PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB IX
TRADISI YASINAN
Hadits Fadhilah Surat Yasin
Salah satu tradisi yang hampir merata
di negeri kita adalah tradisi Yasinan. Yaitu, tradisi membaca surat Yasin
bersama-sama, baik membacanya sendiri-sendiri maupun membacanya secara
berjamaah dengan dipandu oleh seorang qari' yang dianggap paling baik
bacaannya. Tidak jarang, tradisi Yasinan ini dilakukan di makam para wali dan
ulama ketika ziarah ke makam mereka.
Dalam sebuah diskusi di Jl. Sekar
Tunjung IV/27, Denpasar, ada teman bernama Suwarno, Ketua Forum Studi Islam
Bali (FOSIBA) bertanya, mengenai hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin.
Apakah hadits-hadits tersebut shahih atau tidak.
Mendengar pertanyaan itu, saya balik
bertanya, mengapa Anda bertanya demikian. Akhirnya ia menyodorkan sebuah buku
kecil dengan cover biru berjudul “Yasinan, Kajian Meluruskan Aqidah”, karya
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Setelah melihat nama penulis buku kecil
tersebut, saya teringat cerita teman saya setahun sebelumnya, Ustadz Ali Rahmat,
Lc., seorang kiai muda yang kini tinggal di Jakarta. Bahwa suatu ketika
beberapa pemuda Ahlussunnah wal Jama'ah menghadiri pengajian Yazid bin Abdul
Qadir Jawas dan Abdul Hakim Amir Abdat di slamic Center Jakarta Utara. Setelah
acara selesai, beberapa pemuda itu meminta kesediaan Yazid Jawas untuk berdebat
secara terbuka dengan para ulama tentang tulisan-tulisannya yang banyak melawan
arus kaum Muslimin di tanah air. Dan sebagaimana dapat ditebak, jawaban Yazid
memang menyatakan ketidaksiapan untuk berdebat secara terbuka dengan siapapun.
Tentu saja karena ia merasa dalil-dalilnya lemah semua dan mudah dipatahkan
dalam arena perdebatan ilmiah.
Setelah buku kecil bersampul biru itu
saya baca, temyata dalam buku tersebut, Yazid Jawas sangat cerdik dalam
menyembunyikan kebenaran tentang fadhilah surat Yasin. Sebagaimana dimaklumi,
di kalangan ahli hadits ada dua kelompok berbeda dalam menyikapi hadits-hadits
fadhilah surat Yasin.
Pertama, kelompok ekstrem yang menganggap hadits-hadits tentang fadhilah
surat Yasin tidak ada yang shahih, yaitu kelompok Ibn al-Jauzi dalam kitab
al-Maudhu’at.
Dan kedua, kelompok moderat yang menganggap bahwa hadits-hadits tentang
fadhilah surat Yasin ada yang shahih dan hasan, yaitu kelompoknya
al-Imam al-Hafidz Abu Hatim bin Hibban dalam Shahihnya, al-Hafidz Ibn Katsir
ad-Dimasyqi dalam Tafsinya, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi,
al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid
al-Majmu’ah dan lain-lain.
Menurut keyakinan saya, sebenarnya
Yazid mengetahui hadits-hadits shahih tersebut, karena dalam buku kecil
itu Yazid juga merujuk terhadap kitab Tafsir al-Hafidz Ibn Katsir dan al-Fawaid
al-Majmu’ah karya asy- Syaukani. Akan tetapi, keshahihan hadits-hadits
fadhilah surat Yasin dalam kedua kitab tersebut agaknya dapat merugikan
kepentingan Yazid yang berideologi Wahhabi yang sangat kencang memerangi
tradisi Yasinan. Sehingga Yazid beralih dari kedua kitab tersebut dan sebagai
solusinya ia merujuk kepada kitab-kitab dan komentar-komentar yang memaudhu'kan
dan mendha'ifkan saja.
Berikut ini saya kutipkan hadits-hadits
(shahih) tentang fadhilah surat Yasin dari Tafsir Ibn Katsir yang menjadi
rujukan utama Yazid Jawas dalam semua bukunya.
Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pagi
harinya ia diampuni oleh Allah. Barangsiapa yang membaca surat
ad-Dukhan, maka ia diampuni oleh Allah." (HR Abu Ya'la). Menurut
al-Hafidz Ibn Katsir, hadits ini sanadnya jayyid (shahih). Komentar Ibn Katsir
ini juga dikutip dan diakui oleh al-Imam asy-Syaukani dalam tafsimya Fath
al-Qadir, bahwa sanad hadits tersebut jayyid, alias shahih.
Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena
mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya." (HR. Ibn Hibban
dalam Shahihnya). Hadits ini dishahihkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan diakui
oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam Tafsirnya, al- Hafidz Jalahiddin as-Suyuthi
dalam Tadrib ar-Rawi, dan al-Imam asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan
al-Fawaid al-Majmu’ah.
Asy-Syaukani berkata dalam al-Fawaid
al- Majmu’ah sebagai berikut: "Hadits, "Barangsiapa membaca
surat Yasin karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah secara marfu’ dan sanadnya
sesuai dengan kriteria hadits shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Nu'aim dan al-Khathib. Sehingga tidak ada alasan merryebut hadits tersebut
dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar menganggapnya sebagai hadits
maudhu’)." (Asy-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits
al-Maudhu’ah halaman 302-303).
Demikian hadits-hadits fadhilah surat
Yasin yang dishahihkan dalam Tafsir Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah fi
al-Ahadits al-Maudhu’ah. Kedua kitab ini menjadi rujukan Yazid Jawas dalam
bukunya tersebut di atas.
Berikut ini akan saya kutip sebuah
pernyataan dari salah seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abdurrahman bin Mahdi,
yang sudah barang tentu dihafal oleh kalangan Wahhabi seperti Yazid Jawas.
Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata: "Ahlussunnah
akan menulis apa saja, baik menguntungkan maupun merugjkan mereka.
Tetapi ahli bid'ah hanya akan menulis apa yang menguntungkan saja."
Seandainya Hadits Fadhilah Surat Yasin Dha'if
Dalam sebuah diskusi di Mushalla Nurul
Hikmah Perum Dalung Permai Denpasar, ada salah seorang Wahhabi berbicara.
Menurutnya, bagaimana seandainya hadits-hadits yang diamalkan oleh kaum
Muslimin itu hadits dha'if?.
Dalam kesempatan tersebut, saya
menyampaikan, seandainya hadits-hadits tentang keutamaan surat Yasin itu
dha'if, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Sebab para ulama sejak
generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadits dha’if dalam
konteks fadhail al-a’mal.
Syaikhul Islam al-Imam Hafidz al-’Iraqi
berkata: "Adapun hadits dha'if yang tidak maudhu' (palsu), maka para
ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya
tanpa menjelaskan kedha'ifannya, apabila hadits tersebut tidak berkaitan
dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib dan tarhib
seperti nasehat, kisah-kisah, fadhail al-a'mal dan lain-lain. Adapun
berkaitan dengan hukum-hukum syar'i berupa halal, haram dan selainnya,
atau akidah seperti sifat-sifat Allah, sesuatu yang jaiz dan mustahil
bagi Allah, maka para ulama tidak melihat kemudahan dalam hal itu.
Diantara para imam yang menetapkan hal tersebut adalah Abdurrahman bin
Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak dan lain-lain. Ibn Adi
telah membuat satu bab dalam mukaddimah kitab al-Kamil dan al-Khathib
dalam al-Kifayah mengenal hal tersebut." (Al-Hafidz al-‘lraqi,
at-Tabshirah wa at-Tadzkirah juz 1 halaman 291).
Sebagai bukti bahwa hadits-hadits
dha'if itu ditoleransi dan diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal dan
sesamanya, kita dapati kitab-kitab para ulama penuh dengan hadits-hadits
dha’if, termasuk kitab-kitab Syaikh Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi pendiri aliran Wahhabi.
Dalam catatan sejarah, orang yang
pertama kali menolak hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal dan
sesamanya adalah Syaikh Nashir al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania, dan
kemudian diikuti oleh para Wahhabi di Indonesia seperti Hakim Abdat, Yazid
Jawas, Mahrus Ali dan lain-lain. Tentu saja, pandangan Syaikh al-Albani
menyalahi pandangan para ulama sebelumnya termasuk kalangan ahli hadits.
Rasulullah SAW Tidak Pernah Mengerjakan
Suatu pagi, awal Agustus 2010, saya
mendapati kiriman SMS dari seorang teman. Isinya, berkaitan dengan pernyataan
Syaikh Ali dalam acara Indahnya Sedekah di Televisi Pendidikan Indonesia,
bersama Ustadz Yusuf Manshur.
Dalam acara itu, Syaikh Ali ditanya
tentang hukum Maulid Nabi Saw. Kemudian Syaikh Ali menjawabnya dengan mengutip
pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah dalam Iqtidha' ash-Shiratt al-Mustaqim yang
menilai positif perayaan maulid Nabi Saw. Hanya saja di bagian akhir
pernyataannya, Syaikh Ali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dan sarat
dengan aroma Wahhabi. Dalam hal itu ia mengatakan: "Kita harus
meninggalkan segala sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah
Saw." Agaknya Syaikh Ali ini memang seorang Wahhabi yang berupaya
menyebarkan faham Wahhabi melalui acara televisi di TPI.
Catatan:
Apabila Syaikh Ali yang dimaksud diatas
adalah Syaikh Ali Jaber al-Madani (Ulama Madinah yang kini tinggal di Indonesia
mengikuti istrinya dan sering tampil di televisi di acara Indahnya Sedekah),
maka pendapat saya (Luqman Firmansyah) mengenai hal ini adalah Syaikh Ali
bukanlah orang Wahhabi. Hal ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya yang
pernah menghadiri langsung acara yang berjudul Peringatan Maulid Nabi Februari
2011 kemarin di Masjid Raya Makassar. Tampak dalam baliho di depan masjid
tertulis “Peringatan Maulid Nabi bersama Syaikh Ali Jaber al-Madani”. Dalam
taushiyahnya yang saya lihat dan saya dengar sendiri beliau menyebutkan bahwa
peringatan Maulid Nabi sangat baik untuk dilakukan. Bahkan Syaikh Ali
menceritakan sedikit kisahnya bahwa suatu hari ia mendengarkan ceramah dari
seorang ustadz di Masjid namun yang dibicarakan oleh ustadz tersebut hanyalah
seputar tema bid’ah dan bid’ah saja. Selesai acara Syaikh Ali menemuinya lalu
mengatakan “muka anda juga bid’ah”. Dari cerita tersebut maka saya
menyimpulkan bahwa beliau, Syaikh Ali bukanlah seorang Wahhabi. Salah seorang
teman saya juga berhasil merekam video taushiyahnya dari awal hinggal akhir.
Dan apabila Anda ingin melihat videonya sebagai bukti bisa hubungi saya. Semoga
Syaikh Ali yang dimaksud dalam buku ini bukan Syaikh Ali yang pernah kutemui di
Makassar. Wallahu a’lam.
Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah,
Jl. Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada
seorang Wahhabi berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah Saw. tidak pemah
mengumpulkan para sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh
karena itu, berarti tradisi Yasinan itu bid'ah dan tidak boleh dilakukan."
Demikian kata HA dengan suara agak berapi-api.
Pernyataan HA tersebut saya jawab:
"Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah Saw., atau
para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh.
Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi Saw., al-Hafidz
Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh
Rasulullah Saw. mengandung beberapa kemungkinan:
Pertama, Nabi Saw. meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau tinggal.
Nabi Saw. pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi Saw.
bermaksud menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata kepada
beliau: "Itu daging biawak yang dipanggang." Mendengar
perkataan itu, Nabi Saw. tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, "Apakah
daging tersebut haram?" Beliau menjawab: "Tidak haram, tetapi
daging itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera."
Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Kedua, Nabi Saw.
meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi Saw. lupa meninggalkan
sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, "Apakah terjadi sesuatu
dalam shalat?" Beliau menjawab: "Saya juga manusia, yang bisa
lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan
aku."
Ketiga, Nabi Saw. meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya.
Seperti Nabi Saw. meninggalkan shalat Tarawih setelah para sahabat berkumpul
menunggu untuk shalat bersama beliau.
Keempat, Nabi Saw. meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan
dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi Saw. berkhutbah dengan
bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi,
tempat berdiri ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau
menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar
oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat
duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan
temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.
Kelima, Nabi Saw. meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam keumuman
ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar amal-amal
mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup dalam firman
Allah: "Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang
beruntung." (QS. al-Hajj ayat 77).
Keenam, Nabi Saw. meninggalkannya karena menjaga perasaan para sahabat
atau sebagian mereka. Nabi Saw. bersabda kepada Aisyah: "Seandainya
kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka'bah itu aku bongkar lalu aku
bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orang-orang
Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma." Hadits ini
terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi Saw. tidak merekonstruksi
Ka'bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam dari
kalangan penduduk Makkah. Kemungkinan juga Nabi Saw. meninggalkan suatu hal
karena alas an-alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini,
tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits
maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi Saw. meninggalkan sesuatu
karena hal itu diharamkan.”
Demikian pernyataan al-Hafidz Abdullah
al-Ghumari dengan disederhanakan.
Berkaitan dengan membaca al-Qur'an atau
dzikir secara bersama, al-Imam asy-Syaukani telah menegaskan dalam
kitabnya, al-Fath ar-Rabbai fi Fatawa al-Imam asy-Syaukani sebagai
berikut: “Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur'an ketika melihat pertanyaan
ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara
mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara,
bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian
anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh asy-Syaukani,
Risalah al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath
ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-Syaukani halaman no. 5945).
Pernyataan asy-Syaukani di atas, adalah
pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur'an, hadits dan metode pengambilan
hukum dari al-Qur'an dan hadits. Berdasarkan pernyataan asy-Syaukani di atas,
membaca al-Qur'an bersama-sama tidak masalah, bahkan dian|urkan sesuai dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah
dengan cara apapun.
Mengapa Membaca Usholli
Pembicaraan mengenai bid'ah hasanah di
Mushalla Baitul Mustaqim Jimbaran Bali, pada 25 Juli 2010, membawa pada
pembicaraan mengenai hukum membaca ushalli ketika setiap akan shalat.
Seorang teman berbicara: "Mengapa kita membaca ushalli? Apakah Rasulullah
Saw. pernah melakukannya ketika akan menunaikan shalat?"
Menjawab pertanyaan ini, saya
menjelaskan: "Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
mengucapkan kata ushalli ketika akan shalat. Para ulama fuqaha yang
menganjurkan membaca ushalli juga tidak beralasan bahwa Rasulullah Saw.
telah melakukannya. Dasar filosofi mengapa para fuqaha menganjurkan membaca ushalli
adalah demikian:
Pertama, Rasulullah Saw. Bersabda: “innama al-a’malu binniyat (segala
perbuatan itu tergantung pada niatnya)”. Hadits ini menjadi dalil wajibnya niat
ketika kita akan menunaikan ibadah.
Kedua, setelah
redaksi hadits tersebut, ada redaksi, "wainnama likulli imri-in ma nawa
(seseorang hanya akan memperoleh apa yang telah diniatinya)". Hal ini
menunjukkan bahwa ketika ibadah itu memiliki beberapa macam yang berbeda, maka
harus dilakukan ta'yin (penentuan) dalam niat. Misalnya shalat fardhu itu ada
lima, Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh. Dari sini, seorang yang akan
menunaikan shalat fardhu, harus menentukan shalat fardhu apa yang akan ia
lakukan.
Ketiga, secara kebahasaan, niat itu diistilahkan dengan bermaksud
melakukan sesuatu bersamaan dengan bagian awal pelaksanaannya. Seseorang
tentunya akan merasa kesulitan untuk melakukan niat di dalam hati bersamaan dengan
awal pelaksanaan shalat. Sedangkan mengucapkan niat sebelum melakukan
takbiratul ihram, dapat membantu konsentrasi hati dalam melakukan niat shalat
fardhu yang disertai ta'yin di atas. Dari sini kemudian para ulama
fuqaha menganjurkan mengucapkan niat sebelum mengucapkan takbiratul ihram, agar
ucapan niat tersebut; membantu konsentrasi hati ketika takbiratul ihram
dilakukan. Para ulama fuqaha mengatakan, dianjurkan mengucapkan niat dengan
lidah, agar lidah dapat membantu hati (liyusa’ida al-lisan al-qalba) dalam
melakukan niat. Di sisi lain, Rasulullah Saw. juga pernah mengucapkan niat
dengan lidah ketika akan menunaikan ibadah haji. “Dari sahabat Anas Ra.
berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan, labbaika aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji.” (HR. Muslim) Dengan demikian
mengucapkan niat dalam shalat dapat dianalogikan dengan pengucapan niat dalam
ibadah haji." Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar