PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB VI
MENURUT ASY-SYATHIBI
Tanda-Tanda Aliran Sesat
Pada beberapa waktu yang lalu, Majlis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang sesatnya aliran Ahmadiyah.
Terdapat sekian banyak dalil yang diajukan oleh MUI sebagai bukti-bukti
kesesatan Ahmadiyah. Dalam sebuah pertemuan di Surabaya saya mengemukakan bahwa
aliran Wahhabi atau Salafi juga termasuk aliran sesat. Mendengar pernyataan ini
salah seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan, apa bukti-bukti atau
dalil-dalil kesesatan Wahhabi?
Menjawab pertanyaan tersebut, saya
menjelaskan, bahwa al-Imam Abu Ishaq asy-Syathibi telah menguraikan dalam
kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau aliran sesat. Menurut
beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat:
1)
tanda-tanda terperinci, yang telah
diuraikan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang
sekte-sekte dalam Islam seperti al-Milal wa an-Nihal, al-Farq baina al-Firaq
dan lain-lain.
2)
tanda-tanda umum. Menurut asy-Syathibi,
secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga:
a.
Perpecahan dan Perceraiberaian
Pertama, terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut
seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran
ayat 105), “Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat.” (QS. al-Maidah ayat 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah Ra., Rasulullah Saw.
bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan
membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembahNya dan janganlah kamu
mempersekutukanNya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai berai...”
Kemudian asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa
para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi Saw., tetapi
mereka tidak bercerai-berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal
yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam
hukum-hukum yang tidak mereka temukan nashnya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang
berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan
permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan
tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu
menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan,
maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut
berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. dalam menafsirkan ayat
berikut ini. Rasulullah Saw. bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, siapa
yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya
dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap
mereka”, (QS. al-An’am ayat 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan
RasulNya yang lebih mengetahui.” Nabi Saw. bersabda: “Mereka adalah golongan
yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
Demikian uraian asy-Syathibi. Setelah menguraikan demikian,
kemudian asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Dimana Khawarij
memecah-belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan.
Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi Saw.: “Mereka akan
membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara
Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah-belah umat Islam dan bahkan
sesame mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah
dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di
Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahlussunnah bi
Ahlissunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali
Mushri.
Ada kisah menarik berkaitan
dengan perpecahan di kalangan Wahhabi. AD, salah seorang teman saya bercerita
pengalaman pribadinya kepada saya:
“Pada April 2010 saya mengikuti daurah (pelatihan) tentang aliran
Syi’ah di Jakarta yang diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia.
Daurah itu dilaksanakan di Gedung LPMP Jakarta Selatan dengan peserta dari
berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dalam daurah tersebut, salah seorang
pemateri yang beraliran Salafi berkata: “Aliran Syi’ah itu pecah belah
menjadi 300 aliran lebih. Antara yang satu dengan yang lain saling membid’ahkan
dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah tanda-tanda ahli bid’ah, sesama kelompoknya
saja saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah wal Jama’ah
tidak demikian. Tidak saling membid’ahkan, apalagi saling mengkafirkan.”
Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi
dan bertanya: “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah
itu, sesame kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling
mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya
sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah wal Jama’ah menurut Ustadz?
Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah wal
Jama’ah juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling
mengkafirkan. Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani
berfaham Murji’ah. Hamud at-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah
mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang
mengkritiknya sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang
beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh
memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di
Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij. Kemudian Husain Alus-Syaikh yang
tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan
al-Halabi adalah ahli bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya
tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar
al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin
Yahya an-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan
al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan
Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi
lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan banyak pula ulama Wahhabi yang hampir
saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar
dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif an-Nas baina
adz-Dzann wa al-Yaqin. Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama
Salafi seperti ini, menurut Ustadz layakkah para ulama Salafi tadi disebut
Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah,
kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu
yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan
ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri,
tokoh Wahhabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri
langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada
perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Mushri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali
Mushri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember.
Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima
buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku
tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahlussunnah bi Ahlissunnah, karangan Dr.
Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Mushri ketika
kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh.
Ternyata dalam kitab Rifqan Ahlussunnah bi Ahlissunnah, Dr. Abdul
Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah
dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa,
memutus hubungan dan sebagainya. Subhanallah, kesesatan suatu golongan
dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita
itu memberikan kesaksiannya.” (QS. an-Nahl ayat 26).
b.
Mengikuti Teks Mutasyabihat
Kedua, mengikuti teks mutasyabihat, seperti yang diingatkan dalam
firman Allah subhanahu wata’ala: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya.” (QS. Ali Imran ayat 7).
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang sesat selalu mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat dalam al-Qur’an. Mereka suka mengikuti teks yang mutasyabih, bukan
yang muhkam.
Menurut Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks
yang samar maknanya dan belum dijelaskan maksudnya. Menurutnya, mutasyabih itu
ada dua:
1)
mutasyabih haqiqi seperti lafadz-lafadz
yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara literal menunjukkan keserupaan
Allah subhanahu wata’ala dengan makhluk.
2)
mutasyabih relatif (idhafi), yaitu ayat
yang membutuhkan dalil eksternal untuk menjelaskan makna yang sebenarnya,
meskipun secara sepintas, teks tersebut memiliki kejelasan makna, seperti
ketika orang-orang Khawarij berupaya membatalkan arbitrase mengambil dalil dari
ayat, “innama al-hukmu illa lillah (hukum hanya milik Allah)”. Secara
literal, ayat tersebut dapat dibenarkan menjadi dalil mereka. Tetapi apabila
dikaji lebih mendalam, ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan. Berkaitan
dengan hal ini Ibn Abbas memberikan penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu
wata’ala itu terkadang terjadi tanpa proses arbitrase, karena ketika Allah
subhanahu wata’ala memerintahkan kita melakukan arbitrase, maka hukum yang
menjadi keputusannya juga dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wata’ala.
Demikian pula pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali Ra. Menurut
Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.”
Di sini kaum Khawarij membatasi logika mereka pada satu sisi saja, yaitu kalau
memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa mereka tidak
dijadikan tawanan oleh Ali sebagaimana Rasulullah Saw. menawan musuh-musuhnya
dalam peperangan? Dalam logika berpikir ini, Khawarij telah meninggalkan sisi
lain, yaitu sisi yang dijelaskan oleh firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. al-Hujurat ayat 9). Ayat
tersebut menjelaskan tentang peperangan tanpa operasi penawanan sesudahnya
terhadap pihak yang kalah. Hal ini yang tidak disadari oleh kaum Khawarij. Akan
tetapi dalam perdebatan dengan Khawarij, Ibn Abbas mengingatkan mereka pada
aspek yang lebih mematahkan, yaitu bahwa jika dalam peperangan Ali Ra. terjadi
operasi penawanan, maka sebagian mereka akan mendapat bagian Ummul Mu’minin
‘Aisyah sebagai tawanannya. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan
menyalahi al-Qur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, kita dapati mereka selalu
berpegangan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya ketika kaum Wahhabi membaca
ayat al-Qur’an: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. az-Zumar ayat
3), maka mereka mengatakan bahwa orang yang berdoa kepada Allah subhanahu
wata’ala melalui perantara (tawassul) orang yang sudah wafat, berarti telah
syirik dan kafir. Kaum Wahhabi lupa, bahwa disamping mereka tidak memahami
makna ibadah secara benar, mereka juga tidak menyadari bahwa bertawassul dengan
para Nabi dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi Saw., para sahabat,
tabi’in dan generasi penerusnya. Sehingga dengan pemahaman yang dangkal
terhadap ayat tersebut, Wahhabi akhirnya terjerumus pada pengkafiran terhadap
kaum Muslimin. Dan jika diamati dengan seksama, dalam setiap pendapat yang
keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum Wahhabi biasanya mengikuti teks-teks
literal yang tidak dipahami maknanya secara benar.
Al-Imam asy-Syathibi berkata dalam kitabnya al-I’tisham yang
sangat populer: “Renungkanlah, logika berpikir mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat, dapat membawa seseorang pada kesesatan dan keluar dari jamaah.
Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang
yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka merekalah orang-orang yang
disebutkan oleh Allah (sebagai orang-orang yang sesat). Hati-hatilah dengan
mereka”.
c.
Mengikuti Hawa Nafsu
Ketiga, mengikuti hawa nafsu sebagaimana diingatkan oleh firman
Allah subhanahu wata’ala, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan (zaigh).” (QS. Ali Imran ayat 3). Kesesatan
(zaigh) adalah lari dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu. Dalam
ayat lain, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun.” (QS. al-Qashash ayat 50).
Ada kisah menarik berkaitan dengan mengikuti hawa nafsu ini.
Ketika orangorang Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan
oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra, Ali selalu didatangi
orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka
melakukan gerakan melawan Anda.”
Ali Ra. hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak
akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti
melakukannya.”
Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya
sebelum waktu Dzuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon
shalat Dzuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij)
untuk berdialog dengan mereka.”
Ali Ra. menjawab: “Aku khawatir mereka
mengapa-apakanmu.”
Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki
yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.”
Akhirnya Ali Ra. merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian
yang paling bagus produk negeri Yaman. Ibn Abbas berkata: “Aku
menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik
matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang
yang lebih bersungguh-sungguh daripada mereka. Pada dahi mereka tampak
sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah
mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu
aku mengucapkan salam kepada mereka.”
Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa
keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar
serta menantu Rasulullah Saw. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka.
Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an daripada kalian. Lalu sebagian mereka
berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah subhanahu
wata’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”.
(QS. az-Zukhruf ayat 58).
Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog
dengan Ibn Abbas.”
Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka.
Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000
orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra.
Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang
tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan
hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa
nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Kita seringkali melihat atau mendengar kisah perdebatan para ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tokoh-tokoh ahli bid’ah, misalnya orang Syi’ah,
Wahhabi, atau lainnya. Akan tetapi meskipun mereka berulangkali dikalahkan
dalam perdebatan, dengan dalil-dalil al-Qur’an, Sunnah dan pandangan
ulama salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu
telah mengalahkan mereka.
d.
Tidak Mengetahui Posisi Sunnah
Al-Imam asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham membuat sebuah
pertanyaan yang dijawabnya sendiri, mengapa seseorang itu mengikuti hawa
nafsu dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuk sebuah
aliran sesat? Hal tersebut ada kaitanya dengan latar belakang lahirnya
aliran-aliran sesat, yang sebagian besar berangkat dari ketidaktahuan
terhadap Sunnah. Hal ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia
menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin”.
Menurut asy-Syathibi, setiap orang itu mengetahui terhadap dirinya
apakah ilmunya sampai pada derajat menjadi mufti atau tidak. Ia juga
mengetahui apabila melakukan introspeksi diri ketika ditanya tentang
sesuatu, apakah ia berpendapat dengan ilmu pengetahuan yang terang tanpa
kekaburan atau bahkan sebaliknya. Ia juga mengetahui ketika dirinya
meragukan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, menurut asy-Syathibi: “Seorang
alim apabila keilmuannya belum diakui oleh para ulama, maka kealimannya
dianggap tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.”
Kaitannya dengan aliran Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
sang pendiri aliran Wahhabi sendiri, termasuk orang yang tidak jelas
kealimannya. Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang semasa dengan
Syaikh Muhammad, yang mengakui kealimannya. Bahkan menurut Syaikh Ibn
Humaid dalam ash-Suhub al-Wabilah, kitab yang menghimpun biografi para
ulama madzhab Hanbali, Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena
ia tidak rajin mempelajari ilmu fiqih seperti para pendahulu dan
orang-orang di daerahnya.
Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh
Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
an-Najdi, yang mengatakan dalam kitabnya ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd
‘ala al-Wahhabiyyah halaman 5: “Hari ini manusia mendapat ujian dengan
tampilnya seseorang yang menisbatkan dirinya kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah dan menggali hukum dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Ia
tidak peduli dengan orang yang berbeda dengannya. Apabila ia diminta
membandingkan pendapatnya terhadap para ulama, ia tidak mau. Bahkan ia
mewajibkan manusia mengikuti pendapat dan konsepnya. Orang yang
menyelisihinya, dianggap kafir. Padahal tak satupun dari syarat-syarat
ijtihad ia penuhi, bahkan demi Allah, 1 % pun ia tidak memiliknya. Meski
demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam. Inna lillah
wainna ilaihi raji’un.”
Dewasa ini, para pengikut aliran Wahhabi atau Salafi, sebagian
besar memang orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang
memadai. Ada kisah menarik berkaitan hal ini. Bahrul Ulum, teman saya
yang tinggal di Surabaya, bercerita kepada saya:
“Suatu hari saya mendatangi Ustadz Mahrus Ali yang populer dengan
mantan kiai NU, di rumahnya, Waru Sidoarjo. Ternyata Ustadz Mahrus Ali
sedang menulis buku yang isinya mengharamkan ayam. Melihat tulisan
tersebut, saya segera membuka Shahih al-Bukhari, dan di situ ada sebuah
hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. pernah makan ayam.
Saya tunjukkan kepada Ustadz Mahrus Ali, hadits dalam Shahih al-Bukhari itu
sambil menyerahkan kitabnya. Ternyata, di luar dugaan, Ustadz Mahrus Ali
bilang: “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja.” Mendengar
jawaban tersebut, saya terkejut. Ternyata Ustadz Mahrus Ali mengikuti
logika orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.
Menurut saya, sebenarnya Mahrus Ali itu bukan bermaksud mengikuti
logika orientalis. Ia hanya bermaksud menutupi rasa malunya saja dengan
alas an bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang
sahabat saja. Sebab dalam logika Wahhabi, kedudukan hadits ahad
(kebalikan hadits mutawatir) sama dengan hadits mutawatir,
sama-sama menjadi pedoman dalam akidah dan hukum.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan,
mengapa LBM NU Jember tidak menulis bantahan terhadap buku-buku
Mahrus Ali yang baru. LBM hanya membantah buku Mahrus Ali yang
pertama.
Kami dari tim LBM NU Jember memang tidak menulis
bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru, karena
disamping buku-buku yang baru, dalil dan argumentasinya sama dengan
buku yang pertama, juga dalam buku-buku yang baru, pendapat-pendapatnya banyak
yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap hadits-hadits Nabi
Saw. yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Misalnya dalam buku kedua, Mahrus Ali mengatakan: “Kini, saya
tidak mau lagi mencium tangan guru-guru saya, karena saya tidak pernah
melihat para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Pernyataan
ini jelas menyingkap siapa sebenarnya Mahrus Ali. Bukankah
hadits-hadits yang menerangkan bahwa para sahabat mencium tangan
Nabi Saw. terdapat dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli
hadits dari generasi salaf, yaitu al-Imam al-Hafidz Abu Bakr Ibn al-Muqri’
al-Ashbihani, menulis kitab khusus tentang mencium tangan berjudul Juz’ fi
Taqbil al-Yad. Tetapi Ustadz Mahrus Ali, seperti kebiasaan kaum Wahhabi, memang
sangat mudah mendistribusikan vonis bid’ah dan syirik terhadap hal-hal yang
tidak disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.
e.
Menghujat Generasi Salaf
Menurut al-Imam asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat
di atas, tanda yang pertama diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq
(yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam). Sedangkan tanda-tanda
kedua dan ketiga, yaitu mengikuti teks mutasyabihat dan hawa nafsu,
tidak diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq, akan tetapi disebutkan
dalam ayat al-Qur’an (QS. Ali Imran ayat 7).
Selain hal tersebut, asy-Syathibi juga menerangkan bahwa ciri khas
ahli bid’ah dapat diketahui dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu
orang lain, ia akan membeberkan kejelekan orang-orang terdahulu yang
dikenal alim, saleh dan menjadi panutan umat. Sebaliknya ia akan
menyanjung setinggi langit, orang-orang yang berbeda dengan para tokoh
panutan tersebut.
Dalam hal ini asy-Syathibi memberikan contoh bagi kita, bagaimana
kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi Saw. Padahal para
sahabat telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah Saw.
dalam hadits-hadits shahih. Sebaliknya, kaum Khawarij justru memuji
Abdurrahman bin Muljam al-Muradi karena telah membunuh Sayidina Ali Ra.
Perbuatan serupa juga dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Syi’ah
telah menghujat dan mengkafirkan para sahabat. Menurut Syi’ah, seperti
dalam riwayat al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi: “Sesudah Nabi Saw. wafat,
semua sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman al-Farisi,
Abu Dzar al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.”
Sementara kaum Wahhabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para
sahabat dan generasi salaf. Namun dari pandangan mereka yang
membid’ahkan dan mengkafirkan beberapa amaliah generasi salaf
sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya, seperti
amaliah tawassul, istighatsah, tabarruk dan lain-lain, sebagian
ulama menganggap kaum Wahhabi telah membid’ahkan dan mengkafirkan
generasi salaf secara implisit. Bukankah amaliah tawassul, tabarruk,
istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni
dengan Wahhabi, telah diajarkan oleh kaum salaf, generasi sahabat, tabi’in
dan generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum Wahhabi justru menganggap orang-orang
Musyrik seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain lebih mantap tauhidnya
dari pada kaum Muslimin yang bertawassul.
Belakangan, dari kaum Wahhabi kontemporer tidak sedikit terlontar
pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf
secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
misalnya menganggap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani Ra. telah musyrik,
dalam komentarnya terhadap kitab Fath al-Bari Syarh Shahih
al-Bukhari karena melakukan istighatsah di makam Rasulullah Saw.
pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab Ra.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya,
menganggap al-Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibn Hajar al-’Asqalani bukan
pengikut Ahlussunnah.
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam
al-Bukhari karena melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat
dalam al-Qur’an. Dalam kitab at-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uhu, al-Albani juga
mencela Sayyidah ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui
kesyirikan.
Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi,
menganggap al-Imam al-Hafidz al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh
Ushul I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, tidak bersih dari kesyirikan.
Demikian sekelumit contoh penistaan tokoh-tokoh Wahhabi terhadap
generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.
f.
Sulit Diajak Dialog Terbuka
Pada bulan Maret 2008, tim LBM NU Jember mengajak Mahrus Ali untuk
berdialog dan berdebat secara terbuka di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hasilnya, dengan berbagai alasan Mahrus Ali tidak siap datang.
Sesudah itu, beberapa kali ia diajak dialog di Universitas
Diponegoro Semarang, kemudian di Universitas Brawijaya Malang, ia juga tidak
siap. Dan terakhir dia diajak dialog di masjid di sebelah rumah tempat
tinggalnya, ternyata ia tidak datang. Sepertinya ia tidak berani berdialog
terbuka dengan para ulama, karena ia merasa yakin bahwa dalil-dalil yang
dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena
perdebatan ilmiah
Al-Imam asy-Syathibi menjelaskan dalam al-I’tisham, bahwa sebagian
besar kaum ahli bid’ah dan pengikut aliran sesat tidak suka berdialog dan
berdebat dengan pihak lain. Menurut asy-Syathibi, mereka tidak akan membicarakan
pendapatnya dengan orang yang alim, khawatir kelihatan kalau pendapat mereka
tidak memiliki landasan dalil syar’i yang otoritatif. Sikap yang mereka
tampakkan ketika bertemu dengan orang alim adalah sikap pura-pura. Tetapi
ketika mereka bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak
kritik dan sanggahan terhadap ajaran dan amaliah umat Islam yang sesuai dengan
syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada
kalangan awam.
Dalam beberapa kali diskusi dengan kaum Wahhabi, seperti awal
Agustus 2010 di Sampang, beberapa bulan sebelumnya di Yogyakarta dan Juli 2010
di Denpasar, tidak sedikit dari kalangan Wahhabi yang melontarkan pernyataan
kepada saya, “Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni
dengan Wahhabi. Ini sama sekali tidak penting. Musuh kita orang-orang kafir,
Amerika, Zionis dan lainnya yang dengan rapi berupaya menghancurkan umat
Islam.”
Begitulah kira-kira ucapan mereka. Tentu saja ucapan itu mereka
lontarkan ketika posisi mereka terdesak dalam arena perdebatan dan diskusi
ilmiah yang disaksikan oleh publik. Mereka merasa khawatir, pandangan-pandangan
mereka yang keluar dari mainstream kaum Muslimin akan terbongkar kelemahan dan
kerapuhannya.
Terbukti, mereka sendiri ketika berbicara di hadapan orang awam,
tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mengkafirkan umat Islam di luar golongan
mereka. Bahkan selama ini, kelompok mereka sangat agresif membicarakan dan
menyebarkan isu-isu khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi, maupun dengan
lainnya.
Al-Imam asy-Syathibi berkata dalam al-I’tisham: “Jangan
berharap mereka (ahli bid’ah) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar
dalam ilmunya.”
0 komentar:
Posting Komentar