Cara Menyikapi Perbedaan Madzhab
Dalam kamus fikih,
Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu
dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang
bersifat kasuistik [1].
Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir madzhab fikih.
Dalam perkembangannya,
istilah madzhab juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga
akidah dan politik. Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh
al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh
al-Islâmi [2]. Lebih
jauh beliau menegaskan, bahwa semua madzhab tersebut masih merupakan bagian
dari madzhab Islam. Beliau kemudian melakukan klasifikasi, antara lain, madzhab
politik, seperti Syiah dan Khawarij; bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan
Murjiah [3]. Kemudian madzhab
akidah seperti Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah,
Salafiyah dan Wahabiyah [4].
Adapun mazdhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah,
Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah. [5]
Meski demikian, tetap
harus dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat
Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sekali lagi,
tidak demikian. Sebab, perbedaan madzhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat
Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Disamping itu, perbedaan
tersebut merupakan keniscayaan faktual dan syar‘i.
Secara faktual,
potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas
berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang
bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah.
Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi
—yang nota bene berbahasa Arab— mempunyai potensi multiinterpretasi (ta’wîl),
baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i,
dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nash-nash syariah tersebut ada
yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadits Mutawatir, dan ada yang dzanni,
seperti Hadits Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan
terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun,
tidak demikian dengan sumber yang dzanni. Hal yang sama juga terjadi dalam
konteks dilâlah nash-nash syariah tersebut. Sekalipun
nash-nash tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya tidak
selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah
qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi
bagaimana dengan dilâlah dzanniyyah.? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa
disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam madzhab
itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan
tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya,
potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas
dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan.
Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak
menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i
tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung
diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok
secara simultan.
Islam, misalnya,
menetapkan sejumlah kaidah dan ketentuan:
1.
Dalam konteks nash-nash syariah yang qath‘i tsubut dan qath‘i
dilâlah, seperti al-Quran dan Hadits Mutawatir yang maknanya qath‘i, baik dalam masalah akidah
maupun hukum syariah, atau ushûl dan furû‘, tidak boleh
ada perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini
hukumnya haram.
2.
Berbeda pendapat dibolehkan oleh Islam dalam konteks nas-nas syariah yang dzanni,
baik dengan qath‘i tsubût dengan dzanni dilâlah,
seperti al-Quran dan Hadits Mutawatir yang maknanya dzanni, maupun zhanni tsubût dengan qath‘i
dilâlah, seperti Hadits Ahad yang bermakna qath‘i.
3.
Pemultitafsiran (ta’wîl) nash-nash syariah tetap dibolehkan, tetapi harus
dalam koridor dilâlah yang ditunjukkan oleh nash serta sesuai
dengan kaidah dan metode memahami dan istinbâth yang
dibenarkan oleh syariah.
4.
Pandangan yang dihasilkan oleh semua madzhab dianggap benar, dengan catatan
tetap mempunyai potensi salah.
5.
Mengikuti pandangan madzhab tersebut tidak dalam kerangka untuk memastikan
seratus persen pandangan tersebut benar dan salah, melainkan dalam kerangka
tarjîh dan ghalabat dzann. Dengan kata lain, kita mempunyai dugaan kuat, bahwa
hukum yang kita ambil dan ikuti dalam masalah tertentu adalah hukum Allah bagi
kita, dan juga orang yang menyatakannya, terlepas dari siapa yang
menyatakannya. Namun, jika kemudian terbukti salah, hukum itu pun dianggap
marjûh dan lemah sehingga ketika itu harus ditinggalkan.
6.
Itulah, mengapa semua madzhab Islam tersebut pada dasarnya madzhabnya satu,
yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Bahkan tidak satu pun diantara mereka mengklaim
dirinya, kecuali dengan menyatakan:
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ
وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
"Pendapat saya benar namun berpotensi
salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu salah, namun berpotensi benar".
Mereka pun saling
memuji satu sama lain; mereka saling menerima alasan dan argumentasi satu sama
lain. Yang yunior menggambarkan yang senior sebagai bintang dan tetap bersikap
tawadhu‘ terhadap seniornya. Sikap-sikap ini dan juga sikap serupa yang lainnya
telah menerangi pikiran dan menguatkan ikatan batin mereka. Namun, sikap ini
tidak lagi diwarisi oleh para pengikut mereka. Ijtihad pun mereka tutup. Madzhab
pun dibatasi hanya empat. Padahal masih banyak ulama yang mampu berijtihad dan
membangun madzhab sendiri. Sikap inilah yang menyebabkan lahirnya sikap
fanatisme mazdhab. Dengan kata lain, fikih dan fuqaha’-nya dijadikan layaknya
monumen.
Tindakan memonumenkan
fikih dan fuqaha’ itu melahirkan sikap, bahwa fikihnyalah yang diklaim paling
benar, sedangkan yang lain salah; fuqaha’-nya juga dianggap sebagai yang paling
hebat, sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini bisa berubah menjadi
fanatisme madzhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya dalam tindakan
mengkafirkan atau menyesatkan fikih dan fuqaha’ lain, berikut para pengikutnya.
Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan madzhabnyalah yang
benar. Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik di
kalangan pengikut madzhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut
Hanafi dan Syafii pada masa lalu.
Realitas ini hingga
kini pun masih terjadi. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan, ketika penyakit
seperti ini diderita oleh para ulama, bukan hanya orang awam.
Satu-satunya solusi
untuk menyembuhkan penyakit seperti ini adalah dengan memposisikan fikih dan
fuqaha’ pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama digariskan oleh syariah
dan dijewantahkan oleh para Sahabat. Dengan posisi tersebut, tak ada satu pun
fikih dan fuqaha’ yang dilebihkan satu sama lain. Sebab, mereka masing-masing
adalah mujtahid. Masing-masing akan mendapatkan pahala dan harus diberi ucapan
selamat, ketika benar, dan tetap mendapatkan pahala, dan harus dimaafkan, jika
kemudian terbukti salah. Pada titik inilah as-Suyuthi menyatakan:
"Aneh, ada orang yang mengagung-agungkan sebagian madzhab melebihi
yang lain. Pengagungan ini yang menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat madzhab
yang dikalahkan, bahkan kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam.
Lahirlah kemudian fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama
bersih dari perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furû‘ tersebut
benar-benar telah terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik.
Namun, tak satu pun diantara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain,
juga menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya". [6]
Para Sahabat —ridhwânullâh ‘alayhim— adalah fuqaha’
pertama, bahkan penghulu para fuqaha’. Terhadap mereka, Rasulullah Saw. menyatakan:
أَصْحَابِي كَالنُّجُوُمِ، بِأَيِّهِمْ
اقْتَدَيْتُمْ، اِهْتَدَيْتُمْ
"Para Sahabatku bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka
kalian ikut, maka pasti kalian akan mendapatkan petunjuk". (HR ad-Daruquthni dan al-Khathib) [7]
Demikian halnya dengan
fuqaha’ setelah mereka. Mereka bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara
mereka, jika kita ikuti, maka kita pun insya Allah akan mendapatkan petunjuk.
Tentu, selama mereka berpegang teguh dan terikat kepada syariah.
Pandangan inilah yang
terbukti telah menyatukan umat Islam dan tetap menjadikan loyalitas seorang
Muslim hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan yang lain. Karenanya, perbedaan
di kalangan fuqaha’ adalah rahmat dan memudahkan umat. Jika perbedaan tersebut
diposisikan pada posisinya yang sahih hingga bisa memerankan peranan yang
positif dan sehat, pasti perbedaan madzhab tersebut akan menghasilkan kekayaan
intelektual dan syariah, yang justru menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi
setiap Muslim. Wallâhu a‘lam.
Catatan kaki:
[1] Prof. Dr. Rawwas
Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat
al-Fuqaha’, ed. Dr. Hamid Shadiq Qainabi, Dar an-Nafa’is, Beirut,
cet. I, 1996, hlm. 389.
[2] Prof. Dr. Abu
Zahrah, Tarikh al-Madzahib
al-Islamiyyah fi as-Siyasah, wa al-‘Aqaid wa Tarikh al-Fiqh al-Islami,
Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t., hlm. 3.
[3] Ibid, hlm. 32 dan 58.
[4] Ibid, hlm. 96-194.
[5] Ibid, hlm. 345-698.
[6] Lihat:
As-Suyuthi, dalam Jazil
al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Madzahib, hlm. 21-23.
[7] Lihat: Ibn Hajar
al-Asqalani, Lisan al-Mizan,
Mu’assasah al-A’la li al-Mathbu’at, Beirut, juz II, hlm. 118, 137
dan 312.
Sya’roni
as-Samfuriy, 17 Muharram 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar