PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB IV
OTORITAS ULAMA
Sumber Liberalisme
Pada tahun 2009, saya terlibat
perdebatan sengit di Surabaya dengan seorang tokoh Salafi dari Malang,
berinisial AH. Di bagian awal buku yang dipromosikannya pada waktu itu,
ia menulis, bahwa madzhab al-Asy’ari merupakan sumber pemikiran liberal.
Saya merasa heran dengan asumsi murahan AH yang mengatakan bahwa
pemikiran liberal sumbernya dari madzhab al-Asy’ari. Logika dan
paradigma apa yang dijadikan barometer untuk menilai madzhab al-Asy’ari
sebagai sumber ajaran liberal. Seandainya ada seseorang berpendapat
bahwa ajaran Islam itu sumber kejahatan pencurian dan perzinahan, karena
ia melihat dalam kitab-kitab tafsir ada beberapa ayat yang turun berkaitan
dengan sahabat Nabi Saw. yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima
logika berpikir seperti ini? Tentu saja dia tidak akan menerima.
Seandainya AH berkomunikasi terlebih
dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi yang menjadi gurunya di Saudi Arabia, mungkin
ia tidak akan menulis tuduhan keji seperti itu. Karena para ulama Wahhabi
sendiri mengakui, bahwa mayoritas ulama dari berbagai bidang, seperti ahli
tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli sejarah, gramatika dan lain-lain
mengikuti madzhab al-Asy’ari. AH sepertinya tidak pernah membaca sejarah bahwa
para ulama yang berhasil membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada
akhir abad keenam Hijriah adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari.
Dalam sejarah pemikiran Islam,
Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam arena
dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal sebagai aliran yang mendahulukan
akal daripada nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah. Di tangan Mu’tazilah,
teks-teks al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang nilai sakralitasnya karena
harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar.
AH juga sepertinya tidak tahu sejarah,
bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber pemikiran liberal dalam Islam,
menjadi terkapar untuk selama-lamanya dari ranah intelektual kaum Muslimin
setelah dibabat habis oleh Hujjatul Islam al-Ghazali dengan kitabnya Tahafut
al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai
sumber ajaran liberal? Bukankah lebih layak kalau dikatakan bahwa liberalisme
sumbernya dari Wahhabi.
Sebagaimana dimaklumi, diantara ciri
khas liberalisme, adalah upaya desakralisasi otoritas ulama. Ketika pendapat
dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada kaum liberal, maka dengan serta merta
mereka akan menolaknya dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti
halnya mereka. Kaum Wahhabi juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad
ulama diajukan kepada mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya,
dengan bahasa yang terkadang lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah”. Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah.
Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi
seperti AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Bukankah
pendiri aliran Wahhabi sendiri, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi telah
mengatakan bahwa kitab-kitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik.
Dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah fi
al-Ajwibah an-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang dihimpun
oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad an-Najdi al-Wahhabi, juz 3 halaman 59,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen yang cukup ekstrem bahwa
ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para ulama fuqaha yang
menulis kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan manusia dan jin. Astaghfirullah.
Tidak Perlu Mengikuti Ulama
Kejadian itu agak mirip dengan kejadian
berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi pengajian di daerah Kesiman Denpasar Timur
Bali. Setelah saya memaparkan tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an
dan hadits, lalu saya mengutip pendapat para ulama sejak Khulafaur Rasyidin yang
mengakui dan mengamalkan bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat
bicara dengan nada emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti
imam ini maupun imam itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik.
Setelah Rasulullah Saw. tidak ada orang yang perlu kita ikuti.” Demikian
perkataan orang Wahhabi tersebut dengan suara berapi-api dan nada suara tinggi.
Orang Wahhabi ini sepertinya tidak
tahu, bahwa yang memberikan otoritas kepada ulama agar diikuti oleh umat Islam
adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika kita mengikuti ulama, itu bukan berarti
kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi kita justru mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang lebih mengerti
dari pada kita. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
“Bertanyalah kamu kepada para ulama apabila kamu tidak tahu.” (QS. an-Nahl
ayat 43 dan al-Anbiya’ ayat 7).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an
memerintahkan kita agar bertanya kepada para ulama ketika kita tidak tahu.
Al-Qur’an tidak memerintahkan kita membuka-buka lembaran-lembaran al-Qur’an dan
kitab-kitab hadits ketika kita tidak tahu.
Dalam ayat lain, Allah subhanahu
wata’ala juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS. an-Nisa’
ayat 59).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menuntun
kita agar mengikuti Ulil Amri. Yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat
tersebut adalah para ulama yang mendalam ilmunya.
Dalam hadits shahih, Rasulullah Saw.
bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu
ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah
didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits
dariku tidak dapat memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak
sedikit orang yang memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami
daripada orang yang mendengar hadits itu secara langsung dariku.”
(HR. at-Tirmidzi no. 2580, 2581 dan 2583, Abu Dawud no. 3175, Ibn Majah no. 226
dan lain-lain).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa di
antara para sahabat Rasul Saw. yang mendengar hadits dari beliau secara langsung,
ada yang kurang memahami terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits
tersebut. Namun kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang
terkadang lebih memahami terhadap kandungan maknanya. Pemahaman lebih, terhadap
kandungan hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalahmasalah
yang nantinya disebut dengan proses istinbath atau ijtihad.
Dari sini dapat dipahami, bahwa di
antara para sahabat Nabi Saw. Ada yang kurang mengerti terhadap maksud suatu
hadits daripada murid-murid mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki
pemahaman lebih terhadap hadits tadi disebut dengan mujtahid. Mujtahid inilah
yang menjadi focus pembicaraan dalam hadits shahih berikut ini: “Apabila
seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh
dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka
ia memperoleh satu pahala.” (HR. al-Bukhari no. 6805).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tidak semua sahabat Nabi
Saw. yang memiliki penguasaan mendalam terhadap susunan bahasa
Arab mampu mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan ini akan semakin kelihatan dengan
jelas, apabila kita perhatikan kitab-kitab mushthalah al-hadits yang
disusun oleh para hafidz (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang studi
ilmu hadits), di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari kalangan sahabat
Nabi Saw. tidak sampai sepuluh orang. Ada yang mengatakan hanya enam orang.
Tetapi sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sekitar dua ratus orang sahabat
Nabi Saw. telah mencapai derajat mujtahid.
Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik
tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi,
seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana
cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung
dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku
membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu
aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan.
Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan
barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau
menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud
pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya
bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini
kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku,
ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya.
Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas
masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh
al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang
saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti
dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban
Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para
imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi
kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu
menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan
Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya
manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’
(orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan
madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah
muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa
kewajiban muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti
para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia
berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah
berpindah ke mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa
dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil
yang mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia
mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam
membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang
tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda
hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah
yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya
hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa
Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak
mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca
al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak
sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an
dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang
mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari
madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya
kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya
mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari
semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau
Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan
ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya
kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus
berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak
mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab
saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab
lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang
diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah
memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban
Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan
saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja,
padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi
buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut
disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian
lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani
kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara
Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau
al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Dialog
tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi melarang umat Islam mengikuti
madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya
licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Tentu
saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum
Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini
melebihi orang-orang sesudah mereka.
Hadits Ikhtilaf Ummati Rahmatun
Dalam tradisi bermadzhab, perbedaan
pendapat merupakan sebuah keniscayaan dan termasuk khazanah kekayaan fiqih kaum
Muslimin.
Dewasa ini, seiring dengan merebaknya
aliran Wahhabi, yang cenderung memaksakan pendapatnya kepada orang lain agar
diikuti, disebarluaskan wacana bahwa mengikuti madzhab fiqih yang ada merupakan
salah satu bentuk kesyirikan dan dilarang dalam agama. Demikian asumsi mereka.
Dalam sebuah diskusi di Mushalla
al-Fitrah, Monang Maning Denpasar, ada seorang Wahhabi melakukan protes dengan
berkata: “Ustadz, kita tidak perlu mengikuti ulama atau para imam madzhab.
Bukankah para imam madzhab itu pendapatnya berbeda-beda. Ustadz harus
mengetahui bahwa hadits ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan umat Islam itu
merupakan rahmat Allah) itu hadits mursal yang kualitasnya lemah atau dha’if”.
Demikian pernyataan orang Wahhabi tadi
yang belakangan diketahui berinisial HA. Pada waktu itu saya menjawab: “Memang
hadits ikhtilafu ummati rahmatun, termasuk hadits dha’if. Akan tetapi
substansinya terdapat dalam hadits-hadits yang shahih. Al-Imam al-Bukhari
meriwayatkan dalam Shahihnya dari Ibn Umar Ra. yang berkata: “Sepulangnya dari
peperangan Ahzab, Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan ada yang shalat Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. al-Bukhari no. 894). Sebagian
sahabat ada yang memahami teks hadits tersebut secara tekstual, sehingga tidak
shalat Ashar (walaupun waktunya telah berlalu) kecuali di tempat itu. Sebagian
lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat
Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Ketika Nabi Saw. menerima
laporan tentang kasus ini, beliau tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat
yang berbeda pendapat dalam memahami teks hadits beliau.” (HR. al-Bukhari no.
894). Berkaitan dengan hal tersebut Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. berkata:
“Nabi mendera orang yang minum khamr sebanyak empat puluh kali. Abu Bakar
mendera empat puluh kali pula. Sedangkan Umar menderanya delapan puluh kali.
Dan kesemuanya adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku sukai.”
(HR. Muslim no. 3220 dan Abi Dawud no.3384). Dalam hadits ini, Ali bin Abi
Thalib menetapkan bahwa dera empat puluh kali yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. dan Abu Bakar, sedang dera delapan puluh kali yang dilakukan oleh Umar
kepada orang yang minum khamr, keduanya sama-sama benar. Hadits ini menjadi
bukti bahwa perbedaan pendapat di antara sesama mujtahid dalam bidang fiqih,
tidak tercela, bahkan eksistensinya diakui berdasarkan hadits tersebut. Seorang
ulama salaf dari generasi tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar
ash-Shiddiq berkata: “Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw.
merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib halaman 21). Khalifah yang
shaleh, Umar bin Abdul Aziz Ra. juga
berkata: “Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad Saw. tidak
berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak
ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib halaman 22). Paparan di atas
menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan sahabat telah terjadi sejak
masa Rasulullah Saw. Dan ternyata perbedaan tersebut dilegitimasi oleh
Rasulullah Saw. Dan menjadi rahmat bagi umat Islam sebagaimana diakui oleh
ulama salaf yang saleh. Wallahu a’lam.”
0 komentar:
Posting Komentar