KH.
M. MA’SHOEM AHMAD LASEM (1870-1972)
“Ayahanda
KH. Ali Maksum dan Kakek KH. Atabik Ali Yogyakarta”
Daftar Isi:
1.
Muqaddimah
2.
Kelahiran
KH. Ma’shum Ahmad
3.
Pendidikan
KH. Ma’shum Ahmad
4.
Kemuliaan KH. Ma’shum Ahmad Disaksikan
oleh Syaikh Kholil
5.
Pernikahan
KH. Ma’shum Ahmad
6.
Tirakat
KH. Ma’shum Ahmad
7.
KH. Ma’shum Ahmad Merintis
Berdirinya Pesantren
8.
Pengabdian KH. Ma’shum Ahmad
9.
Karamah KH. Ma’shum Ahmad
10.
NU
Ada di Dada KH. Ma’shum Ahmad
11.
Kewafatan
KH. Ma’shum Ahmad
1.
Muqaddimah
Kyai besar dan waliyullah
yang amat dihormati di kalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum,
adalah salah satu dari dua “Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul
Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu
dan teguh menjaga kebenaran.
Seluruh
hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan
menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli
sejarah terkenal: “(Mbah Ma’shum) adalah
seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun
kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung
jaringan ke ujung jaringan lainnya.”
2.
Kelahiran
KH. Ma’shum Ahmad
Nama
aslinya adalah Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870 M. Ayahnya
bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya
hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke
Rasulullah Saw.
Ibunya
bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan
Nyai Malichah.
3.
Pendidikan
KH. Ma’shum Ahmad
Sejak
kecil Mbah Ma’shum telah dikirim ke beberapa pesantren untuk mendalami ilmu
agama, diantaranya kepada Kyai Nawawi Jepara, Kyai Ridhwan Semarang, Kyai Umar
Harun Sarang, Kyai Abdus Salam Kajen, Kyai Idris Jamsaren Solo, Kyai Dimyati
Termas, Kyai Hasyim Asy’ari Jombang dan Kyai Kholil Bangkalan.
Di
Mekah beliau berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Turmusi dari Termas.
4.
Kemuliaan KH. Ma’shum Ahmad
Disaksikan oleh Syaikh Kholil
Tanda-tanda
keutamaan Mbah Ma’shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil
Bangkalan, seorang wali quthub yang amat masyhur.
Dikisahkan,
sehari sebelum kedatangan Mbah Ma’shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para
santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil: “Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari
tanah Jawa yang datang ke sini.”
Begitu
Mbah Ma’shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung
dimasukkan ke dalam kurungan ayam itu.
Mbah
Ma’shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari.
Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma’shum di sebuah kamar tanpa lampu,
sedangkan santri-santrinya berada di luar.
Mbah
Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil
memanggilnya dan didoakan dengan doa sapujagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum
melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan
didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
5.
Pernikahan
KH. Ma’shum Ahmad
Mbah
Ma’shum menikah dua kali, nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan
istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, Kyai Ali Ma’shum,
kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi
salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
6.
Tirakat
KH. Ma’shum Ahmad
Sejak
muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil
jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu,
konde dan peniti.
Sembari
berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin
berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi
usia Mbah Ma’shum lebih tua.
Mbah
Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. beberapa
kali, dimana Kanjeng Rasul Saw. menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan
beralih menjadi pengajar umat.
Mimpi
itu terjadi di beberapa tempat, di Stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan
terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul Saw. yang memberinya nasihat: “La khaira illa fi nasyr al-‘ilmi”
(Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu).
Beliau
juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul Saw., dan setelah bangun
tangannya masih berbau wangi. Beliau juga bermimpi bertemu Nabi Saw. sedang
membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren dan berpesan kepada Mbah
Ma’shum: “Mengajarlah. Dan segala
kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”
Ketika
dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum
dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu
sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah
beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar.
7.
KH. Ma’shum Ahmad Merintis
Berdirinya Pesantren
Sebelum
mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam waliyullah,
seperti makam al-Habib Ahmad bin Abdullah ibn Tholib Alattas, Sapuro,
Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at, al-Habib
Ahmad Alattas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling
kota meminta sumbangan dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan
untuk membangun pesantren.
Selain
ke makam al-Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul al-Habib Ali al-Habsyi
Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem.
Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca
Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk.
Mbah
Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Shubuh dan
Ashar.
Setelah
beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren
al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus
mengungsi dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman
kembali.
8.
Pengabdian KH. Ma’shum Ahmad
Mbah
Ma’shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan
santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang
diajarkan terus-menerus berulang-ulang (artinya jika kitab itu khatam, maka
akan dimulai lagi dari awal). Diantaranya adalah pelajaran al-Quran, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah,
Alfiyah, al-Hikam Ibn Athaillah, dan Ihya
‘Ulumiddin.
Mengenai
kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum
menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya’, beliau berujar: “Saya khawatir kalau melihat santri yang
belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada
umat. Yah, semoga saja dia selamat.”
Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah
berkata bahwa ilmu fiqh telah ada di dalam dadanya.
Ketika
beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya
punya tujuan utama tabarrukan atau mengambil barokah spiritualnya.
Dalam
hal mengajar para santri, Mbah Ma’shum amat disiplin dan istiqamah, sebab
istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karamah. Beliau juga tak
segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara
bertepuk tangan.
Banyak
muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai
Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang,
Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.
9.
Karamah KH. Ma’shum Ahmad
Sebagaimana
umumnya para wali, Mbah Ma’shum juga dikaruniai karamah. Beliau tahu kapan
dirinya akan meninggal.
Ketika
Kyai Baidhowi wafat pada 11 Desember 1970, Mbah Ma’shum menyatakan bahwa 2
tahun lagi dirinya akan wafat. Pernyataan ini kemudian menjadi kenyataan.
Menurut seorang saksi, Mbah Ma’shum ketika di depan jenazah Mbah Baidhowi,
beliau seperti berbicara dengan almarhum, dan berkata: “Ya, 2 tahun lagi saya akan menyusul.”
Karamah
lainnya adalah firasat yang tajam, mengetahui isi pikiran orang. Ada satu kisah
karamah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Dikisahkan
bahwa suatu waktu seusai shalat Dhuha, beliau dipijiti oleh santrinya yang
bernama Ahmad hingga tertidur. Mendadak di luar kamar terdengar ada tamu
menyampaikan salam. Ada sembilan orang tamu berwajah habaib, duduk melingkar di
ruang tamu. “Mbah Ma’shum ada?” tanya
salah satu dari mereka.
Oleh
Ahmad dijawab masih tidur, sambil menawarkan untuk membangunkannya.
“Tidak usah,” kata tamu itu. Lalu para tamu itu berbicara satu sama lain
dengan bahasa yang aneh, kemudian mereka membaca shalawat lalu berpamitan.
Begitu
para tamu beranjak keluar, Mbah Ma’shum memanggil Ahmad. “Ada apa Mad?”
Setelah
dijelaskan, Mbah Ma’shum menyuruh Ahmad memanggil tamunya itu. Namun dalam
waktu sesingkat itu para tamu itu sudah menghilang. Kemudian Mbah Ma’shum
memberi tahu bahwa mereka adalah Wali Songo, dan yang berbicara tadi adalah
Sunan Ampel. Setelah memberi tahu jati diri mereka, Mbah Ma’shum tidur lagi.
Mbah
Ma’shum juga terkenal dengan sebutan Kyai Bulus yang artinya mengajar
murid-muridnya tanpa disertai keterangan-keterangan yang diperlukan si murid. Beliau
hanya membaca kitab dengan memaknai perkalimat saja, itupun dengan suara yang
tidak jelas (nggremeng bahasa Jawanya).
Yang
penting dibaca, faham gak faham ya silahkan. Seakan murid-murid beliau setelah
diajar ditinggalkan begitu saja, sama seperti bulus (kura-kura) yang bertelur
di pantai dibiarkan begitu saja tanpa dierami menetas sendiri.
Namun
anehnya murid-murid beliau mempunyai kefahaman yang lebih dari ketika ngaji di
selain kyai yang satu ini.
Kisah
lainnya adalah ketika Mbah Ma’shum kehabisan persediaan beras. Lalu Mbah
Ma’shum memimpin istighatsah dengan membaca petikan sajak dari syair al-Burdah: “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat berlindung
kecuali kepadamu pada peristiwa malapetaka besar”, sebanyak (kurang lebih)
80 kali, dan dilanjutkan doa memohon rizki.
Dan
pada saat itu seorang peserta, Ibu Nadhiroh menyela: “Amin, Mbah, (beras) 1 ton.”
Mbah
Ma’shum membalas: “Tidak 1 ton, tapi
lebih.”
Beberapa
hari kemudian datang beberapa orang memberi beras yang banyak sekali. Karamah
mendatangkan beras ini sering terjadi.
Dalam
riwayat lain diceritakan Mbah Ma’shum pada suatu pagi seusai mengajar Alfiyah
memanggil 12 santrinya, mengajak mereka mengamini doanya. Doanya sederhana
saja, tanpa mukadimah dan tanpa penutup: “Ya
Allah Gusti, saya minta beras.”
Jam
11 siang datang becak mengantar beberapa karung beras. Pada karung itu tertulis
nama alamatnya pengirim dari Banyuwangi. Suatu ketika Mbah Ma’shum mengunjungi
alamat itu, dan ternyata alamat itu adalah sepetak kebun pisang di daerah
pedalaman dan di situ masyarakatnya tidak ada yang kelebihan rizki sama sekali.
10.
NU
Ada di Dada KH. Ma’shum Ahmad
Sebagai
kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai
lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak
ridha jika anak keturunannya tidak mengikuti NU.
Bahkan
Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting
di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya
pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah, Mbah Ma’shum
termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi
tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat.
Menurutnya:
“Saya sudah menggunakan tarekat langsung
dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw., yakni berupa Hubb al-Fuqara’ wa al-Masakin
(mencintai kaum fakir miskin).”
Selain
itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal
ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi
menteri agama.
Mbah
Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang
salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan
membenci aku, karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain.
Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan
partai lain. Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap
mereka.”
Ketika
pecah huru-hara PKI, Mbah Ma’shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke
kota, karena beliau termasuk tokoh yang diincar hendak dibunuh oleh PKI.
11.
Kewafatan
KH. Ma’shum Ahmad
Mbah
Ma’shum wafat pada tanggal 14 Rabi’ul Awal tahun 1392 H atau bertepatan dengan
tanggal 28 April tahun 1972 M jam 2 siang, setelah shalat Jum’at.
Upacara
pemakamannya dibanjiri massa yang ingin memberikan penghormatan terakhir.
Pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh ulama, petinggi partai politik dan
pejabat pemerintah.
Sya’roni
As-Samfuriy, Tegal 30 Agustus 2013
Diolah
ulang dari:
Brg siapa yg mnyakini cerita di atas, maka sgera brtaubatlah dan mngucapkan kembali syahadat ulang, :"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS.Luqman : 34).
BalasHapusKalau bodoh begini lah ucapan nya.dia tidak tahu allah bisa berbuat sekehendak nya.dan allah akan mengangkat derajat seseorang bila iasabar dan tawakal serta mengamalkan ilmu nya dengan istiqamah
Hapusak percaya...sollu ala nabi muhamad
BalasHapusMbah Ma'shum sosok waliyullah yang mampu mencetak mbah Hamid Pasuruan menjadi waliyullah. Allahu A'lam
BalasHapusYang tdk percaya ya monggo...merasa aman dengan ilmunya.
BalasHapusYang tdk percaya ya monggo...merasa aman dengan ilmunya.
BalasHapusBarang siapa yg luas ilmunya maka semakin sedikit dia menyalahkan orang lain
BalasHapuskaramah para wali adalah anugerah Allah.jadi kalo seorang wali mengetahui yg akan terjadi itu karna Allah yg telah menganugerahi dia sehingga dia bisa mengetahuinya.
BalasHapusTidak percaya kpd karomah awilya berarti tdk percaya qur'an,tdk percaya qur'an berarti kufur!!!
BalasHapusTidak percaya kpd karomah awilya berarti tdk percaya qur'an,tdk percaya qur'an berarti kufur!!!
BalasHapusinna awliya allah la khoufun a`laihim wa la hum yahzanuun
BalasHapusAku percaya dengan cerita itu
BalasHapusYang tidak percaya ilmunya cuma bagai busa yang tertiup angin