Home » , , , , , » KH. SALMAN DAHLAWI, KIAI KHARISMATIK ASAL KLATEN

KH. SALMAN DAHLAWI, KIAI KHARISMATIK ASAL KLATEN

Written By MuslimMN on Selasa, 27 Agustus 2013 | 11.29

KH. SALMAN DAHLAWI, KIAI KHARISMATIK ASAL KLATEN


a.      KH. M. Salman Dahlawi, Kiai yang Mampu Meredakan Hujan

Begitu pembacaan Surat al-Fil genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul terang benderang.

Ketika gerakan reformasi mulai bergulir, ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto, pergolakan dan kerusuhan merebak di mana-mana. Dan, ketika situasi semakin memanas, Nahdlatul Ulama merasa perlu mengajak seluruh warga nahdliyin untuk menggelar istigasah, berdoa bersama memohon pertolongan Allah Swt.

Ketika itu warga nahdliyin di Klaten, Jawa Tengah, tak mau ketinggalan, menggelar istigasah di Masjid Raudhatus Shalihin. Malam itu ribuan kaum muslimin berkumpul di masjid terbesar di Klaten itu, yang terletak di tengah perkampungan industri cor logam Batur.

Ketika istigasah akan dimulai, tiba-tiba turun hujan lebat, sehingga para jamaah kalang kabut. Saat itulah tampil seorang kiai. Melalui pengeras suara ia mengajak seluruh jamaah membaca surah al-Fil sebelas kali. Setiap kali sampai pada kata “tarmihim”, dibaca pula sebelas kali. Meski gelisah karena mulai kebasahan, dengan serempak para jamaah membaca surah al-Fil bersama-sama.

Ajaib! Begitu pembacaan surah itu genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul terang benderang. Para jamaah berdecak kagum dan terheran-heran. Sebagian berbisik: “Iki merga karamahe Kiai.” (Ini lantaran karamah Kiai).

Para jamaah yakin, meski semua kejadian tersebut tak lepas dari kehendak dan izin Allah, kemujaraban doa tidak hanya karena bacaannya, tapi juga yang lebih penting siapa yang membaca. Kiai yang memimpin bacaan surat al-Fil itu tiada lain KH. Muhammad Salman Dahlawi, pengasuh Pondok Pesantren al-Manshuriyah, Popongan, pesantren tertua di Klaten.

Kiai kelahiran 1936 ini juga dikenal sebagai guru musryid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, yang ratusan ribu muridnya tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan beberapa tempat di Sumatra.

Kiai Salman adalah anak lelaki tertua KH. M. Mukri bin KH. Kafrawi, dan cucu lelaki tertua KH. M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang diasuhnya. Kiai Manshur adalah putra Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau guru pembimbing Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Mekah.

Sebagai cucu lelaki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh kakeknya, Kiai Manshur, yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai auliya’, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Pada 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membaiatnya sebagai mursyid.

b.      Sorogan Bandongan

Untuk menambah bekal keilmuan, Gus Salman nyantri ke pesantren pimpinan KH. Khozin di Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, selama kurang lebih empat tahun, 1956-1960. Tapi, sebulan sekali ia masih sempat nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama ia mondok di Kediri diasuh oleh ayahnya.

Sebelum menjadi mursyid, Salman menimba ilmu di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo, dan beberapa kali nyantri pasan, pengajian Ramadan, kepada KH. Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang, Jawa Tengah.

Sejak 21 Juni 1980, Pesantren Popongan berganti nama menjadi Pondok Pesantren al-Manshur, untuk mengenang pendirinya, bersamaan peresmian yayasannya. Seperti di pesantren lain, semula santri yang datang hanya untuk nyantri dan ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan – sistem pengajian tradisional di pesantren. Baru pada 1963 didirikan beberapa lembaga pendidikan formal, mulai dari Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Madrasah Aliyah, dan terakhir Taman Kanak-kanak al-Manshur (1980).

Saat ini Pesantren al-Manshur terdiri dari tiga bagian: pesantren putra, pesantren putri, dan pesantren sepuh, yang diikuti sejumlah orang tua yang menjalani suluk, yaitu laku atau amalan tarekat. Berbagai kegiatan ditata ulang. Program tahfidzul Qur’an, menghafal Al-Quran, misalnya, ditangani oleh KH. Ahmad Jablawi, kakak misan Kiai Salman, sekaligus ia mengasuh santri putri. Sementara pengelolaan madrasah formal diserahkan kepada KH. Nasrun Minallah, adik Kiai Salman. Kiai Salman sendiri mengasuh santri putra dan santri sepuh.

Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, kiai yang dikaruniai tiga putra dan lima putri dari istri pertama Mu’ainatun Sholihah ini juga telah menyiapkan proses kaderisasi dan regenerasi. Dan sejak 2001 ia menikahi istri kedua, Siti Aliyah, sepeninggal istri pertama, yang wafat pada 2000. Sejak itu ia juga memulai proses regenerasi dengan melibatkan putra-putrinya dalam pengelolaan pesantren.

Belakangan, seiring dengan usianya yang kian lanjut, Kiai Salman menyiapkan kader pribadi, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam, 35 tahun. Sebab, belakangan kondisi fisik kiai yang tawadu ini memang agak lemah. Maka Gus Multazam, putra ketujuh yang lahir di Mekah inilah, yang tampil sebagai badal, pengganti, dalam beberapa pengajian. Misalnya dalam pengajian fikih di hadapan para santri sepuh setiap hari Selasa.

Figur Kiai Salman amat bersahaja, ramah, dan tawadhu’. Pada bulan Ramadhan 1425 H lalu, ia genap berusia 70 tahun. Ketika berbicara dengan para tamu, Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala, sebagai wujud sikap rendah hati. Tak jarang, bahkan ia sendiri yang membawakan air minum dari dalam rumah untuk disuguhkan kepada para tamunya.

Seperti halnya para ulama, semakin sepuh justru semakin banyak yang sowan memohon doa restu atau nasihat. Demikian juga dengan Kiai Salman, kian hari kian banyak kaum muslimin dari berbagai daerah, dan berbagai kalangan, yang sowan kepadanya. Baik untuk konsultasi pribadi, bertanya masalah agama, maupun sekadar silaturahmi minta doa restu. Bagaikan pohon, semakin tua semakin rindang, semakin banyak pula orang bernaung dari sengatan mentari di bawah rimbunan dedaunannya.  (Tulisan ini adalah karya KH. M. Nawawi Syafi’i, Batur Ceper, Klaten, Jawa Tengah, yang pernah dimuat di Majalah Alkisah edisi 12/2005).

c.       Kini Kiai Kharismatik itu Tutup Usia

KH. M. Salman Dahlawi asal Klaten, Jateng, tutup usia hari Selasa tanggal 27 Agustus 2013, pukul 17.45 WIB. Kiai karismatik yang juga mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Mujaddadiyah ini wafat di usia 78 tahun. Sebagai seorang mursyid, kiai sepuh ini memiliki ratusan ribu jamaah yang tersebar di berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

“KH. M. Salman Dahlawi wafat hari ini di RSI Yarsis Solo, dalam usia 78 tahun, setelah dirawat sejak 18 Agustus 2013 lalu. Tim dokter sudah berusaha sekuat tenaga dan akhirnya almarhum menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Semoga husnul khatimah” tutur salah seorang menantu almarhum, KH. M. Dian Nafi’.

Kiai Salman adalah putra KH. Muhammad Muqri Kafrawi dengan Nyai Masjfu’ah. Almarhum adalah cucu lelaki tertua dari KH. M. Manshur, keturunan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah. Sejak usia 18 tahun, Kiai Salman telah dikukuhkan menjadi mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Mujaddadiyah, menggantikan kakeknya.

Jamaah thariqah yang dipimpinnya mencapai lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera hingga Kalimantan. Dalam buku ‘Tarekat Naqsyabandiyah’ karya penulis ternama Martin van Bruinessen, nama Kiai Salman Dahlawi disebut dalam mata rantai KH. M. Manshur dari KH. Muhammad Hadi Girikusumo, Mranggen, Demak.

Semasa hidupnya, kiai bersahaja dam rendah hati ini juga dikenal sebagai petani yang ulet dan tekun. Di sisi lain, setiap harinya ia menerima ratusan tamu berbagai kalangan dari rakyat jelata hingga pejabat tinggi.

Sikap rendah hati juga dapat dilacak dari kesediaannya untuk tetap mengaji kepada para kiai dengan cara antre sebagaimana santri kebanyakan, meskipun dia sendiri sudah memimpin pesantren dan diangkat sebagai mursyid tarekat. Tercatat dia pernah nyantri di Ponpes al-Muayyad Solo, Ponpes Watucongol Magelang dan Ponpes Bendo Kediri. Setiap kali ke Mekah, ia selalu bertemu khusus dengan as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, ulama kharismatik di Arab Saudi.

Kedalaman ilmu yang dimiliki almarhum juga menempatkannya pada posisi khusus. Almarhum tercatat sebagai Mustasyar di Nahdlatul Ulama dan anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN).

Lanjut KH. M. Dian Nafi’ mengatakan: “Almarhum meninggalkan seorang istri dan delapan putra-putri. Menurut rencana, almarhum akan dimakamkan di makam keluarga di kompleks Pondok Pesantren al-Manshur, Popongan, Tegalgondo, Wonosari, Klaten, pada hari Rabu 28 Agustus 2013 pukul 13.00 WIB.”

Mohon hadiah surat al-Fatihah untuk beliau, dan kalau berkenan silakan adakan shalat ghaib berjamaah teruntuk beliau. Lahu al-Fatihah...

Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 27 Agustus 2013

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template