PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI
BAB III
BID’AH HASANAH
Bid’ah Hasanah dan Dalilnya
Bid’ah hasanah adalah persoalan yang
tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini disamping karena banyak inovasi
amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena
adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak
adanya bid’ah hasanah dalam Islam.
Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini
selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya
khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena disamping dalil-dalil Sunnah
Rasulullah Saw. Yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat
kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat
pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah
hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema
Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali,
di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan
beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya
menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak
hadits Rasulullah Saw. yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang
otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik
ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu
kesesatan.” (HR. Muslim no. 867).
Ternyata Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan
memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya
sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa
yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh
dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa
dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim no. 1017).
Dalam hadits pertama, Rasulullah Saw.
menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua,
Rasulullah Saw. menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik
dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan
makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”
sebagaimana dikatakan oleh al-Imam an-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits
kedua, Nabi Saw. menjelaskan dengan redaksi, maksudnya baik perbuatan yang dimulai
tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi Saw., atau belum
pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi Saw.
Di sisi lain, Rasulullah Saw.
Seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum
pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq
dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini: “Abdurrahman bin Abi
Laila berkata: “Pada masa Rasulullah Saw., bila seseorang datang terlambat
beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu
datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani,
sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu,
kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz
bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang
jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk
dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah
Rasulullah Saw. selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang
tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah Saw. selesai shalat, mereka
melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka.
Lalu beliau Saw. menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat
kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau Saw. bersabda; “Mu’adz telah
memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus
kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad juz 5 halaman 233), Abu Dawud, Ibn Abi
Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafidz Ibn Daqiq
al-’Id dan al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat
perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan
tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi Saw. tidak menegur Mu’adz dan tidak
pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan
aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
Dalam hadits lain diriwayatkan:
“Rifa’ah bin Rafi’ Ra. berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi
Saw. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman
hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu
hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau
bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab:
“Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan
menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari no. 799).
Kedua sahabat di atas mengerjakan
perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi Saw., yaitu menambah
bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi Saw. membenarkan perbuatan mereka,
bahkan member kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena
perbuatan mereka sesuai dengan syara’, dimana dalam i’tidal itu tempat memuji
kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafidz Ibn Hajar al-’Asqalani
menyatakan dalam Fath al-Bari juz 2 halaman 267, bahwa hadits ini menjadi dalil
bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak
menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi Saw.), dan bolehnya mengeraskan
suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Seandainya hadits “kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan,
tentu saja Rasulullah Saw. Akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama
ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi
dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi
Saw., termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya:
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi
ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar
dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat
menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar Ra. berkata: “Aku berpendapat, andaikan
mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu
beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke
masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan
shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam,
lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan
tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari no. 2010).
Rasulullah Saw. tidak pernah
menganjurkan shalat Tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya
beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya
secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya.
Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar Ra. Kemudian Umar Ra. Mengumpulkan
mereka untuk melakukan shalat Tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka
untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah
hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahihnya: “As-Sa’ib bin Yazid Ra. berkata: “Pada masa Rasulullah Saw., Abu
Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas
mimbar. Kemudian pada masa Utsman Ra., dan masyarakat semakin banyak, maka
beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar
Madinah.” (HR. al-Bukhari no. 916).
Pada masa Rasulullah Saw., Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di
atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah
semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at
sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman
menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk
menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir
ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada
waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh
kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan
sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam
amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara
individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar,
Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyahnya ketika
menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi
talbiyah yang datang dari Nabi Saw. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafidz
al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ az-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan
al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat Idul Fitri dan
Idul Adhha.
Berangkat dari sekian banyak
hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya
berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah. Al-Imam asy-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab asy-Syafi’i
berkata: “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang
menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah
(tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi,
Manaqib as-Syafi’i juz 1 halaman 469).
Pernyataan al-Imam asy-Syafi’i ini juga
disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah juz 20 halaman 163.
Setelah saya memaparkan penjelasan di
atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu,
tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru
mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya
bid’ah hasanah.
Seharusnya dalam sebuah perdebatan,
pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang
diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih.
Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka
argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz,
dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan
kaidah al-ashlu fi al-‘ibadah al-buthlan hatta yadulla ad-dalil ‘ala al-’amal,
(hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang
menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya
menjawab: “Kaidah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan
seandainya kaidah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaidah tersebut
tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam
soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat
bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaidah, hukum asal dalam sebuah
ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran
mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali
dalilnya. Berarti, kaidah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena
dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat
al-Maidah ayat 3 disebutkan: “Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu
dan aku sempurnakan bagimu nikmatKu.” Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah
sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti
berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan
bid’ah hasanah.”
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat
al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang
dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh
para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala telah menyempurnakan
kaidah-kaidah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh
melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw.
tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an,
Sayyidina Umar menginstruksikan shalat Tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina
Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah
lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang
pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat
3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya
dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama,
karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul Saw. dan perilaku
para sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir
bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena
hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul Saw. Bukankah redaksinya
berbunyi, man sanna fi al-Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits
tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum
bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits
yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya menjawab: “Untuk memahami
hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan
teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks
hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah
diartikan dengan ath-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku
dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai ataupun tidak). Sunnah dalam teks
hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits,
yaitu maa jaa-a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au
taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw., baik berupa ucapan,
perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits
seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam
teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah
Rasul Saw. dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan
menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua
kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan
kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah,
kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah
Rasul Saw. Dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah
pengertian bahwa Sunnah Rasul Saw. itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang
sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu,
para ulama seperti al-Imam an-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fi
al-islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin
dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab
al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini
sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaidah
al-’ibrah bi ’umum al-lafdzi la bi khusush as-sabab, (peninjauan dalam makna
suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya
yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam
Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah
dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab
itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah
hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan
istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam
kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’
al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam asy-Syafi’i yang membagi bid’ah
menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang
Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti
Rasulullah Saw. dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil
yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman
dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk
Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah Saw. telah memerintahkan kita mengikuti
Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair
rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang
memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya
termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang
saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur
Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur
Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah Saw. memerintahkan kita
mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah
hasanah. Berarti Rasulullah Saw. memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah.
Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu
sebenarnya mengikuti Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu,
mari kita ikuti Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah
hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau
Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan
artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda
akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar,
dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan
semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang
saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau
hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin
dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak
hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu
dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan,
bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan
maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh
atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya
al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula,
bukan dengan hawa nafsu.”
Demikianlah dialog saya dengan Ustadz
Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.
Di Islamic Center Jakarta Utara
Ada kisah menarik berkaitan dengan
bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali
Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah
kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember.
Ali Rahmat bercerita:
“Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi
mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara,
Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia. Pada waktu
itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri
Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz
Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat
agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid
Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu
tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas,
apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah Saw., harus ditinggalkan,
karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Di tengah-tengah presentasi tersebut
saya bertanya kepada Yazid Jawas: “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan
bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw.
itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar
bin al-Khaththab memulai tradisi shalat Tarawih 20 raka’at dengan berjamaah,
Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang
lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh
Rasulullah Saw. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa
Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan
akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam
seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah acara dialog selesai, saya
menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakana kepadanya: “Bagaimana kalau Anda
kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?”
“Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat
kepada saya.
Kisah serupa terjadi juga di Jember
pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh
Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang
mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah.
Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan
amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang
silam.
Diantara pematerinya ada yang bernama
Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan
tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah
hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
Saw., harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang
mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti
yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah
hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah Saw. harus kami
tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa
yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah
Saw.? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat
selama 40 tahun yang berbunyi: “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.” (Al-Hafidz al-Baihaqi, Manaqib al-Imam
asy-Syafi’i juz 2 halaman 254). Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw., para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad
bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun. Demikian pula Syaikh Ibn
Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca
surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat
kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah
para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli
bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali,
mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw.”
Mendengar pertanyaan tersebut Agus
ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah
Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman
saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah
ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena
diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan
jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah Saw.
melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat.
Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa
para sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. banyak melakukan inovasi
kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits
yang otoritatif (mu’tabar).
0 komentar:
Posting Komentar