dengan itu daripada pemuda berbusana sunnah Rasul Saw. Inilah kemauan dan tujuan musuh-musuh Islam.

Saudara-saudariku yang kumuliakan, bangkitlah, bersatulah, lupakan seluruh atribut kita, kita akan bangkit di hari kiamat di bawah satu pimpinan, yaitu Sayyidina Muhammad Saw. Tidak ada panji kelompok, panji organisasi dan panji partai, yang akan berkibar di sana hanya bendera Muhammad Rasulullah Saw. yang akan ditegakkan, dan panji ummat-ummat sebelum beliau dengan nabinya masing-masing.

Maka bersatulah, satukan niat, ingatlah sebidang tanah kubur kita yang sudah menanti tubuh kita di belahan bumi ini. Mereka sudah diberi kepastian bahwa fulan bin fulan akan bersemayam di bawah mereka. Ketika engkau mengingat kepastian saat-saat tubuhmu diturunkan pelahan ke dalam bumi, lalu kain penutup wajahmu dilepas, lalu kau dihadapkan ke kanan, wajahmu diciumkan ke tanah dinding kubur yang lembab, dan punggungmu diganjal batu bata agar kau tak lepas dari mencium dinding tanah kuburmu, lalu kayu-kayu papan disusunkan satu persatu menutupmu, lalu mulailah tanah ditimbunkan padamu, diiringi tangis keluarga dan sahabat-sahabatmu, lalu suasana gelap gulita…

Sebagaimana sabda Nabi Saw. riwayat Shahih Bukhari, bahwa kau akan mendengar langkah-langkah para penguburmu yang berderap menjauh meninggalkan kuburmu. Inilah nasib semua manusia, inilah akhir dari segala kehidupan, segala karya, usaha, pemikiran, pendapat, perjuangan, kekayaan, kemiskinan, kenikmatan, kesedihan, jabatan, kesibukan dan semua aktifitas yang dilakukan manusia di muka bumi, inilah puncak dan akhir dari semuanya. Tinggallah kau sendiri dengan Allah, bagaimana Allah akan memperlakukan kita? Cukupkah amal-amal kita?

Sabda Rasulullah Saw.: “Barangsiapa yang tak mengasihani orang, maka Allah tak mengasihaninya.” (Shahih Bukhari). Maka bersatulah dan saling mengasihilah. Kita doakan semua saudara-saudara muslim kita yang teraniaya sebab masalah ini agar diberi kesembuhan dan kesabaran. Dan saudara-saudara kita yang bermasalah dengan fihak yang berwajib agar segera dibebaskan. Dan semoga Allah Swt. segera memadamkan api fitnah permusuhan antara sesama muslimin. Dan agar Allah Swt. segera membantu kita untuk mentauhidkan mereka yang dalam kerusakan akidah. Aamiin… aamiin... aamiin.

Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga sukses dengan segala cita-cita, semoga dalam kebahagiaan selalu. Akhir kata, mari kita benahi iman ummat ini, maka terkikislah Ahmadiyah, narkoba, perzinahan, korupsi, dan seluruh aliran sesat dan perbuatan sesat. Allah menumpahkan kekuatan dan kemudahan padaku dan kalian dalam perjuangan ini, Aamiin. Wallahu a’lam. (Al-Habib Mundzir bin Fuad Almusawa Pimpinan Majelis Rasulullah Saw., 04 Juni 2008).

B.     Awal-Mula Sejarah Demo

Dan hal penting bagi kita adalah janganlah kita berpecah-belah. Karena jika sudah mulai banyak perpecahan dan perselisihan pendapat maka kehancuaran akan datang kepada umat Islam. Namun jika banyak yang mengalah maka Islam akan semakin meluas. Disebutkan dalam riwayat Shahih Bukhari bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika dihujat oleh Khawarij beliau berkata: “Putuskanlah apa yang hendak kalian putuskan, karena aku membenci perpecahan dan perbedaan pendapat, aku menginginkan persatuan. Dan jika tidak maka aku lebih memilih untuk wafat menyusul para sahabatku.” Dan itulah awal sejarah demo yang banyak terjadi di zaman sekarang ini, maka janganlah menjadi pengikut ajaran orang-orang yang mendemo Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Kemudian Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib Kw. ketika menerima khilafah setelah ayahnya wafat, maka khilafah pun ia serahkan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan demi menghindari perpecahan diantara kaum muslimin. Maka dalam hal ini Sayyidina Hasan lebih memilih untuk mengalah dan menyerahkan kekuasaan demi menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah diantara kaum muslimin.

Kemudian Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib Kw. yang datang untuk memenuhi undangan. Namun setelah beliau tiba di Karbala, disampaikan kepada Yazid bin Mu’awiyah bahwa Sayyidina Husain datang untuk berperang dan merebut kepemimpinan. Sungguh sebuah kedustaan yang nyata, karena jika Sayyidina Husain datang untuk berperang atau untuk merebut kepemimpinan maka beliau tidak akan membawa serta istri dan anak-anaknya serta keluarganya bersamanya. Sehingga Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib dibantai di padang Karbala.

Dan sampai pada keturunannya, al-Imam Ahmad al-Muhajir, dimana ketika di Baghdad banyak terjadi khilaf, pecah-belah dan perebutan kekuasaan, maka al-Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir bersama keluarganya pindah ke Tarim Hadhramaut. Karena di daerah tersebut ada penguasa Tarim seorang muslim yang membela Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan banyak orang yang mengecam al-Imam Ahmad al-Muhajir, sehingga ada seorang alim yang bermimpi Rasulullah Saw. dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, al-Imam Ahmad telah meninggalkan kami dan pindah ke Hadhramaut, sedangkan kami berada dalam pertikaian dan perselisihan.” Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Aku gembira dengan apa yang telah diperbuat oleh Ahmad bin Isa.”

Sehingga al-Imam Ahmad menetap di Hadhramaut dan terus memiliki keturunan hingga sampai pada masa al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi. Beliau mematahkan pedangnya di hadapan keluarga dan para sahabatnya seraya berkata: “Keluargaku dan para sahabatku serta orang-orang yang mengikutiku, sejak saat ini aku tidak lagi akan berdakwah dengan kekerasan.”

Oleh sebab itu jalan dakwah para habaib adalah dengan kedamaian. Sehingga dari Hadhramaut muncullah para penyeru ke jalan Islam menuju Gujarat yang akhirnya sampai ke pulau Jawa. Mereka datang dengan jalan kedamaian seperti yang dicontohkan oleh para leluhurnya. Dan kita kenal 9 orang yang berhasil menyebarkan Islam di Nusantara ini, mereka tidak memiliki pasukan, senjata atau kekuatan lainnya. Namun mereka dapat menyebarkan Islam di segala penjuru nusantara sehingga penduduk Indonesia mengenal kalimat “Laa ilaaha illaa Allah”, dan jadilah Indonesia ini negara muslimin terbesar di dunia, karena kedamaian yang disebarkan melalui para penyebar dakwah di tanah air.

Agama Islam adalah agama kedamaian, dan nabi Muhammad Saw. adalah manusia yang paling menyukai kedamaian dan paling berlemah-lembut dari segala makhluk Allah Saw., bahkan lebih lembut dari malaikat. Ketika Malaikat Jibril melihat Nabi Muhammad Saw. disiksa dan dianiaya oleh penduduk Thaif dengan melempari kaki beliau Saw. dengan batu, ketika terjatuh beliau disuruh untuk berdiri dan kemudian kembali dilempari dengan batu. Namun demikian beliau Saw. berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku mengadukan kepadaMu kelemahan upayaku, dan kurangnya usahaku, dan hinanya aku di kalangan manusia. Wahai Yang Maha Mengasihi, Engkaulah Tuhan golongan yang lemah, dan Engkaulah Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan aku. Jika Engkau tidak murka kepadaku maka aku tidak peduli.”

Dan beliau Saw. berdoa: “Wahai Allah berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Penduduk Thaif yang menyakiti dan menyiksanya, justru beliau anggap sebagai kaum beliau Saw. dan didoakan agar diberi hidayah oleh Allah Swt. Demikianlah kelembutan makhluk yang paling berlemah-lembut sehingga Malaikat Jibril datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, izinkanalah malaikat penjaga gunung itu mengangkat gunung tersebut dan menjatuhkannya di atas Thaif.” Namun Rasulullah Saw. berkata: “Jangan, biarkan mereka hidup jika bukan mereka yang mendapat hidayah dan beriman, barangkali keturunan mereka kelak yang akan beriman.” Demikianlah indahnya budi pekerti Sayyidina Muhammad Saw. (Al-Habib Mundzir bin Fuad Almusawa).

C.    Seruan Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz “Melarang Demo”

“Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah. Sebelum saya akhiri majelis ini dengan munajat, saya ingin menyampaikan tentang semakin semaraknya perpecahan antara muslimin. Di sini kita mendapatkan perintah dari Guru Mulia kita al-Hafidz al-Musnid al-Habib Umar bin Hafidz, untuk tidak melibatkan diri dalam demo. Apakah demo damai atau demo anarkis, beliau mengatakan semua demo damai atau anarkis sama saja dan jangan dilakukan, karena itu akan memanaskan daripada perpecahan muslimin. Jadi mereka yang berdemo silakan saja, tapi Majelis Rasulullah Saw. mau menghindari.

Seruan beliau (Habib Umar) disampaikan untuk para ulama dan para kyai, seraya berkata: “Sampaikan pada kyai-kyai kita dan para ulama kita dan semua orang-orang yang mengenalku, katakan bahwa Umar mengatakan hal ini, untuk menarik diri, “la yatada’ul biha lil-amr” mundur dari segala acara seperti itu. Tugas kita adalah “ittaqullah wa da’wah ilallah la ghaira dzalik” tugas kita adalah taqwa kepada Allah dan memperluas dakwah Allah Swt., tidak lebih dari itu dari gerakan-gerakan muslimin.

Demikian intruksi langsung dari beliau. Oleh sebab itu saya mohon hadirin-hadirat menahan diri untuk berangkat, acara apapun mengatasnamakan demo atau unjuk rasa. Jadi mereka yang akan berangkat saya harap jangan pakai atribut Majelis Rasulullah Saw., jangan sampai terlihat ada bendera Majelis Rasulullah Saw. (Al-Habib Mundzir Almusawa, Pimpinan Majelis Rasulullah Saw.)

Syaroni As-Samfuriy, Tegal 13 November 2014

MENGAPA INDONESIA BUKAN KHILAFAH?

Written By MuslimMN on Minggu, 07 September 2014 | 20.54



الدّفاعة  على شبهة الخلافة

MENGAPA INDONESIA BUKAN KHILAFAH?


Daftar Isi:
a.   Dasar Al-Quran
b.   Dasar Al-Hadits


بسم الله الرحمن الرحيم

Allah Swt. berfirman dalam QS. an-Nisa’ ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasulullah (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Rasulullah Saw. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ منْ بَعْدِي

“Berpegangteguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin setelahku.” (HR. Ibn Majah, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim, Abu Daud dan at-Tirmidzi).

1.    Awal Kemunculan Gagasan Khilafah

Disebut-sebut ‘khilafah’ mulai ramai sejak tahun 2000, kurang lebih sudah 14 tahun lamanya. Tidak sedikit kader-kader Nahdlatul Ulama yang tertipu dan ‘tergelincir’, sehingga memberikan dukungan moril maupun materiil terhadap Hizbul Khilafah.

Dalam sebuah perbincangan dengan guru saya, KH. Abdul Adzim bin Muhammad Suhaimi, seorang ulama sepuh di kawasan Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Beliau adalah ulama senior dari alumni Universitas al-Azhar Mesir. Beliau pertama yang menulis tesis tentang ‘Gerakan Zionisme di Dunia Islam’. Beliau mengatakan kepada saya: “Isu khilafah itu pernah digembar-gemborkan di Mesir, tetapi tidak laku. Kemudian isu itu diekspor ke Australia.”

Setelah saya coba telususri, siapa yang pertamakali membawa isu khilafah ke Indonesia. Orangnya masih hidup di Kota Bogor, namanya Abdurrahman al-Baghdadi. Dia adalah lulusan IPB Bogor yang pernah menuntut ilmu, sekolah S2 di Australia. Di sana ia bertemu dengan para aktifis khilafah dan membawa isu khilafah ini ke Indonesia. Kemudian di Indonesia ia mengkader antara lain Bapak Mahfudz Kurnia, Ismail Yusanto dan Muhammad al-Kahattat (nama aslinya Gatot Yujobroto). Beberapa dari yang lainnya kemudian mendirikan cabang yang dinamai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Sebelum mendirikan gerakan tersebut, Abdurrahman al-Baghdadi berputar kemana-mana dalam rangka menawarkan gagasan khilafah. Gagasan ini selalu mendapat penolakan. Ketika ditawarkan ke Jamaah Tabligh (JT) tetapi ditolak. Kata mereka: “Lho jangan tawarkan khilafah ke saya. Kalau mau tawarkan masjid kosong, ya pati saya terima.” Kemudian gagasan itu ditawarkan ke Dewan Dakwah, tetapi juga ditolak.

Sehingga gagasan khilafah ini sempat menjadi ‘musuh bersama’ di antara ormas-ormas Islam. Tetapi Abdurrahman al-Baghdadi tidak berani menawarkannya ke PBNU, karena sudah alergi dengan Gus Dur ketika itu. Jadi Gus Dur ini tidak perlu berdebat, dengar namanya saja orang sudah enggan. Ini luar biasanya Gus Dur, namanya menang sebelum perang. Jadi tidak perlu banyak mengeluarkan energi, karena Gus Dur selalu memakai prinsip: “Gitu aja koq repot”!

Itulah awal-mula munculnya gagasan khilafah, yang kemudian berkembang terus dari IPB masuk ke UI, ITB dan kemudian berkembang ke universitas atau kampus-kampus negeri unggulan di Pulau Jawa. Sampai sekarang, yang mengagetkan saya, isu khilafah sudah sampai di pulau terkecil di Sulawesi Tenggara.

Dan yang mengecewakan saya, nama saya dicatut sebagai ustadz khilafah. Kenapa? Karena saya ini dianggap dekat dengan aktifis-aktifis khilafah dan pada akhirnya saya dianggap sebagai guru mereka. Dan parahnya itu dijadikan sebagai jualan. Silakan searching di google maka akan ditemukan nama saya. Itu awalnya saat saya menghadiri sebuah seminar ‘Menyikapi Jatuhnya Husni Mubarak dari Kursi Pemerintahan’. Saya tidak tahu kalau acara itu ternyata adalah acara promosi mereka. Yang menghadirinya kebanyakan kau awam dari berbagi macam lapisan masyarakat.

Tetapi yang membuat saya tertawa adalah bahasanya seperti bahasa Bakornas dan Bapernas. Maksudnya, bahasanya di sana bukan bahasa merakyat, tetapi bahasa yang sifatnya elit seperti membahas pendapatan negara dan membahas kebijakan politik. Sedangkan yang hadir di situ adalah seperti tukang sayur dan tukang jamu, sampai mereka saling bertanya: “Pendapatan perkapita itu apa?” Bahkan terlalu tinggi, sehingga saya yakin dari sekian banyak peserta yang menghadirinya tidak faham apa itu isu khilafah.

Yang mengagetkan saya lagi, tidak sedikit kader-kader NU yang sudah sampai pada tingkatan disebut ‘kyai’, pada beberapa waktu yang lalu ramai-ramai datang ke sebuah lembaga pemerintahan menyatakan dukungannya terhadap perjuangan khilafah. Sehingga saya berfikir kalau ini didiamkan yang terancam bukan cuma negara, tapi juga agama. Karena ada upaya politisasi agama untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.

2.    Bantahan Atas Gagasan Khilafah

Pertanyaannya adalah, apa itu khilafah? Apa benar khilafah itu sebuah sistem yang diharuskan oleh Rasulullah Saw. untuk kita terapkan?

a.   Dasar Al-Quran

Khilafah itu bentuk mashdar dari khalafa-yakhlufu (خلف – يخلف), yang artinya mengikuti. Di dalam al-Quran kata khilafah dipakai dalam bentuk isim fa’il; khalifah, artinya orang yang mengikuti atau orang yang diberikan kewenangan. Maka kalau kita lihat dalam QS. al-Baqarah ayat 30:

وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

Tetapi makna khalifah di sini adalah hamba Allah yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan amanah yang Allah berikan; sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Lalu di dalam QS. Shad ayat 26, Allah menyebut kata khalifah untuk menunjukkan tugas yang dijalankan oleh Nabi Daud As.:

یَادَاوُد إِنَّا جَعَلْناكَ خَلِیفَةً فِی الْأَرْضِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa, penerus amanah Allah yang telah Allah titipkan pada para nabi sebelumnya) di muka bumi.”

Nah, kalau kita lihat kata khalifah atau khilafah di dalam al-Quran tidak menunjuk kepada sistem pemerintahan. Kenapa? Karena al-Quran diturunkan bukan untuk bikin negara. Tidak ada kewajiban bagi setiap Muslim di muka bumi ini untuk mendirikan Negara Islam.

Bahkan Partai Masyumi, yang sering disebut-sebut sebagai partai yang berambisi untuk mendirikan Negara Islam, melalui keterangan resmi dari sekjennya, Almarhum H. Anwar Haryono, mengatakan: “Dengan usaha Masyumi mempertahankan 7 kata di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar dan 7 kata di dalam sila pertama Pancasila, jangan diartikan bahwa Masyumi ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia.”

Pernyataan ini bisa dibaca dalam buku yang ditulis olehnya, berjudul ‘Politik Bangsa Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan”. Statemen itu menunjukkan bahwa memang Islam itu ada bukan untuk mendirikan negara. Saya kira ucapan dari Masyumi itu senafas dengan semangat yang diusung oleh para kyai pendiri Nahdlatul Ulama, bahwa: “Islam itu ada, bukan untuk mendirikan negara.”

Tetapi, kalau kita lihat dengan perkembangannya sekarang ini justru informasi-informasi tentang Sirah Nabawiyyah (perjalanan Nabi Muhammad Saw.) dan juga terjemahan-terjemahan al-Quran, dimanipulasi oleh kelompok tertentu lalu diarahkan pada satu kesimpulan bahwa: “Kalau sudah ngaji, kita mendirikan negara sesuai dengan isi pengajian.” Nah ini kan berbahaya, karena:

1.      Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk selalu berpegang pada komitmen (perjanjian).

Disebutkan dalam QS. al-Maidah ayat 1:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah (peganglah) aqad-aqad (perjanjian) itu”. Dalam konteks yang lebih sederhana, perjanjian itu deperti hutang-piutang, komitmen kerja, kontrak kerja. Maka kita harus memegang komitmen. Kalau misalnya kontrak kerja kita dari jam 7 sampai jam 5, maka kita konsiten melaksanakan pekerjaan harus dari jam 7 sampai jam 5.

Dalam konteks yang lebih makro (luas) lagi adalah taat terhadap konstitusi. Karena konstitusi (Undang-Undang Dasar) itu adalah komitmen bersama kita sebagai warga negara, sebagai bangsa untuk mendirikan negara yang kita cita-citakan. Dan itu sudah diakui dengan cara pemiliha umum, pemilihan presiden, bahwa siapapun yang terpilih nanti maka kita sami’na wa atha’na; kita dengar dan kita taati.

Nah kalau umat Islam justru punya cara pandang yang lain, yang berimplikasi pada rusaknya komitmen itu, kita lihat konteks ayatnya disebutkan diawali dengan munada’ “Ya ayyuhalladzina amanu”, panggilan terhadap orang-orang yang beriman. Lalu setelah itu diikuti dengan fi’il amr “Aufu bil ‘uqud”. Artinya kalau orang itu gemar merusak perjanjian, maka kualitas keimanannya pun diragukan. Sebab diantara ciri orang beriman itu dia punya komitmen. Jangan sampai paginya ngomong tahu, sore ngomongnya tempe. Kalau konsisten, tahu ya tahu-tempe ya tempe, meskipun asalnya sama-sama dari kedelai.

2.      Rusaknya keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang telah susah-payah diperjuangkan oleh para orangtua kita terdahulu.

Ada satu dialog yang menarik tentang jihad, yang dikatakan H. Agus Salim ketika beliau ditanya oleh seorang profesor sebuah universitas di Amerika. Jadi, setelah Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengobarkan Resolusi Jihad, kata jihad adalah kata yang paling menakutkan bagi orang-orang Barat. Karena pada saat itu, mereka (orang Barat) adalah kelompok orang yang mempraktekkan kebijakan kolonialisme penjajahan di negara-negara Asia. Sehingga pertanyaan itu tidak ditujukan kepada KH. Hasyim Asy’ari, tetapi kepada H. Agus Salim. “Apa arti jihad? Jelaskan kepada kami!”

Maka H. Agus Salim dengan kecerdasannya, padahal beliau hanya lulus kelas 5 SD tapi bisa menguasai 9 bahasa seperti Arab, Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis, menjawab: “Jihad itu maknanya banyak, wahai Tuan Profesor. Yang pertama, jihad itu maknanya ijtihad. Ijtihad itu artinya bersungguh-sungguh menggali daya kreatisifitas berfikir untuk mencari inovasi-inovasi baru.”

H. Agus Salim menjelaskan lagi: “Yang kedua, jihad itu maknanya mujahadah. Artinya bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu, membersihkan diri. Terutama nafsu angkara murka, nafsu menguasai hak milik orang lain. Maka melawan hawa nafsu juga termasuk ke dalam pengertian jihad. Lalu yang ketiga, jihad itu artinya mempertahankan hak.” Kemudian beliau menjelaskan panjang lebar dalam kaitan ini, dan berkata: “Maka Bangsa Indonesia melakukan jihad karena haknya dirampas, hak atas tanah, hak atas kehormatan, tanah kami dirampas dan air kami dirampas.”

Lalu H. Agus Salim secara cerdas bertanya kepada si profesor: “Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda, wahai Tuan Profesor. Jika  Amerika, tiba-tiba datang bangsa asing yang mengobrak-abrik rumah Anda, merampas hak milik Anda, tanah Anda diambil, istri Anda diperkosa, apa yang akan Anda lakukan?!”

Profesor itu langsung menjawab: “Saya usir dari Amerika!”

“Begitulah yang dialami oleh kami Bangsa Indonesia. Maka jangan takut dengan kata jihad,” jawab H. Agus Salim.

Nah, kalau konsep bernegara yang sudah diusung oleh para ulama ini kemudian dirusak dengan mengatakan “Kita umat Islam harus mendirikan Khilafah Islmiyyah”, ini artinya sama saja ingin menghancurkan rumah yang sudah didirikan dengan susah-payah.

b.   Dasar Al-Hadits

Lalu, apa pemahaman para sahabat Nabi tentang Khilafah? Khilafah di dalam konteks pemahaman para sahabat Nabi maknanya bukanlah sistem pemerintahan. Kenapa? Karena kalau khilafah maknanya adalah sistem pemerintahan, Nabi Saw. pasti menunjuk seorang pengganti sebelum kewafatannya. Tetapi fakta sejarah, kalau kita buka kitab-kitab tarikh dan hadits, tidak ditemukan satu pun keterangan hadits bahwa Nabi Saw. menunjuk seseorang khalifah yang akan menggantikannya.

Abu Ubaidah Ra. meriwayatkan bahwa para sahabat pernah bertanya:

قَالُوا: أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Kenapa engkau tidak tunjuk seorang khalifah (pengganti atau pemimpin) untuk kami ya Rasulullah?”

فَقَالَ: إِنِ اسْتَخْلَفْتُ عَلَيْكُمْ خَلِيفَةً مِنْ بَعْدِي ثُمَّ عَصَيْتُمْ خَلِيفَتِي نَزَلَ الْعَذَابُ.

Jawab Nabi Saw.: “Jikalau saya tunjuk seorang pengganti setelahku, lalu kalian bermaksiat (tidak patuh) kepada khalifahku, pasti akan turun adzab atas kalian.” (HR. Imam Hakim dalam al-Mustadrak).

Nabi Saw. tidak menganggap khilafah adalah sebuah sistem pemerintah. Sehingga beliau Saw. tidak menunjuk seorang khalifah sepeninggalnya dan sebagai bentuk kasih sayangnya kepada kita umat Islam. Karena doa seorang Rasul Saw. pasti mustajab dan kekecewaan Rasul pasti akan mendatangkan adzab, maka diantara tanda rahmah (kasih sayang) kepada kita Nabi Saw. tidak sebut khalifah sepeninggalnya adalah si fulan, si fulan, dst. Atau Nabi Saw. tidak pernah mengucapkan: “Tetaplah kalian berpegang pada khilafah.” Lalu kenapa disebut kata khilafah?

Para sahabat Nabi, mereka tidak faham dengan yang namanya negara dan tidak pula mengenal kerajaan. Arab itu kenal kerajaan baru sekarang, begitu dipimpin oleh keluarga Sa’ud. Dimulai oleh Muhammad bin Sa’ud yang melakukan revolusi di tanah Arab, barulah mereka mengenal sistem kerajaan. Kenapa mereka menggunakan sistem kerajaan, padahal tempat lahirnya Islam di Saudi Arabia? Mestinya yang ngotot ngomong khilafah adalah Negara Arab, tetapi mengapa mereka tidak menggunakan sistem khilafah?

Raja Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Sa’ud mempunyai istri sampai 40. Ia mengawini wanita di 40 suku yang ada di Arab Saudi supaya kerajaan Saudi tidak digoyang dan tidak terjadi pemberontakan. Setiap kali 4 istri telah memiliki anak, maka ia ceraikan dan kemudian ganti 4 lagi hingga memiliki anak. Begitu seterusnya sampai 40 orang istri. Yang dipertahankan hanya istri pertamanya, tidak dicerai.

Sehingga raja-raja Saudi itu kakak-beradik tapi beda ibu. Raja Fahd dengan Raja Abdullah itu kakak-beradik, tapi beda ibu. Raja Fahd dengan raja sebelumnya, yakni Raja Muhammad, itu juga kakak-beradik tapi beda ibu. Berikutnya, Raja Muhammad ke Raja Khalid, itu juga masih satu bapak tapi ibunya berbeda. Raja Salman bin Abdul Aziz, raja yang galak dan Wahabi tulen. Galak, karena ia pernah menyeret dan memotong langsung orang yang membunuh keponakannya. Jadi segalak-galaknya ulama Wahabi-Saudi, mereka akan takut juga kepada pangerannya.

Arab Saudi tidak menggunakan sistem khilafah, karena berkaitan dengan kepentingan nasionalnya. Mereka belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa khilafah bukanlah sebuah sistem pemerintahan dan bukan pula sistem politik.

Lalu kenapa para sahabat Nabi memakai kata khalifah/khilafah? Karena khilafah itu maknanya pergantian. Supaya yang namanya kekuasaan itu tidak berpusat pada satu orang, tetapi bergilir dengan cara-cara tertentu. Sehingga “demokrasi” bisa dikatakan sebagai diantara cara untuk memilih khalifah. Jadi hampir mirip, sama-sama menggunakan sistem musyawarah.

Bedanya adalah, memilih khalifah menggunakan sistem musyawarah para pemimpin/pemuka. Dan ternyata kita pernah memakainya saat MPR berkewenangan penuh menentukan presiden dan wakil presiden. Jadi Gus Dur itu adalah “Khalifah” dengan sistem yang pernah dipakai oleh para sahabat Nabi. Karena Gus Dur menjadi Presiden dengan mekanisme musyawarah (yang dipimpin oleh MPR) seperti musyawarah yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib Ra. dan selainnya, untuk memilih seorang pemimpin.

Tapi setelah dirubah melalui perubahan pertama Undang-Undang Dasar tahun 2000. Ini menarik, karena Gus Dur sendirilah yang mendorong perubahan itu; Ada seorang Presiden mendorong orang lain mengganti sebuah anggar dan peraturan padahal peraturan itu akan merugikan dirinya sendiri. Ini tanda-tanda sebuah ‘legowo’nya seorang pemimpin. Padahal biasanya seorang pemimpin akan membuat sebuah peraturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Ini tidak, aturan itu justeru akan merugikan dia. Dan ternyata betul, saat Pilpres 2009 pendaftaran Gus Dur itolak oleh KPU, ditolak oleh aturan yang dia dukung pada waktu itu. Tapi Gus Dur tidak ngambek, paling akan berkata: “Kalau ditolak ya sudah, namanya juga usaha.”

Jadi para sahabat Nabi menyebut kata khalifah sebagai counter bahwa yang namanya kekuasaan itu tidak berpusat pada satu tangan saja seperti yang dipraktekkan di Bangsa Romawi dan Persia, tetapi harus digilir. Karena kekuasaan di Romawi dan Persia itu turun-temurun dari bapak ke anak, ke cucu, dan seterusnya. Pengertian “khilafah” maknanya bukan sistem politik. Sebab kalau sistem itu berbicara dari hilir ke ujung, dan dari ujung ke ujung. Sistem itu berarti terkait dengan ajaran. Sedangkan khilafah ini tidak terkait dengan ajaran Islam. Karena dalam praktek sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. menggunakan sistem kerajaan tapi namanya khilafah.

Nah, kalau begitu apakah khilafah masih bisa dikatakan sebagai sistem politik Islam? Tidak. Karena dalam kenyataannya sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. menggunakan sistem kerajaan tapi tidak mau disebut raja. Kalau khilafah disebut sebagai sistem maka tentunya tidak boleh berubah karena sudah apa patokannya.

Inilah dasar yang dijadikan sebagai argumen tidak adanya kewajiban di dalam Islam untuk menegakkan khilafah. Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. lebih faham hadits dibanding saya, lebih faham hadits dibanding orang-orang yang mengusung kilafah. Tapi kenapa yang dipakai Muawiyah Ra. justeru adalah kerajaan. Banya bid’ah (hasanah) yang dilakukan oleh sahabat Muawiyah Ra., diantaranya adalah:
1.      Shalat memakai pengawal.
2.      Menyampaikan khutbah dengan para pengiring di bawahnya. Saya ingat pada tahun 90-an di Masjidil Haram, setiap kali imam berkhutbah pasti di bawahnya ada pendamping memegangi mimbarnya. Ini adalah sisa-sisa peninggalan sahabat Muawiyah Ra.

Yang lebih antik lagi adalah teman saya, anggota Muhammadiyah, kaget ketika shalat di Masjidil Haram adzannya 2 kali. Katanya itu adalah bid’ah, maka dijawab: “Bid’ah saja dipakai di Masjidil Haram, apalagi di luar Masjidil Haram.” Bahkan yang mengagetkan sampai di Madinah pun saat shalat Jum’at adzannya 2 kali dan ketika membaca shalawat Nabi sangat lengkap, bukan saja memakai lafadz “Sayyidina”.

Jadi yang namanya khilafah itu tidak diwajibkan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dan ditegaskan lagi oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra.: “Rasulullah Saw. tidak pernah menunjuk seorang pemimpin pun kepada kita.” Sehingga kita memandang dengan cara pandang kita bahwa Abu Bakar Ra. lebih layak untuk menjadi pemimpin.

Perlu digarisbawahi pada kalimat “sehingga kita memandang dengan cara pandang kita”, artinya adalah ijtihad. Bahwa persoalan, rotasi kepemimpinan dan menjalankan pemerintahan adalah wilaah ijtihad, bukan wilayah syariah. Wilayah ijtihad itu sifatnya situasional.

3.    Klaim Keji Atas Umat Islam yang Tidak Menyetujui Khilafah

Betulkah umat Islam yang tidak setuju dengan Khilafah Islamiyah disebut sebagai kaum munafik, bahkan kafir? Mereka menganggap hukum di Indonesia adalah menganut sistem thaghut (setan) sehingga wajib mengingkarinya dan harus ditegakkan khilafah untuk menggantikannya. Mereka bahkan menjanjikan surga bagi siapapun yang melaksanakannya, sesuai yang diajarkan oleh ustadz-ustadz mereka. Surga, mereka kapling dan seakan surga itu sempit yang hanya cukup untuk mereka.

Saya sering katakan kepada para mahasiswa saya di UI, bahwa surga itu luasnya lebih luas daripada bumi dan langit. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 133:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Langit saja 7 lapis, bumi pun demikian. Surga lebih luas darinya. Jadi kalau jamaah Nahdliyyin 30 juta semuanya masuk surga, niscaya surga masih tetap luas. Jangan merasa surga itu sempit. Sampai-sampai sekarang banyak bermunculan agen properti surga di mana-mana. Banyak yang tertipu dengan ajakan khilafah, karena ada janji-janji politik. Ketika agama sudah dibumbui atau dimasuki oleh ras kepentingan politik, maka itu bukan lagi agama.

Saya sering bertanya kepada para aktifis khilafah: “Andaikata semua orang Islam di Indonesia sepakat dengan khilafah dan semua orang non-Muslim juga mau menerima khilafah, pertanyaannya adalah siapa yang bakal jadi khalifahnya? Apakah dari orang NU?”

“Wah jangan dari NU, ahli bid’ah!” jawab aktifis khilafah.

“Apakah dari Muhammadiyah?”

“Oh nggak bisa, karena mereka selalu memerangi kita!”

Ditanya lagi apakah dari ormas A, B, C dst., dijawabnya tetap tidak bisa karena bla.. bla... bla... Ujung-ujungnya dia sendiri yang ingin jadi khalifah. Nah, ini kan namanya berusaha, menarik simpati dengan cara menjual nama orang. Rupanya ada agenda, udang di balik batu. Ada agenda yang mereka inginkan untuk melakukan pemberontakan. Beberapa kali saya mendengarkan diskusi mereka, yang arahnya pada pemberontakan. Mengganti, mengganti dan mengganti.

Lalu kutanyakan: “Nah sekarang kalau misalnya kalian sudah mapan mempunyai rencana, apa yang mau dilakukan?”

“Ya mau tak mau harus didukung oleh Ahlul Quwwah.”

“Siapa Ahlu Quwwah?

“TNI dan POLRI.”

“Ya sama saja, ujung-ujungnya kalian berpolitik juga.”

“Bukan begitu Ustadz, begini maksudnya supaya hukum Islam itu tegak!”

“Pertanyaanku sekarang, hukum Islam mana yang tidak tegak di Indonesia? Semuanya tegak kok. Undang-undang perkawinan, itu sudah sesuai dengan madzhab Syafi’iyah, madzhab terbesar di Indonesia. Undang-undang zakat sudah ada, undang-undang bank syariah juga ada. Apa lagi? Jadi, semua urusan agama sudah dijalankan oleh negara,” jawabku.

“Ya, tapi kan negara tak mungkin menyuruh orang untuk shalat!?”

“Shalat itu tidak boleh dipaksakan. Karena Allah Swt. berfirman dalam QS. Thaha ayat 132:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan perbesarlah kesabaranmu dalam mengerjakannya.”

Artinya kalau orang belum mau shalat, ya jangan digebuk atau dipentung. Kalau seperti itu akhirnya orang tak bersimpati kepada agama. Tetangga tidak shalat langsung dianggapnya kafir. Bukan begitu caranya, harus memakai cara lain yang baik.

 Di Arab Saudi saja, bukan jarang orang yang tidak shalat tapi banyak. Saya pernah telat berangkat shalat Maghrib berjamaah di Masjidil Haram. Di sepanjang jalan masih banyak penjaga toko yang ada di tokonya dan orang-orang yang tongkrongan. Askar (polisi syariah)nya hanya mondar-mandir. Itu terjadi di negara yang jelas-jelas telah mengatakan berdasarkan kepada syariah (hukum Islam). Tapi untuk urusan shalat, tidak bisa memaksa. Yang dihukum itu kalau sudah ‘memprovokasi’ orang lain agar tidak shalat.

Maka Indonesia pun sudah melaksanakan itu, dengan Undang-undang nomer 1 tahun 1965, yaitu undang-undang tentang penistaan dan penodaan terhadap agama. Siapa saja yang memprovokasi, siapapun yang menodai gama, maka dia berhadapan dengan negara. Ini sebenarnya hukum Islam, hanya saja tidak disebut dengan hukum Islam.

Di dalam KUHP pasal 132 disebutkan: “Barangsiapa menghalang-halangi suatu kegiatan keagamaan atau menista tokoh-tokoh agama, maka dia dihukum selama 3 bulan kurungan penjara dan uang sebesar 500 rupiah.”

Kalau begitu, tanpa menyebut Islam saja materinya sudah Islami. Apa semuanya harus dipakaikan label syariah atau Islam? Lama-lama, saking tak tahannya orang mau ke diskotik, akhirnya ada diskotik syariah. Nanti ada panti pijat syariah, bilyard syariah, sesuai dengan syariah Islam karena yang main pakai cadar semua. Bukan begitu.

4.    Sikap Para Ulama Terhadap Gagasan Khilafah

Para ulama kita dahulu sudah berfikir secara taktis kenapa Indonesia ini tidak usah pakai label Islam. Karena Islam sudah memasyarakat. Yang perlu dibenahi adalah mentalitas kita sebagai umat Islam. Bagaimana agar kita umat Islam mempunyai daya kompetisi, seimbang antara iman dan amal shalehnya. Karena problem terbesar umat Islam Indonesia adalah belum seimbangnya antara iman dan amal shaleh.

Imannya bagus tapi korupsi, berarti amal shalehnya yang masih jelek. Maka kita lihat para koruptor itu nampak shaleh, haji dan umrahnya berkali-kali, puasa Senin-Kamisnya rajin, pertanda imannya bagus tetapi amal shalehnya yang kurang. Karena amal shaleh itu berbicara dimensi horizontal. Umat Islam ini punya problem belum seimbangnya dimensi vertikal dengan horizontalnya. Urusan ke Allah bagus tapi muamalahnya yang belum bagus. Maka kita benahi urusan muamalah ini.

Berekonomi bermuamalah yang jujur, bekerja yang profesional, punya semangat daya saing, kreatifitas harus dibangun, saling tolong-menolong, menghargai pada sesama, menghormati terhadap perbedaan, inilah yang harus kita benahi. Lha kok tiba-tiba muncul satu gerakan yang menyatakan ‘kesalahan orang Islam’.

Coba kita baca buku-buku agama di Gramedia misalnya, itu isinya yang salah-salah terus. Kesalahan orang Islam, mengoreksi terhadap kesalahan Tahlilan, mencari kesalahan tasawuf, dlsb. Jadi ngajinya yang salah-salah terus, makanya Salah-Fikir (Salafi). Kita ini mencari yang benar. Dan benar itu bukan ada di satu kelompok golongan, tetapi mungkin ada di mana-mana. Itulah yang dikatakan Imam Syafi’i Ra.: “Pendapat saya mungkin salah, tapi mengandung kemungkinan benar. Dan pendapat Anda mungkin benar, tapi mengandung kemugkinan salah.” Artinya kita sebagai manusia ini relatif, bisa jadi benar bisa jadi salah. Tidak ada yang benar mutlak. Yang benar mutlak itu Allah, tapi yang salah mutlak itu setan.

Lalu kalau kita lihat dalam tinjauan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah, dalam lambang NU ada bintang sembilan; 1 bintang paling besar perlambang Rasulullah Saw., 4 bintang besar perlambang Khulafaur Rasyidin, 4 di bawahnya simbol 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Karena itu Kyai Sahal Mahfudz pernah mengatakan: “Saya ini sudah kenyang fiqih madzhab Syafi’i.” Maka beliau pun mempelajari fiqih di madzhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hanbali sampai mahir.

Bahkan, singkat cerita, perkenalan beliau dengan Guru Besar Syaikh M. Yasin bin M. Isa al-Faddani orang Padang yang jadi ulama besar ahli hadits di Mekkah, adalah bermula dari adu opini. Sebelum menjadi santrinya saja Mbah Sahal sudah berani bermurasalah (surat-menyurat) dengan ulama besar. Maka hebatnya, ketika Mbah Sahal turun dari kapal di Pelabuhan Jeddah, Syaikh Yasin al-Faddani langsung memeluknya sembari menerka: “Sahal Mahfudz!”

“Man antum?” tanya Kyai Sahal.

Dijawab: “Ana Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Faddani.”

Pecahlah tangis Mbah Sahal karena ulama yang dikaguminya itu justeru yang pertamakali menegurnya, bukan dirinya yang mencari sang ulama.

Kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah itu ada 2 versi, versi muhadditisin Imam Ahmad bin Hanbal dan versi Asyairah Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Tapi madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal sudah dimanipulasi. Kalau kita baca pendapat-pendapat Imam Ahmad, justeru itulah yang banyak dipraktekkan oleh kita (Syafi’iyyah) seperti sampainya pahala bacaan al-Quran kepada mayyit dan kesunnahan membaca al-Quran di kuburan karena dapat menolong si mayit dan menambah kemuliaan jika mayit itu orang shaleh. Buktinya silakan baca di kitab-kitab susunan murid Ibn Taimiyah, yakni Ibn Qayyim al-Jauziyah.

Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah menegaskan bahwa khilafah itu bukan sistem politik Islam. Lihat dalam kitab yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyah halaman 15, disebutnya “al-imamah” dan bukan al-khilafah:

الْاِمَامَةُ مَوْضُوْعٌ فِيْ رِعَايَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الْاُمَّةِ

“Kepemimpinan itu adalah sebuah topik yang selalu dibicarakan dalam kaitannya untuk menjaga agama dan mengelola urusan orang banyak.”

Disebut imamah karena Imam al-Mawardi sadar betul bahwa khilafah itu bukan sistem. Tapi dengan jalan menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang dipandang mampu untuk mengelolanya sehingga bermanfaat bagi orang banyak. Inilah cara pandang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang diwakili oleh pemikiran Imam al-Mawardi. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa para ulama tidak memilih khilafah?

Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sadar betul bahwa kondisi sosial politik Bangsa Indonesia waktu itu mereka sudah paham terhadap ajaran agama. Lalu yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya menyatukan wilayah besar yang terpisah-pisah bukan hanya oleh kondisi geografis tapi juga oleh agama dan kepercayaan masing-masing. Menjaga agar orang lain tidak berburuk sangka itu lebih utama dibanding memaksakan kehendak sendiri. Maka, cita-cita tertingginya adalah bagaimana agar penjajah Belanda pergi, negeri aman sehingga bisa saling menghormati, niscaya agama akan berjalan mulus.

Andaikata waktu itu KH. Abdul Wahid Hasyim yang menggantikan posisi ayahandanya, Kyai Hasyim Asy’ari, pada sidang PPKI memaksakan kehendak bahwa presiden harus beragama Islam, maka akan lain jadinya. Tetapi setelah mendapatkan pertimbangan dari para tokoh ketika itu, maka dicabutlah (ditarik kembali) pendapatnya. Sehingga Pasal 7 UUD 45 berbunyi: “Presiden adalah orang Indonesia asli.”

Adapun Islam itu adalah kesepakatan secara aklamasi bahwa dia (presiden) seyogyanya adalah seorang muslim yang mewakili mayoritas umat Islam, tak perlu ditulis di situ. H. Agus Salim diskusi dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, untuk urusan Pasal 7 UUD 45 itu. Dan itu menjadi rumusan yang luar biasa, menunjukan kedewasaan berpolitik umat Islam saat itu.

Ide khilafah atau khalifah sudah dimunculkan oleh Mr. Moh. Yamin pada sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei tahun 1945. Moh. Yamin mengatakan bahwa pemimpin adalah khalifah dan sistemnya adalah khilafah. Tetapi yang menarik di sini adalah, Moh. Yamin bukanlah tokoh Islam, melainkan dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) tapi bicaranya tentang khilafah. Sedangkan kelompok-kelompok Islam waktu itu menolak usulan Moh. Yamin. Ini kan jadi pertanyaan, kenapa ide khilafah justeru muncul dari partai nasionalis dan yang menolaknya adalah dari partai Islam?

Inilah yang dipikirkan, jangan sampai satu kata itu (Islam) menimbulkan konflik. Maka pada saat itu para ulama berpegang pada satu kaidah fiqih:

دَرْأُ الْمَفَاسِد مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْمَصَالِح

“Mencegah terjadinya kerusakan lebih didahulukan dibandingkan menciptakan kebaikan.”

Menjaga persatuan itu lebih kita utamakan dibanding memaksakan pikiran kita sendiri. Inilah sumbangan terbesar umat Islam untuk membawa Republik Indonesia. Karena itu disebut sebagai RI (Republik Indonesia), juga bisa bermakna Ruhul Islam (jiwa dari Islam). Negara Kesatuan Republik Indonesia resmi terbentuk melalui sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, hampir mirip dengan terbentuknya masyarakat Madinah. Terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945 hampir mirip dengan terbentuknya Piagam Madinah. Maka ada kajian tersendiri tentang perbandingan Piagam Madinah dengan Piagam Undang-Undang Dasar 1945. Jadi kalau kita lihat secara substansi, ini sudah sangat sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Karena itulah kenapa paham Ahlussunnah wal Jama’ah tumbuh subur di Indonesia karena memang basicknya sudah sejalan dengan basick pendiri dan pembawa ajaran Islam itu sendiri, yaitu Nabi Besar Muhammad Saw. Maka tidak bisa terpisahkan antara Islam dengan Indonesia, itu satu tarikan nafas. Dan NU dengan Indonesia tidak bisa terpisahkan.

NU itu sebelum Indonesia merdeka, sudah dikhianati. Dikhianati dalam sidang Komite Kongres al-Islami Cirebon tahun 1921, dibombardir dengan isu-isu khilafiyah. Lalu pada tahun 1922 juga dikecewakan oleh Kongres Surabaya. Kemudian pasca kemerdekaan, NU dicurigai sebagai antek-antek Nasakom. Menjelang tahun 1965 banyak kyai NU yang menjadi korban keganasan pembunuhan dan penculikan. Pada masa Orde Baru NU dicurigai lagi, sehingga tidak diberikan tempat sedikitpun. Luar biasa.

Jadi pada zaman Pak Harto, NU itu dicurigai. Maka pada Muktamar NU waktu itu tempatnya di Situbondo, dikatakan artinya adalah NU-nya dibondo (dibelenggu). Ketika Muktamar NU di Cipasung, dikatakan artinya NU-nya dipasung. Orde Baru tidak suka karena NU merupakan potensi terbesar umat Islam, maka tidak diberikan peran. Tapi pada masa reformasi, NU dicari-cari. Semua mengaku sebagai NU apalagi saat Gus Dur menjadi presiden. Satu berkah bagi warga Nahdliyin bahwa kita punya peran yang sangat banyak untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka kewajiban bagi kita untuk mempertahankan perjuangan para ulama tersebut.

Demikian semoga bisa menjadi pendidikan politik bagi kita, bagaimana kita memahami proses perjalanan bangsa kita, dan yang paling penting lagi adalah bagaimana kita selalu berusaha untuk melakukan upaya kontekstualisasi ajaran agama. Kita hidup di Indonesia, maka bagaimanapun juga harus ada semangat ke-Indonesia-an ketika kita mengamalkan ajaran agama. Bukankah Rasulullah Saw. juga cinta kepada Madinah. Rasulullah Saw. mempunyai semangat nasionalisme. Ketika sampai di Kota Madinah, Rasulullah Saw. berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ اِلَيْنَا فِي الْمَدِيْنَة. اللَّهُمَّ حَبِّبْ لَنَا الْمَدِيْنَةَ أَشَدَّ مِنْ مَكَّةَ.

“Ya Allah, berilah anugerah kepada kami cinta kepada Madinah yang lebih hebat dari kecintaan kami kepada Kota Mekkah.” (HR. Imam Bukhari).

(Ditranskip dari ceramah KH. Abdi Kurnia Djohan, SH., MH di Masjid Al-Hidayah Kota Serang Baru Cikarang, Jum’at malam Sabtu tanggal 15 Agustus 2014).

Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 07 September 2014
 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template