BIOGRAFI SINGKAT ABAH UMAR
Berikut adalah
biografi singkat Abah Umar yang diketahui oleh umumnya masyarakat yang sudah
kami rangkum:
Abah Umar
adalah keturunan Rasulullah Saw. ke-36. Marga beliau adalah Yahya. Adapun
silsilahnya adalah Umar bin Isma’il bin Ahmad bin Syaikh bin Thaha bin Masyikh
bin Ahmad bin Idrus bin Abdullah bin Muhammad bin Alawi bin Ahmad bin Yahya bin
Hasan bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali
Muhammad Shahib al-Mirbath bin Ali Khali Qasim bin Alawi bin
Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir
Ilallah bin Isa an-Naqib bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Aridh bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin bin Husain bin Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah Saw.
Habib Umar
adalah salah seorang keturunan Alawiyah yang lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal
1298 H. bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1888 M. di Arjawinangun Cirebon (± 25
KM ke arah Barat Laut kota Cirebon). Sejak usia remaja, beliau mengembara
menuntut ilmu dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain.
Pesantren yang
beliau singgahi pertama kali adalah pondok pesantren Ciwedus Cilimus Kuningan
Jawa Barat yang diasuh oleh KH. Ahmad Shobari. Menurut cerita KH. Ahmad Shobari
adalah orang yang pertama kali bai’at tarekat kepada beliau, padahal usia Abah
Umar di kala itu masih relatif muda. Dari Ciwedus, beliau bertemu dengan KH.
Abdul Halim, seorang kyai muda dari Majalengka Jawa Barat yang juga pernah
menjadi murid KH. Ahmad Shobari.
Dua tahun
kemudian beliau pindah ke pondok pesantren Bobos Palimanan Cirebon yang
dipimpin oleh Kyai Sujak. Pada tahun 1916 beliau pindah lagi ke pondok
pesantren Buntet Astanajapura Cirebon Jawa Barat yang diasuh oleh KH. Abbas.
Kemudian setelah satu tahun di sana, beliau pergi ke pondok pesantren
Majalengka yang diasuh oleh KH. Anwar dan KH. Abdul Halim. Di pondok pesantren
Majalengka ini, Abah Umar menimba ilmu selama lima tahun. Tahun keenam Abah
Umar diangkat sebagai tenaga pengajar tetap di madrasah yang didirikan oleh KH.
Abdul Halim. Di sini beliau seringkali terlibat dalam diskusi dengan para tokoh
di pesantren maupun para tokoh yang berada di persyarikatan ulama sehingga nama
beliau cepat terkenal.
Pada tahun
1923 habib Umar pulang ke kampung halaman. Dari sinilah beliau memulai
berdakwah dan membangun masyarakat, baik dalam bidang sosial, material,
keagamaan, maupun spiritual.
Melawan Penjajah Dengan Dakwah
Demi
menegakkan ajaran islam, ia tak kenal kompromi dengan pemerintah kolonial
Belanda.
Habib
Umar lahir di Arjawinangun pada bulan Rabiu’ul Awwal 1298 H atau 22 Juni 1888.
Ayahnya, Syarif Ismail, Adalah Da’i berdarah Hadhramaut yang menyebarkan Islam
di Nusantara. Ibunya asli Arjawinangun, Siti Suniah binti H. Shiddiq. Pasangan
ini dikaruniai empat orang anak: Umar, Qasim, Ibrahim, dan Abdullah. Garis
keturunan Habib Umar sampai kepada Nabi Muhammad melalui Sayyidina Husein.
Pendidikan
agama langsung diperoleh dari ayahnya sendiri, baru kemudian ia mengembara ke
berbagai pesantren di Jawa Barat, dari tahun 1913 hingga 1921.
Menyaksikan
masyarakat kampung Arjawinangun, Cirebon, tanah kelahiranya tenggelam dalam
kebiasaan berjudi dan perbuatan dosa besar lainnya, Habib Umar merasa
terpanggil untuk memperbaikinya. Dalam sebuah mimpi, ia bertemu Syarif
Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, yang memberinya restu untuk niat baiknya
tersebut. Selain itu Syarif Hidayatullah juga mengajarkan hakikat kalimat
Syahadat kepadanya. Maka, setiap malam Jum’at Habib Umar pun menggelar pengajian
di rumahnya.
Tapi
upaya itu mendapat perlawanan serius dari masyarakat. Mereka mencemooh,
menghina, dan mencibir pengajian Habib Umar. Dibawah tekanan masyarakat itu, ia
terus berjalan dengan dakwahnya itu. Dan Karena pengajiannya dianggap
meresahkan masyarakat, pada gilirannya pemerintah kolonial menangkap Habib Umar
dan menjebloskannya ke dalam penjara. Namun, tiga bulan kemudian ia dibebaskan,
berkat perlawanan yang diberikan oleh jama’ahnya hingga jatuh korban di
kalangan antek-antek Belanda.
Kepalang
basah, tahun 1940, Habib Umar bahkan menyediakan rumahnya sebagai markas
perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya itu, ia juga turun
tangan dengan mengajarkan ilmu kanuragan kepada kaum muda.
Bulan
Agustus 1940 ia ditangkap Belanda lagi dan pengajiannya ditutup, enam bulan
kemudian, 20 Februari 1941, ia dibebaskan.
Semangat
perjuangan melawan kolonialisme semakin membara dalam dada Habib Umar. Maka ia
pun banyak mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh agama di seputar Cirebon,
seperti Kiai Ahmad Sujak (Bobos), Kiai Abdul Halim (Majalengka), Kiai Syamsuri
(Wanantara), Kiai Mustafa (Kanggraksan), Kiai Kriyan (Munjul).
Tidak
Hanya pada masa penjajahan Belanda, Pada zaman Jepang pun nama Habib Umar
melejit lagi sebagai pejuang agama. Ia memperkarakan Undang-Undang yang dikeluarkan
Jepang yang melarang pengajaran huruf Arab di Masyarakat. UU itu dianggap
sebagai alat agar umat islam meninggalkan Al-Quran.
Panji-Panji Syahadatain
Pada
masa kemerdekaan, Tahun 1947, Habib Umar mulai mengibarkan panji-panji
Syahadatain. Itu bermula dari pengajian yang dipimpinnya yang semula dikenal
sebagai “Pengajian Abah Umar” menjadi “Pengajian Jamaah Asy-Syahadatain”.
Ternyata pengajian ini mendapat simpati luas sehingga menyebar ke seluruh Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Tahun 1951 lembaga itu mendapat restu dari presiden
Soekarno.
Tahun
1951, Habib Umar sempat mendirikan Pondok Pesantren Asy-Syahadatain di
Panguragan. Namun Selain mengajarkan ilmu agama dan ketrampilan seperti
bertani, menjahit, bengkel, koperasi, dan ilmu kanuragan, Habib Umar juga mengharuskan
jama’ahnya bertawasul kepada Rasulullah, Malaikat, Ahlul Bait, Wali, setiap
selesai shalat fardhu. Menurutnya, tawasul menyebabkan terkabulnya suatu doa.
Lebih Jauh lagi, Habib Umar juga mendirikan Tarekat Asy-Syahadatain.
Ia
Juga sekaligus pemimpin Tarekat Asy-Syahadatain, menulis buku berjudul Auradh
Thariqah Asy-Syahadatain, Sebagai pedoman bagi jama’ahnya. Syahadat,
menurut Habib Umar, tidak cukup dilafadzkan di mulut, tapi maknanya juga harus
membias ke dalam jiwa. Dengan persaksian dua kalimat syahadat itu, seseorang
akan diampuni atas dosanya, dan terkikis pula akar-akar kemusyrikan dalam
dirinya.
Karyanya
yang lain adalah Aurad (1972), menggunakan bahasa daerah yang
berisi ilmu akhlaq dan tasawuf, aqidah dan pedoman hidup kaum muslimin.
Habib
Umar menghadap ke hadirat Allah pada 13 Rajab 1393 atau 20 Agustus 1973. Semoga
amal ibadah dan perjuangannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt.
(Sumber:
Majalah al-Kisah no.09/4 – 17 Mei 2009 halaman 146).
Sejarah Syekhunal Mukarom Atau Abah Umar Bin
Isma’il Bin Yahya
Syekhunal Mukarom adalah sebutan bagi al-Habib Abah Umar bin Isma’il bin
Yahya, beliau lahir di Arjawinangun pada bulan Rabi’ul Awal 1298 H atau 22 Juni
1888 M.
Ayahnya adalah seorang Da’i asal Hadramaut yang menyebarkan islam di nusantara yang bernama al-Habib Syarif Isma’il bin yahya, sedangkan ibunya adalah siti Suniah binti H. Shidiq asli Arjawinangun. Diceritakan sewaktu beliau lahir sekujur tubuhnya penuh dengan tulisan arab (tulisan aurod dari Syahadat sampai akhir), sehingga sang ayah Syarif Isma’il merasa khawatir akan menjadi fitnah. Maka beliaupun menciuminya terus setiap hari sambil membacakan sholawat hingga akhirnya tulisan-tulisan tersebut pun hilang.
Ayahnya adalah seorang Da’i asal Hadramaut yang menyebarkan islam di nusantara yang bernama al-Habib Syarif Isma’il bin yahya, sedangkan ibunya adalah siti Suniah binti H. Shidiq asli Arjawinangun. Diceritakan sewaktu beliau lahir sekujur tubuhnya penuh dengan tulisan arab (tulisan aurod dari Syahadat sampai akhir), sehingga sang ayah Syarif Isma’il merasa khawatir akan menjadi fitnah. Maka beliaupun menciuminya terus setiap hari sambil membacakan sholawat hingga akhirnya tulisan-tulisan tersebut pun hilang.
Menginjak ke usia 7 tahunan, al-Habib Umar nyantri ke pondok pesantren Ciwedus,
Kuningan. Sebelum Abah Umar berangkat mesantren ke Ciwedus, KH. Ahmad Saubar
sebagai pengasuh pesantren Ciwedus mengumumkan kepada para santrinya bahwa
pesantrenya akan kedatangan Habib Agung, sehingga para santrinya diperintahkan
untuk kerja bakti membersihkan lingkungan pesantren sebagai penyambutan selamat
datang bagi Habib yang sebentar lagi tiba. Kiai juga berpesan aga Habib
dihormati, dan dimuliakan, dan jangan dipersalahkan. Hingga pada waktu yang ditunggu
datanglah al-Habib Abah Umar ke pesantren Ciwedus dalam usianya yang ke 7
tahun, para santripun geger, bingung, dan keder karena ternyata yang datang
hanyalah seorang anak kecil.
Diceritakan bahwa Abah Umar di Ciwedus selalu hadir dalam pengajian yang
disampaikan oleh KH. Ahmad Saubar baik dalam pengajian kitab kuning maupun
tausiyah, namun di sana Abah Umar hanya tidur-tiduran bahkan pulas di samping
kiai, sehingga para santripun mencibir dan mencemooh. Abah Umar menunjukkan khawariqnya dengan mengingatkan KH.
Ahmad Saubar ketika dalam membaca kitabnya ada kesalahan, begitupun para santri
yang deres di kamarpun selalu
diluruskan oleh Abah Umar, dengan kejadian tersebut para santri hormat dan
memuliakan. Setelah beberapa waktu mesantren di Ciwedus KH. Ahmad Saubar
memohon kepada Abah Umar untuk diajarkan Ilmu Syahadat sesuai dengan pesan dari
gurunya Mbah Kholil Bangkalan-Madura. Akhirnya KH. Ahmad Saubar yang di dalamnya
hadir K. Soheh Bondan Indramayu sebagai santri dewasa yang ikut bai’at
syahadat.
Selang beberapa waktu sekitar dua tahunan Abah Umar pindah ke pesantren
Bobos di bawah asuhan KH. Syuja’i dari pondok Bobos selanjutnya pindah ke
pondok Buntet di bawah asuhan KH. Abbas. Di Buntet Abah Umar bertingkahnya sama
seperti waktu di Ciwedus, tidak mengaji hanya bermain-main di bawah meja kiai
yang sedang mengajar ngaji sesekali apabila kiainya ada kesalahan maka
dipukulah meja kiaitersebut dari bawah meja sehingga kiainya sadar bahwa yang
diajarkannya ada yang salah, tidak berselang lama kiai pun meminta untuk
diajarkan syahadat.
Setelah dari pondok Buntet Abah Umar berpindah lagi ke pesantren Majalengka
di bawah asuhan KH. Anwar dan KH. Abdul Halim, di pesantren inilah Abah Umar
menghabiskan waktu selama 5 tahun. Sesampai Abah Umar di rumah, beliau
menghimpun sebuah pengajian di Panguragan yang dikenal dengan sebutan
“Pengajian Abah Umar” atas dalam wacana para santrinya lebih dikenal dengan
sebutan “Buka Syahadat atau Ngaji Syahadat”, sebab beliau menyampaikan Hakekat
Syahadat dari Syarif Hidayatullah. Ngaji Syahadatnya Abah Umar pun terdengar ke
seluruh plosok negeri bahkan sampai ke Malaysia, sehingga banyak orang yang datang
untuk mencari selamet dunya akherat
dengan Itba’ dan Bai’at kepada Abah Umar. Karena di saat itu sudah banyak yang
menunggu pembukaan syahadat tersebut, mereka yang menunggu adalah orang-orang
yang mendapat pesan dari para guru dan orangtua yang ma’rifat.
Dengan demikian, dalam waktu yang singkat semakin ramailah pengajian
Abah Umar tersebut baik itu yang kalong maupun yang mukim. Setiap malam Jum’at,
Panguragan dihadiri oleh para jama’ah yang ingin mengaji syahadat. Bahkan
menurut berita dari orang tua dulu ketika belanda melewati Panguragan mereka
berkumandang “Maulana ya maulana….” Dengan khidmatnya (terpengaruh oleh karomahnya
Abah Umar). Pada tahun 1947 Abah Umar membentuk pengajiannya menjadi sebuah
nama organisasi Asy-Syahadatain dengan mendapatkan izin dari presiden Soekarno,
karena di saat itu setiap perkumpulan dengan banyak orang tanpa adanya
organisasi yang jelas maka dapat dikategorikan sebagai usaha pemberontakan dan
dapat mengganggu ketahanan nasional. Setelah itu Asy-Syahadatain semakin besar
dan ramai yang para jamaahnya menyebar sampai mancanegara.
Karena semakin ramai, maka para kiai jawa (yang tidak senang) mendengar
kepesatan Asy-Syahadatain, sehingga mereka khawatir para santrinya akan terbawa
oleh Abah Umar, sehingga para kiai tersebut berkumpul untuk menyatakan bahwa
ajaran Abah Umar adalah sesat. Akhirnya Abah Umar disidang di pengadilan Agama
yang dikuasai para kiai tersebut pada saat itu, dalam pengadilan pun Abah Umar
ditetapkan bersalah dengan tidak ada pembelaan dan penjelasan apapun. Akhirnya
Abah Umar pun dipenjara bersama beberapa murid-muridnya termasuk KH. Idris
Anwar selama 3 bulan, namun belum genap 3 bulan Abah Umar sudah dibebaskan
karena sipirnya banyak yang bai’at syahadat kepada Abah Umar.
Pada tahun 1950 pertama kalinya Abah Umar menyelenggarakan tawasulan,
dan pada malam itu pula Abah Umar kedatangan beberapa tamu agung, hal inipun
dengan izin Allah dapat disaksikan secara batin oleh beberapa santri sahabat
yang diantaranya adalah KH. Soleh bin KH. Zaenal Asyiqin. Para tamu tersebut
adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Beliau hadir dalam acara tawasul tersebut
secara bathiniyah dan memberikan title/gelar/derajat kepada Abah Umar yaitu
Syekh Hadi, diiringi pula oleh malaikat Jibril dan memberinya gelar Syekh Alim.
Kemudian disusul Siti Khodijah memberikan gelar Syekh Khobir, Siti Fatimah
Azzahra memberi gelar Syekh Mubin, Sayyidina Ali memberi gelar Syekh Wali,
Syekh Abdul Qodir memberi gelar Syekh Hamid, Syarif Hidayatullah Gunung Jati
memberi gelar Syekh Qowim, dan yang terakhir Nyi Mas Ayu Gandasari datang
dengan memberi gelar Abah Umar sebagai Syekh Hafidz.
Dengan kejadian tersebut, menurut KH. Soleh sebagai malam pelantikan
dinobatkannya al-Habib Abah Umar sebagai Wali Kholifaturrosul Shohibuzzaman.
Sehingga perkembangan wiridnya pun semakin hari semakin bertambah sesuai dengan
yang diwahyukan oleh Allah. Pada tahun 1953 pertama kalinya Abah Umar
mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. di panguragan, dengan dihadiri
oleh jama’ah Asy-Syahadatain sampai mancanegara. Sebagai seorang guru Syahadat
Abah Umar banyak menuntun para murid/santrinya untuk beribadah dan berdzikir
(wirid) dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Disamping beribadah, wirid, dan
tafakur (ngaji rasa), Abah Umarpun tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
jasmaniyah. Beliau bertani, berkebun, dan beternak kambing.
Pada tahun 1960 an Jamaah Asy-Syahadatain dibekukan pemerintah karena
dianggap meresahkan masyarakat, alasan pembekuan tersebut hanya didasarkan pada
dugaan dan laporan seseorang yang menjabat bahwa tuntunan tawasul Abah Umar dianggap
menyesatkan. Dan setelah adanya perundingan antara para ulama se-nusantara
dengan para ulama jama’ah Asy-Syahadatain, akhirnya disepakati untuk membuka
kembali jama’ah Asy-syahadatain karena menurut kesepakatan para ulama di saat
itu tidak ada satu tuntunan pun yang dianggap sesat dari semua tuntunan Abah
Umar tersebut. Dan pada tahun 1971 jama’ah Asy-Syahadatain bergabung dengan
Golkar melalui GUPPI dalam rangka ikut membangun kesejahteraan Negara. Pada
tahun 1973 an masjid Abah Umar kedatangan khodim baru yang bernama Mari’i, ia
yang menjadi pelayanan di dalam lotengnya Abah. Pada pada suatu hari ia mengambil
pentungan kentong masjid dan memukulannya kepada sirah Abah Umar sehingga Abah Umar pun pingsan dan dibawa kerumah
sakit di Bandung untuk dirawat. Di rumah sakit Abah Umar dawuh dengan membaca
ayat Al-Qur’an “Innalladzii farra ‘alaika
al-Qurana laraa-ddaka ilaa ma’aad”. Dengan dawuhnya Abah Umar tersebut,
para kiai yang menyaksikannya pada bersedih, karena itu merupakan pertanda Abah
Umar akan kesah (pergi/wafat).
Akhirnya tidak berselang lama Abah Umar kesah
pada tanggal 13 Rajab 1393 H atau 20 Agustus 1973 M.
Subhanallah...sejarah yg luar biasa..
BalasHapusAllahu akbar ....
BalasHapusSubhanallah...
BalasHapusMaaf. saya baru baca tulisan Saudara di atas. Sebagai orang asli Panguragan, ada beberapa tulisan yang perlu di koreksi.
BalasHapus1, Orang tua Nyi Suniah (ibunya Abah Umar) bukan H. Sidiq, namun R.H. Hasan Tuba dari Plumbon Cirebon. H.Sidiq adalah Kakek dari istrinya Abah Umar (Ny. Jamilah).
2. Organisasi Asysyahadatain lahir setelah Abah Wafat. Dulunya yang ada hanya "pengajian Syahadat"
3. Abah Wafat pada yanggal 19 Agustus 1973 (lihat kalender). karena Wafatnya pada malam hari, maka masuk ke tanggal 21 Rajab.
kok lempeng aja beda ya dengn yang saya baca&info yg saya terima....katanya masa lalu abah umar itu kelam mirip berandal lokajaya kanjeng sunan kalijaga cuma malah beliau lebih parah....???!!!
BalasHapus