MANAQIB SINGKAT HADHRATUS SYAIKH KH. ABDURRAHMAN BIN QASHIDIL
HAQ MRANGGEN DEMAK (1872-1942)
Daftar Isi:
1. Kelahiran dan Nasab KH. Abdurrahman
2. Tumbuh dalam Tempaan Ilmu Agama
3. Menjadi Khalifah Thariqat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah
4. Ulet dalam Bekerja
5. Pribadi yang Disegani
6. Istri dan Anak KH. Abdurrahman
7. Kewafatan KH. Abdurrahman
1. Kelahiran dan Nasab KH. Abdurrahman
KH. Abdurrahman dilahirkan dan
dibesarkan di kampung Suburan Desa Mranggen Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak
pada tahun 1872 M. Beliau adalah putra dari seorang guru ngaji yang shalih
yaitu KH. Qashidil Haq bin Abdullah Muhajir. Selain mengajar, sang ayah juga giat
berkebun dan menyewakan sebagian rumahnya untuk penginapan para pedagang luar
kota.
Silsilah
KH. Abdurrahman adalah: KH. Abdurrahman bin Qashidil Haq bin Raden Oyong
Abdullah Muhajir bin Raden Dipo Kusumo bin Pangeran Wiryo Kusumo (Pangeran
Krapyak) bin Pangeran Sujatmiko (Wijil II/Notonegoro II) bin Pangeran Agung
(Notoprojo) bin Pangeran Sabrang bin Pengeran Ketib bin Pangeran Hadi bin
Kanjeng Sunan Kalijogo, hingga Ronggolawe Adipati Tuban I (Syeikh
al-Jali/Syeikh al-Khowaji) yang berasal dari Baghdad keturunan Sayyidina Abbas
Ra. paman Rasulullah Saw.
2. Tumbuh dalam Tempaan Ilmu Agama
Sejak kecil KH. Abdurrahman dididik
oleh ayahnya sendiri. Setelah beranjak dewasa, barulah beliau belajar di Pondok
Pesantren di daerah Tayem Purwodadi Jawa Tengah. Kemudian beliau juga pernah belajar di pesantren yang berada di
seberang sungai Brantas JawaTimur. Kemudian terakhir beliau belajar di Pondok
Pesantren Sapen Penggaron Semarang (dulu ikut Kabupaten Demak) yang diasuh KH.
Abu Mi’raj yang akhirnya beliau diambil menjadi menantunya.
Karena minat belajarnya yang tinggi,
setelah menetap di rumah selain mengajar beliau juga belajar kepada beberapa
guru, diantaranya kepada Hadhratus Syaikh KH. Sholeh Darat, seorang ulama
kenamaan dari Semarang Barat. Beliau juga belajar kepada KH. Ibrahim Brumbung
Mranggen, dari sinilah beliau mendalami ilmu thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah.
3. Menjadi Khalifah Thariqat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah
Hadhratus Syaikh KH. Ibrahim
kemudian berkenan mewisuda beliau menjadi khalifah setelah lulus ujian, yaitu
pada suatu hari KH. Ibrahim berkata kepada murid-muridnya: “Barangsiapa yang nanti tidak
batal shalatnya maka dialah yang berhak menyandang kholifah.”
Awal kisahnya bermula saat di tengah-tengah
shalat jamaah berlangsung terlihatlah seekor ular yang merayap dari arah KH.
Ibrahim menuju para jamaah. Tentu saja hal ini membuat para makmum ketakutan
lari tunggang langgang dan membatalkan shalatnya, kecuali KH. Aburrahman yang
masih tetap khusyu’ meneruskan shalatnya. Maka dengan demikian beliau dinyatakan
berhak untuk menyandang khalifah thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandliyah.
4. Ulet dalam Bekerja
Dalam hal berkomunikasi dengan para
pedagang Arab, beliau menunjukkan kemampuan dan kemahirannya dalam
berbahasa Arab, sehingga mereka mempercayai beliau untuk membawa barang
dagangannya terlebih dahulu.
Beliau adalah profil seorang yang
konsekuen dan berdedikasi tinggi. Beliau menyadari sebagai seorang yang berilmu,
tentu mempunyai kewajiban tugas dan tanggung jawab yang tinggi untuk senantiasa
mengamalkan ilmu-ilmu yang dikuasai demi pengabdian kepada Allah dan RasulNya,
Agama, Nusa dan Bangsa. Oleh karena itu, beliau dalam keseharian selalu
melayani dan berkhidmah kepada masyarakat, santri dan keluarganya demi menggapai
ridha Allah Swt.
Dalam hal duniawiyah, beliau juga
mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Oleh
karena itu beliau tidak segan-segan dan tidak malu untuk berddagang walau dalam
skala yang kecil. Tentu sebagai seorang tokoh agama dan berilmu tinggi, dalam
berdagangpun beliau selalu amanah, dapat dipercaya dan yang paling disukai oleh
pelanggannya. Beliau tidak pernah mengambil untung banyak.
Dengan bertambah banyaknya para
pelanggan yang berbelanja kebutuhan kepada beliau, tidak membuatnya lupa dari
tugas dan kewajibannya. Beliau tidak pernah berangkat jualan sebelum
mengerjakan amalan rutinnya, yaitu shalat Dhuha. Sekalipun di pasar sudah
ditunggu para pelanggannya, beliau tetap istiqamah terhadap ibadah dan amalan
rutinitasnya.
5. Pribadi yang Disegani
Dari kepribadian beliau inilah masyarakat
mulai simpati dan tertarik kepada beliau sehingga ada diantara mereka yang ikut
nengaji dan sebagiannya menitipkan putranya kepada beliau. Hanya saja pada saat
itu yang nyantri kepada beliau semuanya masih menjadi santri kalong, artinya
pada malam hari mereka mengaji dan pagi harinya mereka pulang untuk bekerja
atau membantu orang tua.
Beliau juga dikenal sebagai seorang
yang luwes dalam setiap pergaulan. Sehingga nampak sifat beliau apablia bergaul
dengan kyai akan nampak kekyaiannya, bergaul dengan bangsawan akan nampak
kebangsawanannya.
6. Istri dan Anak KH. Abdurrahman
KH. Abdurrahman sempat beristri
dengan Ibu Nyai Suripah, ipar dari KH. Ibrahim Brumbung Mranggen, dan
dikaruniai empat orang putra namun kesemuanya dipanggil Allah Swt. sewaktu
masih usia kecil (setelah Ibu Nyai Suripah wafat).
Kemudian beliau menikah lagi dengan
Hj. Shafiyyah (nama kecilnya Fatimah) binti KH. Abu Mi’raj bin Kyai Syamsudin
Penggaron Semarang. Pernikahannya kali ini beliau dikaruniani sebelas putra dan
putri, yaitu:
1. Hafshah (lahir di kapal dalam perjalanannya
menuju ke tanah suci dan meninggal di Jakarta dalam perjalanannya pulang ke
tanah air).
2. KH. Utsman (wafat tahun 1967 M).
3. Bashirah (wafat sewaktu kecil).
4. KH. Mushlih (wafat tahun 1981 M).
5. KH. Muradi (wafat tahun 1980 M).
6. Rahmah (wafat sewaktu kecil).
7. KH. Fathan (wafat tahun 1945 M).
8. KH. Ahmad Muthohar (wafat tahun 2005
M).
9. Hj. Rahmah Muniri (almarhumah).
10. Faqih (wafat sewaktu kecil).
11. Tasbihah Muhri.
7. Kewafatan KH. Abdurrahman
Tiada jalan yang tak berujung, tiada
awal yang tak berakhir. Demikian pula halnya dengan KH. Abdurrahman, setelah
menekuni jalan kehidupannya dengan penuh pengabdian, menyebarkan syariat agama
Islam dan setelah mengenyam pahit getirnya kehidupan ini mulai dari seorang
santri sampai menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat yang disegani, beliau berpulang
ke rahmatullah pada tanggal 20 Dzulhijjah 1360 H/1941 M. dalam usia 70 tahun.
Semoga semua amal beliau diterima
Allah Swt. dan mendapatkan balasan yang lebih besar dan mulia dari dunia dan
seisinya. Aamiin.
فجزاه الله عنا وعن المسلمين خيرا كثيرا وغفر ذنوبه وأسكنه فى فسيح جنته مع النبيين
والمرسلين والأولياء والشهداء والصالحين آمين
Lahum
al-Fatihah...
Sya’roni
As-Samfuriy, Cibitung Bekasi 25 Juli 2013
Diedit
ulang dari: http://mtsfutuhiyyah2.wordpress.com/futuhiyyah/pondok-pesantren/profil-masyayikh/
0 komentar:
Posting Komentar