Bagaimanakah
jikalau al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa menanggapi tentang Zakat versi
baru, Zakat Profesi yang gencar dikampanyekan oleh tetangga sebelah? Inilah ulasan
beliau:
“Di
masa Imam Malik bin Anas Ra. ada seorang temannya datang, Imam Malik itu imam
besar, gurunya Imam Syafi’i. Imam Malik bin Anas bin Malik, bukan Anas bin
Malik sahabat Nabi, bukan. Imam Malik bin Anas bin Malik ‘alaihi rahmatullah,
gurunya Imam Syafi’i, orang yang mengarang kitab al-Muwattha’.
Kenapa
disebut al-Muwattha’ (artinya yang menginjak) kenapa? Karena dengan
kitab itu, terinjak seluruh kitab yang ada di masa itu oleh kitab al-Muwattha’
Imam Malik. Imam Malik, imam besar dan sangat menghargai adab. Beliau kalau
ditanya tentang hukum, tentang suatu pertanyaan soal hukum. Kalau tanya hukum,
tanya mau di jalan, mau sambil duduk, mau di pasar, silakan tanya. Kalau nanya
hadits, ke rumah. Di rumah beliau berwudhu lagi, pakai sipat matanya, pakai
minyak wanginya, pakai jubahnya, pakai sorbannya baru berkata: “Qaala
Rasulullah Saw.”
Berani
mengangkat suara di saat ia sedang membaca hadits, dipukul dengan keras oleh
Imam Malik: “Jangan mengeraskan suara di depan hadits Rasulullah Saw.”
Beliau
di mana-mana, di Madinah al-Munawarrah tidak berani memakai sandal. Bagaimana
berani memakai sandal di tanah bekas pijakan kaki Muhammad Rasulullah Saw.?
Imam Malik bin Anas bin Malik ini ketika duduk bersama para sahabatnya, karena
sedang santai melunjurkan kaki lagi dipijiti kakinya, maka ia melunjur (selonjor)
santai tidak bersila, murid-muridnya semua.
Lalu
Datang tamu tak dikenal, sorbannya besar. Di saat itu berbeda dengan zaman
sekarang, sebagian masih memegang kebiasaan itu. Tigkatannya disebut thalib
(pelajar), orang yang sudah hafal kitab Bidayatul Hidayah, itu pakai
sorban panjangnya 5 hasta, juga thalib. Kalau ia sudah mengajar maka
panjang sorbannya 7 (saya masih menggunakan 7 hasta), kalau ulama besar 9-12
hasta.
Ini
imamah (sorban) tamunya besar, ulama besar dari mana nih? Maka Imam Malik yang
sedang berlunjur santai, segera menarik kakinya untuk bersila menghormati ulama
bersorban besar ini, tidak boleh sembarangan, harus sopan. “Apa yang bisa
kubantu?”
Ia berkata:
“Aku datang mau bertanya.”
Imam Malik
bertanya lagi: “Apa pertanyaanmu hadits, ayat atau hukum? Kalau hadits
tunggu dulu. Atau ayat, biarkan aku bebenah dulu.”
Maka tamu
bersorban besar itu berkata: “Tidak, aku mau tanya masalah hukum.”
Imam Malik
berkata: “Iya apa pertanyaanmu?”
Si tamu
bersorban besar bertanya: “Pertanyaannya bagaimana kalau besok matahari
tidak terbit?”
Imam
Malik diam, lalu menunduk dan bergumam: “Besok matahari tidak terbit, oh... jawabannya
berarti aku boleh duduk berlunjur kaki lagi.”
Maksudnya
apa? Orang ini tidak waras. Bagaimana matahari tidak terbit hari esok, tanda
kiamat belum beres. Besok bukan hari Jum’at, nanya besok matahari tidak terbit
lagi, tidak waras berarti. Jawabannya: “Aku boleh selonjor lagi.”
Hadirin-hadirat
yang dimuliakan Allah, jadi menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang ditanya oleh
orang-orang mubtadi’in tidak perlu dijawab kalau seandainya keluar dari
akidah dan tidak jelas.
Apa
itu mubtadi’in? Mubtadi’in itu segala-segalanya bid’ah, ini
bid’ah itu bid’ah bid’ah bid’ah. Imam Malik sudah pegal melihat orang kaya
gini, yang model kaya gini sudah ada di zaman Imam Malik. Kalau dibilang
kecebongnya lah, kalau sekarang sudah jadi. Kalau dulu kecebongnya sudah ada.
Ia berkata:
“Ya Imam, kaif ainallah.”
Imam
Malik menjawab: “Majhul, ma’qul, iimaan bihi waajib, wa su-aal ‘anhu bid’ah
(Masuk akal, tidak diketahui maknanya dan mempertanyakan masalah itu bid’ah). Dan
kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan ia dari hadapanku”, kata Imam
Malik. Di zaman Imam Malik kecebongnya diusir.
Hadirin,
demikian saudara-saudariku, yang demikian jangan dimusuhin ya, kasihan saudara-saudara
Muslim kita banyak yang dijebak hal ini, segala-gala bid’ah, segala-gala
bid’ah. Justru hal-hal yang bid’ah mereka memperbuatnya. Kalau kita hal-hal
yang sunnah kita qiyaskan, kita buat seperti Maulid, Nishfu Sya’ban dan
lainnya.
Qiyas
untuk syiar justru malah diperangi, tapi justru hal-hal yang betul-betul tidak
perlu ditambah, mereka tambah-tambahi. Seperti zakat profesi, kapan munculnya
hukum zakat profesi. Zakat profesi tidak pernah ada di seluruh madzhab. Karena apa?
Zakat itu hal yang fardhu, mau ditambahin.
“Ya,
tapi sekarang banyak orang yang masuk non Muslim, keluar dari Islam gara-gara
kelaparan karena Muslim tidak mengeluarkan zakatnya.”
Ooo...
jadi kalau begitu orang banyak ibadah, banyak maksiat, sekarang shalat tambahin
juga jadi 6 waktu, tidak bisa begitu. Yang fardhu ya fardhu, tidak bisa
ditambah.
“Ya,
tapi sekarang bagaimana dengan banyaknya orang yang kelaparan ini?”
Ya
kita setujui sedekah profesi, setuju!. Mau tiap hari, mau tiap bulan, mau ½
persen, 50 persen, kalau perlu 100 persen. Tapi sedekah profesi jangan ngomong
zakat profesi. Kalau zakat = fardhu, nggak bayar, halal darahnya.
Hadirin-hadirat
yang dimuliakan Allah, hal seperti ini justru diputarbalikkan oleh mereka
menjadi zakat profesi, itu yang justru bid’ah dhalalah.”
Sya’roni As-Samfuriy, sumber: www.majelisrasulullah.org
izin nyimak y... d tunggu kunjungannya di blog kami :)
BalasHapus