Home » » PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI BAB VIII CERDAS BERMADZAB

PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI BAB VIII CERDAS BERMADZAB

Written By MuslimMN on Sabtu, 15 September 2012 | 09.54


PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI

BAB VIII
CERDAS BERMADZAB


Selektif dalam Bermadzhab
Mayoritas kaum Muslimin mengikuti pola bermadzhab dalam menjalankan kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum Muslimin mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu al-Hasan asy-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian seperti dijelaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Namun demikian pola bermadzhab ini tidak jarang disalahpahami oleh mereka yang anti madzhab. Menurut mereka, ketika seseorang itu mengikuti madzhab suatu imam, maka ia harus mengikutinya 100 % dari A sampai Z. Tentu saja langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada dalam logika beragama.
Dalam sebuah dialog terbuka di Masjid al-Mujahidin, Denpasar, seorang Wahhabi mengatakan kepada kami: “Kalau Anda memang mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan selama 7 hari kematian. Karena al-Imam asy-Syafi’i sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit.” Demikian gugatan orang Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti madzhab asy-Syafi’i, tidak berarti kita menyembah al-Imam asy-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau 100 % mulai dari A sampai Z.
Para ulama kita, yang menuntun kita mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’I mengajarkan agar kita bermadzhab secara selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.
Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid terbaik dan penyebar madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi gurunya (Abu Hanifah) dalam 2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai pengikut dan penyebar madzhab Hanafi.
Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam banyak masalah menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.
Dalam madzhab asy-Syafi’i sendiri, para ulama sepakat bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim (pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih tinggal di Iraq, dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad beliau setelah tinggal di Mesir di akhir hayatnya, harus mengikuti qaul jaded sesuai dengan pesan al-Imam asy-Syafi’i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12 masalah para ulama kita mengharuskan mengikuti qaul qadim, karena setelah dikaji dan diteliti, qaul qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut. Hal ini bukan berarti kita keluar dari madzhab al-Imam asy-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat populer dari al-Imam asy-Syafi’i, bahwa beliau berpendapat, hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Namun sebagian besar pengikut madzhabnya, berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayit. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena itu, siapapun tidak bisa menggugat pengikut madzhab asy-Syafi’i yang melakukan tradisi pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit, selama mereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu diketahui bahwa al-Imam asy-Syafi’i hanya berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an saja yang tidak sampai kepada mayit. Sedangkan hadiah pahala selainnya, seperti selamatan (sedekah), shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam asy-Syafi’i berpendapat sampai. Oleh karena itu, hadiah pahala selamatan selama tujuh hari, menurut asy-Syafi’I pahalanya bisa sampai kepada mayit.

Kitab Al-Ibanah Karya Al-Asy’ari
Gugatan serupa juga saya terima dalam sebuah diskusi di Surabaya. Seorang tokoh Salafi dari Malang berkata: “Anda mengikuti madzhab al-Asy’ari, tetapi mengapa Anda tidak mengikuti pendapat al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah?”
Pada waktu itu saya jawab: “Bahwa kitab al-Ibanah yang ada sekarang tidak memiliki sanad yang shahih kepada al-Imam al-Asy’ari. Bahkan dari beberapa edisi kitab al-Ibanah yang ada, misalnya al-Ibanah yang diterbitkan oleh kaum Wahhabi di Saudi Arabia, edisi yang diterbitkan Dr. Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafidz Ibn ‘Asakir ad-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kiddzb al-Muftari, terjadi perbedaan yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah yang Anda jadikan dasar gugatan kepada kami para pengikut madzhabnya, adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu hampir mirip Bibel, semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama, pasti terjadi perbedaan. Dan seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanadnya kepada al-Imam al-Asy’ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban mengikutinya. Bukankah para ulama Asya’irah telah memilih pendapat lain yang berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai dengan logika yang berlaku dalam ilmu hadits. Menurut al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (juz 16 halaman 405), jika terdapat suatu hadits, sanadnya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut. Jadi, hadits shahih saja, posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad mereka. Apalagi hasil ijtihad seorang ulama seperti al-Imam al-Asy’ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak memakai, kita juga tidak memakai.” Al-Imam al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm as-Salaf ‘ala ‘Ilm al-Khalaf halaman 57: “Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits shahih di mana pun berada, apabila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompok mereka. Adapun hadits shahih yang disepakati ditinggalkan oleh kaum salaf, maka tidak boleh diamalkan. Karena mereka tidak meninggalkan hadits tersebut, melainkan setelah mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Ikutilah pendapat yang sesuai dengan pendapat orang-orang sebelum kalian, karena mereka lebih tahu dari pada kalian.”

Meninggalkan Hadits Shahih
Setelah saya menyampaikan pernyataan di atas, bahwa hadits yang shahih sekalipun, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan. Ada salah seorang Salafi bertanya: “Mengapa kita harus memilih pendapat seluruh ulama yang tidak mengamalkan hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”
Syaikh Ibn Taimiyah, menulis sebuah kitab berjudul Raf’u al-Malam ‘an al-Aimmah al-A’lam. Dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah mengemukakan sepuluh alasan, mengapa seorang mujtahid terkadang menolak mengamalkan suatu hadits dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn Taimiyah berkata begini (lihat pada kitab beliau tersebut halaman 35): “Dalam sekian banyak hadits yang ditinggalkan, boleh jadi seorang ulama meninggalkan suatu hadits karena ia memiliki hujjah (alasan) yang kita tidak mengetahui hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para ulama. Seorang ulama terkadang menyampaikan alasannya, dan terkadang pula tidak menyampaikannya. Ketika ia menyampaikan alasannya, terkadang sampai kepada kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketika alasan itu sampai kepada kita, terkadang kita tidak dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’ ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya.”

Hadits Shahih Pasti Madzhabku
Dalam sebuah diskusi di Denpasar, ketika membicarakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i tentang bid’ah, dimana beliau membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, Ustadz Husni Abadi, seorang tokoh Wahhabi menggugat kepada kami: “Kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam asy-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”.
Maksud pernyataan Ustadz Husni tersebut, hadits shahih menyatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi menjadi dua. Sementara pendapat asy-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua bertentangan dengan hadits shahih tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan pesan asy-Syafi’i sendiri yang mengatakan, “apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku”, Husni mengajak kami meninggalkan pembagian bid’ah menjadi dua dan mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi. Tentu saja asumsi Ustadz Husni tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ada korelasi antara pernyataan al-Imam asy-Syafi’i di atas dengan pendapat beliau yang membagi bid’ah menjadi dua.
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan al-Imam asy-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i, sedangkan asy-Syafi’i tidak tahu terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita harus mengikuti hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut telah diketahui oleh al-Imam asy-Syafi’i, sementara hasil ijtihad    beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz 1 halaman 64.
Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan al-Imam al-Hafidz Ibn al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab asy-Syafi’i, dimana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i, Ibn al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab asy-Syafi’i, berdasarkan pesan asy-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Al-Imam al-Hafidz Ibn Khuzaimah an-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh asy-Syafi’i dalam ijtihad beliau? Ibn Khuzaimah menjawab, “Tidak ada”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa an-Nihayah (juz 10 halaman 253).

Dialog Syaikh An-Nabhani dengan Rasyid Ridha
Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab.
Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat al-Imam asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah ath-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Padahal selain al-Imam asy-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah Saw., para sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits.
Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia.
Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani asy-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih an-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya:
Saya berkata: “Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada ‘udzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang Maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat Dzuhur dan Ashar, tanpa ada ‘udzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat Dzuhur dan Ashar, tetapi ia tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada ‘udzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jamak shalat di rumah (fi al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jamak shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara Dzuhur dan Ashar, serta antara Maghrib dan Isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa Dzuhur dan Ashar boleh dijamak dengan Maghrib dan Isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke Baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat daripada al-Imam al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid mutlak. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid mutlak, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu ‘anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi mujtahid mutlak.”
Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dengan disederhanakan.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template