Disadur dari
Kitab Mawa’idz Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Karya Syaikh Shalih Ahmad Asy-Syami
Keterangan foto: Prof. KH. Syukron Ma’mun bersama Prof. Dr. Syaikh
Afifuddin al-Jailani (cucu ke-16 Syaikh Abdul Qadir al-Jailani).
Sewaktu kecil , ada malaikat
yang selalu datang kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku
ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat teman-temanku selalu
mengutamakan diriku seharian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh lebih
banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebayaku selama satu minggu.
Aku tak tak pernah mengenali
pemuda itu. Di saat yang lain, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab: “Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia
mengutusku untuk melindungimu selama engkau belajar.”
Itulah sepenggal kisah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani tentang pengalamannya pada masa kecil.
Kelahiran
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Beliau lahir pada tahun 470 H.
(1077-1078 M) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran.
Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya bahwa ia
berusia 18 tahun ketika tiba di Baghdad, bertepatan dengan wafatnya seorang
ulama terkenal , at-Tamimi, pada tahun 488 H.
Tahun itu juga bertepatan
dengan keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar
di Universitas Nidzamiah, Baghdad. Sang imam ternyata lebih memilih uzlah.
Penentuan
Awal Ramadhan Melalui Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat Balitanya
Ibunya, Ummul Khair Fatimah
binti Syaikh Abdullah Sumi, adalah keturunan Rasulullah Saw. Beliau pernah menuturkan:
“Anakku , Abdul Qadir , lahir di bulan
Ramadhan. Pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi
makan.”
Dikisahkan pada suatu Ramadhan
ketika Abdul Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat melihat hilal karena
tertutup awan. Akhirnya untuk menentukan awal puasa, mereka mendatangi rumah Ummul
Khair dan menanyakan apakah bayinya sudah makan hari itu. Saat mengetahui bayi
itu tak mau makan, mereka yakin bahwa Ramadhan telah tiba.
Dalam kesempatan lain Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani bercerita: “Setiap
kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu
mendengar bisikan: “Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang
dirahmati.” Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan ibu. Kini, meskipun aku
beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara
itu sejelas dulu.”
Tauladan
Kejujuran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Ketika ditanya mengenai apa
yang menghantarkannya kepada maqam ruhani yang tinggi, beliau menjawab: “Kejujuran yang pernah kujanjikan kepada
ibuku.” Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menuturkan kisah berikut:
“Pada suatu pagi di hari
raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang
keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, lalu berkata: “Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini.”
Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera berlari
pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang ke depan, kulihat dengan jelas
para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.
Kudatangi ibuku dan memohon
kepadanya: “Izinkanlah aku menempuh jalan
kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para bijak bestari dan
orang-orang yang dekat dengan allah.”
Ketika ibuku menanyakan
alasan keinginanku yang tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi. Mendengar
penuturanku, ia menangis dengan sedih. Namun, ia keluarkan delapan puluh keping
emas, harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh keping untuk
saudaraku. Empat puluh keping lainnya dijahitkannya di bagian lengan mantelku.
Ia memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat agar aku selalu bersikap jujur
apapun yang terjadi.
Sebelum berpisah ibuku
berkata: “Anakku, semoga Allah menjaga
dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar aku
takkan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat.”
Aku ikut kafilah kecil
menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang
terdiri atas enam puluh orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua
anggota kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya: “Anak muda apa yang kau miliki?” Kukatakan
bahwa aku punya empat puluh keping emas.
Ia bertanya lagi: “Di mana?” Kukatakan di bawah ketiakku.
Ia tertawa-tawa dan pergi
meninggalkanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama.
Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi sambil
tertawa-tawa mengejek.
Kedua perampok itu mungkin
melaporkanku kepada pimpinannya, karena tak lama kemudian pimpinan gerombolan
itu memanggilku agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagi hasil rampokan.
Si pimpinan bertanya apakah aku memiliki harta. Kujawab bahwa aku punya empat
puluh keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku.
Akhirnya ia menyobeknya dan
ia temukan keping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya: “Mengapa engkau meberi tahu kami, padahal hartamu itu aman
tersembunyi?”
Jawabku: “Aku harus berkata jujur karena telah
berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur.”
Mendengar jawabanku,
pimpinan perampok itu tersungkur menangis. Ia berkata: “Aku ingat janjiku kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku
telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan menimpaku!?”
Anak buahnya yang
menyaksikan kejadian itu berkata: “Kau
memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam taubat!”
Keenam puluh orang itu
memegang tanganku dan bertaubat. Mereka adalah sekelompok pertama yang memegang
tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.
Perjumpaan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dengan Nabi Khidhir di Baghdad
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berusia delapan belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di gerbang
kota, Nabi Khidhir muncul dan melarangnya memasuki kota. Nabi Khidhir mengatakan
bahwa Allah melarangnya memasuki kota itu selama enam tahun. Kemudian Nabi Khidhir
membawanya ke sebuah bangunan tua dan berkata: “Tinggallah di sini dan jangan pergi meninggalkan tempat ini.”
Akhirnya beliau menetap di sana
selama tiga tahun. Setiap tahun Nabi Khidhir datang dan memerintahkannya
menetap di sana. Mengenai pengalamannya di tempat itu, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bercerita:
“Selama menetap di padang
pasir di luar Bagdhad, semua yang kulihat hanyalah keindahan dunia. Semuanya
menggodaku. Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam
berbagai paras dan rupa, terus mendatangiku, menggoda, mengusik, bahkan
menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai pemenang.
Hawa nafsuku pun datang
setiap hari dengan paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi
sahabatnya. Ketika kutolak, ia menyerangku. Allah menjadikanku sebagai pemenang
dalam peperangan tanpa henti itu. Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku
selama bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir
itu.
Selama beberapa tahun aku
hanya makan rerumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan. Selama itu pula
aku tak pernah minum. Tahun berikutnya aku hanya minum tanpa makan apa-apa. Dan
tahun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di
bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh.
Aku berjalan bertelanjang
kaki di atas duri-duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku terus
berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku merasa mendakinya. Tak sedikitpun
kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku untuk beristirahat atau merasa nyaman.
Pada akhir tahun ketujuh,
pada suatu malam, aku mendengar satu suara menyeru: “Hai Abdul Qadir kini kau dapat memasuki Baghdad.”
Akhirnya kumasuki kota Baghdad
dan tinggal beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan kemaksiatan,
kesesatan dan kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar terhindar dari
pengaruh buruknya, aku pergi meninggalkan Baghdad dengan hanya membawa al-Quran.
Namun, ketika tiba di gerbang
kota itu untuk kembali menyendiri di padang sahara, kudengar satu suara
berbisik: “Ke mana kau akan pergi?
Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat.”
“Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok itu? Aku harus melindungi imanku!” Seruku
lantang.
“Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu.” Bisikan suara
itu terdengar lagi. “Tak ada sesuatu pun
yang akan membahayakan dirimu.” Aku tak dapat melihat siapa gerangan yang
berbicara itu.
Kemudian sesuatu terjadi
atas diriku. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur. Seharian aku
berdoa kepada Allah semoga Dia berkenan membuka tabir dariku sehingga
mengetahui apa yang harus aku lakukan.
Awal Mula
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Belajar Tasawuf
Hari berikutnya, ketika aku
mengembara di pinggiran kota Baghdad, di sekitar Mudzafariyah, seorang lelaki
yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan memanggilku: “Hai Abdul Qadir.”
Ketika berada tepat di depan
pintu rumahnya, ia berkata: “Katakan padaku
apa yang kau minta kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?”
Aku diam terpaku, tak dapat
kutemukan jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu dengan
sangat keras sehingga debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku.
Aku pergi, sambil
bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil
mengingatnya, lalu kembali ke rumah itu untuk memberikan jawaban. Namun, rumah
tadi tak dapat kutemukan, begitu pun orang itu. Rasa takut menyelubungiku.
Pikirku, ia tentu orang yang dekat dengan Allah. Kelak , aku mengetahui bahwa
orang itu adalah Syaikh Hammad ad-Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.
Pada suatu malam yang
dingin, di tengah guyuran hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani ke padepokan tasawuf milik Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pimpinan
padepokan itu mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani melalui ilham.
Syaikh Hammad memerintah agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan.
Setibanya di depan pintu
padepokan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilanda kantuk yang hebat dan langsung
tertidur lelap. Dalam tidurnya beliau berhadats besar sehingga beliau pergi
untuk mandi dan berwudhu di sungai. Usai bersuci kembali beliau tertidur dan berhadats
lagi, hingga tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali beliau mandi dan berwudhu
dengan air yang nyaris membekukan tubuh.
Keesokan paginya, pintu padepokan
dibuka dan beliau pun masuk ke dalamnya. Syaikh Hammad bangkit untuk
mengucapkan salam kepada beliau. Dengan penuh suka cita, Syaikh Hammad memeluk
beliau dan berkata: “Anakku, abdul Qadir,
hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah pemiliknya. Jangan pernah
tinggalkan jalan ini.”
Syaikh Hammad menjadi guru
pertama beliau dalam bidang tasawuf. Melalui tangan Syaikh Hammad itulah beliau
bersumpah dan memasuki jalan thariqah. Mengenai hal ini, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bercerita:
“Aku belajar kepada banyak
guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat memahami sesuatu atau ingin mengetahui
suatu rahasia, Syaikh Hammad memberiku penjelasan. Kadangkal aku dimintanya
mencari ilmu dari ulama lain, mengenai akidah, hadits, fiqih dan lain-lain.
Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya: “Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami mendapatkan begitu banyak
makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta jiwa dan tak sedikitpun yang
kami sisakan untukmu.”
Di saat yang lain ia berkata:
“Demi Allah, dari mana saja kau? Adakah
orang lain di sini yang lebih tahu (alim) daripada engkau?”
Murid-muridnya mengusikku
dengan mengatakan: “Kau adalah ahli
fiqih, mahir menulis dan ahli ilmu. Mengapa kau tidak keluar saja dari sini!?”
Syaikh Hammad menegur dan
menenangkan mereka: “Sungguh memalukan!
Aku bersumpah, tak ada seorang pun diantara kalian yang lebih tinggi dari
tumitnya. Jika kalian kira bahwa aku iri kepadanya (Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani) dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan mengujinya
dan mengantarkannya kepada kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani,
kedudukannya seperti batu sebesar gunung.”
Kesengsaraan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat Belajar di Baghdad
Semasa belajar di Baghdad, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani pernah mengalami masa penceklik. Semua orang merasa
kesulitan, termasuk beliau. Mengenai hal ini, beliau menuturkan:
“Aku Cuma makan duri, kacang
dan daun kubis yang ada di tepian sungai dan danau. Kesulitan lain tiba-tiba
masih menyusul di Baghdad. Kesulitan itu yaitu melambungnya harga-harga. Ketika
itu aku sampai tidak bisa makan apa-apa. Aku bahkan harus mencari sisa makanan
yang bisa dimakan. Saking laparnya, aku lalu pergi ke danau. Aku berharap bisa
menemui daun kubis, kacang atau apapun yang bisa dimakan.
Sayangnya, setiap kali aku
pergi ke suatu tempat , pasti sudah ada orang yang sudah lebih dulu di sana. Ketika
mendapati ada orang fakir yang ikut mencari makanan, aku langsung pergi. Aku
malu. Aku kembali berjalan ke tengah kota.
Setiap menemukan satu
biji-bijian, aku pasti keduluan. Aku terus mencari sampai aku tiba di suatu
masjid yang ada di pasar Raihaniyin, Baghdad. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan,
untuk untuk memegang sesuatu saja aku sudah tidak mampu lagi. Aku lalu masuk ke
dalam masjid . Aku duduk-duduk di sana.
Aku hampir mati saat itu. Untungnya
ada seorang pemuda non Arab yang juga baru masuk ke masjid. Ia membawa kue
lapis dan roti bakar. Ia duduk lalu makan roti yang dibawanya. Setiap kali
pemuda itu hendak memasukkan makanan ke dalam mulut, mulutku seolah mengikuti
gerak mulutnya seperti orang yang hendak memasukkan makanan. Itu aku lakukan
karena terlalu lapar. Sebetulnya aku merasa aneh dengan apa yang aku lakukan. “Apa yang aku lakukan ini?” kataku
dalam hati.
Sejurus kemudian, pemuda itu
menengok ke arahku. Ia pun menawariku. Aku menolak. Dia lalu membagi makanannya
untukku. Nafsukku terus menggoda, tetapi aku terus menolak. Ia pun membagi
lagi. Akupun menerimanya. Aku lalu memakan makanan itu. Ia lalu menanyaiku: “Kamu dari mana? Namamu siapa?”
“Aku pelajar dari Jailan,” jawabku.
“Aku juga dari Jailan. Apakah kamu mengenal seorang pemuda dari Jailan yang
bernama Abdul Qadir. Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Abdullah as-Sama’i az-Zahid,” kata
pemuda itu
“Itu aku,” jawabku.
Mendengar jawabanku, pemuda
itu kaget dan wajahnya langsung berubah. “Demi
Allah, aku sudah sampai di Baghdad semenjak tiga hari yang lalu. Kemarin aku
masih memiliki beberapa bekal. Aku sudah bertanya ke mana-mana tentang
keberadaanmu, tetapi tidak ada yang membantuku. Akupun menghabiskan bekalku.
Selama tiga hari, aku tidak menemukan apa yang bisa aku makankecuali yang kita
makan ini. Padahal kematian sudah mengancamku. Aku pun memutuskan kue lapis dan
roti bakar itu aku berikan padamu. Makanlah! Habiskan saja! Itu untukmu.
Sekarang aku tamumu. Sebelumnya kamu memang tamuku.” Kata pemuda itu.
Aku bertanya padanya: “Apa itu?”
“Ibumu menitipkan delapan dinar untukmu, aku pakai sebagian untuk membeli
roti ini karena terpaksa. Aku benar-benar minta maaf padamu.”
Mendengar itu, aku pun menenangkannya.
Aku memuji pemuda itu. Aku pun menyerahkan sisa makanan dan sedikit emas. Dia
pun menerimanya lalu pergi.
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani baru sadar bahwa ibunya selalu mengirimi beliau sejumlah uang. Sebagiannya
sampai kepada beliau, dan sebagian lagi tidak sampai. Baghdad teralu besar dan
luas. Beliau tidak mungkin mengetahui hal serumit itu sebelumnya.
Baju
Kesufian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani tampil sebagai contoh penting yang menunjukkan bahwa mencari ilmu
merupakan kewajiban suci setiap muslim dan muslimat, dari buain hingga liang
lahat. Beliau mengungguli sufi terbesar pada zamannya. Beliau hafal al-Quran dan
belajar tafsir kepada Syaikh Ali Abul Wafa al-Qail, Abul Khattab Mahfudz dan Abul
Hasan Muhammad al-Qadhi.
Menurut sebagian sumber, beliau
belajar kepada Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Muharami, ulama besar pada
zamannya di Baghdad. Meski Syaikh Abdul Qadir al-Jailani belajar tasawuf dari Syaikh
Hammad ad-Dabbas dan memasuki jalan thariqah melaluinya, namun beliau juga
dianugerahi jubah darwis, simbol jubah Nabi Saw. dari Qadhi Abu Sa’id melalui jalur
Syaikh Abul Hasan Ali Muhammad al-Qurasyi dari Abul Faraj at-Tarsusi dari at-Tamimi
dari Syaikh Abubakar asy-Syibli dari Abu Qasim dari Sari as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi
dari Dawud ath-Tha’I dari Habib al-A’dzami dari Hasan al-Bashri hingga sampai
kepada Sayyidina Ali Bin abu Thalib Ra. Sayyidina Ali menerima jubah pengabdian
dari Nabi Muhammad Saw. kekasih Allah semesta alam, yang menerimanya dari Jibril
dan ia menerimanya dari Yang Maha Besar Allah Swt.
Suatu hari, seorang bertanya
kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang apa yang diperolehnya dari Allah
Swt. Beliau menjawab: “Ilmu dan akhlak
mulia.”
Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Disuwuk oleh Rasulullah Saw. dan Sayyidina Ali saat Kesulitan di
Awal Mengajar
Qadhi Abu Sa’id al-Muharrami
mengajar di madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian ia serahkan madrasah
itu kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang telah menjadi pengajar di sana.
Ketika itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berusia lima puluh tahun. Ucapan beliau
sangat fasih dan dahsyat, mampu memengaruhi siapa saja yang mendengarnya. Murid-murid
dan jamaahnya bertambah pesat. Dalam waktu yang sangat singkat, tak ada lagi
tempat di madrasah itu untuk menampung mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
bercerita tentang saat-saat pertama pengajarannya:
“Suatu pagi aku bertemu Rasulullah
Saw. yang bertanya kepadaku: “Mengapa kau
diam saja?”
Aku menjawab: “Aku orang Persia, bagaimana aku dapat
berbahasa Arab dengan fasih di Baghdad?”
“Bukalah mulutmu,” ujar Rasulullah Saw.
Aku menuruti perintahnya. Kemudian
Rasulullah Saw. meniup (meludahi) mulutku tujuh kali dan berkata: “Berdakwahlah dan ajak mereka ke jalan Allah
dengan hikmah dan kata-kata yang baik.”
Lalu aku shalat Dzuhur dan
beranjak menemui orang-orang yang telah menantikan ceramahku. Saat melihat
mereka, aku gugup. Lidahku menjadi kelu. Tiba-tiba aku melihat Imam Ali mendekatiku
dan memintaku membuka mulut. Lalu ia meniupkan napasnya ke mulutku sebanyak
enam kali. Aku bertanya: “Mengapa tidak
tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah?”
“Karena aku menghormati Rasulullah,” ujar Imam Ali, dan ia
berlalu.
Seketika itu pula meluncur
kata-kata yang sangat lancar dari mulutku: “Akal
adalah penyelam, yang menyelami samudera hati untuk menemukan mutiara hikmah.
Jika ia membawanya ke tepian wujudnya, ia akan memicu pengucapan kata. Dan dengan
itu ia membeli mutiara ibadah dan pengabdian kepada Allah.”
Lalu kukatakan: “Pada suatu malam seperti malam-malam yang
kualami, jika diantara kalian mampu menaklukkan birahinya, kematian akan
menjadi sangat indah. Sehingga baginya, tak ada sesuatupun yang dapat
menandingi keindahannya.”
Sejak saat itu dan
seterusnya, baik ketika terjaga maupun terlelap, aku senantiasa menjalankan
kewajibanku sebagai pengajar. Ada banyak ilmu keimananan dan agama dalam
diriku. Ketika aku tak membicarakan atau melafalkannya, aku merasa ilmu-ilmu
meluncur dengan sendirinya. Saat mulai mengajar. Hanya ada beberapa murid yang
mendengarkanku. Namun tak lama kemudian, mereka bertambah hingga tujuh puluh
ribu orang.
Perluasan
Madrasah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Madrasah dan pondok beliau
tak lagi mampu menampung para pengikut beliau. Dibutuhkan tempat yang lebih
luas. Orang kaya dan miskin membantu mendirikan bangunan. Orang kaya membantu
dengan harta dan orang miskin membantu dengan tenaganya. Bahkan kaum wanita di Baghdad
pun membantu.
Seorang wanita muda yang
bekerja secara suka rela memperkenalkan suaminya yang enggan bergotong-royong
kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Ini
suamiku. Aku telah menerima mahar darinya sebanyak dua puluh keping emas, separuhnya
akan kuberikan kembali kepadanya dan separuh lagi akan kubayarkan jika ia ikut
bekerja di sini.” Kata wanita itu.
Lalu keping emas itu ia
serahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan laki-laki itupun mulai
bekerja. Ia pun terus bekerja meskipun jatah maharnya telah habis. Kendati
demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tetap membayarnya karena beliau tahu
bahwa ia miskin.
Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Menjadi Pemuka Agama yang Paling Mumpuni dan Disegani
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani adalah ulama dan imam dalam ilmu-ilmu agama, kalam dan fiqih, serta
tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Keberadaan beliau memberi manfaat
yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan kutukannya selalu dikabulkan. Beliau
memiliki banyak keistimewaan. Beliau adalah manusia sempurna yang selalu
mengingat Allah, bertafakur, merenung serta belajar dan mengajar.
Hati beliau lembut, perilaku
beliau santun, dan paras beliau senantiasa tampak ceria. Beliau juga selalu
bersimpati dan memelihara perilaku yang mulia. Di mata orang-orang, beliau
tampil sebagai sosok yang berwibawa, dermawan dan gemar memberi bantuan berupa
uang, nasehat, maupun ilmu. Beliau menyanyangi sesama, terutama kaum mukmin
yang taat dan selalu beribadah kepada Allah.
Penampilan beliau selalu
terjaga sehingga nampak tampan dan necis. Beliau tak suka berbicara berlebihan.
Jika bicara, meski cepat, setiap kata maupun suku kata beliau terdengar jelas.
Bicara beliau santun dan hanya yang diucapkan hanya kebenaran. Beliau sampaikan
kebenaran dengan lantang dan tegas. Beliau tak peduli apakah orang lain akan
memuji, mencela, mengkritik atau bahkan memaki beliau.
Ketika Khalifah al-Muqtafi mengangkat
Yahya bin Sa’id sebagai Qadhi (kepala pengadilan), Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengkritiknya di hadapan khalayak: “Kau telah
mengangkat orang yang sangat dzalim sebagai hakim atas kaum mukmin. Mari kita
saksikan apa pembelaanmu ketika kau dihadapkan kepada Hakim Agung, Tuhan
Semesta Alam.”
Mendengar kritikan pedas itu
khalifah gemetar dan menangis . Ia segera memecat qadhi itu.
Saat itu, penduduk Baghdad mengalami
kemerosotan moral dan perilaku. Berkat kehadiran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,
banyak penduduk yang benar-benar bertaubat, menjaga perilaku dan menjalankan
syariat Islam dengan baik.
Orang-orang pun semakin
mencintai dan menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Pengaruh beliau
semakin meluas. Orang shaleh mencintai beliau dan para pelaku maksiat takut
kepada beliau. Banyak orang, termasuk raja, menteri dan kaum bijak bestari,
datang meminta nasehat beliau. Banyak kaum Yahudi dan Kristen yang masuk Islam karena
beliau.
Pendeta yang
Meragukan Mi’raj Rasulullah Saw. Dengan Ruh dan Jasadnya
Ada seorang pendeta yang
sangat bijak dan berpengaruh di Baghdad yang memilki banyak pengikut. ia memiliki
pengetahuan yang luas tidak hanya mengetahui tradisi Yahudi dan Kristen, tetapi
juga mengenai Islam. Ia pun mengetahui kitab suci al-Quran dan sangat
menghargai Nabi Muhammad Saw. Khalifah sangat menghormatinya dan berharap ia
dan pengikutnya masuk Islam. sebenarnya, pendeta itu ingin masuk Islam. Hanya
saja, ia masih meragukan bahwa Mi’raj Nabi Muhammad Saw. terjadi berikut
raganya.
Mi’raj itu terjadi ketika Nabi
Saw. diperjalankan dari Makkah ke Yerusalem dengan jasad dan ruh beliau. Kemudian
naik ke tujuh lapis langit serta menyaksikan banyak hal. Beliau Saw. melihat
surga dan neraka, lalu bertemu dengan Allah Swt. yang menyampaikan sembilan
ribu kata. Saat pulang dari perjalanan itu, kasur Nabi Saw. belum mendingin dan
daun yang tersentuh dalam perjalanan belum berhenti bergoyang.
Akal sang pendeta tidak
menerima peristiwa Mi’raj itu dan segala yang disampaikan Nabi Saw. sepulang
dari perjalanan itu. Bahkan, sesungguhnya banyak kaum Muslimin ketika itu yang
tidak mempercayai penjelasan Nabi Saw., dan menjadi murtad. Peristiwa itu
benar-benar menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan kaum Muslimin. Karena
akal tidak dapat menerima fenomena serupa itu.
Khalifah mengundang para
bijak bestari dan para syaikh untuk menyakinkan si pendeta. Namun tak ada satupun
yang mampu. Kemudian pada suatu sore, ia memohon kepada Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani untuk menyakinkan si pendeta mengenai kebenaran Mi’raj Nabi Saw.
Ketika Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani datang ke istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain catur. Saat
pendeta mengangkat sebuah bidak catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Si pendeta memejamkan matanya. Ketika membuka mata,
tiba-tiba ia berada di sebuah sungai dan dihanyutkan oleh alirannya yang deras.
Ia berteriak minta tolong.
Seorang penggembala pemuda
lompat ke sungai menyelamatkannya. Ketika pemuda itu memeluknya, ia sadar bahwa
ia tidak berpakaian dan dirinya telah berubah menjadi seorang gadis. Si penggembala menariknya keluar dan
serta-merta menanyakan keluarga dan rumahnya.
Ketika gadis itu (pendeta)
menyebutkan Baghdad, si penggembala itu mengatakan bahwa butuh waktu
berbulan-bulan untuk sampai ke sana. Si penggembala menghormati, menjaga dan
melindunginya. Namun karena tak ada tempat yang ditujunya, si penggembala
menikahinya. Dari pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak.
Suatu hari, saat si istri
mencuci pakaian di sungai yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, ia
tergelincir dan jatuh ke air. Ketika sadar dan membuka mata, ia dapati dirinya
duduk di hadapan khalifah, memegang bidak catur dan masih bertatap pandang
dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berujar kepadanya: “Hai pendeta yang
malang, apakah saat ini kau masih enggan mengakui?”
Si pendeta yang masih ragu
dan menganggap apa yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab: “Apa yang kau maksudkan?”
“Apakah engkau ingin berjumpa dengan anak dan suamimu?” Tanya Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani seraya membuka pintu.
Di depan pintu istana itu
telah berdiri si penggembala dengan tiga orang anaknya. Mengalami runtutan
kejadian itu, si pendeta langsung menyatakan keimanan dan mengakui kebenaran Mi’raj
Nabi Saw. Ia dan jamaahnya yang berjumlah sekitar lima ribu orang masuk Islam melalui
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Allah
Mencatat Tidak Akan Murka kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Meskipun dikenal orang yang
lembut, santun dan penyanyang, dan selalu menepati janji jika berurusan dengan
keadilan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bersikap tegas. Beliau tak pernah marah
jika orang lain memperlakukan beliau dengan buruk. Namun, jika mereka mengusik
agama dan keimanan, beliau akan sangat marah dan segera menimpakan hukuman yang
berat.
Seorang syaikh kala itu, Abu
Najib as-Suhrawardi, menceritakan:
“Pada tahun 523 H, dalam sebuah
majelis yang dihadiri oleh Syaikh Hammad, guru Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani mengucapkan suatu pernyataan besar. Saat itu juga Syaikh
Hammad menegur beliau: “Hai Abdul Qadir,
kau berbicara terlalu lancing. Aku takut murka Allah akan menimpamu.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menempelkan telapak tangan beliau ke dada Syaikh Hammad: “Lihatlah telapak tanganku dengan mata
hatimu. Dan katakan tulisan yang terbaca di sana.”
Ketika Syaikh Hammad tak
dapat menjawab, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat tangannya lalu
menunjukkan kepada Syaikh Hammad. Di sana nampak tulisan yang sangat jelas: “Ia (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) telah
menerima tujuh puluh janji dari Allah bahwa ia tidak akan dimurkai.”
Manyaksikan itu, Syaikh
Hammad berkata: “Takkan ada sedikitpun
keburukan atas orang yang dikaruniai janji itu dari Allah. Tak seorang pun
kesal kepadanya. Allah merahmati siapa saja yang dikehendakiNya diantara
hamba-hambaNya.”
Para
Pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Semua Mati dalam Keadaan Bertaubat
Dalam riwayat lain, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani mengatakan: “Tidak ada
seorang pun pengikutku yang mati sebelum bertaubat. Mereka mati sebagai hamba
yang beriman kepada Allah. Setiap satu orang pengikutku yang shaleh akan
menyelamatkan tujuh orang saudaranya yang berdosa di api neraka. Seandainya ada
aib salah seorang pengikutku, yang berada di bagian paling barat dunia, yang
akan disingkapkan secara semena-mena, maka kami, meski berada di bagian paling
timur dunia, akan menutupinya sebelum diketahui siapapun.”
“Aku dikarunia kitab. Tidak semua orang dapat melihatnya. Dalam kitab itu
tercantum nama para pengikutku hingga hari kiamat. Dengan rahmat Allah akan
kami selamatkan mereka. Beruntunglah orang yang pernah bertemu denganku. Aku
prihatin kepada orang-orang yang tidak akan bertemu denganku.”
Semua orang yang dekat
dengan beliau selalu merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Seseorang pernah
bertanya kepada beliau: “Kami tahu
keadaan para pengikutmu yang shaleh dan apa yang telah disediakan bagi mereka
di hari kiamat. Namun, bagaimana dengan pengikutmu yang berbuat maksiat?”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menjawab: “Para pengikutku
yang shaleh setia kepadaku. Dan aku setia untuk menyelamatkan mereka yang
berbuat maksiat.”
Seorang wanita muda pengikut
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tinggal di Ceylon, suatu hari ketika melintas di tempat
yang sepi, seorang laki-laki mencegat dan bermaksud memperkosanya. Dalam
keadaan tak berdaya, wanita muda berteriak: “Wahai
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani guruku tolonglah aku!”
Ketika itu di Baghdad, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani sedang berwudhu. Orang-orang melihat beliau menghentikan
wudhunya dan dengan marah beliaupun mencopot sandalnya lalu melemparkannya ke
udara. Mereka tak melihat jatuhnya sandal itu. Ternyata sandal itu mengenai
kepala si lelaki yang tengah menganiaya gadis itu dan menewaskannya. Konon,
sandal itu kini masih ada di sana dan dijaga sebagai benda suci.
Aminnya Para
Malaikat Didengar saat Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengimami Shalat
Sahl bin Abdullah at-Tustari
meriwayatkan bahwa, pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
di Baghdad mencari-cari guru mereka. Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga
diketemukan. Ketika seseorang mengatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berjalan ke arah sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya di sana,
mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan di permukaan sungai.
Mereka melihat semua ikan muncul di permukaan dan menyalami Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani.
Peristiwa ini terjadi pada
waktu Dzuhur. Mereka melihat permadani luas terhampar di atas kepala mereka,
dan menutupi angkasa. Pada permadani itu tertulis ayat dengan tinta emas dan
perak: “Ingatlah, sesungguhnya para wali
Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para
malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu)
rahmat Allah dan keberkahanNya, dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait. Sesungguhnya
Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).
Layaknya permadani terbang Nabi
Sulaiman As., permadani itu terbang melayang lalu turun ke tanah. Dengan rasa
takjub , tenang dan tentram, orang-orang berjalan menuju permadani itu. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani yang tampak megah dengan pakaian yang indah juga melangkah ke
arah permadani, lalu menjadi imam shalat.
Ketika Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani mengangkat tangannya dan mengucapkan: “Allahu Akbar,” seluruh angkasa menggemakan kalimat yang sama. Ketika
beliau shalat, para malaikat tujuh lapis langit secara tertib mengikuti beliau.
Ketika beliau mengucapkan: “Alhamdulillah,” sinar kehijauan
memancar dari mulut beliau dan menyebar ke seluruh angkasa.
Di akhir shalat, seraya
menengadahkan tangan beliau berdoa: “Ya Allah,
demi leluhurku dan kekasihMu Muhammad Saw., dan demi para hambaMu yang bertakwa
dan mencintaiMu, jangan cabut nyawa para pengikutku kecuali jika dosa-dosa
mereka telah diampuni dan iman mereka telah disempurnakan.”
Semua hadirin mendengar para
malaikat bersamaan berucap: “Aamiin.” Mereka
mengikuti aminnya para malaikat. Lalu mereka semua mendengar suara dari dalam
diri mereka sendiri: “Bergembiralah. Aku
telah mengabulkan doamu.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Syaikh yang sempurna laksana nabi bagi para
pengikutnya. Dan sesungguhnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani termasuk diantara
syaikh yang sempurna yang telah membukkan pintu kebahagian dunia ini untuk para
pengikutnya dan pintu surga di akherat kelak.”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani telah berhasil menaklukan nafsunya dan telah berhasil menjadi
manusia sempurna berkat ilham dan perintah Nabi Saw. Beliau menjadi guru yang
punya hubungan kuat dengan manusia dan niat kuat meneladani Nabi Muhammad Saw.
Ketika Empat
Istri Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengadu
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani memiliki empat orang istri, yang semuanya sangat setia dan taat
kepada beliau. Dari ke empat istri beliau, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki
49 anak, 27 laki-laki dan 22 perempuan.
Suatu hari, istri-istri
beliau mendatangi beliau dan berkata: “Wahai
pemilik akhlak yang mulia, anak bungsumu wafat dan kami tak melihatmu menangis
atau bersedih. Tidakkah kau menyanyangi orang yang menjadi bagian dari dirimu?
Kami sangat berduka, tetapi engkau tetap sibuk dengan urusanmu seakan-akan tak
ada yang terjadi. Kau adalah pemimpin, pembimbing dan harapan kami di dunia
maupun di akherat. Tetapi, hatimu sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar
kepadamu di hari kiamat dan berharap kau dapat menyelamatkan kami?”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menjawab: “Sahabat-sahabatku
tercinta, jangan pernah mengira hatiku keras. Aku mengasihi orang kafir karena
kekafiran mereka. Aku mengasihi anjing yang menggigitku dan berdoa kepada Allah
agar tidak menggigit orang lain dimana mereka akan melemparinya dengan batu.
Tidaklah kalian tahu bahwa aku mewarisi kasih sayang dari orang yang telah
diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta alam?”
Para istri beliau berkata: “Engkau mengasihi bahkan kepada anjing yang
menggigitmu, tetapi mengapa engkau tak menunjukkan rasa iba atas anakmu yang
telah dipenggal pedang kematian?”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berkata: “Duh
sahabat-sahabatku yang malang, kau menangis karena berpisah dengan anak yang
kau cintai. Kau melihat anakmu dalam mimpi duniawi dan kau kehilangan dia dalam
mimpi yang lain. Allah berfirman: “Dunia ini adalah mimpi.” Dunia ini adalah
mimpi bagi orang-orang yang tidur. Sementara aku tetap terjaga. Aku melihat
anakku ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia telah keluar dari
lingkaran itu. Aku masih melihatnya, dan ia tetap bersamaku. Ia sedang bermain
di dekatkku persis seperti saat-saat sebelumnya. Ketahuilah, jika kau melihat
dengan mata hati, baik dalam keadaan hidup maupun mati, kebenaran tidak akan
pernah hilang.”
Godaan Setan
kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa pada suatu
hari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan para pengikut beliau berjalan kaki di padang
pasir dan saat itu padang pasir benar-benar panas. Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bercerita:
“Aku merasa sangat lelah dan
dahaga. Para pengikutku berjalan di depanku. Tiba-tiba sekumpulan awan muncul
di atas kepala, seperti payung yang melindungi kami dari terik matahari. Di depan
kami muncul sebuah mati air yang jernih dan sebatang pohon kurma penuh dengan
buah yang telah masak.
Lalu, muncullah cahaya yang
lebih terang dari matahari. Dari arah sinar itu terdengar suara: “Hai umat Abdul Qadir, akulah Tuhan! Makan
dan minumlah, sebab telah kuhalalkan untukmu apa yang kuharamkan atas orang
lain.”
Para pengikutku yang berada
di depanku berlarian menuju mata air dan pohon kurma itu. Aku berteriak
menghentikan mereka. Kutantang sinar itu seraya berteriak: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk!”
Seketika, awan, cahaya, mata
air dan pohon kurma itu lenyap. Setan itu berdiri di depan kami dengan rupa
yang sangat buruk. Ia bertanya: “Bagaimana
kau mengenaliku?”
Kukatakan pada setan
terkutuk yang telah diusir dari rahmat Allah itu: “Firman Allah bukanlah dalam bentuk suara yang dapat didengar telinga.
Selain itu, aku tahu hukum Allah bersifat tetap dan berlaku atas semua orang.
Dia takkan mengubahnya atau menghalalkan yang haram bagi sekelompok orang yang
disukaiNya.”
Mendengar ucapanku, setan
menggoda agar aku menjadi angkuh: “Hai
Abdul Qadir, aku telah memperdaya tujuh puluh nabi dengan muslihat ini. Sungguh
ilmu dan kebijaksanaanmu lebih tinggi daripada nabi.”
Kemudian setan itu menunjuk
ke arah pengikutku dan berkata: “Hanya sebanyak
inikah pengikutmu? Seharusnya seluruh dunia menjadi pengikutmu karena kau
laksana nabi.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani: “Aku berlindung darimu kepada
Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Bukan ilmu atau kebijaksanaanku
yang dapat menyelamatkanku darimu, melainkan kasih sayang Allah.”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani memandang bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Beliau melakukan
segala sesuatu hanya karena Allah, dan tidak menisbatkan sesuatupun pada
makhluk, termasuk kepada beliau sendiri. Beliau selalu mengerjakan apa yang
beliau katakan. Beliau anggap sama, baik pujian atau cercaan, manfaat atau
mudharat. Ilmu beliau luas dan kebijaksanaan tinggi, bagi beliau, orang berilmu
dan tak mengamalkan ilmunya laksana keledai yang membawa buku.”
Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani dan Ilmu Filsafat
Salah seorang syaikh yang
sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh Mudzaffar Manshur bin al-Mubarak al-Wasithi,
meriwayatkan:
“Aku mengunjungi Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani bersama beberapa muridku. Aku membawa sebuah buku
filsafat. Beliau menyalami dan memandang kami lalu berkata kepadaku: “Betapa kotor dan buruknya sahabat yang kau genggam
itu. Pergi dan cucilah tanganmu.”
Aku terkejut mendengar
ucapan marah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tak mungkin beliau mengetahui isi
buku yang memang kusukai dan nyaris kuhafal itu. Terlintas pikiran untuk berdiri dan menyembunyikan buku itu di suatu
tempat untuk diambil kembali saat pulang.
Baru saja aku hendak
bangkit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapku tajam dan aku tak dapat
berdiri. Beliau memintaku menyerahkan buku itu. Sebelum kuberikan, aku
membukanya untuk terakhir kali. Namun, tak ada satupun hurup yang kulihat.
Semuanya kosong. Putih. Semua yang tertulis di sana telah hilang.
Setelah menerima buku itu,
beliau amati apa yang ada di dalamnya lalu menyerahkannya kembali kepadaku
seraya berkata: “Inilah keutamaan
al-Quran yang ditulis oleh Daris.”
Kuterima dan kubuka buku itu.
Ternyata, buku filsafat itu telah diubah menjadi Fadhail al-Quran karya Ibn Daris, dengan tulisan yang sangat indah.
Kemudian beliau berkata: “Maukah kau bertaubat
dengan lisan dan hatimu?”
“Ya.” Jawabku.
“Berdirilah.”
Ketika aku bangkit,
kurasakan semua ilmu filsafatku luruh dari fikiranku dan jatuh ke tanah. Tak
satu pun kata mengenainya yang tersisa dalam fikiranku.”
Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Dapat Membaca Pikiran Para Muridnya
Dikisahkan bahwa sekelompok
orang berkumpul dekat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, berharap dapat
mendengarkan ceramah beliau. Namun, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani duduk sangat
lama tanpa berkata sepatah katapun. Jamaah juga duduk menanti dengan tenang.
Tiba-tiba mereka diliputi
kenikmatan. Pikiran dan imajinasi mereka seakan-akan hilang. Lalu semuanya
secara berbarengan memikirkan hal sama: “Apa
yang tengah dipikirkan syaikh.”
Secepat pertanyaan itu
muncul dalam pikiran mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Baru saja seseorang tiba-tiba datang dari Makkah
bertaubat di depanku lalu pulang kembali.”
Jamaah berfikir serentak: “Mengapa orang yang dapat terbang langsung
dari Makkah ke Baghdad perlu bertaubat?”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berkata: “Terbang di udara
adalah satu hal, namun merasakan cinta adalah hal lain. Aku telah mengajarinya
bagaimana mencinta.”
Syaikh Abdullah Zayat mengkisahkan
bahwa ketika itu tahun 560 H. Aku menjadi salah seorang murid di madrasah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Suatu hari, aku melihatnya pergi meninggalkan rumah
dengan tongkat di tangannya. Aku berkata dalam hati: “Andai saja ia memperlihatkan keajaiban melalui tongkat itu.”
Tiba-tiba ia menoleh
kepadaku, tersenyum, lalu mengetukkan tongkatnya ke pasir. Tiba-tiba tongkat
berubah menjadi cahaya yang memancar ke langit, menyinari segalanya selama satu
jam. Kemudian ia memegang cahaya itu, dan seketika berubah kembali menjadi
tongkat. Beliau memandangku lagi dan berkata: “Hai Zayat, itukah yang kau inginkan?”
Riyadhah
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Melalui diri beliau, lebih
dari lima ribu orang Yahudi dan Kristen menjadi Muslim. Lebih dari seratus ribu
bajingan, penjahat, pembunuh, pencuri dan perampok bertaubat dan menjadi orang
shaleh. Beliau menuturkan bagaimana beliau mencapai keutamaan itu:
“Selama 25 tahun aku
berkelana di padang sahara Irak. Aku tidur di reruntuhan bangunan. Selama 12
tahun aku menyepi di sebuah reruntuhan kastil di Sahara Syustar, yang berjarak
12 hari perjalanan dari Baghdad. Aku berjanji kepada Tuhanku bahwa aku tidak
akan makan dan minum sebelum meraih kesempurnaan ruhani.
Pada hari ke-40, seseorang
datang membawa setumpuk roti dan makanan, kemudian meletakkannya di depanku. Lalu
ia menghilang. Tubuhku berteriak: “Aku
lapar, aku lapar!”
Nafsuku berbisik: “Janjimu telah kau tepati. Mengapa kau tidak
makan?” Tetapi aku tidak melanggar sumpahku kepada Allah.
Saat itu Abu Sa’id al-Muharrami
lewat di hadapanku. Ia mendengar jeritan lapar tubuhku, meski aku tidak
mendengarnya. Ia menghampiriku dan ketika melihat keadaanku yang lemah, ia
berkata: “Apa yang kulihat dan kudengar
ini, wahai Abdul Qadir?”
Jawab Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani: “Jangan hiraukan wahai
sahabatku. Itu hanyalah suara nafsu yang menantang dan tidak setia. Padahal
jiwaku tunduk kepada tuhanku dengan keadaan gembira, tenang dan bahagia.”
“Datanglah ke madrasahku di Bab al-Azj,” pinta Abu
Sa’id.
Aku tak menjawabnya, namun
dalam hatiku berkata: “Aku takkan
meninggalkan tempat ini hingga datang perintah Allah.”
Tak lama setelah itu, Nabi
Khidhir datang dan berkata: “Pergilah dan
ikutlah bersama Abu Sa’id.”
Setelah menerima perintah
itu, aku pergi ke Baghdad, ke madrasah Abu Sa’id. Kudapati ia sedang menungguku
di depan pintu. “Aku telah memintamu
untuk dating,” katanya. Lalu ia memberiku jubah darwis. Sejak saat itu, aku
tak pernah meninggalkannya.
Selama 40 tahun aku tak
pernah tidur malam. Aku mendirikan shalat dengan wudhu shalat Tahajudku . Aku
membaca al-Quran setiap malam untuk menghilangkan kantuk. Aku berdiri dengan
satu kaki dan bersandar ke dinding dengan satu tangan. Aku tidak beranjak dari
posisiku hingga khatam al-Quran.
Ketika rasa kantuk tak dapat
kutahan, satu suara akan menyeru dan mengejutkan seluruh tubuhku: “Hai Abdul Qadir, aku tidak menciptakanmu
untuk tidur! Kau bukan apa-apa. Kuberikan kepadamu kehidupan. Karena itu,
meskipun kau hidup, kau tidak mengenal kami.”
Suatu hari, seseorang
bertanya: “Wahai Abdul Qadir, kami
mendirikan shalat, berpuasa dan menaklukkan nafsu sepertimu. Mengapa kami tidak
menerima tingkatan ruhani yang tinggi dan mendapatkan karamah sepertimu?”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menjawab: “Pantas saja, kau
hanya berusaha menyaingiku dalam amal. Kau kira telah melakukan apa yang
kulakukan, padahal kau hanya meniruku. Kau mencerca Allah karena tidak
memberimu imbalan yang sama. Allah adalah saksiku ketika aku tak makan dan tak
minum kecuali jika Penciptaku memerintahkanku. Makan dan minumlah, kau berhak
atasnya karena aku dan demi tubuh yang telah kuberikan kepadamu. Tak pernah
kulakukan sesuatupun tanpa perintah Tuhanku.”
Ketika
Hujan Takut kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Ali bin Musafir menuturkan:
“Bersama ribuan orang lainnya, aku berkumpul untuk mendengarkan ceramah Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani di tempat terbuka. Ketika ia berbicara, hujan turun lebat dan
sebagian orang mulai meninggalkan majelis. Langit tertutup awan pekat. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, aku telah berusaha mengumpulkan
manusia demi Engkau, apakah Engkau menjauhkan mereka dariku?”
Tak lama kemudian hujan pun berhenti.
Tak ada setetes pun air hujan turun hingga Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selesai
berceramah, meskipun di luar tempat kami berkumpul hujan turun dengan derasnya.
Takluknya
Orang Terkaya Baghdad di Hadapan Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa Abdus
Shamad bin Humam termasuk orang terkaya di Baghdad. Ia dikenal sangat cinta
dunia, sombong dan takabur. Ia bangga telah memiliki dunia dan banyak orang
yang bekerja kepadanya, ia mengira dapat menguasi dan memerintah mereka untuk
melakukan apa saja sesenang hatinya.
Sebagai materialis sejati,
ia terang-terangan tidak menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengingkari
karamahnya. Ia menuturkan pengalamannya berikut ini:
“Sebagaimana kalian ketahui,
aku tak pernah menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meskipun kekayaanku
berlimpah dan aku dapat memiliki apapun yang aku inginkan, aku tak pernah
merasa puas senang dan tenang.
Pada suatu Jum’at, ketika
aku lewat di dekat madrasahnya, aku mendengar adzan. Aku berkata dalam hati: “Apa sih keunggulan orang ini, yang telah
menarik perhatian banyak orang melalui karamahnya? Aku akan shalat Jum’at di masjidnya!”
Masjid itu telah penuh sesak.
Aku merengsek menerobos kerumunan orang dan kuperoleh tempat persis di bawah
mimbar. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mulai menyampaikan khutbahnya dan apapun
yang dikatakannya membuatku jengkel.
Tiba-tiba aku merasa mulas
ingin buang hajat. Tetapi aku tak dapat keluar dari masjid. Aku takut dan
sangat malu, karena rasa mulas itu tak dapat kutahan.perasaan jengkelku kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani kian menjadi-jadi.
Namun, ketika aku dibasahi
keringat dingin karena malu dan menahan mulas, pelan-pelan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menuruni tangga mimbar dan berdiri di atasku. Seraya berkhutbah, ia
menutupiku dengan bagian bawah jubahnya. Tiba-tiba saja aku telah berada di lembah
yang hijau dan indah. Kulihat sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang
jernih. Segera saja aku buang hajat lalu membersihkan diri dan berwudhu. Setelah
itu, kudapati diriku kembali berada di bawah jubah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Ia pun kembali ke atas mimbar.
Aku sangat takjub. Tidak
hanya perutku yang merasa nyaman, hatiku pun merasa tentram, semua kejengkelan,
amarah dan kekesalan sirna sudah.
Usai shalat, aku keluar dari
masjid dan pulang. Di tengah jalan, aku sadar bahwa kunci lemariku hilang. Aku
kembali ke masjid dan mencarinya, namun tak kutemukan.
Keesokan harinya aku harus
melakukan perjalanan niaga. Tiga hari perjalanan dari Baghdad. Kami tiba di sebuah
lembah yang sangat indah. Seakan-akan dituntun ke tepi sungai yang sangat
jernih. Aku langsung teringat bahwa di sinilah aku buang hajat dan membersihkan
diri. Kini, sekali lagi kubersihkan diri. Dan ternyataa, di sana kutemukan
kembali kunci lemariku. Sekembali ke Baghdad, aku menjadi pengikut Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Menghidupkan Tulang Belulang
Karena terpikat oleh
ketenaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang perempuan dari Baghdad memutuskan
untuk menitipkan anaknya kepada beliau. Ia mengantarnya kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani dan berkata: “Kuserahkan anakku kepadamu. Anggaplah ia
sebagai anakmu sendiri, dan besarkanlah ia seperti dirimu.”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menerimanya dan mulai mengajarkan kebaikan, kesederhanaan dan
penaklukan hawa nafsu.
Selang beberapa waktu, si
ibu datang melihat keadaan anaknya yang ternyata bertubuh kurus, pucat dan
tengah makan roti kering. Ia marah dan meminta bertemu dengan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Sang ibu melihat syaikh berpakaian rapi, duduk di ruang yang
menyenangkan dan tengah memakan daging ayam.
“Sementara kau makan daging
ayam! Anakku yang malang yang kutitipkan kepadamu tengah mengunyah sepotong
roti kering.” cercanya.
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani meletakkan tangannya di atas tulang ayam lalu berkata: “Dengan nama
Allah yang membangkitkan tulang dari debu, hiduplah!”
Lalu beliau angkat tangannya
dan ayam itupun hidup lalu berlari ke atas meja seraya berkata: “Tidak ada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah.”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menoleh ke arah perempuan itu dan berkata: “Jika anakmu dapat
melakukan hal ini, ia dapat makan apapun yang diinginkan.”
Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Lebih Tinggi Daripada Leher Semua Wali
Suatu malam, lima puluh syaikh
terkemuka pada zamannya di Baghdad berkumpul di rumah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Termasuk diantaranya adalah al-Hafidz Abu al-Izz Abdul Mughits bin Harb,
yang menuturkan kisah berikut:
“Malam itu Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani tengah mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan dari
mulutnya. Kami benar-benar merasa tenang dan khusyuk, perasaan yang tak pernah
kami alami sebelumnya.
Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menunjuk ke arah kakinya dan berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher semua wali.”
Tak lama kemudian, salah
seorang muridnya, Syaikh Ali bin al-Hili, merunduk ke kaki Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Ditempelkannya kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke lehernya, lalu
kami semua mengikutinya.
Diantara hadirin yang
lainnya, yakni Syaikh Abu Sa’id al-Kailawi berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher wali.”
Kurasakan kebenaran Allah mewujud
dalam hatiku, aku melihat semua wali di dunia berdiri di hadapannya, menutup
seluruh penglihatanku. Semua yang hidup hadir secara jasmani, semua wali yang
sudah meninggal hadir secara ruhani, langit dipenuhi malaikat dan makhluk ghaib
lainnya. Sejumlah malaikat turun dan memberi jubah Rasulullah kepadanya. Lalu
kami mendengar suara berkata:
“Hai penguasa zaman dan
pembimbing agama, wahai pengamal firman Allah Yang Maha Pengasih, wahai pewaris
kitab suci, penerus Rasulullah, wahai orang yang diserahkan kepadanya kekuatan
langit dan bumi, yang doanya dikabulkan, jika ia meminta hujan hujan akan
turun, wahai yang dicintai dan dimuliakan seluruh makhluk.”
Usai Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menyampaikan ucapannya itu, bukan hanya orang-orang yang ada di hadapan
beliau, melainkan semua ulama merasakan bertambahnya ilmu mereka, kebijaksanaan
mereka, cahaya Ilahi dalam hati mereka, dan tingkatan ruhani mereka.
Ketika kejadian ini tersiar
luas di seluruh dunia Islam, semua syaikh dan guru bersujud untuk menghormati
dan menerima kepemimpinannya. Orang-orang yang berbuat dosa datang kepada
beliau untuk bertaubat dan disucikan kembali. Para bajingan, pencuri dan
penjahat datang kepada beliau lalu menjadi pengikut beliau. Dan beliau menjadi
pusat kutub ruhani.
313 wali pada zaman itu, termasuk diantaranya 17
orang yang tinggal di kota suci Makkah, 60 di Irak, 40 di Iran, 20 di Mesir, 30
di Damaskus, 11 di Abissinia, 7 di Ceylon, 27 di barat, 47 di daerah terpencil
di gunung Qaf, 7 di kawasan Ya’juj dan Ma’juj, dan 24 di belahan dunia lainnya
hingga di lautan. Semuanya patuh dan tunduk, kecuali satu orang Persia.
Syaikh Persia Kuwalat karena
Kesombongannya kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Persia ini dikenal
sangat tekun beribadah. Ia mendirikan shalat lebih banyak dari siapapun dan
terus-terusan berpuasa. Ia sering beribadah haji ke Makkah. Ia sangat
mendambakan ridha Allah. Selama lima puluh tahun ia mengasingkan diri bersama
empat ratus orang muridnya, yang dilatih siang dan malam untuk menyempurnakan
diri. Ia banyak memiliki ilmu dan karamah.
Ketika ucapan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani sampai kepadanya. Ia tengah menunaikan ibadah haji bersama
murid-muridnya, di kota suci Makkah. Entah meremehkan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani atau mengagungkan dirinya sendiri, ia menolak menghormati dan
memuliakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Malam harinya, ia bermimpi
meninggalkan Makkah menuju Bizantium dan di sana ia menyembah berhala. Karena
sedih mendapatkan mimpi itu, ia kumpulkan semua murid-muridnya dan mengatakan
ia harus pergi ke Bizantium untuk menyingkap makna mimpinya. Mereka mengikutinya
dengan setia.
Ketika memasuki kota itu, ia
melihat seorang gadis cantik berdiri di balkon. Rambut gadis itu hitam sepekat
malam, matanya laksana dua purnama dengan alis mata tebal melengkung bagaikan
bulan sabit kembar, parasnya memikat para pecinta, bibirnya merah delima tampak
basah dan lembut. Melihat gadis itu, hati ia terbakar birahi. Lekat-lekat ia
menatapnya, hasratnya membara meruapi rongga dadanya. Karena cintanya kepada
gadis itu, agama dan iman tersingkir dari hatinya. Kecantikan gadis itu
benar-benar menjadi pemuas nafsu iblis.
Ia berdiri di depan pintu
gadis kafir itu dengan mulut terbuka seraya menatap lekat-lekat ke arah balkon,
berharap dapat melihatnya lagi. Pikirannya terkoyak. Puasa yang dilakoni
bertahun-tahun dan menguruskan badannya tak dapat membandingkan derita yang
dialami kini, begitu pikirnya. Ia kerahkan segenap pengetahuan dan akalnya
untuk memahami keadaan ini, namun semua pengetahuan telah sirna meninggalkan
dirinya.
Dengan rasa takut segan,
murid-muridnya memohon kepadanya untuk pergi bertaubat dan berdoa. Ia menjawab
bahwa sekira ia harus bertaubat, ia akan bertaubat dari kebodohan telah
menyisihkan dunia dan kesenangan hanya karena agama. Jika diharuskan berdoa, ia
akan memohon kepada gadis itu daripada kepada Allah.
Ketika diperingatkan akan adzab
Allah dan neraka, ia bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang dicintainya dan
api cinta dalam hatinya dapat memadamkan tujuh neraka. Mereka berusaha keras
membujuk ia. Namun, melihat upaya mereka sia-sia, mereka pun meninggalkannya.
Syaikh itu diam sebulan
suntuk di depan pintu pelacur kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak tangga
sebagai bantalnya. Ia tidur di jalanan bersama anjing-anjing kudisan.
Akhirnya, si cantik kafir
itu membukakan pintu dan berkata: “Hai orang tua yang mengaku syaikh muslim,
kau telah dimabuk kemusyrikan yang membuatmu melakukan kebodohan ini di jalan
kafir.”
Ia berkata: “Akan kuserahkan
bukan hanya agamaku, melainkan juga jiwaku asal aku dapat menyentuh bibirmu.”
“Sungguh memalukan, kau
orang tua budak nafsu. Betapa beraninya kau menciumku sementara kau sudah
nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak sudi aku menyentuhmu.”
Tanpa memperdulikan caci
maki gadis itu, ia tetap berdiam di depan pintu. Lalu, gadis itu turun lagi dan
berkata kepadanya: “Jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau harus keluar
dari Islam, membakar al-Quran, menyembah berhala dan minum arak.”
Ia berkata: “Aku tak
dapat sepenuhnya meninggalkan Islam dan membakar al-Quran, tetapi aku bersedia
minum arak demi kecantikanmu.”
“Kalau begitu, mari minum
bersamaku, pasti kau akan mau melakukan permintaanku yang lainnya.”
Ketika gadis itu menuangkan
arak, hati dan pikirannya menyala-nyala. Ia mencoba mengingat al-Quran yang
pernah dihafalnya, kitab-kitab yang pernah dibaca, namun tak ada sedikit pun
yang diingatnhya . Dalam keadaan mabuk ia berusaha menyentuh gadis itu. Namun,
gadis itu menampiknya: “Tidak, kecuali jika kau menjadi orang kafir
sepertiku dan membakar kitab sucimu.”
Ia turuti permintaan pelacur
itu. Dilemparkannya al-Quran dan jubah sufinya ke dalam api, lalu ia menyembah
berhala. Sekali lagi ia berupaya menyentuh gadis itu. Namun, sekali lagi gadis
itu menolaknnya: “Sungguh kau tua bangka budak nafsu yang tak tahu diri. Kau
sama sekali tak punya harta, bukan pula orang yang tenar. Bagaimana mungkin
gadis sepertiku mau melayani pengenis jorok sepertimu? Aku butuh , emas, perak
dan sutera. Karena kau tak punya apa-apa enyah saja kau dari hadapanku!”
Waktu terus berlalu, ia
masih saja berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Akhirnya, suatu hari, gadis
itu menyerahkan dirinya sambil berkata: “Bayarlah aku, hai orang tua yang
malang, dengan menjadi penggembala babi-babiku selama satu tahun.”
Tanpa daya, ia pun menjadi
penggembala babi.
Wanita Kafir yang Mereguk Manisnya
Iman di Akhir Hayatnya
Berita sedih mengenai syaikh
yang tidak menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun tersebar luas.
Murid-muridnya yang meninggalkan dirinya telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha
menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Usai menceritakan keadaan
guru mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Jika seseorang tidak
tunduk dan menjadi seekor kambing bagi seorang penggembala, ia akan menjadi
penggembala sekumpulan babi. Ketahuilah, setiap orang memiliki seribu babi,
yakni seribu berhala di hatinya, yang hanya dapat diusir dengan ketundukan dan
pertaubatan.”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani juga memarahi mereka karena meninggalkan guru mereka. Kemudian Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berdoa bagi orang tua yang sesat itu dan meminta para
muridnya untuk kembali ke Bizantium dan memberitahu guru mereka bahwa Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani memintanya untuk kembali.
Murid-muridnya langsung
pergi ke Bizantium. Sepanjang jalan mereka selalu berdoa bagi guru mereka.
Mereka berpuasa dan berdoa memohon kepada Allah untuk memberikan pahala mereka
untuk guru mereka. Mereka bershalawat kepada Rasulullah Saw. dan meminta syafaatnya.
Anak panah doa itu melesat
mencapai sasaran. Ketika bertemu dengan orang tua itu, mereka melihatnya
bercahaya di tengah kumpulan babi. Dan ketika diberitahukan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani memintanya menghadap, segera ia campakkan pakaian kekafiran. Air
mata penyesalan mengalir deras, dan ia angkat tangan ke langit untuk bersyukur.
Seketika itu juga semua yang telah dilupakannya, al-Quran dan rahasia Ilahi, kembali
kepadanya. Kini ia terbebas dari kehinaan dan kebodohan, setelah itu ia mandi
berwudhu dan berangkat ke Baghdad.
Ketika peristiwa itu
berlangsung, gadis kafir itu bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan
mendengar suara berkata: “Ikutilah syaikhmu. Anut agamanya, jadilah debu di kakinya.
Kau yang pernah kotor, jadilah sesuci dia. Kau yang telah menariknya ke
jalanmu, kini masuklah ke jalannya.”
Ketika bangkit dari tidur,
ia rasakan perubahan pada dirinya, ia berlari menyusul syaikh dan
murid-muridnya. Tanpa makan dan minum, melewati lembah dan pegunungan.
Akhirnya, di tengah-tengah padang sahara , ia jatuh ke tanah, ia berdoa: “Wahai
Dzat yang telah menciptakan aku, ampuni aku, jangan hukum aku. Aku telah
menantang agama dan jalanMu. Namun kulakukan itu karena kebodohanku,
sebagaimana syaikhku melakukannya karena kesombongan. Kau telah mengampuninya.
Kini ampunilah aku. Aku tunduk dan menerima agama yang benar.”
Allah memungkinkan syaikh ,
yang memang belum terlalu jauh, mendengar ucapannya sehingga ia dan
murid-muridnya segera kembali dan mendapatinya tengah berbaring. Wanita itu
berkata: “Kau telah membuatku malu. Ajari aku Islam agar aku dapat bertemu
dengan Tuhanku melalui agama ini.”
Ketika syaikh menjadi saksi
atas keimanannya dan para muridnya menangis haru, wanita itu hembuskan nafas
terakhirnya. Wanita itu, yang tak lebih dari setetes air di samudera khayal,
telah berpulang ke samudera sejati. Syaikh itu pun datang ke Baghdad lalu menundukkan
lehernya dengan penuh hormat di bawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Seiring dengan semakin
meluasnya pengaruh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke seluruh dunia, banyak murid
beliau meraih kedudukan penting, dan banyak penguasa menjadi muridnya. Ia
menugaskan sebagian muridnya untuk menjadi wakilnya sesuai dengan kemampuan,
kualitas batin dan tingkatan ruhaninya masing-masing. Sebagian mereka diangkat
sebagai guru ruhani dan sebagian lainnya menjadi hakim. Bahkan, tidak sedikit
yang diangkat sebagai gubernur dan raja.
Dikisahkan bahwa ada seorang
fakir yang telah mengabdi sebagai pembantu di rumah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani selama empat puluh tahun. Selama itu, ia telah menyaksikan beberapa
murid yang jauh lebih muda darinya dan belum lama mengabdi, telah ditunjuk Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani untuk menempati jabatan penting. Suatu hari ia menghadap
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengajukan permohonan. Ia telah mengabdi
kepada syaikh selama bertahun-tahun dan kini usianya semakin tua. Mengapa ia
belum juga ditunjuk untuk menempati pos penting seperti murid yang lain.
Belum lagi ia tuntas
menyampaikan maksudnya, satu utusan dari India datang. Mereka ingin Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menunjuk seorang maharaja bagi kerajaan mereka. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menatap pembantunya itu dan berkata: “Apakah engkau
menyukai jabatan ini? Apakah engkau memenuhi syarat?” Pelayan itu
mengangguk kegirangan.
Ketika para utusan itu
keluar rumah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada pembantunya: “Aku
akan mengangkatmu sebagai raja di sana dengan syarat kau harus berjanji untuk
memberikan kepadaku separuh dari keuntungan dan kekayaan yang kau peroleh
selama berkuasa.” Tentu saja pelayan itu menyanggupinya.
Orang tua itu bekerja di rumah
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai juru masak. Hari itu, ia harus mengaduk
hidangan yang akan disajikan. Setelah berbicara dengan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani, ia kembali ke dapur untuk mengaduk makanan itu di sebuah kuali
raksasa dengan sendok kayu. Di tengah pekerjaan itu ia dipanggil untuk pergi
bersama para utusan itu ke India sebagai raja mereka.
Di negeri itu, ia dinobatkan
sebagai raja. Ia dapatkan kekayaan berlimpah, ia bangun banyak istana untuk
dirinya sendiri, ia menikah dan punya seorang anak laki-laki. Ia sepenuhnya
telah melupakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan janji yang diucapkannya.
Pada suatu hari, ia menerima
pesan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani akan datang mengunjunginya. Ia bersiap-siap
menyambut kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Setelah upacara, prosesi
dan pesta yang megah, mereka berbincang berdua. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengingatkan kesepakatan mereka, yaitu bahwa ia harus memberikan separuh dari
semua keuntungan yang dikumpulkannya selama berkuasa. Maharaja itu jengkel
ketika diingatkan akan janjinya. Kendati demikian, ia berjanji esok lusa ia
akan menyerahkan separuh dari semua kekayaannya kepada Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani.
Keserakahan yang bertambah
seiring bertambahnya kekayaan tak membiarkannya membuat daftar kekayaan dengan
jujur. Tepat pada hari yang direncanakan, ia membawa daftar kekayaanya itu yang
menyerahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meski daftar itu mencantumkan
banyak istana dan kekayaan, semua itu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan
yang sesungguhnya.
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani tampak puas dengan bagian yang diperolehnya. Lalu Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berkata: “Kudengar kau juga memiliki seorang anak laki-laki.”
“Iya, sayangnya cuma seorang.
Sekiranya ada dua, tentu akan kuberikan salah seorangnya kepadamu.”
“Tidak apa-apa, bawalah anak
itu.” Tukas Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Kita tetap dapat membaginya.”
Anak itu dibawa di hadapan
mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menghunus pedangnya yang tajam tepat di atas
bagian tengah kepala anak itu. “Kau akan mendapatkan separuhnya dan
separuhnya lagi menjadi bagianku!” kata Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Sang ayah yang ketakutan,
menghunus belatinya dan kedua tangannya ditusukkan ke dada Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Ia lakukan itu dengan mata terpejam. Ketika membuka matanya,
ternyata ia sedang mengaduk makanan di kuali besar dengan sendok kayu. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menatapnya dan berkata: “Seperti kau lihat sendiri, kau
belum siap menjadi wakilku. Kau belum memberikan segalanya, termasuk dirimu,
kepadaku.”
Sepenuh Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Diperuntukkan kepada Allah dan RasulNya
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani telah menyerahkan dirinya kepada Allah. Malam beliau lalui dengan
sedikit atau bahkan tak tidur sama sekali untuk Tahajjud dan tafakur. Sebagai
pengikut setia Rasulullah Saw., beliau gunakan waktu siangnya untuk mengabdikan
diri kepada umat manusia. Tiga kali dalam seminggu beliau berceramah di hadapan
ribuan orang.
Setiap pagi dan sore beliau
mengajar tafsir, hadits, tauhid, fiqih dan tasawuf. Usai shalat Dzuhur, beliau
mengisi waktu dengan memberi nasehat kepada umat, baik pengemis maupun raja,
yang datang dari belahan dunia. Sebelum Maghrib baik ketika hujan maupun cerah,
beliau telusuri jalan-jalan untuk membagikan roti kepada kaum fakir.
Karena berpuasa nyaris
sepanjang tahun, beliau hanya makan sekali dalam sehari setelah shalat Maghrib dan
tak pernah sendirian. Para pelayan beliau berdiri di depan pintu seraya
bertanya kepada setiap orang yang lewat apakah mereka lapar dan meminta mereka
untuk makan bersama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Kewafatan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani wafat pada hari Sabtu tanggal 8 Rabiu’ts Tsani tahun 562 H/1166 M.
Makam beliau yang dirahmati, yang terletak di Madrasah Bab ad-Darajah di Baghdad
telah menjadi tempat ziarah penting bagi kaum Muslimin, dan khususnya kaum sufi.
Ketika beliau sakit, putra
beliau, Abdul Aziz melihatnya meringis menahan sakit yang luar biasa. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani bergulingan di atas tempat tidur. “Jangan cemaskan aku.”
Kata beliau kepada putranya. “Aku telah
tengah berubah terus menerus dalam pengetahuan Allah.”
Ketika putra beliau, Abdul jabbar,
menanyakan bagian mana tubuhnya yang teras sakit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menjawab: “Semuanya, kecuali hatiku. Tak ada sakit sedikitpun pada bagian
ini karena ia bersama Allah.”
Putra beliau yang lain, Abdul
Wahab, berkata kepada beliau: “Berilah aku nasehat terakhir yang dapat kuamalkan
setelah ayah wafat.”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menjawab: “Takutlah hanya kepada Allah. Berharaplah kepada Allah,
dan sampaikan segala kebutuhanmu kepadaNya. Jangan berharap atau menghendaki
sesuatupun dari selain Allah. Bertawakallah hanya kepada Allah, bersatulah
denganNya, bersatulah denganNya.”
Sebelum wafat, beliau
memandangi sekeliling dan berkata kepada orang-orang yang hadir: “Mereka yang
tak pernah kalian lihat telah datang kepadaku. Berikan ruang dan bersikap
santunlah kepada mereka. Aku adalah isi tanpa kulit. Kalian melihatku bersama
kalian, padahal aku bersama yang lain. Tinggalkan aku sendiri.”
Kemudian beliau berkata: “Wahai
malaikat maut, aku tak takut kepadamu atau apapun selain Allah yang telah
menemaniku dan bersikap baik kepadaku.”
Pada detik-detik terakhir,
beliau angkat tangannya dan berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan Allah. Segala puji bagi Allah, Yang Maha Suci, Maha Hidup. Segala
puji bagiNya, Yang Maha Kuasa, yang mengalahkan hambaNya dengan kematian.”
Setelah menyeru: “Allah, Allah,
Allah,” ruh beliau pun pergi meninggalkan jasad beliau.
Semoga Allah meridhai ruh beliau dan ruh beliau memberi barakah kepada
kita semua. Aamiin.
Link asal klik di sini:
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 11 Oktober 2013
Thanks artikelnya..saya share ya
BalasHapusDemikianlah kesalahan umat2 terdahulu kembali terulang. Mereka berlebih2an terhadap Para Nabi dan orang2 shalih mereka, bahkan menjadikan mereka tuhan2 tandingan selain Allah dg menjadikan mereka perantara/wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikan syariat orang2 shalih itu lebih mulia dari Syariat Allah dann Sunnah RasulNya.
BalasHapusAllah membantah persangkaan mereka kepada Allah.
Larangan Mempersekutukan Allah
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. “(QS. An Nisa : 116)
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash :88)
“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.” (QS. Yunus : 66)
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di'azab.” (QS. As Syu’ara:213)
Alasan Orang2 Musyrik untuk Mendekatkan Diri pada Allah
BalasHapusMaka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan. (Al Ahqaaf : 28)
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah." Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu) ( QS. Yunus : 18)
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar :3)
Tantangan Allah kepada orang-orang yang Menyembah selain Allah atau Sebagai Perantara (minta Syafaat) kepada Allah
BalasHapusKatakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar" (QS. Al Ahqaaf : 4)
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (QS. Al Ahqaaf :5)
Katakanlah: "Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku (bahagian) manakah dari bumi ini yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan) langit atau adakah Kami memberi kepada mereka sebuah Kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya? Sebenarnya orang-orang yang zalim itu sebahagian dari mereka tidak menjanjikan kepada sebahagian yang lain, melainkan tipuan belaka." ( QS. At Fathir :40)
Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan. (QS. Al Ahqaaf :28)
Di Akhirat, Makhluk2 yg Disembah Selain Allah , Berlepas Diri Atas Orang2 yg Menyembah Mereka
“Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah); "Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?. Mereka (yang disembah itu) menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagi kami mengambil selain engkau (untuk jadi) pelindung, akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup, sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum yang binasa." (QS. Al Furqan :17-18)
@Marvein,,, Maasya Allah.
BalasHapusKamu tau tntg syariat langsung dri Allah dan Rasulnya atau melalui perantara?
Kamu faham apa yg dimaksud dgn syariat? Emang ada syariat laen dri syariat Rasulullah?
Kamu kenal Allah dan Rasulnya secara langsung atau dengan perantara?
Pakai terjemahan mu sendiri, jgn pkai punya orang. Mampukah kamu...
@marvein;
BalasHapus..
عسى الله أن يهديك و يحفظك يا أخى
...