PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB V
Mereka Golongan Khawarij
Mayoritas umat Islam meyakini bahwa
Ahlussunnah wal Jama’ah itu pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidzi.
Tetapi tidak sedikit pula yang berasumsi bahwa aliran Wahhabi juga masuk dalam
golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Padahal menurut para ulama yang otoritatif di
kalangan Sunni, aliran Wahhabi itu tergolong Khawarij, bukan Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Dalam sebuah diskusi tentang ASWAJA di
Kantor PWNU Jawa Timur di Surabaya, ada pembicaraan mengenai Wahhabi, apakah
termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah atau bukan. Dalam kesempatan itu saya
menjelaskan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi itu bukan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Bahkan aliran Wahhabi itu termasuk golongan Khawarij. Mendengar penjelasan ini,
sebagian peserta ada yang bertanya, “Mengapa aliran Wahhabi Anda masukkan
dalam golongan Khawarij? Bukankah mereka juga berpedoman dengan kitab-kitab
hadits yang menjadi pedoman kita seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan
lain-lain?”
Aliran Wahhabi itu dikatakan Khawarij
karena ada ajaran penting di kalangan Khawarij menjadi ajaran Wahhabi, yaitu takfir
al-mukhalif dan istihlal dima’ almukhalifin (mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka). Suatu kelompok dikatakan
keluar dari Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak harus berbeda 100 % dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah. Kaum Khawarij pada masa sahabat dulu dikatakan
Khawarij bukan semata-mata karena perlawanan mereka terhadap kaum Muslimin,
akan tetapi karena perlawanan mereka terhadap Sayyidina Ali dilatarbelakangi
oleh motif ideology yaitu takfir dan istihlal dima’ al-mukhalifin
(pengkafiran dan pengahalalan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka).
Sayyidah ‘Aisyah, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin al-’Awwam dan banyak sahabat yang lain juga memerangi
Sayidina Ali. Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan juga memerangi Sayidina Ali.
Akan tetapi karena latar belakang peperangan mereka bukan motif ideologi,
tetapi karena semata-mata karena persoalan politik, maka mereka tidak dikatakan
Khawarij.
Persoalan bahwa kaum Wahhabi juga
merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan hadits yang menjadi rujukan Ahlussunnah
wal Jama’ah, hal ini bukan alas an menganggap mereka sebagai Ahlussunnah wal
Jama’ah. Kalau kita mempelajari ilmu rijal hadits, dalam Shahih al-Bukhari,
Muslim dan lain-lain, tidak sedikit para perawi hadits yang mengikuti aliran
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan lain-lain. Para ulama kita, termasuk
dari kalangan ahli hadits, sangat toleran dengan siapapun, sehingga tidak
menghalangi menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi ahli
bid’ah untuk dimasukkan dalam kitab-kitab mereka dan kemudian menjadi rujukan
utama kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kalau setiap orang yang merujuk
terhadap Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya harus
dimasukkan dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka kita tentunya harus
pula memasukkan semua perawi hadits al-Bukhari dan lain-lain dalam Ahlussunnah
wal Jama’ah. Padahal faktanya tidak demikian.
Bersama Ulama Wahhabi
Alasan utama mengapa aliran Wahhabi
dikatakan Khawarij dan bukan Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah paradigma
pemikirannya yang mengusung konsep takfir dan istihlal dima’ wa amwal al-mukhalifin
(pengkafiran dan penghalalan darah dan harta benda kaum Muslimin di luar
alirannya).
Dalam sebuah diskusi di PCNU Sumenep,
pada 22 Mei 2010, tentang aliran Syi’ah dan Wahhabi, seorang ulama Wahhabi
kelahiran Sumatera dan sekarang tinggal di Jember, berinisial AMSP menggugat
pernyataan saya, bahwa Wahhabi mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum
Muslimin di luar mereka. Ia mengatakan: “Wahhabi itu Ahlussunnah wal
Jama’ah, bukan Khawarij. Karena Wahhabi tidak mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin yang berbeda dengan dirinya.”
Mendengar pernyataan tersebut saya
katakan: “Bahwa Wahhabi itu mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin,
itu bukan kata saya. Tetapi itu pernyataan Syaikh Muhammad, pendiri aliran
Wahhabi. Misalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Aku pada waktu itu
tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam, sebelum
kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak
seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang
berasumsi di antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna la ilaha
illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa di
antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta,
mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang
tidak dimilikinya.” (Ibn Ghannam, Tarikh Najd halaman 310).
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa sebelum ia menyebarkan faham
Wahhabi, ia sendiri tidak mengerti makna kalimat la ilaha illallah dan tidak
mengerti agama Islam. Bahkan tidak seorang pun dari guru-gurunya dan ulama
manapun yang mengerti makna kalimat la ilaaha illallah dan makna agama Islam.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan
guru-gurunya, semua ulama dan mengkafirkan dirinya sebelum menyebarkan faham
Wahhabi. Pernyataan tersebut ditulis oleh muridnya sendiri, Syaikh Ibn Ghannam
dalam Tarikh Najd halaman 310.
Dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat hal.
29-30, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Ketahuilah bahwa
kesyirikan orang-orang dulu lebih ringan daripada kesyirikan orang-orang masa
kita sekarang ini.” Maksudnya kaum Muslimin di luar golongannya itu telah
syirik semua. Kesyirikan mereka melebihi kesyirikan orang-orang Jahiliyah.
Sebagaimana ia tulis dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat, kitab pendiri Wahhabi yang
paling ekstrem dan paling keras dalam mengkafirkan seluruh kaum Muslimin selain
golongannya.
Dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah fi
al-Ajwibat an-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak masa
pendirinya) yang ditahqiq oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, ulama
Wahhabi kontemporer, ada pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa
ilmu fiqih dan kitab-kitab fiqih madzhab empat yang diajarkan oleh para ulama
adalah ilmu syirik, sedangkan para ulama yang menyusunnya adalah syetan-syetan
manusia dan jin. (Ad-Durar ad-Saniyyah juz 3 halaman 56).
Pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab ini berarti pembatalan dan pengkafiran terhadap kaum Muslimin yang
mengikuti madzhab fiqih yang empat.
Dalam berbagai kitab dan risalahnya,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab selalu menyebutkan kalimat-kalimat yang
ditujukan kepada orang-orang musyrik. Namun ia tidak pernah menyebut seorang
pun nama orang musyrik yang menjadi lawan polemiknya dalam kitab-kitab dan
tulisannya. Justru yang ia sebutkan adalah nama-nama para ulama terkemuka pada
waktu itu seperti Syaikh Ibn Fairuz, Marbad at-Tamimi, Ibn Suhaim, Syaikh Sulaiman
dan ulama-ulama lainnya. Maksudnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
mengkafirkan seluruh ulama pada waktu itu yang tidak mengikuti ajarannya.
Bahkan secara terang-terangan, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan
dalam kitab Kasyf asy-Syubuhat, bahwa kaum Muslimin pada waktu itu telah
memilih mengikuti agamanya Amr bin Luhay al-Khuza’i, orang yang pertama kali
mengajak orang-orang Arab memuja berhala.
Pengkafiran terhadap kaum Muslimin
terus dilakukan oleh ulama Wahhabi dewasa ini. Dalam kitab Kaifa Nafhamu
at-Tauhid, karangan Muhammad bin Ahmad Basyamil, disebutkan: “Aneh dan
ganjil, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya kepada Allah
dan lebih murni imannya kepadaNya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul
dengan para wali dan orang-orang saleh dan memohon pertolongan dengan perantara
mereka kepada Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya
dan lebih tulus imannya dari mereka kaum Muslimin yang mengucapkan tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.” (Muhammad bin Ahmad Basyamil, Kaifa
Nafhamu at-Tauhid halaman 16).
Dalam pernyataan tersebut, Basyamil
menganggap bahwa kaum Muslimin selain Wahhabi, lebih syirik dari pada Abu Jahal
dan Abu Lahab. Kitab karya Basyamil ini dibagi-bagikan secara gratis oleh
tokoh-tokoh Wahhabi kepada siapapun yang berminat.
Demikian dialog saya dengan AMSP yang
tidak berjalan lama. Karena ia minta agar dialog segera diakhiri.
Mereka Ahli Bid’ah Abad Modern
Dalam sebuah diskusi di Surabaya
tentang status Wahhabi sebagai golongan Khawarij, ada seorang teman bertanya: “Mengapa
Anda memasukkan Wahhabi ke dalam golongan Khawarij? Apa bukti-buktinya?”.
Teman kita ini sepertinya keberatan
sekali kalau Wahhabi dimasukkan ke dalam golongan Khawarij. Akhirnya pada waktu
itu saya berusaha meyakinkan semua peserta diskusi yang hadir, dengan
memberikan penjelasan bahwa kita mengganggap Wahhabi sebagai Khawarij, karena
semua ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang otoritatif (mu’tabar) di kalangan
pesantren mengatakan demikian.
Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki,
al-Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah
dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir
al-Jalalain sebagai berikut: “Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij,
yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab
itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang
terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang
disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh
sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah
ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain juz 3 halaman 307).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi,
al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga
berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Mukhtar sebagai berikut:
“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa
kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang
keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti
madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin,
sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang
musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para
ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka
dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin,
Hasyiyah Radd al Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar juz 4 halaman 262).
Dari kalangan ulama madzhab Hanbali,
al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid an-Najdi berkata dalam kitabnya
ash-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh
Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut: “Abdul Wahhab bin
Sulaiman at-Tamimi an-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang
percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya
terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan
berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku
jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul
Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka
belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang
ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang.
Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan
keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.
Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab),
juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik
berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Saw. Syaikh Sulaiman
menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi ar-Radd ‘ala Muhammad
bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan
tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan
terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang
menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara
terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat
tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan
menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid an-Najdi,
ash-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah halaman 275).
Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i,
al-Imam as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah
ath-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif (mu’tabar) di kalangan ulama di
Indonesia, berkata: “Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata:
“Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi Saw.
cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah
mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus
mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun
dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah
al-Wahhabiyah halaman 54).
Demikian pernyataan ulama terkemuka
dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang menegaskan bahwa
golongan Wahhabi termasuk Khawarij bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Tentu saja
masih terdapat ratusan ulama lain dari madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang
menyatakan bahwa Wahhabi itu Khawarij dan tidak mungkin kami kutip semuanya
dalam diskusi kali ini.
Dialog Sunni vs Wahhabi
Ada dialog menarik antara orang Sunni
dengan orang Wahhabi yang akan kami kutip di sini. Namun sebelum mengutip
dialog tersebut, ada baiknya dikutip terlebih dahulu tulisan seorang teman di
dunia maya yang menguraikan kesamaan Wahhabi dengan Khawarij.
Menurut teman tersebut, ada beberapa
kesamaan antara Wahhabi dengan Khawarij. Pertama, Khawarij telah
mengucilkan diri dari seluruh kaum Muslimin dengan berpendapat bahwa pelaku
dosa besar itu kafir. Dan ternyata Wahhabi juga mengucilkan diri dari kaum
Muslimin dengan mengkafirkan kaum Muslimin karena perbuatan dosa menurut asumsi
Wahhabi. Kedua, Khawarij menetapkan negara Islam yang penduduknya
melakukan dosa besar sebagai negara harbi, yang dihalalkan melakukan tindakan
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap negara harbi (darah dan
harta bendanya dihalalkan). Demikian pula kaum Wahhabi, akan menghukumi negara
Islam sebagai negara harbi meskipun penduduknya orang yang paling taat
beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan paling saleh, apabila mereka
meyakini bolehnya bepergian berziarah ke makam Nabi dan makam orang-orang saleh
dan meminta syafa’at kepada mereka.
Dari kedua poin ini bisa disimpulkan
bahwa Wahhabi itu lebih buruk daripada Khawarij. Kaum Khawarij melihat
perbuatan yang disepakati sebagai dosa besar oleh kaum Muslimin lalu
mengkafirkan pelakunya. Sementara Wahhabi melihat amaliah-amaliah yang sama
sekali bukan perbuatan dosa, bahkan termasuk amaliah sunnah yang dilakukan oleh
generasi salaf yang saleh dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi
berikutnya tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Lalu kaum Wahhabi mengkafirkan
pelaku amaliah sunat tersebut.
Ketiga, Wahhabi dan Khawarij sama-sama ekstrem (ghuluw) dalam
beragama serta jumud dalam memahaminya. Kaum Khawarij ketika membaca firman
Allah subhanahu wata’ala “inna al-hukmu illa lillah (hukum itu hanyalah
milik Allah)”, maka mereka mengatakan bahwa orang yang membolehkan
arbitrase telah syirik kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka membuat
semboyan, “la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari Allah)”,
kata-kata benar yang disalahgunakan (kalimatu haqqin urida biha bathilun).
Pernyataan Khawarij tersebut jelas kejumudan dan kedangkalan berpikir. Karena
arbitrase dalam persengketaan telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah, sirah
Rasul Saw. dan tidak bertentangan dengan logika nalar. Demikian pula Wahhabi, ketika
mereka membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Hanya kepadaMu kami
menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan”, (QS al-Fatihah ayat
5), dan firman Allah subhanahu wata’ala, “Tiada yang dapat memberi syafa’at
di sisiNya tanpa izinNya”, (QS. al-Baqarah ayat 255), dan firman Allah
subhanahu wata’ala, “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada
orang yang diridhai Allah”, (QS. al-Anbiya’ ayat 28), maka mereka (Wahhabi)
berkata: “Barangsiapa berpendapat boleh meminta syafa’at kepada Nabi dan
orang-orang saleh, maka ia telah syirik kepada Allah subhanahu wata’ala, dan
barangsiapa yang bermaksud ziarah ke makam Nabi dan meminta syafa’at kepadanya,
maka ia telah menyembahnya dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah
subhanahu w ta’ala.”
Dari sini, kaum Wahhabi selalu membawa
slogan “Tidak ada yang disembah selain Allah”, dan “Syafa’at hanya
milik Allah”, sebuah kalimat benar yang disalahgunakan. Hal ini termasuk
kejumudan dan kedangkalan dalam berpikir. Karena kebolehan hal tersebut telah
dimaklumi dari sejarah kehidupan para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya.
Keempat, Ibn Taimiyah berkata: “Aliran Khawarij adalah bid’ah pertama
yang muncul dalam Islam, lalu pengikut Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin”. Demikian pula Wahhabi, bid’ah terakhir dalam Islam,
pengikutnya mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin.
Kelima, hadits-hadits shahih yang menerangkan tentang Khawarij dan
keluarnya mereka dari agama, sebagiannya sesuai dengan aliran Wahhabi. Dalam Shahih
al-Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda: “Akan ada sekelompok manusia keluar
dari arah timur. Mereka membaca al-Qur’an, namun apa yang mereka baca tidak
melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah
keluar dari sasarannya. Tanda-tanda mereka mencukur rambut.”
Al-Imam al-Qasthalani berkata dalam
mengomentari hadits ini, bahwa yang dimaksud dari arah timur adalah arah timur
kota Madinah seperti Najd dan sesudahnya. Demikian pula Wahhabi, lahir di Najd
dan kemudian menyebar ke mana-mana. Disamping mencukur rambut juga menjadi ciri
khas mereka. Kaum Wahhabi memerintahkan orang-orang yang mengikuti mereka agar
mencukur rambut, meskipun kaum wanita.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang
semasa dengan lahirnya ajaran Wahhabi berkata: “Tidak perlu menulis bantahan
terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi Saw. cukup sebagai bantahan
terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut
(maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”.
Dalam hadits lain tentang Khawarij, Rasulullah Saw. bersabda: “Mereka akan
membunuh umat Islam, akan tetapi membiarkan penyembah berhala”. Hadits ini
persis dengan aliran Wahhabi. Mereka belum pernah mengarahkan peperangan
terhadap selain umat Islam.
Dalam sejarah mereka belum pernah
dikenal bahwa mereka mendatangi atau bermaksud memerangi penyembah berhala,
karena hal tersebut tidak masuk dalam prinsip dan buku-buku mereka yang isinya
penuh dengan kecaman dan pengkafiran terhadap umat Islam. Al-Imam al-Bukhari
juga meriwayatkan dari Ibn Umar dalam menjelaskan ciri-ciri kaum Khawarij: “Mereka
mengambil ayat-ayat al-Qur’an yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu
mereka tuangkan kepada orang-orang beriman”. Ibn Abbas juga berkata: “Janganlah
kalian seperti Khawarij, memaksakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an untuk umat
Islam (ahlil qiblah). Padahal ayat-ayat tersebut turun mengenai ahlul kitab dan
orang-orang musyrik. Mereka tidak mengetahui ilmunya, lalu mereka mengalirkan
darah dan merampas harta benda orang-orang Muslim”. Demikian pula kaum
Wahhabi, mengambil ayat-ayat yang turun mengenai pemuja berhala, lalu mereka
terapkan pada orang-orang yang beriman. Hal tersebut memenuhi buku-buku dan
menjadi dasar madzhab mereka.
Berikut ini dialog menarik antara Sunni
dengan Wahhabi. Wahhabi berkata: “Kitab-kitab madzhab Hanbali itu
kitab-kitab Wahhabi. Apa yang Anda tidak setuju? Anda tidak boleh menilai
negatif mereka kecuali dengan apa yang tertulis dengan jelas dalam kitab-kitab
mereka, bukan berdasarkan informasi dari pihak lawan Wahhabi”.
Sunni berkata: “Bagaimana Anda
menilai aliran Qaramithah?”
Wahhabi menjawab: “Mereka
orang-orang kafir dan mulhid”.
Sunni berkata: “Orang-orang
Qaramithah berasumsi bahwa madzhab mereka itu madzhab Ahlul Bait. Menurut
mereka, kitab-kitab Ahlul Bait itu kitab-kitab Qaramithah. Bukankah dalam
kitab-kitab Ahlul Bait itu hanya kebenaran dan cahaya?”
Wahhabi berkata: “Qaramithah itu
berbohong. Para sejarawan telah mencatat kekafiran dan kebohongan Qaramithah.”
Sunni berkata: “Anda menganggap
kesaksian sejarawan sebagai hujjah?”
Wahhabi berkata: “Ya, karena
asy-Syafi’i menjelaskan bahwa informasi para sejarawan secara kolektif dari
banyak orang ke banyak orang lebih ia senangi daripada hadits yang diriwayatkan
seorang ahli hadits, melalui seorang perawi dari seorang perawi.”
Sunni menjawab: “Kalau begitu Anda
harus menerima argumentasi saya. Bukankah para sejarawan yang menyaksikan
lahirnya Wahhabi mencatat kekafiran mereka yang nyata. Perbuatan seseorang
sangat kuat sebagai hujjah dan dalil, meskipun lidahnya tidak mengakuinya.
Qaramithah ketika menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin, maka tanpa
ragu-ragu para ulama meyakini kekafiran mereka. Demikian pula generasi awal
aliran Wahhabi, perbuatannya sama dengan Qaramithah, mengkafirkan dan membantai
kaum Muslimin.”
Akhirnya orang Wahhabi itu emosi. Ia
tidak mampu mengendalikan bicaranya dengan kalimat-kalimat yang sulit
dimengerti.
Sunni berkata: “Bagaimana pendapat
Anda tentang hadits-hadits yang menerangkan tentang Khawarij. Dalam
hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa Khawarij keluar dari agama, mereka
akan menjadi anjing-anjing di neraka dan mereka seburuk-buruk orang yang
dibunuh di bawah langit?”
Wahhabi menjawab: “Hadits-hadits
yang ada memberikan kesimpulan yang pasti dan tanpa keraguan bahwa Khawarij
memang keluar dari agama dan berhak menerima murka Allah subhanahu wa ta’ala.
Tetapi mereka orang-orang yang diperangi oleh Ali bin Abi Thalib Ra. di
Nahrawan. Wahhabi bukan bagian dari mereka.”
Sunni berkata: “Mengapa Khawarij
berhak menerima murka Allah subhanahu wata’ala. Apakah karena shalat mereka
lebih baik daripada shalat para sahabat dan puasa mereka lebih baik daripada
puasa sahabat?”
Wahhabi menjawab: “Bukan karena
itu.”
Sunni berkata: “Atau karena mereka
zuhud, bersahaja, membaca al-Qur’an dengan rajin dan sungguh-sungguh dan sering
mengeluarkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Wahhabi menjawab: “Bukan karena
itu.”
Sunni menjawab: “Kalau bukan karena
itu, lalu karena apa?”
Wahhabi terdiam dan tidak bisa
menjawab.
Lalu Sunni menjawab: “Hal itu karena
Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin.
Mereka mengklaim bahwa hanya mereka kaum Muslimin. Selain mereka jelas kafir.
Sudah barang tentu, kelompok yang memiliki konsep ajaran seperti Khawarij, juga
berhak menerima ancaman seperti mereka.”
0 komentar:
Posting Komentar