“Media-media yang Perlu
Kita Cermati”
Gelombang isu konflik Sunni-Syiah dalam
beberapa tahun belakangan ini semakin membuncah seiring meluasnya peran sosial
media dalam masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dalam kacamata analisis media
setidaknya ada sepuluh poin yang bisa diurai dari fenomena tersebut:
1. Isu yang
mengemuka dalam berbagai berita tentang Syiah yang dimuat sejumlah media Islam
seperti arrahmah, islam pos, era muslim, voa-islam, hidayatullah, fimadani dan
situs sejenisnya hampir memiliki pola seragam, “Menempatkan Syiah sebagai Madzhab
Sesat”. Dengan asumsi stigmatis tersebut, maka Syiah bagi mereka harus
dikeluarkan dari “Rumah Islam”, karena dianggap menodai agama yang dibawa Nabi
Muhammad Saw. itu. Untuk mewujudkan tujuan itu, media-media Islam tersebut
setiap hari menayangkan berita-berita mengenai Syiah dari sumber yang mereka
akui benar, tanpa mencantumkan kebenaran dari sumber pihak Syiah sendiri yang
mereka tuduh. Prinsip cover both side tidak berlaku bagi media-media Islam
tersebut.
2. Stigma sesat
yang dijatuhkan sejumlah media Islam tersebut terhadap Syiah berpusat pada
masalah cabang agama, bukan pokok. Tapi mereka mengklaimnya sebagai perbedaan
krusial yang tidak bisa disatukan, seperti minyak dan air. Situs arrahmah misalnya,
mengemukakan 35 alasan mengapa Syiah sesat, yang semuanya bertumpu pada
tudingan keliru yang tidak diakui oleh orang Syiah sendiri. Tudingan paling
keras menyebutkan bahwa Syiah mencaci atau mengkafirkan sahabat dan istri
Rasulullah Saw. Jelas tudingan tersebut salah alamat, sebab orang Syiah
dilarang melakukannya sesuai fatwa Ayatullah Udzma Sayyid Ali Khamenei yang
telah mengeluarkan fatwa haram bagi penganut Syiah mencaci sahabat dan istri
Rasulullah Saw, apalagi mengafirkannya.
Selain itu, isu yang paling santer dilancarkan
media-media ini terhadap Syiah adalah perbedaan dalam masalah fikih yang
merupakan cabang agama, bukan pokok. Tapi bagi media-media Islam seperti islam pos,
perbedaan fiqih itu dilihat bukan sebagai rahmat tapi menjadi sengketa, dan
solusinya harus diseragamkan dengan tafsir tunggal atas Islam. Padahal
faktanya, empat madzhab Sunni pun berbeda pandangan dalam masalah fiqih seperti
shalat pakai Qunut atau tidak, Bismillah dikeraskan atau tidak, dll. Kegagalan
media-media Islam tersebut menempatkan masalah ushul (prinsip) dan furu’
(cabang), karena menilai madzhab lain dengan neraca tunggal versi Wahabisme
yang menjadi madzhab resmi Arab Saudi.
3. Media-media
Islam seperti arrahmah mendapatkan dana tidak kecil dari Arab Saudi. Tentu saja
tidak bisa dipungkiri media-media itu juga membawa kepentingan pihak donor,
dalam hal ini pemerintah Riyadh. Berbagai sumber menyebutkan suntikan dana Arab
Saudi terhadap media Islam seperti era muslim dan berbagai media Islam lainnya
yang gencar menyerang Syiah dalam berbagai beritanya. Bukan hanya Syiah yang
diserang, bahkan Wahabisme menyesatkan NU karena menerima faham tawasul.
4. Studi Critical
Discourse Analysis terhadap isi media Islam garis keras semacam arrahmah, era
muslim, islam pos, voa-Islam dll, menunjukkan pola yang hampir mirip sekaligus membongkar
keberpihakan media tersebut. Selain meyesatkan Syiah, mereka juga menempatkan
stigma negatif apapun atas peristiwa yang menimpa Timur Tengah terhadap Syiah.
Misalnya, rezim Assad di Suriah dipandang sebagai pemerintahan Syiah yang
membantai Sunni. Bahkan as-Sisi di Mesir yang menjadi arsitek tergulingnya
Mursi dituding sebagai Syiah dan mengaitkannya dengan Iran.
Meski berita ini jauh panggang dari api karena
dibangun dari data yang tidak valid, tapi banyak orang Indonesia yang kurang
selektif terhadap validitas berita, malah memercayainya. Padahal kenyataannya
justru Arab Saudi yang aktif terlibat dalam kudeta militer terhadap Mursi. Di
saat negara-negara Barat masih berhati-hati untuk menyatakan sikapnya terhadap
kudeta militer negeri Piramida itu, Arab Saudi langsung menyatakan pengakuannya
atas pemerintahan as-Sisi. Bahkan dukungan itu disertai gelontoran bantuan
keuangan dari Riyadh untuk Kairo. Tapi ironisnya, media-media Islam semacam arrahmah
tidak pernah mempersoalkan dukungan Riyadh tersebut, dan mengalihkannya dengan
mengulang tudingan Klise “Syiah di balik Kudeta Militer Mesir” tanpa
menyodorkan bukti yang valid.
5. Hingar-bingar
media Islam garis keras yang mengangkat isu konflik Sunni-Syiah meningkat
intensitasnya dan frekuensinya dalam dua tahun terakhir pasca meletusnya
konflik Suriah. Media Islam semacam arrahmah, yang pemiliknya pernah ditahan
polisi karena dituduh terlibat dalam membiayai aksi terorisme di Indonesia,
menempatkan isu Suriah sebagai perang Sunni-Syiah. Media-media Islam yang
menyebut Taliban sebagai Mujahid ini, menempatkan rezim Assad sebagai
pemerintahan Syiah yang membantai rakyat yang Sunni. Untuk itu, media ini
menjadikan Suriah sebagai medan Jihad bagi kaum Sunni Indonesia. Akibat
provokasi media Islam garis keras ini setidaknya puluhan orang Indonesia terjun
di Suriah melawan rezim Assad dengan bendera jihad. Sebagian mereka adalah
alumni atau kaderan alumni perang Afghanistan yang notabene termasuk milisi
Taliban dan al-Qaeda, yang termasuk organisasi teroris internasional.
6. Jika Syiah
sebagaimana yang dituduhkan media Islam garis keras sebagai madzhab sesat dan
harus dilenyapkan, mengapa isu ini baru muncul dalam beberapa tahun terakhir.
Mengapa ulama-ulama besar dahulu di Nusantara dan dunia sendiri tidak pernah
menyesatkan Syiah. Mereka justru mengakui Syiah sebagai bagian dari Islam.
Salah satu komitmen internasional yang mengakui Syiah sebagai mazhab Islam
adalah Deklarasi Amman di Yordania tahun 2004 yang dihadiri para ulama dari
seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, para ulama seperti Quraisy
Shihab mengakui Syiah sebagai madzhab resmi dalam Islam. Demikian juga dengan
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj dan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din
Syamsuddin. Bahkan almarhum Gus Dur dengan berseloroh pernah menyebut NU
sebagai Syiah minus imamah. Ternyata hanya ulama Wahabi yang mengklaim mewakili
Sunni, yang mengafirkan Syiah. Menurut sejarawan muda Minangkabau,
Muhammad Ilham Fadhil, penyesatan terhadap Syiah baru terjadi dalam dua dekade
terakhir, dan sebelumnya tidak pernah terjadi, bahkan di masa Buya Hamka ketua
MUI pertama. Dosen sejarah universitas Islam terkemuka di Padang ini menilai
kepentingan politik berada di balik gencarnya penyesatan terhadap Syiah belakangan
ini.
7. Gelombang penyesatan
Syiah semakin mengalir deras seiring meningkatnya jumlah alumni sekolah maupun
pondok pesantren Arab Saudi yang mengadopsi ajaran Wahabisme dan diterapkan di
Tanah Air secara kaku dengan memandang madzhab lain salah dan sesat.
8. Isu konflik madzhab
yang dihembuskan media-media Islam termasuk di Indonesia, seiring dengan tujuan
kekuatan Barat untuk melemahkan kekuatan Islam dan menjaga kepentingan Israel
yang semakin rapuh. Untuk itu, kian berkobarnya api konflik antar madzhab
Islam, maka semakin besar keuntungan yang diraih negara-negara Imperialis untuk
mengeruk sumber daya alam seperti minyak dan barang tambang lainnya yang berada
di negara-negara Muslim. Semakin lemah dan terpecahbelahnya kekuatan
negara-negara Islam yang sibuk mengurusi konflik internalnya, maka semakin
besar cengkeraman negara-negara adidaya terhadap sumber daya alam negara dunia
ketiga, yang sebagian besar berpenduduk Muslim.
9. Kepentingan
hegemoni negara-negara adidaya Barat terhadap negara-negara Muslim berkelindan
dengan kepentingan politik Arab Saudi yang merasa terancam dengan naiknya Iran
sebagai negara independen di kawasan Timur Tengah. Pada saat yang sama Arab
Saudi dilanda friksi internal kompetisi antar pangeran yang mencapai ribuan
orang untuk memperebutkan posisi putera mahkota di negeri petrodollar itu. Isu
konflik Sunni-Syiah bisa mengalihkan publik dunia dan rakyat Saudi atas
perseteruan yang menimpa singgasana Al Saud. Bila sudah demikian, agama hanya
menjadi penyedap rasa untuk membenarkan tujuan politik.
10. Negara-negara
Barat bersama korporasi multinasional terutama perusahaan senjata meraup
keuntungan besar dari konflik Sunni-Syiah yang dihembuskan media-media Islam,
termasuk yang menjamur belakangan ini di Tanah Air. Faktanya Arab Saudi
merupakan negara pembeli senjata terbesar dari AS dan negara Barat lainnya.
Sebagian senjata itu dipasok untuk membunuh sesama Muslim di negara-negera Arab
sendiri seperti Suriah dan Irak sebagaimana yang dimainkan pengeran Bandar Bin
Sultan. Pada saat yang sama, korporasi energi dunia bisa mengeruk emas hitam
Arab Saudi dan negara Muslim lainnya dengan harga yang murah. Isu senjata kimia
di Irak, dan demokrasi serta terorisme di Afganistan adalah bahasa lain AS
bersama sekutunya untuk mengeruk sumber daya alam dua negara Muslim itu.
Sejatinya, menelan mentah-mentah informasi dari
berita media-media kompor seperti arrahmah, era muslim, islampos, voa-islam,
dll bukan hanya bentuk kegagalan menyerap informasi yang benar. Tapi lebih dari
itu, kita ikut menyebarkan kehancuran untuk diri sendiri dengan mengamini “Bancakan
Multinasional Rasa Madzhab”. Mari jaga dan selamatkan keutuhan NKRI dari
serangan isu sektarian yang akan mencabik-cabik bangsa kita sendiri.
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 12 Oktober 2013
Diedit ulang dari:
0 komentar:
Posting Komentar