Home » » Al-Qur’an Membuka “Borok” Yahudi dan Menjelaskan Kesesatan Mereka

Al-Qur’an Membuka “Borok” Yahudi dan Menjelaskan Kesesatan Mereka

Written By MuslimMN on Minggu, 02 September 2012 | 03.29


Al-Qur’an Membuka “Borok” Yahudi dan Menjelaskan Kesesatan Mereka


Al-Qur’an al-Karim yang diturunkan kepada Rasul terakhir Muhammad Saw. menyebutkan tentang Yahudi dan menjelaskan “Borok” serta kesesatan mereka dalam beberapa surat maupun ayat, terutama ayat-ayat yang memuat tentang pendustaan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an, pembunuhan terhadap para Nabi dan orang-orang mukmin.
Dengan demikian mereka adalah musuh-musuh Allah, para nabiNya dan musuh-musuh orang-orang mukmin. Kekufuran mereka tidak perlu diperdebatkan lagi terutama bagi orang-orang yang memiliki pemahaman dan keimanan sebagaimana hal tersebut diterangkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an dan akan kita sebutkan sebagiannya saja.
Dalam surat al-Baqarah ayat 61 Allah ta’ala berfirman tentang Yahudi: “Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan, demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”
Dalam surat Ali ‘Imran ayat 21 Allah Azza wajalla berfirman tentang mereka: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka berilah mereka kabar gembira bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.”
Allah juga berfirman dalam surat al-Maidah ayat 78: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
Allah juga berfirman dalam surat al-Maidah ayat 82: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.”
Setelah penjelasan tentang status Yahudi di dalam al-Qur’an, berikut ini perbandingan antara aqidah Yahudi dan aqidah neo-khawarij (Wahabiyah) dan yang seaqidah dengan mereka. Semuanya akan dibahas beserta referensi dari kitab-kitab, media cetak dan bulletin-buletin mereka dilengkapi dengan nama kitab, pengarang, penerbit dan nomor halaman serta tanggal penerbitannya. Sehingga kita obyektif dalam menilai mereka berdasarkan apa yang terlontar dari mulut mereka, hasil karya pena-pena mereka dan didanai oleh harta mereka serta dikampanyekan oleh para pengikut mereka.
Sebelum kita memulai menjelaskan Aqidah Yahudi musuh Allah, dan aqidah Wahabiyah, kita mulai dengan pasal pertama yang memaparkan tentang aqidah para nabi, para malaikat, para wali dan mayoritas umat Islam, sebagai peringatan sekaligus perisai bagi para pembaca dari aqidah-aqidah yang menyimpang. Semoga kita senantiasa mendapatkan petunjukNya hingga meninggal dunia. Aamiin.

Aqidah Munjiyah (Aqidah Penyelamat)
Ketahuilah bahwa aqidah umat Islam baik yang salaf maupun khalaf meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala pencipta alam semesta ini. Allah tidak membutuhkan selainNya lagi Maha Kaya dari segala sesuatu. Setiap kita membutuhkan kepada Allah, dalam sekecil apapun pasti kita membutuhkan pertolonganNya. Allah ta’ala tidak membutuhkan seorangpun dari makhlukNya. Allah tidak mengambil manfaat dari ketaatan hambaNya dan juga tidak takut bahaya atas kemaksiatan mereka. Tuhan kita tidak membutuhkan tempat untuk ditempati, Dia bukan jisim dan bukan jauhar (benda).
Setiap gerakan, diam, pergi, datang, berada pada tempat, berkumpul dan berpisah, dekat dan jauh dari segi jarak, melekat dan berpisah, berbentuk, jasad, gambar, bertempat, ukuran, sisi-sisi, batas akhir dan arah seluruhnya tidak boleh disifatkan pada Allah ta’ala, karena keseluruhannya mengharuskan ukuran, batas akhir dan bentuk sedangkan sesuatu yang memiliki ukuran atau bentuk pasti makhluk. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Qamar ayat 49: “Dan segala sesuatu diciptakan Allah dengan ada ukurannya.”
Setiap sesuatu yang terbersit dalam benak berupa panjang, lebar, kedalaman, warna, dan bentuk maka niscaya Pencipta alam semesta berbeda dengan itu semua. Allah ta’ala mustahil mempunyai sifat yang sama dengan sifat benda, ukuran, dan tempat karena Dzat yang tidak ada serupaannya tidak boleh dikatakan bagaimana Dia, Dzat yang tidak memiliki bilangan tidak dikatakan berapa Dia, Dzat yang tidak ada permulaan baginya tidak dikatakan tentangnya dari apa Dia, dan Dzat yang ada tanpa tempat tidak dikatakan di mana Dia.
Sesungguhnya Dzat yang menciptakan tempat tidak dikatakan di mana, dan Dzat yang menciptakan sifat makhluk tidak dikatakan bagaimana. Allah ta’ala Maha Suci dari sifat membutuhkan, lemah, dan sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan. Maha Suci dari anggota badan dan alat, anggota badan yang kecil (lisan, mata, telinga dll), diam, bergerak, tidak layak bagi Allah ukuran dan batasan, Allah tidak diliputi oleh bumi-bumi ataupun langit-langit, tidak boleh bagiNya warna dan persentuhan dan tidak berlaku baginya zaman dan waktu. Allah tidak berlaku bagiNya berkurang dan bertambah, tidak diliputi oleh arah yang enam sebagaimana yang dimiliki keseluruhan makhluk. Allah ada tanpa batasan, disifati tanpa sifat makhluk, tidak tergambarkan oleh benak, Dzat yang tidak dapat dipikirkan oleh akal, dan tidak menyerupai manusia. Dia ada tanpa ada yang menyerupaiNya satupun dari makhlukNya, tidak ada sekutu bagiNya.
Allah subhanahu wata’ala Pencipta alam semesta seluruhnya, alam atas dan bawah, bumi dan langit, Maha Kuasa terhadap sesuatu yang dikehendakiNya, melakukan sesuatu berdasarkan apa yang Ia kehendaki, ada sebelum adanya makhluk tidak ada bagiNya sebelum dan tidak setelah, tidak berada di atas juga tidak di bawah, tidak di kanan juga tidak di kiri, tidak di depan dan tidak di belakang, bukan keseluruhan juga bukan sebagian, tidak berukuran panjang dan tidak lebar.
Allah ada tanpa tempat, Dialah yang menciptakan alam dan mengatur zaman, tidak berada pada satu tempat dan tidak terikat oleh zaman Allah tidak mempunyai batasan sehingga dapat dibatasi, bukan sesuatu yang bisa diraba sehingga bisa disentuh, Dia tidak bisa dipegang, disentuh dan diraba. Setiap sifat pada jisim dan benda mustahil bagi Allah ta’ala. Dan setiap sifat yang termaktub dalam al-Qur’an atau as-Sunnah sebagai sifat Allah ta’ala maka kita meyakininya sebagaimana adanya dengan makna yang layak bagi Allah ta’ala tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa serupaan. Tidak diperbolehkan memahami ayat dan hadits mutasyabihat secara dzahirnya, barangsiapa yang melakukan itu maka ia telah mendustakan al-Qur’an dan keluar dari ijma’ umat Islam.
Syaikh al-Islam al-Hafidz al-Baihaqi mengatakan tentang hal itu: “Secara umum wajib diketahui bahwa istiwa’ Allah subhanahu wata’ala bukanlah istiwa’ lurus dari bengkok, tidak bersemayam pada suatu tempat, dan tidak menempel pada sesuatu dari makhlukNya akan tetapi Allah istawa ‘ala al-‘Arsy sebagaimana Dia kabarkan tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa tempat. Maji’Nya bukan datang dari satu tempat ke tempat lain dan bukan bergerak. Nuzulnya bukan dengan berpindah, DzatNya bukanlah jisim, wajhNya bukanlah bentuk/gambar, yadNya bukanlah anggota badan dan bahwa ‘ainNya bukanlah kelopak mata. Sifat-sifat ini tauqifi, maka kita mengimaninya dan menafikan penyerupaannya dengan sifat makhluk. Allah ta’ala telah berfirman: “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dari satu segi maupun semua segi.” (QS. asy-Syura ayat 11). Allah juga berfirman: “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlash ayat 4). Allah juga berfirman: “Tidak ada serupa bagi-Nya (Allah).” (QS. Maryam ayat 65).” (Lihat al-Baihaqi dalam al-I’tiqad wa al Hidayah halaman 72).
Qadhi ‘Iyadh al-Maliki menyebutkan bahwasanya tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam seluruhnya baik ahli fikihnya, ahli haditsnya, ahli kalamnya, yang berilmu dan atau yang hanya muqallid bahwa makna-makna dzahir ayat yang menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta’ala dalam surat al-Mulk ayat 16 dan semacamnya, bukan diartikan secara dzahirnya, akan tetapi harus ditakwil sebagaimana ijma’ para ulama. (Disebutkan oleh an-Nawawi dalam Syarh Muslim juz 5 halaman 24).
Ibn al-Jauzi al-Hanbali berkata: “Yang diserupakan adalah sesuatu yang memiliki serupaan, ditanya bagaimana bagi yang mempunyai kaif (sifat makhluk) dan itu mustahil bagi Allah, bagaimana mungkin dapat dibayangkan dan dipikirkan.” Beliau juga mengatakan: “Tidaklah mengenal Allah orang yang mensifatiNya dengan sifat makhluk, tidaklah metauhidkanNya orang yang menyerupakanNya, tidaklah menyembahNya orang yang menyekutukanNya, orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya bagaikan orang yang tidak melihat di malam hari dan orang yang mengingkariNya bagaikan orang buta.” (Lihat Ibn al-Jauzi al-Hanbali dalam al-Mudhisy halaman 131).
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyah juz 2 halaman 259 disebutkan: “Orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta’ala maka ia telah kafir.”
Dalam kitab al-Minhaj al-Qawim Syarh Syihab ad-Din Ahmad Ibn Hajar al-Haitami ‘ala al-Muqaddimah al-Hadhramiyah halaman 224 disebutkan: “Dan ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya meriwayatkan dari asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah Ra. berpendapat atas kekufuran orang-orang yang mengatakan Allah berarah dan berjisim dan mereka benar dalam hal itu.”
Senada dengan pernyataan di atas, perkataan imam Ja’far ash-Shadiq Ra. Yang disebutkan oleh al-Qusyairi dalam Risalahnya:  “Barang siapa yang menyangka bahwa Allah dalam sesuatu atau di atas sesuatu atau dari sesuatu maka dia telah syirik karena apabila berada di dalam sesuatu maka Ia terbatas dan apabila di atas sesuatu berarti Ia terangkat dan apabila dari sesuatu maka Ia makhluk.”
Inilah aqidah yang benar, ijma’ ulama dalam hal ini juga dikutip oleh al-Imam al-Haramain Abul Ma’ali Abdul Malik dalam kitabnya al-Irsyad halaman 58, dia mengatakan: “Madzhab Ahlussunnah seluruhnya bahwa Allah subahanahu wata’ala Maha Suci dari tempat dan dari berada pada arah.”
Al-Imam al-Kabir Abdul Qahir ibn Thahir at-Tamimi al-Baghdadi mengatakan: “Dan mereka (Ahlussunnah) telah berijma’ bahwasanya Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak berlaku bagiNya zaman.” (Lihat Abdul Qahir al-Baghdadi dalam al-Farq bain al-Firaq halaman 333).
Al-Hafidz Abul Hasan al-Asy’ari Ra., imam Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan dalam kitabnya an-Nawadir: “Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah itu jisim maka dia tidak mengenal Tuhannya dan dia kafir kepadaNya.”
Al-Imam al-Mutawalli asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Ghunyah mengatakan: “Atau menetapkan sifat yang dinafikan dari Allah secara ijma’ seperti warna atau menetapkan ittishal (menempel) dan infishal (berpisah) pada Allah maka dia kafir.” (Disebutkan oleh an-Nawawi dalam ar-Raudhah juz 10 halaman 64).
Gurunya para guru sufi dan ulamanya ahli hakikat dan tarekat Sayyid Ahmad ar-Rifa’I al-Kabir mengatakan dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad: “Batas akhir ma’rifat kepada Allah adalah meyakini tanpa ragu akan adanya Allah ta’ala tanpa disifati dengan sifat makhluk dan ada tanpa tempat.”
Syekh Abdul Ghaniy an-Nabulsiy mengatakan dalam kitabnya al-Fath ar-Rabbani halaman 124: “Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah memenuhi langit dan bumi atau bahwa Dia adalah jisim yang duduk di atas Arsy maka dia kafir meskipun ia menganggap dirinya muslim.”
Para ulama salaf dan khalaf telah bersepakat bahwa barangsiapa yang meyakini bahwa Allah berada pada arah maka dia kafir sebagaimana dijelaskan oleh al-‘Iraqi. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Abul Hasan al-Asy’ari dan al-Baqillani sebagaimana disebutkan oleh Mulla Ali al-Qari. (Lihat Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Misykat juz 3 halaman 300).
Inilah aqidah ulama Islam baik salaf maupun khalaf dan ini adalah aqidah seluruh umat Islam di negara Hijaz, Indonesia, Malaysia, India, Banglades, Pakistan, Turki, Maroko, negara-negara Syam, Mesir, Yaman, Irak, Sudan, Afrika, Daghistan, Cechya, Bukhara, Jurjan, Samarqand dan lainnya. Umat Islam berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa arah dan tanpa disifati dengan sifat makhluk. Sedangkan Wahabiyah, mereka meyakini tasybih, tajsim pada Allah ta’ala seperti yang akan pembaca lihat sendiri kata-kata keji yang mereka gunakan atau yang akan pembaca ketahui setelah membaca keseluruhan pembahasan ini persamaan aqidah dan pemikiran antara Yahudi dan Wahabiyah. Bahkan dengan kata-kata yang sama ketika menisbatkan duduk, suara dan mulut kepada Allah, semoga Allah melindungi kita.
Salah seorang pengikut mereka yang bernama Abdurrahman ibn Said Dimasyqiyah berkebangsaan Lebanon dalam sebagian kitabnya yang dicetak dengan dana dari pemuka Wahabiyah terang-terangan mengatakan bahwasanya tidak boleh dikatakan bahwa Allah tidak berubah dan menuduh orang yang mengatakan itu sebagai ahli bid’ah. Semoga Alah melindungi kita dari pemahaman picik mereka.
Setiap orang yang berakal mengetahui bahwa berubah adalah bukti bagi sesuatu yang bersifat baru. Bahkan para ulama mengatakan bahwa berubah adalah tanda paling nyata bahwa sesuatu itu makhluk. Karenanya umat Islam mengatakan: “Maha Suci Allah yang merubah dan Dia tidak berubah.”
Setelah penjelasan aqidah munjiyah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah tentang Allah, tiba gilirannya untuk mulai menyebutkan dan menuturkan aqidah Wahabiyah dan aqidah Yahudi disertai perbandingan di antara keduanya berdasarkan literatur mereka, agar pembaca mengetahui persamaan aqidah Wahabiyah dengan aqidah Yahudi.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template