PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB II
ALLAH MAHA SUCI
Allah Ada tanpa Tempat
Keyakinan yang paling mendasar setiap
muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala Maha Sempurna dan Maha
Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wata‘ala Maha Suci dari menyerupai
makhlukNya. Allah subhanahu wata‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah
subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar
setiap muslim Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam ilmu akidah atau teologi,
keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki
sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wata‘ala wajib tidak
menyerupai makhlukNya.
Ada sebuah dialog yang unik antara
seorang muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat,
dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wata‘ala
bertempat.
Wahhabi berkata: “Kamu ada pada
suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti
ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa tempat, berarti kamu
berpendapat Allah tidak ada.”
Sunni menjawab: “Sekarang saya akan
bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum
diciptakannya tempat?”
Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada
tanpa tempat sebelum terciptanya tempat.”
Sunni berkata: “Kalau memang
wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional
pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan
Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana
seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?”
Sunni menjawab: “Pernyataan Anda
mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat
azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan
termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah
subhanahu wata‘ala: “Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS.
az-Zumar ayat 62). Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu
baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian
berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wata‘ala: “Dialah (Allah)
Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa
akhir).” (QS. al-Hadid ayat 3).
Demikianlah dialog seorang muslim Sunni
dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa
wujudnya Allah subhanahu wata‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan
seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap muslim,
yaitu Allah subhanahu wata‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah
subhanahu wata‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat
dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama.
Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafidz Ahmad bin Muhammad bin
ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir
menyandang gelar al-Hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu
hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi.
Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan
perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini:
“Pada tahun 1356 H ketika saya
menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah
Syaikh Abdullah ash-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam
pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya
sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada
soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wata‘ala dan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi.
Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (dzahir)
mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu ada di atas ‘Arasy
sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata
kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian
dari al-Qur’an?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa
yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala: …………………….. Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya,
termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wata‘ala: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah ayat 7). Apakah
ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk
al-Qur’an.”
Saya berkata: “(Kedua ayat ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda
menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit lebih utama untuk
diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah
subhanahu wata‘ala?”
Wahhabi itu menjawab: “Imam
Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa
kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam.
Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka.
Sebenarnya saya menunggu jawaban
mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil,
sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada
di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian,
tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan
menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat
yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya
ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan
tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa
ulama seperti al-Hafidz Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak
menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus
mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah
subhanahu wata‘ala).”
Demikian kisah al-Imam al-Hafidz Ahmad
bin ash-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.
Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat
perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya.
Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar.
Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang.
Dalam perdebatan tersebut saya bertanya
kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di
langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH
menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wata‘ala ada di langit.
Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang
Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena
kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Disamping itu, apabila
Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat
dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wata‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid ayat 4). Ayat
ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala bersama kita di bumi, bukan ada
di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan
Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan
memberiku petunjuk.” (QS. ash-Shaffat ayat 99). Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim
alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim
alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di
Palestina.”
Setelah saya berkata demikian, AH tidak
mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah subhanahu wata‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam:
“Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau
Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan
budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR.
Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya
menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda
sebutkan.”
Pertama, dari aspek kritisisme ilmu
hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong
hadits mudhtharib (hadits yang simpang-siur periwayatannya), sehingga
kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran
periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam
meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama
melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang
ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya adalah bukan
tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wata‘ala.”
Lalu orang tersebut menjawab kedudukan
Allah subhanahu wata‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu
Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen
dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wata‘ala ada di
langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat
dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di langit, bahkan ada
di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya: “Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat
dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau
kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya
berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan
kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi
meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari
no. 405).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di
langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena
hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga
tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan
tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.”
Lalu saya jawab: “Tadi Anda
mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an.
Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu
setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’.
Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata
dalam al-Farqu Bayna al-Firaq: “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para
sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak
dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq halaman 256). Al-Imam Abu Ja’far
ath-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, risalah kecil yang
menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi: “Allah subhanahu wa ta‘ala tidak
dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada
AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?”
AH menjawab: “Makhluk.”
Saya bertanya: “Kalau tempat
itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?”
AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak
boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.”
Demikian jawaban AH, yang menimbulkan
tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada
acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota
jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang
Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak
akan menjawab “Aku tidak tahu” sebagaimana tradisi ulama salaf dulu.
Akan tetapi mereka akan menjawab “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.”
AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa
ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para
sahabat kepada Nabi Saw., dan Nabi Saw. tidak berkata kepada mereka,
bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahih-nya: “Imran bin Hushain Ra. berkata: “Aku berada bersama Nabi Saw.,
tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami
datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada
ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah telah ada dan
tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari no. 3191).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wata‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum
adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dengan
sanad yang hasan dalam as-Sunan berikut ini: “Abi Razin Ra. berkata: “Aku
berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan
makhlukNya?” Rasulullah Saw. menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan ‘Arsy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid
bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertai (termasuk tempat). At-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan
at-Tirmidzi no. 3109).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara
Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali
mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat
al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang
lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi Saw., pasti
kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits
yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional,
pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wata‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin
sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin
Abi Thalib Ra. berkata: “Allah subhanahu wata‘ala ada sebelum adanya tempat.
Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya
Allah tidak bertempat).” (al-Farq baina al-Firaq halaman 256).
Syaikh asy-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
Ketika orang-orang Wahhabi memasuki
Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah
syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Saw. dalam sabdanya,
“Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan
membiarkan para penyembah berhala.”
Mereka juga membunuh seorang ulama
terkemuka. Mereka menyembelih Syaikh Abdullah az-Zawawi, guru para ulama
madzhab asy-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia
beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh az-Zawawi yang juga sudah
memasuki usia senja juga mereka sembelih. Kemudian mereka memanggil
sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma
Allah subhanahu wata‘ala dan sifat-sifatNya. Ulama yang setuju dengan pendapat
mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan
dibunuh atau dideportasi dari Hijaz.
Diantara ulama yang diajak berdebat oleh
mereka adalah Syaikh Abdullah asy-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik
yang dikenal hafal Sirah Nabi Saw. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang
mendebatnya, diantaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta
hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan
hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wata‘ala. Mereka
bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan
tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari
adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz
dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada pendapat Ibn Taimiyah dan
Ibn al-Qayyim.
Lalu Syaikh Abdullah asy-Syanqithi berkata
kepada si tuna netra itu: “Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu
tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah subhanahu wata‘ala
telah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini,
niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari
jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ ayat 72). Berdasarkan ayat di atas, apakah
Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat
nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda
bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh
asy-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu
menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar
Syaikh asy-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si
tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi asy-Syanqithi dari
Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh
al-Hafidz Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan seksama,
perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, akan
mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum
tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan tidak
jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan
mereka sendiri.
Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan
bercerita kepada saya: “Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun,
Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap
tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi Saw. dengan mengundang sejumlah
ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya
ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi
Saw. tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara
dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan
mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi? Setelah presentasi tentang aliran
Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab
ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya
dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan
ta’wil.
Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an
itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai
dengan bahasa Arab pula”.
Pernyataan orang Salafi itu, saya
dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat
al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda
Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah,
sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan
Sofyan yang terakhir, saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam
al-Bukhari itu ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, tidak
diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari
penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Sofyan menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah al-Albani
seorang ahli hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, dengan
karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau
juga ahli hadits.”
Saya berkata: “Kalau benar
al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil.
Bukankah begitu keyakinan Anda?”
Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya berkata: “Saya akan membuktikan
kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil.”
Sofyan berkata: “Mana buktinya?”
Mendengar pertanyaan Sofyan,
saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan
dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata: “Anda lihat
pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan: “Bab tentang ayat: Segala
sesuatu akan hancur kecuali WajahNya, artinya KekuasaanNya.” Nah, kata
WajahNya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya
kekuasaanNya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat
ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran
sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya
terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya
berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits
al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji
itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari
al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari
dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari
yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh
seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang
ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat “Segala sesuatu akan hancur
kecuali WajahNya”. Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan
bahwa ta’wilan al-Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya
mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda
Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa.”
Demikian kisah yang dituturkan oleh
Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan
bersemangat dalam membela Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah
dilakukan oleh para ulama salaf, diantaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad
bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi seringkali mengingkari
fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu
dibuat-buat.
Seorang teman saya, berinisial AD
menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran
Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini:
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu,
saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh
salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri
Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Diantara
materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil
atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi
demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wata‘ala itu bertempat atau berada
di atas ‘Arsy. Dia menggunakan ayat “ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa”
(QS. Thaha ayat 5). Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru
menunjukkan kalau Allah subhanahu wata‘ala tidak ada di atas ‘Arasy.
Akibatnya, terjadiah dialog sengit
antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya
membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa
dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat “wa jaa-a rabbuka wal malaku
shaffan-shaffan” (QS. al-Fajr ayat 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut
dengan jaa-a tsawaabuhu waqhadha-uhu (datangnya pahala dan ketetapan
Allah subhanahu wata‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari
ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia
menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza
al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang
menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut
tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa
redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat
(redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa
Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang
biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan
al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa
sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya,
berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya
tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.”
Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.
0 komentar:
Posting Komentar