Keyakinan saya bahwa aurat wanita hurriyyah (di
luar shalat) adalah seluruh tubuhnya, sebagaimana nash dari Imam asy-Syafi’i .
Tetapi terkadang saya dalam keadaan tertentu mesti mengenyampingkan keyakinan tersebut
dan beralih mengikuti pendapat yang lebih longgar bahkan yang paling longgar. Yaitu
bahwa aurat mereka adalah “qubul dan dubur saja”.
Keadaan tertentu yang saya maksudkan adalah saat berada
di jalan raya. Menyetir kendaraan atau di dalam mobil yang sedang melaju di
jalanan. Pada saat itulah saya harus beralih keyakinan bahwa aurat mereka
adalah sau-atain (qubul dan dubur). Adapun alasannya adalah, jalanan negeri
ini terlalu dipenuhi dengan wanita-wanita yang ‘telanjang’. Ke depan ada (maaf)
pantat, samping kanan ada dada, samping kiri ada paha, belakang malah ada
semuanya. Jika masih mengikuti pendapat madzhab maka saya harus memejamkan mata
atau menundukkan kepala selama perjalanan dan saya bisa mati konyol menabrak
sesuatu.
Lagi pula, jalan raya di negeri ini laksana rimba
saja. Kalau di hutan sana banyak hewan-hewan buas yang bisa sewaktu-waktu
menerkam Anda. Maka jalanan negeri ini tidak kalah kejamnya . Sewaktu-waktu
bisa saja terjadi kecelakaan lalu lintas dan konon dalam satu jam ada satu
orang yang mati karenanya.
Jika benar demikian maka dengan mengikuti pendapat
yang longgar tersebut setiap saat jika mata melihat tubuh-tubuh wanita terbuka di
jalan, tidak berdosa. Dan andaipun terkena nasib naas maka saya tidak dalam keadaan
mata yang penuh dengan dosa. Dosa melihat aurat-aurat para wanita.
Tetapi ‘peralihan keyakinan’ terhadap aurat tersebut
tidak dimaksudkan untuk ‘menikmatinya’, bersyahwat terhadapnya. Jadi jangan
dibayangkan saya pergi ke Pantai Kute Bali yang penuh dengan turis-turis yang
berbikini, lalu saya bilang: “Aurat wanita adalah depan sama pantatnya doang”,
lalu saya ikut berjemur menikmati kemolekan tubuh bule-bule itu. Tidak. Peralihan
hanya untuk menjaga agar mata tidak terjatuh dosa. Dan andai kecelakaan datang
tiba-tiba, keadaan terakhir yang dibawa menghadap Allah tidak dalam sebuah
kemaksiatan kepadaNya. (Oleh: KH. Muhajir Madad Salim).
0 komentar:
Posting Komentar