KH Abdul Hamid, Pasuruan
Semua Orang Merasa Paling Disayang
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun
1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember
1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang,
Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren
Salafiyah, Pasuruan
Kesabarannya memang diakui tidak
hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam
yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun
kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah
menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
“Kiai Hamid dulu sangat keras,”
kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di
Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari
tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12
saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim,
Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup,
yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah
keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya
adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa
Timur.
Masa Kecil
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad
Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang
sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain,
Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula
belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai
mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk
menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa
Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat
disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak
tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.
“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam
kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi,
Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu,
khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang.
Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia
12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH.
Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk
pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya.
Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan
desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia
18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai
pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk
ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh
Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali
Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak
berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai
ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama
orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun,
setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat
itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah,
putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya
putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan
H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah.
Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari
mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km
pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda
waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang
dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia
menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar
mendung di rumah keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa
perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah
dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab,
meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang
bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri
Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak
disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian
rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya.
“Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah
derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga,
ia tidak lekas naik derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang
anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris,
tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris,
ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat
jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat
misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar
menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang
disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan
fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja,
Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran.
Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar
tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti
asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak,
kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah
al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan,
dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren
salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya
dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau
fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang
santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu.
Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid
yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai
Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu
yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya,
ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh
pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak
hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan
Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab
Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya
membaca beberapa baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai
teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi
Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan
kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian
Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu
menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan
perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun
penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai
juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik.
Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa
bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid
bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu
berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya
dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya
lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak
semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir
istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu
menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan
penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,”
ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid,
orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak
membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu
membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak
mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur
(menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat
menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain
itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid
terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai
kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk
pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid
tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara
lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid
bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam
arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban.
Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk
tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada
keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan
prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak
mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka
sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila
ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus
10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam
dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa
sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid
tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dan tetangga
terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah – berupa beras dan sarung – untuk
tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang
lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah
jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang
Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain
merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi
terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya,
“Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid.” Setiap pagi, mulai pukul
03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2
km. untuk membangunkan orang-orang – biasanya anak-anak muda – yang tidur di
tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari
perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa
orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat
diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orang
mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah orang
lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahan
terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita mengenai
yang menjadi masalahnya. “Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah,”
desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak
ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih
dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di
hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekurangan uang
menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu
memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang
sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan
pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya
saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri atau direnovasi
atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini
kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa
mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk
itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang
kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari
sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengan komitmen
Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan
corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu,
kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha
menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid
yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi di
situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar Jawa Timur yang
sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmu di
Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan
nama Mu’thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama.
Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan
Hamid saja. “Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah),” katanya, seperti tidak
ingin mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam
Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq.
Sebuah kitab yang berisi akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan
Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan
mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari
Syeikh Abdurrazaq Termas.
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di
Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang.
Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir,
bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja,
sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan
ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal.
“Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau.
Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai
mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah
kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang
kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya
adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania
alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena
banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan
sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan: Kini Sulit
Dicari Padanannya
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di
Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang.
Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir,
bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja,
sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan
ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal.
“Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau.
Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan
atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang
masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar
biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak
bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola,
dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya
otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji
kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua
“pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan
(semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf
ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH.
Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi
wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad
Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat
haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah
Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam
kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun
kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini
cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di
antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi
Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini
beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang
hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia
tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan
yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang
oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya,
Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad
Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan
yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa
berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat
pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12
September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di
Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal
rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid
Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk
pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah
Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten
pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan
pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai
Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah
pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai
tolan.
Prihatin
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam
tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore,
Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara
mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka
bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari
jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan
berdagang spare part dokar.
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan
krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang,
sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain
serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus
asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski
tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya
santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau
juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso,
Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir
(pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok,
sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian,
secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek
bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di
Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok
Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan
dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan.
Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa
dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak
hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus
dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi
ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit
rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman,
fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya
dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin
membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah
wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi
guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai
Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal
1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya
mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua
orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian
seseorang).
Lurus
Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang
merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di
kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang
menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai
Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau
dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang
canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan
terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima
sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap
tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau
memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan.
“Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan
Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya,
dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya.
Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada
mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa
disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya:
penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak
tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi
junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap
beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke
rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi
Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau
sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil
memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena
sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai
tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap
tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun
meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda
Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali.
Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental.
Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat
cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah
memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang
santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan
pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah
larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo
tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan
suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri
para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya,
barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki
kita,” kata beliau. Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah,
seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya
hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang
tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi
perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang
sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau
telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya
penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil
menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya
kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai
Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah
fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke
tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan
“memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di
sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok
Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki
kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu
kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi
pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya
atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah
melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau,
beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid
itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga
masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau
adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat
borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja,
di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau
sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang
harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25
Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan,
dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis
memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh
anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI)
Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas
terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam.
Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi
relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan
ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di
bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan
“Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir
lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid Ahmad “Percik-percik
Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan”
0 komentar:
Posting Komentar