Indonesia ini
didirikan oleh ummat yang beragam berdasarkan kesepakatan, betul nggak? Namun
jika ada yang mengatakan bahwa ummat Islam telah ditipu oleh para penipu waktu
itu, sehingga gagal menetapkan dasar dasar negara berdasarkan syariat Islam,
seyakinnya hal itu tidak lepas dari qudrah dan iradah Allah untuk menjadikan
Indonesia seperti ini.
Yang kedua,
jika pada waktu itu masih banyak ulama kondang yang masih hidup, bahkan
Syaikhul Masyayikh Mbah Kyai Hasyim Asy’ari juga belum wafat, toh berhasil
ditipu, bagaimana dengan masa sekarang yang orang-orangnya sepertimu?
Nah, apapun
yang kemudian tersepakati, baik terpaksa atau berberat hati, akhirnya untuk
ikut andil dalam merawat kemerdekaan, para ulama itupun akhirnya bersatu dalam
suara yang terpadu, yaitu ikut partai Masyumi. Namun apa yang terjadi? Disamping
Masyumi akhirnya dibubarkan, tetapi sebelumnya telah pecah dari dalam sendiri.
Nah, jika ada
yang mengaitkan naiknya Ahok dengan aturan al-Wala wa al-Barra, sehingga
ummat Islam yang menerimanya dianggap sebagai ummat yang membela orang kafir,
saya kira terlalu berpijak dengan kaki satu saja dalam memgambil tuduhannya.
Sebab hukum Islam dengan segala konskuensinya itu bisa diberlakukan jika mula-mula
dasar negara ini syariat Islam.
Setelah
menelaah sekian lembar google, akhirnya saya menyimpulkan bahwa:
الولاء هو لزوم المحبة أو النصرة
“Al-wala
adalah keterlangsungan mencintai atau pertolongan.”
Namun
demikian, apakah yang dimaksud adalah mencintai ketidak-islamannya ataukah
mencintai kepemimpinannya. Ini akan membutuhkan lagi nalar fiqih yang serius,
dan jika dikembalikan kepada soal yang pertama tadi maka akan sangat sulit jika
kita ambil satu keputusan hukum boleh dan tidaknya. Apakah mendukung
kepemimpinannya sama dengan dengan mendukung kekafirannya? Demikian juga
sebaliknya.
Adapun al-Barra
itu bisa disimpulkan:
لزوم التعدد
“Keterikatan
untuk memusuhi.”
Padahal
para ulama dahulu juga sudah sepakat untuk saling sepakat bahwa Negara ini
didirikan dengan cara saling sepakat dengan tanpa syarat-syarat yang ditentukan
oleh syariat masing-masing yang mengikat. Lalu bagaimana ada celah permusuhan?
Mungkin
jika ta’addud (memusuhi) itu dilebarluaskan artinya menjadi persaingan,
maka tugas ummat Islam adalah mempersiapkan kandidat orang Islam yang dengan
segala kemampuannya bisa diandalkan. (Oleh: Mbah Zainal Ma’arif Rembang).
0 komentar:
Posting Komentar