Kyai Menguak Keberkahan Air dan Tanah (bag. 1)
Sewaktu awal saya mondok 6 tahun di Baitul Arqom al-Islami Ciparay Bandung, pada Kyai Ali Imron Faqih, adik iparnya Kyai Ilyas Ruhiyat. Setelah itu melanjutkan ke Kyai Mudzakir di Banyurip Pekalongan, murid dari Mbah Dimyathi Termas, saya dapat ijazah Dalail dari beliau. Anehnya oleh adik Kyai Mudzakir –sosok unik yang selama 40 tahun tidak pernah keluar kamar- saya diajarkan cara berdebat dan cara mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah lewat surat yang ditulis sangat bagus oleh beliau, termasuk diajarkan mencintai para habaib.
Dari Kyai Mudzakir lah saya dipertemukan dengan Habib Luthfi Bin Yahya, yang waktu itu masih muda, dan Habib Ali Alattas (guru Habib Luthfi) saat itu masih hidup. Habib Ali Alattas adalah habib sepuh di Pekalongan yang unik. Tidak bisa melihat tapi mampu mengajar kitab Syarah Bukhari, yang berarti beliau hafal kitab tersebut di luar kepala. Dari Habib Luthfi saya minta petunjuk, dan dijawab oleh beliau, “Nanti setelah beres dari Kyai Mudzakir harus berangkat ke Kyai Abdullah Salam.”
Lalu saya pun (berguru) membaca al-Quran di Kyai Abdullah Salam, sekaligus kepada putra beliau Kyai Nafi’ Abdillah Salam Kajen Pati. Di sana tiba-tiba saya bertemu Mbah Lim. Dan Kyai Abdullah Salam dawuh, “Wis toh Man, ojo suwe-suwe ning Pati. Cukup puasa di sini 4 bulan, ziarah ke Mbah Mutamakkin, jangan lupa terus-menerus khatamin al-Quran, lalu kamu harus ke Tambakberas. Dan 40 hari jangan lepas baca Yasin Fadhilah di makamnya Kyai Wahab Hasbullah. Setelah itu jangan lama-lama mesantrennya, segeralah nikah!”
Akhirnya dari Mbah Mutamakkin saya lanjut ke Tambakberas, ke ar-Raudhah, di situ ada Abah Taufiqul Fattah. Ternyata di sana sudah ada santri putri yang dulu juga pernah 3 tahun mondok di Baitul Arqom Bandung. Akhirnya saya sering minta maaf ke Gus Roqib –yang saat itu Kepala Keamanan Pesantren Putri Tambakberas- dan beliau bertanya mau ke mana Man, saya jawab “ke adik saya Gus!” Yang lalu dipersilakan masuk oleh beliau.
Mengingat masa-masa itu, Gus Roqib selalu tertawa, “Aku iki diapusi Maman terus-terusan. Saya kira dia itu adiknya beneran, ternyata pacarnya! Untung saja nikah.” Setiap kali saya ketemu Gus Roqib pasti tersenyum-senyum sendiri.
Dari spirit itulah, sebenarnya ketika saya di Baitul Arqom Kyai Ali Imron terus-menerus menyuruh saya berziarah ke suatu makam leluhur beliau dan satu sumur yang sangat terkenal. Di pesantren pertama saya inilah tempat ditangkapnya Kartosuwiryo. Kyai Ali Imron sering bilang, “Dek,” panggilan beliau kepada saya. “Suatu saat kamu akan berhadapan dengan kelompok-kelompok seperti Kartosuwiryo. Orang bodoh tapi cita-citanya tinggi. Orang yang teriak-teriak Islam tetapi dia tidak mau mengaji. Orang yang kemana-mana ngomong syariat tapi kemana-mana dia bawa keris. Dia lebih percaya kepada keris daripada percaya kepada shalat. Itulah Kartosuwiryo, sahabatnya Bung Karno yang sama-sama belajar di Surabaya pada Pendiri SI (Sarekat Islam).”
Sampai hari ini saya sering datang ke Baitul Arqom karena adik bungsu saya menikah dengan putranya Kyai Ali Imron. Maka pesantren saya al-Mizan, Pesantren Baitul Arqom dan Pesantren Cipasung menjadi bersaudara karena pernikahan itu. Disamping tentu karena nasab keilmuan.
Begitupula setelah saya di Banyurip Pekalongan, saya terus-menerus disuruh untuk berziarah ke beberapa makam termasuk Habib Ahhmad bin Abdullah bin Thalib Alattas di Sapuro. Sampai sekarang saya masih disuruh untuk mandi di suatu tempat di Banyurip dan Makam Sapuro.
Dan juga saat di Mbah Mutamakkin, yang mana di sana terdapat sumur-sumur keramat dan makamnya Mbah Mutamakkin. Tentu sejarah Mbah Mutamakkin sudah banyak yang membaca dan mengetahuinya. Bagaimana dulu beliau pernah berdebat dengan seorang penghulu Kudus, karena Mbah Mutamakkin memelihara anjing yang diberi nama nama sang penghulu tadi. Kita tahu sejarah mencatat Mbah Mutamakkin dianggap kalah, tetapi sejarah juga mencatat bahwa Mbah Mutamakkin lah yang menang dengan melahirkan Mbah Sahal Mahfudz dan melahirkan begitu banyak tokoh. Inilah NU, yang kadang-kadang disalahkan dalam tulisan sejarah namun realitanya NU-lah yang memenangkan pertarungan besar dalam segala jaman.
Dan akhirnya sampailah saya di Tambakberas, disuruh mandi juga di salah satu sumur dekat al-Muhajirin. Ada tempat sampah di sana yang di belakangnya terdapat sumur keramat. Di Tambakberas ini mulai kenal dan dekat dengan Gus Dur.
Gus Dur akhirnya menjadi sejarah yang tak terlupakan. Tiba-tiba Gus Dur datang ke Cirebon, memegang erat-erat tangan saya sangat lama. Lalu beliau berkata, “Saya akan datang ke tempat Anda!” Gus Dur selalu menyebut kata ‘Anda’ ke saya waktu itu. “Dan akan menitipkan ruhnya Mbah Fattah di tempat Anda,” lanjut Gus Dur.
Jadi Gus Dur lah yang pertama-tama datang ke pesantren dan Gus Dur tidak pernah mau masuk ke dalam. Tiga kali hanya sekadar duduk di depan gerbang pesantren. Kata Gus Dur, “Pesantren ini akan didatangi banyak tokoh!” dan terbukti begitu banyak tokoh, beberapa menteri, beberapa duta besar, termasuk Presiden Jokowi datang ke pesantren saya. Itu semua hanya karena (berkat) doa Gus Dur.
Dan Gus Dur waktu itu hanya menancapkan satu benda yang itu menjadi sumber air sampai sekarang. Saya sempat terpikir juga kenapa pesantren saya tidak besar-besar, ada makam di belakang pesantren yang entah makam siapa. Saya pernah bilang ke Gus Dur, “Pak, kadang-kadang Bapak perlu ke sana, cari tahu itu makam siapa.” Padahal Gus Dur bisa saja ngarang waktu itu, tapi beliau malah menjawab, “Tidak usah. Allah akan memberi keberkahan.”
Nah, dari Tambakberas lah memberikan kepada saya begitu banyak anugerah. Dari sana saya dipertemukan dengan wanita yang menjadi istri saya, juga dipertemukan dengan Gus Dur. Dan akhirnya Allah memberikan kemudahan pada saya ketika membangun pesantren yang diberi nama al-Mizan, berdiri tahun 1999.
Saya masih ingat ketika Ayip Rosyidi, seorang tokoh Jatiwangi Majalengka, dengan nyinyir mengatakan, “Sampai kiamat pun tidak akan pernah ada pesantren di tempat ini. Sampai kiamat pun tidak akan pernah ada santri yang mau mondok di pesantrenmu. Itu tempat merah, kotor, dlsb.” Tetapi dengan keramatnya Tambakberas ternyata santri semakin bertambah banyak yang mondok di Pesantren al-Mizan. Allah memudahkan itu semua.
Dari itu yang ingin saya tekankan adalah bahwa Tambakberas bukanlah sekadar nama, bukan sekadar tempat mencari ilmu, tetapi Tambakberas itu barokah. Tanah Tambakberas dalam klasifikasi tanah, itu tanah universitas. Jadi jika kita ingin membangun pesantren, tanyalah dulu kepada ahli hikmah (kyai yang bijak-bestari), “Tanah kita itu tanah tingkat apa?”
Karena ada tanah yang kita habis-habisan; orangnya pintar semua, di pondok dia hebat, menikah dengan istri yang hebat, tetapi tiba-tiba menempati tanah yang derajatnya hanya TK. Yang ada kemudian hanya pertengkaran, kekacauan, dan tidak berkembang. Makanya rata-rata pesantren itu menempati tempat yang klasifikasi tanahnya universitas. Masih ada kyai-kyai kita yang ahli hikmah.
Jadi berkah itu ‘ziyadatul khair’, bertambahnya kebaikan. Jadi Saya yakin sekali ketika Gus Dur bilang menitipkan Mbah Fattah di tempat ini, maka Allah memberikan banyak kemudahan. Ini salah satu kemudahan.
(Syaroni As-Samfuriy. Disampaikan oleh KH. Maman Imanulhaq, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka dan Ketua Umum LDNU Pusat dalam Pengajian Akbar dan Khataman Al-Quran Reuni IKABU (Ikatan Alumni Bahrul Ulum Tambakberas se-Jabodetabek).
0 komentar:
Posting Komentar