PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB
VIII
CERDAS
BERMADZAB
Selektif
dalam Bermadzhab
Mayoritas kaum Muslimin mengikuti pola
bermadzhab dalam menjalankan kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum
Muslimin mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu
al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali
dan Abu al-Hasan asy-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian seperti
dijelaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah
wa al-Jama’ah.
Namun demikian pola bermadzhab ini
tidak jarang disalahpahami oleh mereka yang anti madzhab. Menurut mereka,
ketika seseorang itu mengikuti madzhab suatu imam, maka ia harus mengikutinya 100
% dari A sampai Z. Tentu saja langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada
dalam logika beragama.
Dalam sebuah dialog terbuka di Masjid
al-Mujahidin, Denpasar, seorang Wahhabi mengatakan kepada kami: “Kalau Anda
memang mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah
tahlilan dan selamatan selama 7 hari kematian. Karena al-Imam asy-Syafi’i
sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada
mayit.” Demikian gugatan orang Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan
mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam
Indonesia mengikuti madzhab asy-Syafi’i, tidak berarti kita menyembah al-Imam
asy-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau 100 % mulai dari A
sampai Z.
Para ulama kita, yang menuntun kita
mengikuti madzhab al-Imam asy-Syafi’I mengajarkan agar kita bermadzhab secara
selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara
manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.
Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin
al-Hasan, murid terbaik dan penyebar madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi
gurunya (Abu Hanifah) dalam 2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap
sebagai pengikut dan penyebar madzhab Hanafi.
Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam
banyak masalah menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab
sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.
Dalam madzhab asy-Syafi’i sendiri, para
ulama sepakat bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim
(pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih tinggal di Iraq,
dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad beliau setelah tinggal
di Mesir di akhir hayatnya, harus mengikuti qaul jaded sesuai dengan pesan
al-Imam asy-Syafi’i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12 masalah para ulama
kita mengharuskan mengikuti qaul qadim, karena setelah dikaji dan diteliti,
qaul qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut. Hal ini bukan
berarti kita keluar dari madzhab al-Imam asy-Syafi’i. Tetapi mengikuti madzhab
beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah
pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat populer dari
al-Imam asy-Syafi’i, bahwa beliau berpendapat, hadiah pahala bacaan al-Qur’an
tidak sampai kepada mayit. Namun sebagian besar pengikut madzhabnya,
berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayit. Pendapat
ini sesuai dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena
itu, siapapun tidak bisa menggugat pengikut madzhab asy-Syafi’i yang melakukan
tradisi pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit,
selama mereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu diketahui bahwa al-Imam
asy-Syafi’i hanya berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an saja yang
tidak sampai kepada mayit. Sedangkan hadiah pahala selainnya, seperti selamatan
(sedekah), shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam
asy-Syafi’i berpendapat sampai. Oleh karena itu, hadiah pahala selamatan selama
tujuh hari, menurut asy-Syafi’I pahalanya bisa sampai kepada mayit.
Kitab Al-Ibanah Karya Al-Asy’ari
Gugatan serupa juga saya terima dalam
sebuah diskusi di Surabaya. Seorang tokoh Salafi dari Malang berkata: “Anda
mengikuti madzhab al-Asy’ari, tetapi mengapa Anda tidak mengikuti pendapat
al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah?”
Pada waktu itu saya jawab: “Bahwa
kitab al-Ibanah yang ada sekarang tidak memiliki sanad yang shahih kepada
al-Imam al-Asy’ari. Bahkan dari beberapa edisi kitab al-Ibanah yang ada,
misalnya al-Ibanah yang diterbitkan oleh kaum Wahhabi di Saudi Arabia, edisi
yang diterbitkan Dr. Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafidz
Ibn ‘Asakir ad-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kiddzb al-Muftari, terjadi perbedaan
yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah yang Anda jadikan dasar gugatan
kepada kami para pengikut madzhabnya, adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan
kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu hampir mirip Bibel,
semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama, pasti terjadi perbedaan. Dan
seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanadnya kepada
al-Imam al-Asy’ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban
mengikutinya. Bukankah para ulama Asya’irah telah memilih pendapat lain yang
berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai
dengan logika yang berlaku dalam ilmu hadits. Menurut al-Hafidz adz-Dzahabi dalam
Siyar A’lam an-Nubala’ (juz 16 halaman 405), jika terdapat suatu hadits,
sanadnya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya,
maka kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut. Jadi, hadits shahih saja,
posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama
mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad mereka. Apalagi hasil ijtihad
seorang ulama seperti al-Imam al-Asy’ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak
memakai, kita juga tidak memakai.” Al-Imam al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali
berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm as-Salaf ‘ala ‘Ilm al-Khalaf halaman
57: “Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits
shahih di mana pun berada, apabila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat
dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompok mereka. Adapun hadits
shahih yang disepakati ditinggalkan oleh kaum salaf, maka tidak boleh
diamalkan. Karena mereka tidak meninggalkan hadits tersebut, melainkan setelah
mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin Abdul Aziz
berkata: “Ikutilah pendapat yang sesuai dengan pendapat orang-orang sebelum
kalian, karena mereka lebih tahu dari pada kalian.”
Meninggalkan
Hadits Shahih
Setelah saya menyampaikan pernyataan di atas, bahwa
hadits yang shahih sekalipun, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama
mujtahid mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan. Ada salah seorang Salafi bertanya: “Mengapa kita harus memilih pendapat
seluruh ulama yang tidak mengamalkan
hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”
Syaikh Ibn Taimiyah, menulis sebuah
kitab berjudul Raf’u al-Malam ‘an al-Aimmah al-A’lam. Dalam kitab tersebut Ibn
Taimiyah mengemukakan sepuluh alasan, mengapa seorang
mujtahid terkadang menolak mengamalkan suatu hadits
dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah
memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn
Taimiyah berkata begini (lihat pada kitab beliau tersebut halaman 35): “Dalam sekian banyak hadits yang ditinggalkan, boleh jadi
seorang ulama meninggalkan suatu hadits karena
ia memiliki hujjah (alasan) yang kita tidak mengetahui
hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para ulama.
Seorang ulama terkadang menyampaikan
alasannya, dan terkadang pula tidak menyampaikannya.
Ketika ia menyampaikan alasannya, terkadang sampai kepada kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketika alasan
itu sampai kepada kita, terkadang kita tidak
dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’ ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya.”
Hadits Shahih Pasti Madzhabku
Dalam sebuah diskusi di Denpasar,
ketika membicarakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i tentang bid’ah, dimana beliau
membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, Ustadz
Husni Abadi, seorang tokoh Wahhabi menggugat kepada kami: “Kita harus
mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam asy-Syafi’i sendiri
berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu
shahih, maka hadits itulah madzhabku)”.
Maksud pernyataan Ustadz Husni
tersebut, hadits shahih menyatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi menjadi dua.
Sementara pendapat asy-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua bertentangan
dengan hadits shahih tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan pesan asy-Syafi’i
sendiri yang mengatakan, “apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah
madzhabku”, Husni mengajak kami meninggalkan pembagian bid’ah menjadi dua dan
mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi. Tentu
saja asumsi Ustadz Husni tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ada korelasi
antara pernyataan al-Imam asy-Syafi’i di atas dengan pendapat beliau yang
membagi bid’ah menjadi dua.
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud
perkataan al-Imam asy-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi
(apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah
bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam
asy-Syafi’i, sedangkan asy-Syafi’i tidak tahu terhadap hadits tersebut, maka
dapat diasumsikan, bahwa kita harus mengikuti hadits tersebut, dan meninggalkan
hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut telah
diketahui oleh al-Imam asy-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka
sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti
ditegaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz
1 halaman 64.
Oleh karena demikian, para ulama
menyalahkan al-Imam al-Hafidz Ibn al-Jarud, seorang ulama ahli hadits
bermadzhab asy-Syafi’i, dimana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan
dengan hasil ijtihad al-Imam asy-Syafi’i, Ibn al-Jarud langsung mengklaim bahwa
hadits tersebut sebenarnya madzhab asy-Syafi’i, berdasarkan pesan asy-Syafi’i
di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh
al-Imam asy-Syafi’i.
Al-Imam al-Hafidz Ibn Khuzaimah
an-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam al-Aimmah
(penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya,
apakah ada hadits yang belum diketahui oleh asy-Syafi’i dalam ijtihad beliau?
Ibn Khuzaimah menjawab, “Tidak ada”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh
al-Hafidz Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa
an-Nihayah (juz 10 halaman 253).
Dialog Syaikh An-Nabhani dengan Rasyid Ridha
Terkadang kelompok yang anti madzhab
menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam
madzhab yang kita ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam
bermadzhab.
Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar
meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat
al-Imam asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak
akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah ath-Thalibin yang melarang
acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Padahal selain al-Imam asy-Syafi’i
menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi
mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap
telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita
dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering
menyuarakan anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu
bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum
Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka
mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum
Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah Saw., para sahabat, seluruh
ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat
tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin
al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa
bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan.
Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para
sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab,
maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil
Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan
seluruh ahli hadits.
Demikian pula ketika mereka menyuarakan
anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan
Ibn Abdil Wahhab an-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya
bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin, para sahabat,
ulama salaf dan ahli hadits.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk
orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis
karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi,
secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili.
Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab an-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam
madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia.
Ada dialog menarik untuk dikutip di
sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail
an-Nabhani asy-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud
al-Lu’luiyyah fi al-Madaih an-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani
berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog
dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya:
Saya berkata: “Kalian menjadikan
Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak
manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh
itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak
sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua
orang, Abduh seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada ‘udzur. Saya
sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang Maghrib, di rumah
seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat
Dzuhur dan Ashar, tanpa ada ‘udzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya
shalat Dzuhur dan Ashar, tetapi ia tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh
Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu
tanpa ada ‘udzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan
jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jamak shalat di rumah (fi
al-hadhar).”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid
ini. Karena jamak shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun
hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara Dzuhur dan Ashar,
serta antara Maghrib dan Isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu
alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa
Dzuhur dan Ashar boleh dijamak dengan Maghrib dan Isya’. Oleh karena itu, kami
sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid
Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji
ke Baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan
yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke
Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam
benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah.
Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan
meninggalkan salah satu rukun Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid
Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh
Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada
kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua
agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana
mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia
seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh
Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian
berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya
Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak
demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami.
Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun
Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama
Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang
yang berakal.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh
Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti
Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang
sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan
shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya
dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau
anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat daripada al-Imam
al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya
mengklaim sebagai mujtahid mutlak. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim
sebagai mujtahid mutlak, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab
itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat
radhiyallahu ‘anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat
tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti
mereka, menjadi mujtahid mutlak.”
Demikian komentar Syaikh Yusuf bin
Ismail an-Nabhani dengan disederhanakan.
0 komentar:
Posting Komentar