PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB VII
ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL
Hakekat Istighatsah dan Tawassul
Para ulama seperti al-Imam al-Hafidz
Taqiyyuddin as-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah,
isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka
mendefinisikan tawassul (dan istilah-istilah lain yang sama) dengan definisi
sebagai berikut: “Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya
bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali
untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafidz al-’Abdari, ash-Syarh
al-Qawim halaman 378).
Sebagian kalangan memiliki persepsi
bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang Nabi atau Wali untuk mendatangkan
manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa Nabi atau Wali itulah yang
mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru
tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang bertawassul
kafir dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah
memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan)
kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menyebut nama seorang nabi atau wali
untuk memuliakan keduanya.
Ide dasar dari tawassul ini adalah
sebagai berikut: Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya
urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat.
Sebagai contoh, Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk
memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya
tidak demikian. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan manusia untuk beramal
dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepadaNya. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS.
al-Baqarah ayat 45).
Allah subhanahu wa ta’ala juga
berfirman: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya (Allah).” (QS.
al-Maidah ayat 35). Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Artinya, carilah sebab-sebab
tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wata’ala akan
mewujudkan akibatnya. Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan tawassul dengan
para Nabi dan Wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba.
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa
sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan bertawassul dengan
para Nabi dan Wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah
subhanahu wata’ala.
Jadi, tawassul adalah sebab yang
dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba.
Tawassul dengan para Nabi dan Wali diperbolehkan baik di saat mereka masih
hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul,
tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan
bahaya secara hakiki kecuali Allah subhanahu wata’ala. Para Nabi dan para Wali
tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan
ketinggian derajat mereka. Ketika seorang Nabi atau Wali masih hidup, Allah subhanahu
wata’ala yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka
meninggal, Allah subhanahu wata’ala juga yang mengabulkan permohonan seorang
hamba yang bertawassul dengan mereka, bukan Nabi atau Wali itu sendiri.
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan
kesembuhan oleh Allah subhanahu wata’ala, meskipun keyakinannya pencipta
kesembuhan adalah Allah subhanahu wata’ala, sedangkan obat hanyalah sebab
kesembuhan.
Jika obat adalah contoh sabab ‘âdi
(sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar’i (sebab-sebab yang
diperkenankan syara’).
Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini,
seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari Lebanon bercerita:
“Suatu ketika seorang Wahhabi dengan
beraninya berkata kepada saya: “Mengapa kalian selalu beristighatsah dengan
mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”, tanpa perantara!”
Saya bertanya, “Kalau Anda terserang
sakit kepala, apa yang Anda lakukan?”
Ia menjawab: “Saya minum dua tablet
obat sakit kepala.”
Saya berkata: “Mengapa Anda
melakukan itu? Bukankah Allah itu Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung
saja berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha
Penyembuh, sembuhkanlah aku)”. Mengapa Anda membuat perantara dan sebab musabab
untuk kesembuhan antara anda dengan Allah? Kalau Anda minum dua tablet obat
tersebut sebagai perantara kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah wal Jama’ah
menjadikan Muhammad Saw. sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara yang
paling agung.”
Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak dapat
menjawab.
Debat Publik di Melbourne Australia
Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah
satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad
Sa’id Dimasyqiyat. Karya-karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia.
Bahkan banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui program software
Maktabah Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu
siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Masa lalunya penuh dengan skandal. Di
setiap tempat yang pernah disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu
menghujat umat Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf
(terkemudian). Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah
subhanahu wata’ala. Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela
orang-orang yang baik. Ia lupa bahwa Allah subhanahu wata’ala telah berfirman
dalam hadits qudsi: “Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu, maka Aku
deklarasikan perang terhadapnya.”
Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang
banyak tahu kebusukan masa lalunya. Petualangannya dengan wanita-wanita cantik
dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut.
Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas
al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya
direkaman-rekamannya masih ada sampai sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup,
dimana dalam rekaman itu ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu
melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan
dari al-Azhar Lebanon pada tahun 1972. Kasus itu, diakuinya sendiri.
Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis
kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia
berterus-terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan perbuatannya.
Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh, catatan
amal masih belum berlaku bagiku.”
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak
aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya.
Menyakiti kedua orang tuanya. Selalu gagal mencari pekerjaan yang
mendatangkan hasil yang halal di Lebanon dan di Perancis.
Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman
Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar
sebagai penulis bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di
bawah meja orang-orang gendut berperut besar dan berhati keras sekeras
batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan
makhlukNya) dan kaum anti tawassul.
Di antara mukjizat Rasulullah Saw.
adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan
kaum Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi Saw. Bersabda: “Kepala
kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah Saw.
menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda: “Fitnah akan muncul dari
sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”.
Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua orang tahu siapa
sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia
melarikan diri dari perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang
dijanjikan. Kemudian ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu
saja ketika ia di Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat
publik bersama Syaikh Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut,
ragu-ragu dan berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan teror dan
ancaman. Akan tetapi takdir Allah subhanahu wata’ala pasti terjadi. Akhirnya
perdebatan terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan
pasti sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat telah
berkali-kali diminta melalui radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun
ia selalu melarikan diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia
datang ke Aula Universitas Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Di Aula itu
telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari.
Di depannya ada meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang
temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu
Abdurrahman Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk
mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks
dan tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan
orang yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim
melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi
menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil
orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya
Rasulallah (wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar)
sebagaimana ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab an-Najdi dalam kitab al-Ushul
ats-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab
al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa.
Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.”
Lalu Ibn Umar berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu
kakinya sembuh. Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan
ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar,
al-Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian
sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir.
Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan
pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan
mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan
sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan Syaikh Salim,
mulailah serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim
mengajukan pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal
“Ya Muhammad”, hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang
ditahqiq Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal
“Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh
Salim segera mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh
percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya
Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kemudian,
Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab
al-Kalim ath-Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, panutan kaum
Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Dimana dalam kitab tersebut Ibn
Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan
seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum Wahhabi dan
dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang kontradiktif, yang
menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang tauhid.
Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari
lafal “Ya” yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”.
Dimasyqiyat berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak
menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata:
“Al-Albani, pemimpin kalian yang kontradiktif, berkata dalam al-Kalim
ath-Thayyib halaman 120 dalam mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan
dan dianjurkan oleh Ibn Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari
judul kitabnya al-Kalim ath-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik). Al-Albani
berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan sebagian
manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat.
Kami menuntut Anda berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, dimana
al-Albani menemukan manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”,
lalu dia anggap menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut
asumsinya. Coba Anda lihat (halaman 16 kitab al-Kalim ath-Thayyib), yang
dicetak di percetakan asy-Syawisy al-Wahhabi dengan nama al-Maktab al-Islami,
ta’liq (komentar) Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif.
Pernyataan al-Albani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan
naskah tersebut dan berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi
pertanyaanku lagi kepada Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut
atsar (hadits) ini dan menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan
dan kekufuran. Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa
Abdullah bin Umar, al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah
orang-orang sesat dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda?”
Mendengar pertanyaan tersebut,
Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada
tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa
Dimasyqiyat menghindar dari jawaban. Kemudian Syaikh Salim mengulangi
pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits
seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah Saw. agar berdoa, “Ya Muhammad,
sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.”
Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul Saw. Hadits ini shahih, riwayat
ath-Thabarani dan lainnya. Ath-Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.
Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda
berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut
serta al-Imam ath-Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin.”
Mendapat pertanyaan tersebut, tampak
sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, dimana moderator mengingatkan bahwa ia
berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrahman
Dimasyqiyat mengakui bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah
al-Muhaddits al-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama
orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya. Diantaranya kitab ar-Radd ‘ala
Abdillah al-Habasyi, karya penulis palsu Abdullah asy-Syami.
Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar
orang-orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong
dan merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi
menyebut hadits laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadapkan diriku kepadaMu dengan
perantara NabiMu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafidz
yang menilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa
hadits tersebut shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana
kalian melarang manusia bertawassul dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam
bukan di hadapannya, padahal Rasul shallallahu alaihi wasallam telah
mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di
hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira
bahwa kalian lebih pandai daripada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi
yang berperilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi
tidak berkaitan dengan topic pertanyaan. Kemudian Syaikh Salim mengulangi
pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari
jawaban.
Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan
pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk
menutupi kegagalannya. Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh
Abdullah mentahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian
auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut,
serta mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan
saya punya kopiannya.”
Mendengar pernyataan tersebut,
moderator melakukan intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa
diperlihatkan kepada hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul
kitab tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan
ditahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut justru ditahqiq dan dikoreksi
oleh orang lain, bernama Husain Nadzim al-Hulwani, dan diberi kata pengantar
oleh Syaikh Muhammad al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan
dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian
kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi
wasallam atau makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kalian mengklaim
mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin
Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi
shallallahu alaihi wasallam, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn
Taimiyah berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim
(halaman 367 terbitan Mathabi’ al-Majd at-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan
keringanan dalam mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat
duduk dan tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Bagaimana pendapat kalian?
Apakah kalian mengkafirkan al-Imam Ahmad, dimana kalian mengklaim mengikuti
madzhabnya? Atau kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul
Islam? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat
yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya.
Lebih-lebih setelah Syaikh Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan
al-Mirdawi al-Hanbali bahwa Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid
berkata: “Disunnatkan mencium hujrah (makam) Nabi shallallahu alaihi
wasallam.” Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang
tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang
firman Allah subhanahu wata’ala: “Allah Yang Maha Pengasih beristawa
terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh
Salim menjelaskan persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau
memaparkan pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’
Allah subhanahu wata’ala terhadap ‘Arsy bukan seperti istiwa’nya
makhluk. Istiwa’ dalam ayat tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan
pula menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut adalah suatu makna yang layak
bagi Allah subhanahu wata’ala, yang tidak menyerupai makna istiwa’
ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana dalam perkataan al-Imam
Ahmad bin Hanbal, “Allah beristawa sebagaimana yang diceritakan dalam
al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.” Meskipun
Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam menafsrikan istiwa’ dengan
makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat
alasan mencela Ahlussunnah wal Jama’ah. Bukankah Mu’tazilah juga mengucapkan
kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Apakah Ahlussunnah
harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah mengucapkannya?
Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan berjalan dua jam.
Sementara penjelasan Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan
Dimasyqiyat, tidak mampu memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu,
Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman
Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan yang anarkis secara
kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta mereka menghentikan tindakan
brutal tersebut.
Setelah mereka tidak mengindahkan
pengumuman, akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan
selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan Aula Universitas
Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera
yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih
utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.
Bersama Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Dialog ini adalah pengalaman pribadi
Syaikh Walid as-Sa’id, seorang ulama Ahlussunnah di Timur Tengah, dengan Syaikh
Syu’aib al-Arnauth, seorang ulama Damaskus, yang terpengaruh ajaran Wahhabi.
Syaikh Walid as-Sa’id bercerita. “Suatu
hari saya mendatangi Syu’aib al-Arnauth di kantornya untuk berdiskusi tentang
masalah tawassul dan istighatsah. Setelah saya bertemu dengannya, saya
berbicara kepadanya tentang masalah tawassul dan saya ajukan hadits riwayat
ath-Thabarani.
Syu’aib al-Arnauth berkata: “Hadits
ini membolehkan bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa
hidupnya.”
Saya berkata: “Hadits ath-Thabarani
membolehkan bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika masa
hidupnya dan sesudah meninggalnya. Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits
al-Muzani yang mendatangi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam dan
bertawassul dengannya sesudah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Ia berkata: “Hadits ini dha’if.”
Aku berkata: “Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan
oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Demikian pula Ibnu Katsir
menilainya shahih.”
Ia berkata: “Ibnu Hajar berkata,
hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih kepada Malik
ad-Dar. Sedangkan Malik ad-Dar ini seorang perawi yang majhul (tidak diketahui
kualitasnya). Jadi Malik ad-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam
periwayatan hadits.”
Aku berkata: “Malik ad-Dar ini
diangkat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab sebagai Bendahara Baitul Mal kaum
Muslimin. Berarti menurut Anda, Khalifah Umar mengangkat seorang laki-laki yang
tidak jelas kualitasnya, apakah dia dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara
negara?”
Mendengar sanggahan saya ini, ia
terdiam dan tidak dapat menjawab. Akhirnya dia berbicara lagi kepada
saya: “Secara pribadi saya berpendapat, dalam masalah tawassul ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Jadi saya tidak menentang terhadap orang yang
melakukannya. Adapun beristighatsah dengan selain Allah, hukumnya jelas haram.
Seorang makhluk tidak boleh beristighatsah dengan sesama makhluknya.”
Aku berkata: “Kalau Anda berpendapat
bahwa istighatsah terhadap sesame makhluk dilarang, lalu bagaimana pendapat
Anda tentang hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya dari
jalur Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari Kiamat,
sehingga keringat akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia dalam
kondisi demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi
Adam.” (HR. al-Bukhari no. 1475).
Syu’aib berkata: “Hadits ini
berkaitan dengan istighatsah ketika para nabi itu masih hidup, dan memang
dibolehkan beristighatsah dengan mereka. Adapun sesudah mereka meninggal, maka
tidak boleh beristighatsah dengan mereka.”
Aku berkata: “Kalau begitu, Anda
berpendapat boleh beristighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup?”
Ia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Tolong jelaskan dalil
‘aqli atau dalil syar’i yang melarang beristighatsah dengan para nabi sesudah
mereka meninggal dunia.”
Ia berkata: “Hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya yang sedang aku tahqiq dan
belum diterbitkan. Hadits tersebut adalah begini, bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah denganku.
Beristighatsah hanya kepada Allah.”
Aku berkata: “Kalau bergitu
pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika saya sampaikan hadits Ibnu
Umar (riwayat al-Bukhari), bahwa beristighatsah dengan para Nabi ketika mereka masih
hidup, itu boleh. Sekarang Anda menyampaikan hadits kepada saya, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya besabda, bahwasanya tidak
boleh beristihgatsah denganku.”
Ia berkata: “Maaf, hadits ini
dha’if. Jadi tidak dapat dijadikan hujjah.”
Ternyata hadits yang
disampaikannya, ia ralat sendiri dan ia akui sebagai hadits dha’if. Kemudian
ia berkata kepadaku: “Coba aku berikan contoh seorang imam di antara Imam
Madzhab yang empat yang mendatangi suatu makam atau seorang Wali untuk bertabarruk
atau beristighatsah dengannya.”
Saya berkata: “Al-Khathib
al-Baghdadi telah meriwayatkan dalam Tarikh Baghdad dengan sanad yang shahih,
bahwa al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Saya senantiasa bertabarruk dengan Abu
Hanifah. Saya selalu mendatangi makamnya setiap hari dengan berziarah. Apabila
saya memiliki hajat, saya shalat dua raka’at, lalu saya datangi makamnya, saya
berdoa kepada Allah tentang hajatku di sisi makam itu, sehingga tidak lama
kemudian hajatku terkabul.”
Ia berkata dengan berteriak: “Riwayat
ini tidak shahih. Dari mana Anda dapatkan riwayat ini?”
Kebetulan kitab Tarikh Baghdad ada di
belakang punggungnya. Saya berkata kepadanya: “Tolong ambilkan kitab
itu.”
Setelah kitab tersebut diserahkan kepada
saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu dan saya perlihatkan kepadanya.
Setelah ia melihat riwayat tersebut, ia merasa heran dan berkata kepada
salah seorang pembantunya: “Tolong kualitas para perawi hadits ini dikaji.”
Dari sikapnya ini, tampak sekali, kalau
ia telah mendidik orang-orang di sekitarnya berani melakukan koreksi
terhadap hadits. Padahal mereka tidak punya kapasitas untuk itu. Kemudian
pembantu itu datang menghampiri. Setelah beberapa lama masuk ke dalam, pembantu
itu pun kembali dan berkata kepadanya dengan suara agak pelan: “Semua perawi
hadits ini tsiqah (dapat dipercaya).”
Lalu saya berkata kepadanya: “Bagaimana
hasil temuan Anda tentang semua perawi hadits ini?”
Ia menjawab: “Semua perawinya dapat
dipercaya kecuali seorang perawi yang belum saya temukan data biografinya.
Dengan demikian hadits ini dha’if, karena ada seorang perawi yang tidak
diketahui kualitasnya.”
Saya berkata: “Bagaimana Anda
menghukumi hadits ini dha’if, berdasarkan alasan Anda tidak menemukan data
biografi seorang perawinya. Padahal dalam kaidah disebutkan, “Tidak menemukan
data, tidak menjadi bukti bahwa data tersebut memang tidak ada.”
Dia berkata: “Apa maksud kaidah
ini?”
Saya berkata: “Apabila Anda tidak
menemukan data seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu dinilai tidak
diketahui kualitasnya dan dha’if.”
Ia berkata: “Kalau Anda bisa
menemukan data perawi ini, saya kasih nilai sepuluh.” Lalu ia berkata: “Saya
sekarang sibuk, jadi tidak mungkin meneliti data perawi ini.”
Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya
menjawab: “Namaku Walid as-Sa’id, murid Syaikh al-Harari.”
Demikianlah pandangan kaum Wahhabi yang
mengkafirkan orang yang bertawassul dengan nabi atau wali. Pendapat
mereka, selain rapuh, tidak memiliki dasar dari al-Qur’an dan hadits,
juga berimplikasi pada pengkafiran terhadap Rasulullah Saw., para
sahabat, para ulama salaf dan seluruh umat Islam selain golongannya.
Na’udzu billah min dzalik.
Pandangan Wahhabi akan rapuh ketika
dihadapkan dengan fakta, bahwa tawassul dengan Nabi yang sudah wafat
telah diajarkan oleh Rasulullah Saw., para sahabat, generasi salaf, ahli hadits
dan kaum Muslimin. Ihdina ash-shirath al-mustaqim.
0 komentar:
Posting Komentar