Kisah Teladan Kyai Haji Imam Zarkasyi
Oleh: KH. Hasanain Juaini (Pengasuh
PM. Nurul Haromain NTB)
Suatu keyika KH. Imam Zarkasyi, di kamar tidur beliau yang selalu
tergelar sajadah yang diatasnya ada untaian tasbih. Saya tahu tahu karena
sering menyapu ruangan itu. Allahumma saya bersyukur dapat mengabdikan hidupku
untuk beliau.
Di belakang sajadah itu dekat jendela ada kertas hitam bertuliskan
tinta emas berbunyi: "Sehari harus
bekerja 18 jam. Istirahat adalah mengganti jenis pekerjaan".
Di luar jam mengajar beliau keluar rumah, memakai kaos
oblong warna putih cap kodok dan mengalungkan handuk kecil untuk menyeka
keringat. Biasanya membawa alat-alat pertukangan seperti martil, obeng atau
tang. Keliling melihat-lihat papan tulis yang tergantung tidak rapi maka
diluruskan, memeriksa meja bangku yang ringkih maka dipasaknya, pintu-pintu
kelas yang engselnya rusak dicatat dan diperintahkan untuk diperbaiki.
Jika ada kelas yang kosong, maka beliau masuk unutk mengajar.
Jika ada sebelahnya lagi yang kosong maka ditingggalkan songkoknya dikelas yang
dimasuki terdahulu dan beliau memasuki kelas kosong yang ribut itu. Sering
terjadi beliau langsung pulang setelah mengisi kelas dengan amat sangat serius,
maka songkok hitamnya ketinggalan di kelas sehingga tak satupun santri yang
berani meninggalkan kelas sebelum beliau datang kembali mengambil songkoknya
(sekalipun sudah jam pulang). Ketua kelas harus mendatangi beliau dan bertanya
apakah beliau akan masuk kembali agar kami menunggunya?
Kalau berpapasan dengan santri yang tidak membawa buku maka
beliau akan mencegat dan menanyakan: “Mengapa
tidak membawa buku?”
Kalau bertemu dengan anak yang membawa buku tapi tidak
membacanya beliau juga bertanya: “Mengapa
buku dibawa kok tidak dibaca?”
Satu hari saya berpapasan dengan beliau dan didepan saya ada
sobekan koran. Beliau perintahkan "Pungut
!".
Sayapun memungutnya dan hendak membuangnya ke tong sampah,
namun beliau memerintahkan saya untuk membacanya dahulu. Karena korannya sudah
lama dan usang sayapun menjawab: “Maaf Pak Yai ini koran lama.”
Dengan pandangan mata yang teramat tajam beliau menatap
saya, rasa merindingnya masih sampai sekarang. Beliau bilang dengan lirih: “Yaa bunayya… korannya memang lama, tapi apa
kamu sudah membacanya atau belum?”
Kejadian itu did epan Perdos (Perumahan Dosen, berada di belakang
rumah lama Keluarga Kyai Imam Zarkasyi). Peristiwanya tidak berhenti sampai di situ.
saya diminta duduk dan membaca potongan koran lusuh itu. Ketika selesai saya
pun bangkit minta diri, tapi beliau meminta potongan koran itu dan mulai
menanyai saya hampir lima puluhan pertanyaan yang bersumber dari satu alinea
saja bahan bacaan itu, tentu saja saya KO berat.
Di akhir peristiwa itu beliau berkata: “Anak Lombok ya? Makanya kalau membaca jangan setengah-setengah. Belum lima
menit saja sudah lupa. Baca yang bagus. Mocone sing telaten."
Keesokan harinya dalam wejangan untuk kelas Lima
(saya kelas lima waktu itu, tahun 1981) beliau menceritakan kasus itu dan
menegaskan: "Di dalam rumah saya ada
aturan, bahwa anak-anak saya yang tidak sedang membaca akan disuruh bekerja
terus...terus...terus....sampai dia meminta waktu istirahat dan istirahatnya
adalah untuk membaca. Hanya anak yang sakit saja yang boleh tidak membaca dan
tidak bekerja."
0 komentar:
Posting Komentar