Home » , , , » PERMASALAHAN SEPUTAR NIKAH

PERMASALAHAN SEPUTAR NIKAH

Written By MuslimMN on Jumat, 26 Juli 2013 | 05.13


PERMASALAHAN SEPUTAR NIKAH



Daftar Isi:

1.      Hukum Menikah
2.      Nikah Tanpa Wali dan Saksi
3.      Pernikahan Paksa Orang Tua
4.      Menikah Saat Hamil
5.      Iddah Wanita Hamil di Luar Nikah
6.      Tidak Menikah Karena Penyakit
7.      Hadirnya Wali pada Akad Nikah yang Diwakilkan
8.      Nikah Muhallil (Sementara)
9.      Pernikahan Dini (Kawin Gantung)
10.  Nikah dengan Jin

1.      Hukum Menikah

Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Judari menerangkan hukum menikah dengan beberapa bait syair yang terdapat dalam kitab Qurrat al-‘Uyun berikut ini:

وواجب علي الذي يخشي الزنا • تزوج بكل حال امكنا
وزيد في النساء فقد المال • وليس منفق سوي الرجال
وفي ضياع واجب والنفقة • من الخبيث حرمة متفقة
لراغب اوراجي نليندب • وان به يضيع مالا يجب
ويكره ان به يضيع النفل • وليس فيه رغبة اونسل
وان انتفي ما يقتضي حكما مضي • جاز النكاح بالسوي المرتضي

“Hukum menikah sangat tergantung pada keadaan orang yang hendak melakukannya. Hukumnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Wajib: Bagi orang yang telah mampu dan bila ia tidak segera menikah amat dikhawatirkan akan berbuat zina.
b.      Sunnah: Bagi orang yang menginginkan sekali punya anak, tetapi ia masih mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina, baik ia sudah berminat menikah atau belum walaupun jika menikah nanti ibadah sunnah yang sudah biasa ia lakukan akan sedikit terlantar.
c.       Makruh: Bagi orang yang belum berminat punya anak, juga belum pernah menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina padahal bila ia menikah amalan ibadah sunnahnya akan terlantar.
d.      Mubah: Bagi orang yang mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat zina, sementara ia belum berminat memiliki anak dan seandainya ia menikah ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar.
e.       Haram: Bagi orang yang apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin atau jika menikah ia akan cari mata pencaharian yang diharamkan Allah Swt. walaupun orang tersebut sudah berminat menikah dan mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina.

Hukum menikah tersebut juga berlaku bagi kaum wanita. Ibnu Arafah menambahkan, bahwa bagi wanita hukum menikah wajib apabila ia tidak mampu menafkahi dirinya sendiri sedangkan jalan satu-satunya untuk menanggulangi nafkah tersebut adalah menikah.”


2.      Nikah Tanpa Wali dan Saksi

Bolehkah mengikuti Imam Daud adz-Dzahiri yang menyatakan bahwa nikah sah walau tanpa wali dan saksi?

نقل ابن الصلاح الإجماع على أنه لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة ، أي حتى العمل لنفسه فضلاً عن القضاء والفتوى ، لعدم الثقة بنسبتها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف والتبديل ، كمذهب... الزيدية المنسوبين إلى الإمام زيد بن عليّ بن الحسين السبط رضوان الله عليهم ، وإن كان هو إماماً من أئمة الدين ، وعلماً صالحاً للمسترشدين ، غير أن أصحابه نسبوه إلى التساهل في كثير لعدم اعتنائهم بتحرير مذهبه

Kita tidak boleh taqlid selain kepada imam yang empat. Bahkan larangan taqlid kepada selain imam madzhab yang empat itu walau untuk amal sendiri, apalagi untuk fatwa. Demikian yang dimaksudkan dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin di atas.

Sebenarnya masih banyak ulama mujtahid muthlaq di luar imam yang empat, seperti Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam al-Laits, Imam Ishaq bin Rohawaih, Imam Ibnu Jarir, Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, termasuk Imam Dawud adz-Dzahiri. Kesemuanya termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dalam kitab al-Farq baina al-Firaq juga dikatakan:

ودخل في هذه الجملة ( أى أهل السنة والجماعة ) جمهور الأمة وسوادها الأعظم من أصحاب مالك والشافعي وأبى حنيفة والأوزاعى والثورى وأهل الظاهر

Larangan taqlid seperti di atas bukan karena kapasitas para imam yang bersangkutan, melainkan dikarenakan sistem kodifikasi yang diragukan, dan hal itu akibat dari tasahul para pengikutnya dalam mentahrir (memperbaiki/memeriksa) madzhabnya.

Dalam Fatawa li Ibn Hajar al-Haitsami dengan jelas dikatakan:

لا يجوز تقليد داود في النكاح بلا ولي ولا شهود، ومن وطىء في نكاح خال عنهما وجب عليه حد الزنا على المنقول المعتمد

Maksudnya adalah nikah tanpa wali dan saksi dengan taqlid kepada fiqih madzhab Dawud adz-Dzahiri hukumnya tidak boleh, bahkan termasuk zina.

Tentang syarat-syarat nikah seperti dua saksi, mas kawin dll. telah mufakat (ijma’) di antara imam yang empat, kecuali wali bukan merupakan syarat nikah menurut Imam Abu Hanifah. Dalam Fath al-Qadir Ibnu al-Hamam al-Hanafi menjelaskan:

بَابُ الْأَوْلِيَاءِ وَالْأَكْفَاءِ ( وَيَنْعَقِدُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ الْعَاقِلَةِ الْبَالِغَةِ بِرِضَاهَا ) وَإِنْ لَمْ يَعْقِدْ عَلَيْهَا وَلِيٌّ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا ( عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ ) رَحِمَهُمَا اللَّهُ ( فِي ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ .
وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ ) رَحِمَهُ اللَّهُ ( أَنَّهُ لَا يَنْعَقِدُ
 إلَّا بِوَلِيٍّ .
وَعِنْدَ مُحَمَّدٍ يَنْعَقِدُ
 وُقُوفًا ) وَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ رَحِمَهُمَا اللَّهُ لَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ بِعِبَارَةِ النِّسَاءِ أَصْلًا لِأَنَّ النِّكَاحَ يُرَادُ لِمَقَاصِدِهِ وَالتَّفْوِيضُ إلَيْهِنَّ مُخِلٌّ بِهَا ، إلَّا أَنَّ مُحَمَّدًا رَحِمَهُ اللَّهُ يَقُولُ : يَرْتَفِعُ الْخَلَلُ بِإِجَازَةِ الْوَلِيِّ .

Kita garis bawahi pada perkataannya:

وَيَنْعَقِدُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ الْعَاقِلَةِ الْبَالِغَةِ بِرِضَاهَا ) وَإِنْ لَمْ يَعْقِدْ عَلَيْهَا وَلِيٌّ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا ( عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ

Dalil yang digunakan oleh ulama madzhab Hanafi tentang kebolehan wanita boleh mengawinkan dirinya ataupun wanita lain adalah berdasarkan ayat al-Quran:

فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.”

Dan juga dari hadits Nabi Saw. berikut ini:

(Al-Muwatho’ Imam Malik):
528 - أخبرنا مالك أخبرنا عبد الرحمن بن القاسم عن أبيه عن عبد الرحمن ( 1 ) ومجمع ابني يزيد بن جارية الأنصاري عن خنساء ابنة خذام : أن ( 2 ) أباها زوجها ( 3 ) وهي ( 4 ) ثيب فكرهت ذلك ( 5 ) فجاءت رسول الله صلى فرد ( 6 ) نكاحه

(Muttafaqun ‘Alaih):
الأيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها

(HR. Ahmad, an-Nasai dll.):
23892 - حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا كَهْمَسٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي
 ابْنَ أَخِيهِ يَرْفَعُ بِي خَسِيسَتَهُ فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا قَالَتْ فَإِنِّي قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

(Mushannif Abdurrozzaq):
11947 - عبد الرزاق عن بن عيينة عن يحيى بن سعيد عن القاسم بن محمد أن عائشة زوجت المنذر ابنة عبد الرحمن بن ابي بكر وليس بشاهد فجاء عبد الرحمن فقال أي عباد الله آيفتات في بناتي فأمرت عائشة المنذر أن يجعل الأمر بيده فرده عليه فلم يعد ذلك الأمر شيئا

(Syarah hadits dalam Mufashshil fi Syarh al-Hadits karya Syaikh Ali bin Nayif asy-Syuhud):
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ { الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا } , وَمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه أَنَّ امْرَأَةً زَوَّجَتْ ابْنَتَهَا بِرِضَاهَا فَجَاءَ أَوْلِيَاؤُهُمَا فَخَاصَمُوهَا إلَى عَلِيٍّ فَأَجَازَ النِّكَاحَ

Menurut kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah pernikahan tanpa seorang wali tidak terjadi. Dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah juz 4 halaman 46 dijelaskan:

قد عرفت مما ذكرناه أن الشافعية والمالكية اصطلحوا على عد الولي ركنا من أركان النكاح لا يتحقق عقد النكاح بدونه واصطلح الحنابلة و الحنفية على عده شرطا لا ركنا وقصروا الركن على الإيجاب والقبول إلا أن الحنفية قالوا : أنه شرط لصحة زواج الصغير والصغيرة والمجنون والمجنونة ولو كبارا أما البالغة العاقلة سواء كانت بكرا أو ثيبا فليس لأحد عليها ولاية النكاح بل لها أن تباشر عقد زواجها ممن تحب بشرط أن يكون كفأ وإلا كان للولي حق الاعتراض وفسخ العقد

“Telah engkau ketahui dari penjelasan kami bahwa kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan merupakan bagian dari rukun-rukun nikah, dalam arti tidak akan terjadi pernikahan tanpa seorang wali. Sedangkan kalangan Hanabilah dan Hanafiyyah mengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dalam pernikahan, sedangkan rukun nikah hanya sebatas ijab dan qabul. Kalangan Hanafiyyah menilai wali menjadi syarat sahnya pernikahan seorang bocah laki-laki ataupun perempuan dan orang gila laki-laki ataupun perempuan meskipun ia telah dewasa. Sedang untuk wanita dewasa yang normal akalnya baik masih gadis ataupun janda maka tidak ada seorangpun berhak menjadi perwalian atas nikahnya, dia bisa menjalani pernikahan dengan lelaki yang ia cintai bila memang sepadan dengannya. Bila tidak sepadan, maka seorang wali berhak menentang dan menfasakh (merusak) pernikahannya.”

ومنها ما نسب الى داود الظاهرى من جواز النكاح بلا ولي ولا شهود فلا يعتبر بما ذكره بعضهم فى جواز تقليده وممن يصح بحرمة تقليده فى هذا القول العلامة الشبراملسى فى حواشى النهاية .

“Diantara keputusan seorang hakim yang tidak diperbolehkan untuk dijalankan adalah pernikahan dengan mengikuti madzhab Abu Dawud adz-Dzahiri yang memperkenankan pernikahan tanpa wali dan saksi, maka tidak boleh mengikuti pendapat yang memandang kelegalan pernikahan semacam ini. Diantara ulama yang mengabsahkan keharaman mengikuti pernikahan mengikuti pendapat ini adalah al-‘Alim al-‘Allamah asy-Syibramalisi dalam kitab Hawasyi an-Nihayah.” (Lihat dalam at-Taqlid wa al-Ijtihad halaman 22-23).

Diperbolehkannya menikah tanpa wali menurut pendapat Imam Abu Hanifah adalah dengan catatan jika memang terpaksa harus taqlid pada selain Imam Syafi’i (dalam hal ini taqlid pada Imam Abu hanifah) maka harus tahu dn mengikuti ketentuan fiqh dalam bab nikah menurut madzhab Hanafi secara keseluruhan sampai dalam proses pelaksanaan nikahnya, karena kita boleh taqlid. Tetapi tidak boleh mencampuradukkan hukum atau pendapat beberapa madzhab dalam satu perkara.

3.      Pernikahan Paksa Orang Tua

Pernikahan paksa dikenal dengan istilah “haqq al-ijbar” atau hak paksa seorang wali (ayah atau kakek) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa perlu izin dari pihak anak. Namun ditilik dari Hak Asasi Manusia, aturan ini praktis bernuansa diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang Islam datang untuk menghapus segala bentuk penindasan dan tradisi-tradisi ala Siti Nurbaya.

Memang ada Hadits yang memberikan legitimasi kepada orang tua (wali) untuk menjodohkan putri gadisnya tanpa harus melalui kesepakatannya terlebih dahulu. Rasulullah Saw. bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan anak gadis yang menikahkan adalah bapaknya.” (HR. ad-Daruquthni).

Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak nikah seorang anak gadis berada di tangan ayahnya (wali mujbir). Namun bisa terealisasinya hadits ini dengan ketentuan syarat yang amat memberatkan pada pihak ayah, diantaranya sebagai berikut:
a.       Tidak ada kebencian nyata antara ayah dan anak gadisnya.
b.      Tidak ada kebencian nyata antara calon suami dan anak gadis.
c.       Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (sekufu) dengan anak gadisnya.
d.      Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban membayar mahar (mas kawin).
e.       Menikahkan dengan mahar standar (mitsli).
f.       Mahar harus dibayar kontan.

Dari ketentuan-ketentuan syarat di atas, untuk empat syarat yang pertama, apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya maka prosesi akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada kerelaan dan perizinan oleh pihak gadis. Sedangkan dua syarat terakhir apabila tidak terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan.

Imam al-Bukhari berkata: “Mu’adz bin Fadhalah memberitahu kami, ia berkata: “Hisyam memberitahu kepada kami, dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah Ra. pernah menyampaikan hadits kepada mereka bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: “Tidaklah seorang janda dinikahkan sehingga diminta pertimbangannya dan tidak pula seorang gadis dinikahkan sehingga diminta izinnya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana pengizinan seorang gadis itu?” Beliau menjawab: “Yaitu, dia diam.”

Dari Aisyah Ra. berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangannya? Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: “Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu Aisyah berkata: “Maka aku katakan kepada beliau Saw.: “Dia malu.” Rasulullah Saw. pun berkata: “Demikianlah pengizinannya, jika ia diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi Saw. bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai izin dan pengizinannya adalah sikap diamnya.” (HR. Muslim).

Dari Aisyah Ra. berkata bahwa Nabi Saw. bersabda: “Mintalah izin kepada wanita dalam pernikahannya.” Dikatakan kepada beliau: “Sesungguhnya seorang gadis akan merasa malu dan diam.” Beliau Saw. bersabda: “Itulah izinnya.” (HR. an-Nasai dengan sanad yang shahih).

Imam al-Bukhari telah membuat bab tersendiri dalam “Bab Idzaa Zawwaja Ibnatahu Wahiya Kaarihah Fanikaahuhaa Marduudun (Bab Jika Seorang Bapak Menikahkan Anaknya, Lalu Menolak, Maka Nikahnya Batal).” Imam al-Bukhari berkata: “Isma’il memberitahu kami, dia berkata, Malik memberitahuku, dari Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari Abdurrahman dan Mujammi’, dua putera Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin Khidam al-Anshariyah bahwa ayahnya pernah menikahkannya sementara dia adalah seorang janda, lalu dia tidak menyukai hal itu, kemudian dia mendatangi Rasulullah Saw., maka beliau pun membatalkan nikahnya.”

Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, dia berkata: “Pernah datang seorang remaja puteri kepada Nabi Saw. seraya berucap: “Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan derajatnya.” Maka Nabi Saw. menyerahkan masalah tersebut kepada wanita itu. Wanita itu kemudian berkata: “Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, tetapi aku ingin agar kaum wanita mengetahui bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih).

Alhasil, sesungguhnya pengertian wali mujbir dari hadits di atas bukan berarti dia berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah sesuai keinginan walinya. Musyawarah di antara keduanya akan sangat dibutuhkan ketimbang semuanya berlangsung dengan penyesalan. Bagaimanapun pernikahan dalam seumur hanya diinginkan sekali dan diharapkan semuanya menuju ke arah rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah wa Rahmah. (Lihat dalam Syarh Shahih al-Bukhari juz 7 halaman 257, Fath al-Bari juz 1 halaman 230, Mughni al-Muhtaj juz 4 halaman 248, al-Madzahib al-Arba’ah juz 4 halaman 35).

Lantas apakah pernikahan paksa termasuk perbuatan dzalim orang tua kepada anaknya? Dalam masalah ini ada dua pendapat yang populer di kalangan ulama fiqih:

a.       Orang tua boleh menikahkan paksa anak gadisnya.

Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam Syafi’i serta riwayat dari Imam Ahmad. Alasan pendapat ini adalah hadits di atas bahwa kalau janda lebih berhak atas dirinya, maka artinya orang tua lebih berhak atas anak gadisnya. Kemudian juga hadits yang mengatakan: “Seorang gadis datang kepada Rasulullah Saw. mengadu kepada Rasulullah bahwa ayahnya menikahkannya dengan seseorang yang ia tidak menyukainya, lalu Rasulullah Saw. memberinya pilihan (boleh melanjutkan dan boleh menolak).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad). Rasulullah memberinya pilihan, itu menunjukkan bahwa nikahnya sah. Ada juga riwayat hadits tersebut dengan redaksi: “Seorang gadis walinyalah yang menikahkannya.” (HR. Ad-Daraquthni).

b.      Gadis dan janda yang ‘aqil baligh sama sekali tidak boleh dipaksa menikah dan nikah paksa hukumnya tidak sah.

Pendapat ini berlandas pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim: “Seorang gadis tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya, begitu juga seorang janda tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana mengetahui persetujuannya (umumnya mereka malu)?” Rasulullah Saw. menjawab: “Izinnya adalah ketika ia diam dan tidak menolak.” Imam ash-Shan’ani penulis kitab Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram menjelaskan bahwa hadits ini juga menunjukkan kaharaman nikah paksa.

• تَنْبِيهٌ : لِتَزْوِيجِ الْأَبِ أَوْ الْجَدِّ الْبِكْرَ بِغَيْرِ إذْنِهَا شُرُوطٌ : الْأَوَّلُ أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ .
الثَّانِي : أَنْ يُزَوِّجَهَا مِنْ كُفْءٍ .
الثَّالِثُ : أَنْ يُزَوِّجَهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا .
الرَّابِعُ : أَنْ يَكُونَ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ .
الْخَامِسُ : أَنْ لَا يَكُونَ الزَّوْجُ مُعْسِرًا بِالْمَهْرِ .
السَّادِسُ : أَنْ لَا يُزَوِّجَهَا بِمَنْ تَتَضَرَّرُ بِمُعَاشَرَتِهِ كَأَعْمَى أَوْ شَيْخٍ هَرَمٍ .
السَّابِعُ : أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهَا نُسُكٌ فَإِنَّ الزَّوْجَ يَمْنَعُهَا لِكَوْنِ النُّسُكِ عَلَى التَّرَاخِي وَلَهَا غَرَضٌ فِي تَعْجِيلِ بَرَاءَةِ ذِمَّتِهَاقَالَهُ ابْنُ الْعِمَادِ .
وَهَلْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْمَذْكُورَةُ شُرُوطٌ لِصِحَّةِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ الْإِذْنِ أَوْ لِجَوَازِ الْإِقْدَامِ فَقَطْ ؟ فِيهِ مَا هُوَ مُعْتَبَرٌ لِهَذَا وَمَا هُوَ مُعْتَبَرٌ لِذَلِكَ ، فَالْمُعْتَبَرَاتُ لِلصِّحَّةِ بِغَيْرِ الْإِذْنِ أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلِيِّهَا عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ ، وَأَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ كُفُؤًا ، وَأَنْ يَكُونَ مُوسِرًا بِحَالِ صَدَاقِهَا ، وَمَا عَدَا ذَلِكَ شُرُوطٌ لِجَوَازِ الْإِقْدَامِ .
قَالَ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ : وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْتَبَرَ فِي الْإِجْبَارِ أَيْضًا انْتِفَاءُ الْعَدَاوَةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الزَّوْجِ انْتَهَى

Kembali kepada mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa nikah paksa hukumnya sah, kalau ditelusuri lebih jauh dari kitab-kitab madzhab Syafi’i, kita menemukan bahwa pendapat tersebut tidak mutlak. Artinya ada syarat-syarat tertentu yang menjadikan nikah paksa sah Seperti ditegaskandalam kitab Hasyiyah Bujairami dan al-Iqna’ karangan Imam Khatib asy-Syarbini bahwa seorang ayah atau kakek bisa menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan dengan ketentuan sebagai berikut:
1)      Tidak ada permusuhan antara ayah dan gadis tersebut. Artinya tidak terbukti ada unsur penganiayaan dan kepentingan sepihak dalam pernikahan tersebut.
2)      Sang ayah menikahkanya dengan orang yang sepadan dengannya (kafa’ah).
3)      Ayah menikahkannya dengan mahar mitsil (yaitu senilai mahar atau lebih mahal dari mahar yang diterima ibu sang gadis).
4)      Mahar harus dengan valuta yang berlaku di negeri di mana mereka hidup.
5)      Suaminya harus mampu membayar mahar tersebut.
6)      Ayah tidak menikahkanya dengan seseorang yang membuat gadis tersebut menderita, misalnya seorang yang buta atau orang yang sudah tua.
7)      Gadis tersebut belum wajib melaksanakan haji, karena kalau sudah wajib akan tertunda hajinya oleh pernikahan tersebut.

Ulama Wali Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yaitu tidak ada permusuhan antara gadis dan lelaki yang dinikahkan dengannya.

4.      Menikah Saat Hamil

Permasalahan ini bermula dari asumsi menikah karena ‘kecelakaan’ hanya sah di hadapan negara. Sehingga ketika si wanita telah melahirkan maka wajib mengadakan nikah ulang agar sah sesuai syariat. Benarkah demikian? Untuk mengetahui hal ini kita tertuntut untuk membahas bagaimana sebenarnya hukum menikah karena hamil di luar nikah.

Beberapa kitab menampilkan kesan adanya ijma’ tentang sahnya menikahi wanita pezina. Misalnya dalam Raudhat ath-Thalibin juz 8 halaman 375 dijelaskan:

فرع لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف
وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد

Atau dalam Fath al-Bari juz 9 halaman 164:

قال بن عبد البر وقد أجمع أهل الفتوى من الأمصار على أنه لا يحرم على الزاني تزوج من زنى بها

Namun demikian redaksi ungkapan ijma’nya tidak sharih. Perkataan Imam an-Nawawi “bila khilaf” (tanpa ada perbedaan pendapat) bisa merujuk pada tiadanya perbedaan pendapat dalam satu madzhab, yakni Syafi’iyah dalam konteks Imam an-Nawawi. Demikian pula perkataan Ibnu Abdil Barr “minal amshar” (dari segolongan tempat) bisa merujuk pada ulama di tempat tertentu saja.

Bukti dari tidak adanya ijma’ adalah pernyataan al-Mawardi ada tiga pendapat hukum menikahi wanita pezina. Pertama, halal menurut jumhur fuqaha’ dan sahabat. Kedua, tidak halal menurut beberapa sahabat. Ketiga, halal dengan catatan. (Lihat dalam al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 492-493).

Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina:

1)      Mutlak Tidak Sah

Didukung oleh sahabat Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat sahabat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan al-Bashri. (Lihat dalam al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 492-493, al-Mughni li Ibn Qudamah juz 7 halaman 518 dan Tafsir al-Alusi juz 13 halaman 326). Pandangan ini didasarkan pada QS. an-Nur ayat 3:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

2)      Mutlak Sah

Didukung oleh Imam asy-Syafi’i dan madzhabnya. (Lihat dalam al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman497-498). Hal ini didasari pada QS. an-Nisa ayat 24:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”

Ayat ini turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina. Dikuatkan dengan sabda Nabi Saw.:

لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan (menjadikan mahram) pada (orang) yang halal.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Sahabat Abu Bakar Ra. berkata: “Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.”

Sedangkan mengenai QS. an-Nur ayat 3, Imam al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 494 menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini: 1) Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul. 2) Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.” 3) Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. an-Nisa ayat 3: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”

3)      Sah dengan Syarat

Menurut pendapat ini nikahnya sah dengan catatan selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan. Didukung oleh Imam Abu Hanifah dalam satu riwayat. (Lihat dalam asy-Syarh al-Kabir juz 7 halaman 502-503 dan al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 497-498).

Imam Abu Hanifah berargumen, meskipun sah dinikahi tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits:

لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman orang lain.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

4)      Sah dengan Syarat

Menurut pendapat ini nikahnya sah, tapi menikahnya harus dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung oleh Imam Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri, Malik, Auza’i, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain. (Lihat dalam al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 497-498 dan asy-Syarh al-Kabir juz 7 halaman 502-503).

Mereka berpendapat bahwa wanita hamil zina memiliki ‘iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai ‘iddahnya. Dalil mereka adalah QS. ath-Thalaq ayat 4:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”

Disebutkan juga dalam hadits:

أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ

“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

5)      Sah dengan Syarat

Menurut pendapat ini nikahnya sah, dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ (mwlahirkan) serta telah bertaubat. Didukung oleh Imam Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq (Lihat dalam al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 492-493 dan Tafsir Ibnu Katsir juz 6 halaman 9-10).

Ibnu Qudamah dalam Syarh al-Kabir juz 7 halaman 504 menjelaskan bahwa: “Sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat an-Nur “wahurrima dzalika ‘alal mu’minin”, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin. Dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits:

التائب من الذنب كمن لا ذنب له

“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya.” (HR. Hakim, Ibnu Majah, ath-Thabarani dan al-Baihaqi).

Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan,a pakah boleh dia menikahinya? Jawab Ibnu Umar: “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih).” (Lihat dalam al-Muhalla juz 9 halaman 475).

Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan.

Tersebut dalam Bughyat al-Mustarsyidin halaman 419:

(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.

Juga dalam al-Mughni li Ibn Qudamah juz 7 halaman 518:

فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره

Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah sejak awal.

5.      Iddah Wanita Hamil di Luar Nikah

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwasa wanita yang berzina tidak memiliki masa iddah, baik ia sedang hamil atau tidak. Sebab, disyariatkannya iddah adalah untuk menjaga nasab, sedangkan zina tidak menyebabkan adanya hubungan nasab antara anak yang dengan lelaki yang menghamili ibunya (ayah biologisnya) berdasarkan hadits Nabi Saw.:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحَجَرُ

“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Shahih al-Bukhari hadits no. 6818 dan Shahih Muslim hadits no. 1458 ). (Lihat juga selengkapnya tentang Menikahi Wnaita Hamil dalam al-Majmu’ juz 16 halaman 242, al-Muhadzdzab juz 2 halaman 445, Asna al-Mathalib juz 3 halaman 393, al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 188-189, Bughyat al-Mustarsyidin halaman 418, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah juz 16 halaman 272-273 dan juz 29 Halaman 337).

6.      Tidak Menikah Karena Penyakit

Nabi Saw. pernah bersabda: “Nikahilah wanita yang bgus peranakannya.” Pertanyaannya adalah bila seorang wanita mempunyai penyakit yang bersifat menular pada anak yang akan dikandungnya, kemudian dia tidak ingin hamil atau tidak menikah, apakah berdosa?

Kita ketahui bahwa hukum nikah adalah sunnah, sesuatu yang dilarang (diharamkan) bisa dimaafkan dalam keadaan dharurat apalagi hal sunnah. Dan tentu ancaman Nabi Saw. tersebut berlaku bagi orang yang tidak mau menikah dengan niat meremehkan ajaran Nabi, dan mengecualikan orang yang tidak menikah karena udzur syar’i.

 Hadits larangan tidak semuanya menjadikan hukumnya haram. Fiqih seluruhnya kembali ke dalam 2 hal; menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan. Jika kasus di atas meninggalkan nikah menjadikan dirinya rusak (seperti melakukan zina, masturbasi tiap hari), maka yang lebih bagus nikah. Jika menikahnya menjadikan kerusakan (semisaln penyakitnya akan menular ke suami seperti aids), ya sabar, perbanyak ibadah dan puasa.

Asal penyakit tersebut diketahui juga oleh pihak calon suami nantinya, maka baginya boleh menikah. Dan tidak boleh bagi suami, setelah pernikahan terjadi, mengadakan fasakh (merusak nikah) gara-gara penyakit tersebut. Hal ini sesuai dengan qaidah fiqhiyyah:

الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه

“Ridha atas sesuatu berarti juga ridha atas dampak yang ditimbulkannya.”

Namun bila dikhawatirkan akan membuahkan keturunan yang juga mengidap penyakit yang sama (bila memang sesuai petunjuk yang ahli di bidangnya) maka hukum menikahnya menjadi makruh berdasarkan keterangan dalam kitab Asna al-Mathalib juz 3 halaman 176:

وَكَذَا بِالْبَرَصِ وَالْجُذَامِ غَيْرِ الْحَادِثَيْنِ لِأَنَّهُمْ يُعَيَّرُونَ بِكُلٍّ منها وَلِأَنَّ الْعَيْبَ قد يَتَعَدَّى إلَيْهَا وَإِلَى نَسْلِهَا

Hukum boleh tetapi makruh ini sesuai dengan Hasil Keputusan Bahtsul Masail Nasional di Pringgarata Lombok Tengah NTB 17-20 Nopember 1997 M. Saat memutuskan masalah pernikahan bagi pengidap HIV/AIDS yang menghawatirkan berdampak pada keturunan mereka di kemudian hari.

Tapi tidak ada yang lebih memberatkan bagi orang yang sakit kecuali keputusasaan, “likulli daa-in dawaa-un” setiap penyakit ada penawarnya dan yang jelas bagi penderita semacam ini. Hukum menikahnya memang diserahkan langsung pada yang menjalaninya, karena antara nikah dan tidaknya hukumnya berkedudukan sama yaitu boleh.

7.      Hadirnya Wali pada Akad Nikah yang Diwakilkan

Dalam sebuah acara akad pernikahan, setelah wali mempelai wanita mewakilkan untuk menikahkan putrinya kepada salah seorang kepala KUA, tiba-tiba kepala KUA tersebut menyuruh ayah mempelai wanita tersebut untuk pergi dan jangan menyaksikan akad pernikahan tersebut. Dengan hati yang sedih ia pun pergi walaupun hatinya ingin sekali menyaksikan acara akad nikah putri semata wayangnya. Benarkan bila seorang wali telah mewakilkan akad nikah kepada orang lain maka ia tidak boleh menghadiri majlis akad nikah tersebut?

Tidak ada larangan bagi seorang wali yang telah mewakilkan akad nikah putrinya kepada orang lain untuk menghadiri majlis akad nikah bila ia hadir bukan sebagai saksi. Adapun bila ia mewakilkan nikah kepada orang lain kemudian ia hadir dalam akad nikah tersebut sebagai saksi (karena akad nikah tersebut hanya dihadiri oleh calon suami, wakil wali, wali, dan seorang saksi yang lain) maka akad nikah tersebut tidak sah, karena wakil wali merupakan pengganti wali maka wali tersebut tidak sah menjadi saksi.

Sebenarnya pemahaman yang keliru tentang hal ini muncul karena salah memahami nash dalam kitab Kifayat al-Akhyar halaman 135:

فلو وكل الولي والزوج أو أحدهما أو حضر الولي ووكيله وعقد الوكيل لم يصح النكاح لأن الوكيل نائب الولي والله أعلم

“Maka jikalau wali dan dan suami atau salah satu dari keduanya mewakilkan kepada orang lain atau hadir wali dan wakilnya dan dilangsungkan akad nikah maka tidak sah karena wakil adalah penggati wali.”

Sebenarnya maksud dari nash kitab Kifayat al-Akhyar tersebut adalah wali yang telah mewakilkan akad nikah tersebut hadir sebagai saksi seperti penjelasan di atas. Hal ini dikuatkan dengan memperhatikan nash-nash kitab fiqh Syafi’iyyah lainnya. Selain dari qaidah-qaidah fiqh kehadiran wali yang telah mewakilkan akad nikah tidaklah menjadi mani’ (penghalang) bagi sahnya sebuah akad nikah.

Nash kitab Hasyiyat al-Bajuri juz 2 halaman 102 cetakan Toha Putra:
فلو وكل الأب أو الأخ المنفرد فى العقد وحضر مع أخر ليكونا شاهدين لم يصح لأنه متعين للعقد فلا يكون شاهدافانه لا يصح لان وكيله نائب عنه فكأنه هو العاقد فكيف يكون شاهدا

Fatawa Ibnu Shalah juz 2 halaman 653 cetakan Dar al-Ma’rifah:
مسألة إذا وكل الولي بتزويج وليته وأحضر الولي شاهدا لا يصح لأن الوكيل نائبه في التزويج فكأنه أحضر شاهدا وعاقدا

Nihayat az-Zain halaman 306 cetakan Dar al-Fikr:
فلو وكل الأب أو الأخ المنفرد في النكاح وحضر مع شاهد آخر لم يصح النكاح لأنه ولي عاقد فلا يكون شاهدا كالزوج

Nash yang serupa juga terdapat dalam hampir semua kitab fiqh Syafi’i, seperti Fath al-Wahab juz 2 halaman 95, Hasyiyat I’anat ath-Thalibin juz 3 halaman 299 dan dalam Raudhat ath-Thalibin.

8.      Nikah Muhallil (Sementara)

Bagaimana hukumnya menikah yang diniati hanya untuk sementara, menikah hanya untuk membantu pasangan suami istri yang talak 3 kali setelah itu dicerai dan dikembalikan lagi ke suami yang pertama?

Pernikahan seperti ini hukumnya haram dan tidak sah, karena nikah tahlil termasuk macam dari nikah mut’ah. (Lihat dalam Asna al-Mathalib juz 3 halaman 157). Keharaman dan ketidaksahan ini jika niat talak atau nikah sementara disebutkan pada waktu akad nikah karena termasuk nikah mut’ah. Adapun jika tidak disebutkan maka hukumnya sah.

Sedangkan dalam I’anat ath-Thalibin juz 3 halaman 278 disebutkan:

ولا مع تأقيت معطوف على مع تعليق أي ولا يصح النكاح مع توقيته قال ع ش أي حيث وقع ذلك في صلب العقد أما لو توافقا عليه قبل ولم يتعرضا له في العقد لم يضر لكن ينبغي كراهته

Maksudnya adalah nikah seperti kasus di atas sah tetapi hukumnya makruh. Intinya jika penyebutan nikah sementara memakai jarak waktu itu disebutkan saat ijab qabul maka nikahnya tidak sah. Jika tidak disebutkan saat ijab qabul maka nikahnya sah. (Lihat juga dalam kitab yang sama yakni I’anat ath-Thalibin Juz 4 halaman 25, as-Siraj al-Wahhaj juz 1 halaman 375, Tuhfat al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib juz 4 halaman 136 dan halaman 328, Hasyiyat al-Jamal juz 8 halaman 108, Hawasyi asy-Syarwani juz 7 halaman 312, Nihayat az-Zain halaman juz 1 301, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah juz 4 halaman 832dan Mughni al-Muhtaj juz 3 halaman 183).

9.      Pernikahan Dini (Kawin Gantung)

Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia banyak diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun menikahi seorang anak gadis berusia 12 tahun. PernikahanSyeh puji diberitakan besar-besaran di media massa setelah digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.

Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.

Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad Saw. dengan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Siti Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.

Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktek pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haidh. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzhab Syafi’i.

Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkananaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hanbali). Pada madzhab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzhab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.

Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlak. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzhab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.

Dalam konteks Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.

Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.

Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.

Sesuai dengan hasil Bahtsul Masail PWNU 2010 di PP. Mambaul Hikam Mantenan Blitar dituliskan sebagai berikut:

Terjadi di beberapa daerah di Indonesia, anak lelaki kecil yang masih berumur sepuluh tahun dan masih duduk di bangku kelas empat SD, dikawinkan dengan anak perempuan yang masih kecil pula secara agama (syar’i), tetapi tidak didaftarkan ke kantor KUA. Perkawinan itu dilakukan untuk menggantung (mengikat) agar kelak dewasa tidak berjodoh dengan orang lain. Hal ini disebut dengan kawin gantung. Perkawianan itu diselenggarakan secara sah dan mengadakan resepsi (walimah). Kedua pengantin kecil didandani sebagaimana tradisi pengantin dalam walimah.

Pelaksanaan akad nikah dalam kawin gantung itu, ada yang secara langsung dengan ijab dan qabul yang diucapkan penganten pria kecil didampingi penganten perempuan kecil, adapula yang ijab dan qabulnya diwakilkan kepada pria dewasa. Setelah selesai akad nikah, kedua pengantin dilarang berkumpul hingga menginjak usia dewasa.

Seperti anak-anak lainnya, mereka juga kembali masuk sekolah seperti sebelumnya. Setelah keduanya dewasa dan memiliki kesiapan berumah tangga maka mereka dinikahkan kembali (tajdidunnikah) dengan didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA). Padahal dalam UU perkawinan dan UU perlindungan anak, anak di bawah umur 16 tahun tidak boleh dikawinkan. Dan pelanggaran terhadap UU itu dikenai sanksi pidana.

Pertanyaan:
a.       Bagaimana hukumnya melakukan kawin gantung?
b.      Berapa batas usia pernikahan baik bagi pria atau wanita?
c.       Apakah kawin gantung memiliki akibat hukum sebagaimana nikah pada umumnya, seperti kewajiban nafkah, kewajiban bagi istri taat kepada suami, halalnya bersetubuh, hak waris jika salah satunya meninggal, dan lain sebagainya?
d.      Apa kewajiban kita jika pandangan fiqh Islam berbeda dengan UU, seperti batas usia perkawinan?
e.       Bagaimana hukumnya melakukan pernikahan yang diulang (tajdidi an-nikah)?

Jawaban:
a.       Diperbolehkan, apabila ada mashlahat dan persyaratan dilakukan di luar akad.
b.      Terjadi perbedaan ulama, ada yang tidak membatasi umur dan sebagian ulama membatasi dengan usia baligh, sebagaimana Ibn Syabramah dll.
c.       Benar, hanya dalam prakteknya wali yang harus menangani.
d.      Mencoba mencari solusi terbaik dan paling mashlahat.
e.       Khilaf, menurut Imam al-Ardalbily hukum nikah kedua adalah sah karena dalam akad kedua terjadi إقرار بالفرقة. Namun menurut Imam Ibn Hajjar nikah kedua hanya dikatakan sebatas akad sandiwara (صورة عقد). Sedangkan konskuensinya tidak merusak akad yang pertama menurut qaul shahih.

Referensi: Al-Fiqh al-Islamiy juz 9 halaman 171-174 dan 6688 dan Nail al-Authar juz 6 halaman 144

10.  Nikah dengan Jin

Di atas pentas ilmiah barangkali kita sudah biasa mendengar istilah kawin lintas agama berikut urgensitas hukum-hukumnya.Namun bagaimanakah urgensitas hukum kawin lintas alam, yakni kedua pasangan bukan dari alam yang sama, seperti seorang pemuda dari bangsa manusia menyunting gadis dari bangsa jin atau sebaliknya?

Dalam literatur klasik (fiqh), wacana perkawinan lintas alam ini masih menjadi perdebatan antar ulama. Akan tetapi, perdebatan ini hanya meruang seputar masalah apakah sama-sama jenis manusia, menjadi klausul (syarat) dalam keabsahan nikah. Menurut Imad bin Yûnus yang didukung oleh Ibn Abdissalam, pernikahan manusia dengan jin hukumnya haram dan tidak sah karena berbeda jenis makhluk. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah Swt.:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu.” (QS. an-Nahl ayat 72).

Dalam ayat ini Allah telah menjadikan pasangan manusia dari bangsa manusia sendiri agar manusia bisa sempurna merasakan kedamaian bersama pasangannya. Apabila pasangan bukan dari bangsa sendiri, niscaya kedamaian itu tidak akan dirasakan manusia. Versi ini juga menyitir sebuah hadits Rasulullah Saw. yang melarang nikah dengan bangsa jin: “Rasûlullah Saw. melarang menikahi jin.”

Sedangkan menurut al-Qamuly, pernikahan manusia dengan jin hukumnya sah namun makruh, dan qaul inilah yang dinilai mu’tamad oleh ar-Ramly. Versi ini mengatakan bahwa pernikahan lintas alam juga menjanjikan kedamaian kendati tidak optimal, dan larangan dalam hadits tersebut bukan bermakna haram melainkan sekedar makruh. Versi ini juga diperkuat dengan fakta bahwa bangsa jin juga terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan layaknya bangsa manusia, bahkan jin juga disebut oleh Nabi sebagai “ikhwanuna” (kawan kita). Dan juga diperkuat lagi oleh sejarah perkawinan Nabi Sulaimân dengan Bilqis yang merupakan anak dari pasangan jin dan manusia. Tak menutup kemungkinan dari ulama selain yang disebutkan memiliki pendapat yang berbeda.

Referensi: Al-Majmu’ juz 16  halaman 242, al-Muhadzdzab juz 2  halaman 445, Asna al-Mathalib juz 3 Halaman 393, al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 188-189, Bughyat al-Mustarsyidin halaman 418, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah juz 16 halaman 272-273 dan juz 29 halaman 337.




Ibarat Arab

al-Majmu’ juz 16  halaman 242
فرع :إذا زنت المرأة لم يجب عليها العدة، سواء كانت حائلا أو حاملا، فإن كانت حائلا جاز للزاني ولغيره عقد النكاح عليها وإن حملت من الزنا فيكره نكاحها قبل وضع الحمل، وهو أحد الروايتين عن أبى حنيفه رضى الله عنه وذهب ربيعه ومالك والثوري وأحمد وإسحاق رضى الله عنهم إلى أن الزانيه يلزمها العدة كالموطوءة بشبهه، فإن كانت حائلا اعتدت ثلاثه أقراء، وإن كانت حاملا اعتدت بوضع الحمل، ولا يصح نكاحها قبل وضع الحمل. قال مالك رضى الله عنه: إذا تزوج امرأة ولم يعلم أنها زانيه ثم علم أنها حامل من زنا فإنه يفارقها، فإن كان قد وطئها لزمه مهر المثل. وقال ربيعه: يفارقها ولا مهر عليه. وذهب ابن سيرين وأبو يوسف رضى الله عنهما إلى أنها ان كانت حائلا فلا عدة عليها، وإن كانت حاملا لم يصح عقد النكاح عليها حتى تضع وهى الرواية الاخرى عن أبى حنيفه
دليلنا قوله تعالى (وأحل لكم ما وراء ذلكم) وقوله صلى الله عليه وسلم (لا يحرم الحرام الحلال) والعقد على الزانيه كان حلالا قبل الزنا وقبل الحمل فلا يحرمه الزنا. وروى أن رجلا كان له ابن تزوج امرأة لها ابنة ففجر الغلام بالصبيه، فسألهما عمر رضى الله عنه فأقرا فجلدهما وحرص أن يجمع بينهما بالنكاح فأبى الغلام ولم ير عمر رضى الله عنه انقضاء العدة، ولم ينكر عليه أحد، فدل على أنه اجماع ولانه وطئ لا يلحق به النسب، أو حمل لا يلحق بأحد فلم يمنع صحة النكاح كما لو لم يوجد

al-Muhadzdzab juz 2  halaman 445
ويجوز نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه

Asna al-Mathalib juz 3 Halaman 393
فرع: يجوز نكاح الحامل من الزنا، وكذا وطؤها كالحائل) إذ لا حرمة له

al-Hawi al-Kabir juz 9 halaman 188-189
قال الماوردي: اعلم أننا نكره للعفيف أن يتزوج بالزانية ونكره للعفيفة أن تتزوج بالزاني لعموم قوله تعالى: {الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها} الآية (النور: 3) ولما روي عن النبي - صلى الله عليه وسلم  - أنه قال: فعليك بذات الدين تربت يداك

Bughyat al-Mustarsyidin halaman 418
مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة

al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah juz 16 halaman 272-273
واختلف الفقهاء في صحة نكاح الحامل من زنى: -إلى أن قال- وذهب الشافعية وأبو حنيفة ومحمد إلى أنه يجوز نكاح الحامل من الزنى؛ لأن المنع من نكاح الحامل حملا ثابت النسب لحرمة ماء الوطء، ولا حرمة لماء الزنى بدليل أنه لا يثبت به النسب؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: الولد للفراش وللعاهر الحجر. ولا تشترط التوبة لصحة نكاح الزانية عند جمهور الفقهاء؛ لما روي أن عمر ضرب رجلا وامرأة في الزنى وحرص على أن يجمع بينهم
واشترط الحنابلة التوبة لجواز نكاح الحامل من الزنى لقوله تعالى: {الزانية لا ينكحها إلا زان} . . . إلى قوله: {وحرم ذلك على المؤمنين} وهي قبل التوبة في حكم الزنى، فإذا تابت زال ذلك؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: التائب من الذنب كمن لا ذنب له .ومع القول بجواز نكاح الحامل من الزنى فلا فرق في حل نكاحها للزاني وغيره.
واتفق الفقهاء على أن الحامل إذا تزوجت بغير من زنى بها لا يجوز وطؤها حتى تضع؛ لما روي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسقين ماءه زرع غيره " وتفصيله في مصطلحات: (عدة، نكاح، زنى) .
وإذا تزوجها من له الحمل جاز له وطؤها عند من يجوزون نكاحها (4

al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah juz 29 halaman 337
عدة الزانية
اختلف الفقهاء في عدة الزانية على ثلاثة أقوال: القول الأول: ذهب الحنفية والشافعية والثوري إلى أن الزانية لا عدة عليها، حاملا كانت أو غير حامل وهو المروي عن أبي بكر وعمر وعلي رضي الله عنهم، واستدلوا بقول الرسول صلى الله عليه وسلم: الولد للفراش وللعاهر الحجر (1) ولأن العدة شرعت لحفظ النسب، والزنا لا يتعلق به ثبوت النسب، ولا يوجب العدة.
وإذا تزوج الرجل امرأة وهي حامل من الزنا جاز نكاحه عند أبي حنيفة ومحمد، ولكن لا يجوز وطؤها حتى تضع، لئلا يصير ساقيا ماءه زرع غيره، لقول الرسول صلى الله عليه وسلم لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره (2) وقوله صلى الله عليه وسلم لا توطأ حامل حتى تضع (3) فهذا دليل على امتناع وطئها حتى تضع حملها.
خلافا للشافعية الذين يقولون بجواز النكاح والوطء للحامل من زنا على الأصح، إذ لا حرمة له

Al-Fiqh al-Islamiy juz 9 halaman 171-174 dan 6688 dan Nail al-Authar juz 6 halaman 144
1. الفقه الإسلامي الجزء التاسع صحـ 171
المبحث الأول أهلية الزوجين: يرى ابن شبرمة وأبو بكر الأصم وعثمان البتي رحمهم الله أنه لا يزوج الصغير والصغيرة حتى يبلغا لقوله تعالى:(حتى إذا بلغوا النكاح) (النساء:6/) فلو جاز التزويج قبل البلوغ لم يكن لهذا فائدة ولأنه لا حاجة بهما إلى النكاح ورأى ابن حزم أنه يجوز تزويج الصغيرة عملاً بالآثار المروية في ذلك. أما تزويج الصغير فباطل حتى يبلغ، وإذا وقع فهو مفسوخ (1) ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون.

الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء واستدلوا عليه بما يأتي (2) :

1 - بيان عدة الصغيرة ـ وهي ثلاثة أشهر ـ في قوله تعالى: (واللائي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم، فعدتهن ثلاثة أشهر واللائي لم يحضن) (الطلاق:4/65) فإنه تعالى حدد عدة الصغيرة التي لم تحض بثلاثة أشهر كاليائسة، ولا تكون العدة إلا بعد زواج وفراق، فدل النص على أنها تزوج وتطلق ولا إذن لها.

2 - الأمر بنكاح الإناث في قوله تعالى: (وأنكحوا الأيامى منكم) (النور:32/24) والأيم: الأنثى التي لا زوج لها، صغيرة كانت أو كبيرة .

3 - زواج النبي بعائشة وهي صغيرة فإنها قالت: «تزوجني النبي وأنا ابنة ستٍ وبنى بي وأنا ابنة تسع» (1) وقد زوجها أبوها أبو بكر رضي الله عنهما. وزوج النبي صلّى الله عليه وسلم أيضاً ابنة عمه حمزة من ابن أبي سلمة وهما صغيران.

4 - آثار عن الصحابة: زوَّج (أي عقد) علي ابنته أم كلثوم وهي صغيرة من عروة بن الزبير وزوج عروة بن الزبير بنت أخيه من ابن أخيه وهما صغيران ووهب رجل بنته الصغيرة لعبد الله بن الحسن بن علي فأجاز ذلك علي رضي الله عنهما وزوجت امرأة بنتاً لها صغيرة لابن المسيب بن نخبة، فأجاز ذلك زوجها عبد الله ابن مسعود رضي الله عنه.

5 - قد تكون هناك مصلحة بتزويج الصغار، ويجد الأبُ الكفءَ، فلا يفوت إلى وقت البلوغ وهناك رواية: معقولة: وهي بنت ثلاث عشرة.

2. الفقه الإسلامي الجزء التاسع صحـ 174

وكذلك اشترط الشافعية في تزويج الصغير وجود المصلحة وفي تزويج الأب الصغيرة أو الكبيرة بغير إذنها شروطاً سبعة هي: (الأول) ألا يكون بينه وبينها عداوة ظاهرة (الثاني) أن يزوجها من كفء (الثالث) أن يزوجها بمهر مثلها (الرابع) أن يكون من نقد البلد (الخامس) ألا يكون الزوج معسراً بالمهر (السادس) ألا يزوجها بمن تتضرر بمعاشرته كأعمى وشيخ هرم (السابع) ألا يكون قد وجب عليها الحج فإن الزوج قد يمنعها لكون الحج على التراخي ولها غرض في تعجيل براءتها، ويجوز أن يزوج الصغير أكثر من واحدة.

3. الفقه الإسلامي الجزء التاسع صحـ 6688

موقف القانون السوري من زواج الصغير والمجنون أخذ القانون السوري بما يخالف رأي الجمهور في زواج الصغار والمجانين بالاعتماد على مبدأ الاستصلاح فأخذ برأي ابن شبرمة ومن وافقه في عدم صحة زواج الصغار مراعاة لأوضاع المجتمع وتقديراً لمخاطر مسؤوليات الزواج. ولم يصحح القانون زواج المجنون أو المعتوه مطلقاً إلا إذا ثبت طبياً أن زواجه يفيد في شفائه فللقاضي الإذن بالزواج. وهذا ما نصت عليه المادة (15): 1- يشترط في أهلية الزواج العقل والبلوغ.2-للقاضي الإذن بزواج المجنون والمعتوه إذا ثبت بتقرير هيئة من أطباء الأمراض العقلية أن زواجه يفيد في شفائه. سن البلوغ: كذلك أخذ القانون السوري بما يخالف رأي جمهور الفقهاء في تحديد سن البلوغ ففي الأحوال المدنية أو الشؤون المالية نص القانون المدني (م 2/46) على أهلية الشخص الطبيعي وهي بلوغ سن الثامنة عشرة للذكر والأنثى على السواء عملاً بمبدأ الاستصلاح. ونص المادة هو

1- كل شخص بلغ سن الرشد متمتعاً بقواه العقلية ولم يحجر عليه يكون كامل الأهلية لمباشرة حقوقه المدنية.

2- وسن الرشد: هي ثماني عشرة سنة ميلادية كاملة. أما في الأحوال الشخصية أو الزواج: فقد نص قانون الأحوال الشخصية على أن أهلية الفتى ثمانية عشر عاماً والفتاة سبعة عشر عاماً. وذلك في المادة (16) وهي:تكمل أهلية الزوج في الفتى بتمام الثامنة عشرة وفي الفتاة بتمام السابعة عشرة من العمر.لكن أجاز هذا القانون أيضاً للقاضي: أن يأذن بزواج الفتى بعد إكماله سن الخامسة عشرة والفتاة بعد إكمالها سن الثالثة عشرة إذا طلبا الزواج وادعيا البلوغ وتبين له صدقهما في ادعاء البلوغ. وهذا مراعاة لمصلحة الشباب في التبكير بالزواج صوناً لهم عن الانحراف.ونص القانون (م 18) ما يأتي:1- إذا ادعى المراهق البلوغ بعد إكماله الخامسة عشرة أو المراهقة بعد إكمالها الثالثة عشرة وطلبا الزواج يأذن به القاضي إذا تبين له صدق دعواهما واحتمال جسميهما.2- إذا كان الولي هو الأب أو الجد اشترطت موافقته.أما رأي فقهائنا في سن الزواج: فإنهم اتفقوا على عدم انعقاد زواج الصغير غير المميز أما الصبي المميز فينعقد زواجه موقوفاً عند الحنفية على إجازة وليه ويبطل زواجه كسائر عقوده عند الجمهور وإنما يزوجه وليه فإذا بلغ خمسة عشر عاماً تزوج بنفسه وعند أبي حنيفة إذا بلغ سن الثامنة عشرة.

Sya’roni As-Samfuriy, Cibitung Bekasi 26 Juli 2013
Share this article :

5 komentar:

  1. assalammualaikum
    mau sdkt bertanya bila seoranh hadis di nikah paksa oleh ayahnyq tpi gadis itu tidak suka mau menolak tapi gak berani bilang hanya bisa pasrah,sampai ci gadis itu sok n sedih bahkan ingin membrontak tapi tdk berani karena takut jdi istri durhaka
    tolong ana mintak dikasih jawabanya
    syukron katsir y usdad

    BalasHapus
  2. afwan tlsnnya blepotan
    assalammualaikum
    mau sdkt bertanya bila seoranh gadis di nikah paksa oleh ayahny tpi gadis itu tidak suka mau menolak tapi gak berani bilang hanya bisa pasrah,sampai ci gadis itu sok n sedih bahkan ingin membrontak tapi tdk berani karena takut jdi istri durhaka
    tolong ana mintak dikasih jawabanya
    syukron katsir y usdad

    BalasHapus
  3. Pertama, orangtua harus bijak. Kedua, sebgai anak harus bisa membangun komunikasi yang akrab dengan orangtua. Ketiga, jika sudah mengutarakan tetapi orangtua tetap tidak menyetujui alias harus sesuai keinginan mereka, maka sama halnya segala yang akan terjadi orangtua juga akan menanggung akibatnya bukan sj si anaknya tersebut. Tetap berupaya jadi orangtua yang bijak dan anak yang taat dan berbvakti pada orangtuanya.

    BalasHapus
  4. syukron atas pnjelasanya usdad

    BalasHapus

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template