KH. SALMAN DAHLAWI, KIAI KHARISMATIK ASAL KLATEN
a.
KH. M. Salman
Dahlawi, Kiai yang Mampu Meredakan Hujan
Begitu
pembacaan Surat al-Fil genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak
lama kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul terang
benderang.
Ketika gerakan
reformasi mulai bergulir, ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto, pergolakan
dan kerusuhan merebak di mana-mana. Dan, ketika situasi semakin memanas,
Nahdlatul Ulama merasa perlu mengajak seluruh warga nahdliyin untuk menggelar
istigasah, berdoa bersama memohon pertolongan Allah Swt.
Ketika itu warga
nahdliyin di Klaten, Jawa Tengah, tak mau ketinggalan, menggelar istigasah di
Masjid Raudhatus Shalihin. Malam itu ribuan kaum muslimin berkumpul di masjid
terbesar di Klaten itu, yang terletak di tengah perkampungan industri cor logam
Batur.
Ketika istigasah
akan dimulai, tiba-tiba turun hujan lebat, sehingga para jamaah kalang kabut.
Saat itulah tampil seorang kiai. Melalui pengeras suara ia mengajak seluruh jamaah
membaca surah al-Fil sebelas kali. Setiap kali sampai pada kata “tarmihim”, dibaca pula sebelas kali.
Meski gelisah karena mulai kebasahan, dengan serempak para jamaah membaca surah
al-Fil bersama-sama.
Ajaib! Begitu
pembacaan surah itu genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak lama
kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul terang benderang.
Para jamaah berdecak kagum dan terheran-heran. Sebagian berbisik: “Iki merga karamahe Kiai.” (Ini lantaran
karamah Kiai).
Para jamaah
yakin, meski semua kejadian tersebut tak lepas dari kehendak dan izin Allah,
kemujaraban doa tidak hanya karena bacaannya, tapi juga yang lebih penting
siapa yang membaca. Kiai yang memimpin bacaan surat al-Fil itu tiada lain KH.
Muhammad Salman Dahlawi, pengasuh Pondok Pesantren al-Manshuriyah, Popongan,
pesantren tertua di Klaten.
Kiai kelahiran
1936 ini juga dikenal sebagai guru musryid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah,
yang ratusan ribu muridnya tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan beberapa
tempat di Sumatra.
Kiai Salman
adalah anak lelaki tertua KH. M. Mukri bin KH. Kafrawi, dan cucu lelaki tertua
KH. M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang diasuhnya. Kiai Manshur adalah
putra Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman
Zuhdi, mursyid atau guru pembimbing Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah di
Mekah.
Sebagai cucu lelaki
tertua, Salman memang dipersiapkan oleh kakeknya, Kiai Manshur, yang di
kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai auliya’, untuk melanjutkan
tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Pada
1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian,
membaiatnya sebagai mursyid.
b.
Sorogan
Bandongan
Untuk menambah
bekal keilmuan, Gus Salman nyantri ke pesantren pimpinan KH. Khozin di Bendo,
Pare, Kediri, Jawa Timur, selama kurang lebih empat tahun, 1956-1960. Tapi,
sebulan sekali ia masih sempat nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan,
yang selama ia mondok di Kediri diasuh oleh ayahnya.
Sebelum menjadi
mursyid, Salman menimba ilmu di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo, dan beberapa kali
nyantri pasan, pengajian Ramadan, kepada KH. Ahmad Dalhar, Watu Congol,
Magelang, Jawa Tengah.
Sejak 21 Juni
1980, Pesantren Popongan berganti nama menjadi Pondok Pesantren al-Manshur,
untuk mengenang pendirinya, bersamaan peresmian yayasannya. Seperti di pesantren
lain, semula santri yang datang hanya untuk nyantri dan ngaji dengan sistem
sorogan dan bandongan – sistem pengajian tradisional di pesantren. Baru pada
1963 didirikan beberapa lembaga pendidikan formal, mulai dari Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Madrasah Aliyah, dan terakhir Taman Kanak-kanak al-Manshur
(1980).
Saat ini
Pesantren al-Manshur terdiri dari tiga bagian: pesantren putra, pesantren
putri, dan pesantren sepuh, yang diikuti sejumlah orang tua yang menjalani
suluk, yaitu laku atau amalan tarekat. Berbagai kegiatan ditata ulang. Program
tahfidzul Qur’an, menghafal Al-Quran, misalnya, ditangani oleh KH. Ahmad
Jablawi, kakak misan Kiai Salman, sekaligus ia mengasuh santri putri. Sementara
pengelolaan madrasah formal diserahkan kepada KH. Nasrun Minallah, adik Kiai
Salman. Kiai Salman sendiri mengasuh santri putra dan santri sepuh.
Untuk
mengantisipasi perkembangan zaman, kiai yang dikaruniai tiga putra dan lima
putri dari istri pertama Mu’ainatun Sholihah ini juga telah menyiapkan proses kaderisasi
dan regenerasi. Dan sejak 2001 ia menikahi istri kedua, Siti Aliyah,
sepeninggal istri pertama, yang wafat pada 2000. Sejak itu ia juga memulai
proses regenerasi dengan melibatkan putra-putrinya dalam pengelolaan pesantren.
Belakangan,
seiring dengan usianya yang kian lanjut, Kiai Salman menyiapkan kader pribadi,
baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam, 35
tahun. Sebab, belakangan kondisi fisik kiai yang tawadu ini memang agak lemah.
Maka Gus Multazam, putra ketujuh yang lahir di Mekah inilah, yang tampil
sebagai badal, pengganti, dalam beberapa pengajian. Misalnya dalam pengajian
fikih di hadapan para santri sepuh setiap hari Selasa.
Figur Kiai
Salman amat bersahaja, ramah, dan tawadhu’. Pada bulan Ramadhan 1425 H lalu, ia
genap berusia 70 tahun. Ketika berbicara dengan para tamu, Kiai Salman lebih
sering menundukkan kepala, sebagai wujud sikap rendah hati. Tak jarang, bahkan
ia sendiri yang membawakan air minum dari dalam rumah untuk disuguhkan kepada para
tamunya.
Seperti halnya
para ulama, semakin sepuh justru semakin banyak yang sowan memohon doa restu
atau nasihat. Demikian juga dengan Kiai Salman, kian hari kian banyak kaum
muslimin dari berbagai daerah, dan berbagai kalangan, yang sowan kepadanya.
Baik untuk konsultasi pribadi, bertanya masalah agama, maupun sekadar
silaturahmi minta doa restu. Bagaikan pohon, semakin tua semakin rindang,
semakin banyak pula orang bernaung dari sengatan mentari di bawah rimbunan
dedaunannya. (Tulisan ini adalah
karya KH. M.
Nawawi Syafi’i, Batur Ceper, Klaten, Jawa
Tengah, yang pernah dimuat di Majalah Alkisah edisi 12/2005).
c. Kini Kiai Kharismatik itu Tutup Usia
KH. M. Salman Dahlawi asal Klaten,
Jateng, tutup usia hari Selasa tanggal 27 Agustus 2013, pukul 17.45 WIB. Kiai
karismatik yang juga mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Mujaddadiyah
ini wafat di usia 78 tahun. Sebagai seorang mursyid, kiai sepuh ini memiliki
ratusan ribu jamaah yang tersebar di berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan
Kalimantan.
“KH. M. Salman Dahlawi wafat hari ini di RSI Yarsis Solo, dalam usia 78
tahun, setelah dirawat sejak 18 Agustus 2013 lalu. Tim dokter sudah berusaha
sekuat tenaga dan akhirnya almarhum menghembuskan nafas terakhir dengan tenang.
Semoga husnul khatimah” tutur salah seorang menantu almarhum, KH. M. Dian Nafi’.
Kiai Salman adalah putra KH.
Muhammad Muqri Kafrawi dengan Nyai Masjfu’ah. Almarhum adalah cucu lelaki
tertua dari KH. M. Manshur, keturunan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, khalifah
Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi
Qubais, Makkah. Sejak usia 18 tahun, Kiai Salman telah dikukuhkan menjadi
mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Mujaddadiyah, menggantikan kakeknya.
Jamaah thariqah yang dipimpinnya
mencapai lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di berbagai daerah di Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera hingga Kalimantan. Dalam buku ‘Tarekat
Naqsyabandiyah’ karya penulis ternama Martin van Bruinessen, nama Kiai Salman
Dahlawi disebut dalam mata rantai KH. M. Manshur dari KH. Muhammad Hadi
Girikusumo, Mranggen, Demak.
Semasa hidupnya, kiai bersahaja dam
rendah hati ini juga dikenal sebagai petani yang ulet dan tekun. Di sisi lain,
setiap harinya ia menerima ratusan tamu berbagai kalangan dari rakyat jelata
hingga pejabat tinggi.
Sikap rendah hati juga dapat dilacak
dari kesediaannya untuk tetap mengaji kepada para kiai dengan cara antre
sebagaimana santri kebanyakan, meskipun dia sendiri sudah memimpin pesantren
dan diangkat sebagai mursyid tarekat. Tercatat dia pernah nyantri di Ponpes al-Muayyad
Solo, Ponpes Watucongol Magelang dan Ponpes Bendo Kediri. Setiap kali ke Mekah,
ia selalu bertemu khusus dengan as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani,
ulama kharismatik di Arab Saudi.
Kedalaman ilmu yang dimiliki
almarhum juga menempatkannya pada posisi khusus. Almarhum tercatat sebagai
Mustasyar di Nahdlatul Ulama dan anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di
Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN).
Lanjut KH. M. Dian Nafi’ mengatakan:
“Almarhum meninggalkan seorang istri dan
delapan putra-putri. Menurut rencana, almarhum akan dimakamkan di makam
keluarga di kompleks Pondok Pesantren al-Manshur, Popongan, Tegalgondo, Wonosari,
Klaten, pada hari Rabu 28 Agustus 2013 pukul 13.00 WIB.”
Mohon
hadiah surat al-Fatihah untuk beliau, dan kalau berkenan silakan adakan shalat
ghaib berjamaah teruntuk beliau. Lahu al-Fatihah...
Sya’roni
As-Samfuriy, Tegal 27 Agustus 2013
0 komentar:
Posting Komentar