Sekilas Tentang Klaim-klaim Wahabiyah
1. Wahabiyah adalah suatu kelompok yang mengikuti seseorang
yang bernama Muhammad ibn Abdul Wahhab yang muncul di Nejd sejak sekitar 250
tahun yang lalu, dimana Rasulullah Saw. pernah bersabda tentang Nejd: “Di
sana akan muncul tanduk syetan.” (HR.
Bukhari). Muhammad ibn Abdul Wahhab telah menyiapkan kelompok ini
sebagai musuh Islam dan mereka mengklaim kelompoknya dengan gerakan Salafiyah
agar mereka bisa memerangi Islam dengan kedok Islam. Sedangkan guru mereka
Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah didikan mata-mata penjajah Inggris Jefri
Hamford. (Lihat buku catatan Jefri Hamford)
2. Gerakan Wahabiyah mempunyai beberapa doktrin dasar dan yang
paling berbahaya adalah pengkafiran secara umum pada setiap orang yang berbeda
dengan mereka, dan dengan itu mereka juga menghalalkan darah umat Islam dan
menjadikannya sebagai payung untuk membentangkan kekuasaannya di jazirah Arabia
dan al-Haramain (Makkah dan Madinah). (Lihat Musthafa as-Sa’dhan, al-Harakah
al-Wahhabiyah.)
3. Wahabiyah adalah Khawarij abad 12, Nabi Saw. bersabda: “Akan
muncul orang-orang dari timur dan mereka membaca al-Qur’an yang tidak sampai
tenggorokan, mereka melesat keluar dari agama seperti anak panah melesat dari
busurnya, tanda-tanda mereka adalah mencukur habis rambut kepalanya.” (HR.
Bukhari). Di antara orang yang menamakan mereka dengan Khawarij adalah Imam Ibn
‘Abidin al-Hanafi dalam Hasyiyahnya terhadap kitab Radd al-Muhtar.
Syekh Ahmad Zaini Dahlan mufti madzhab Syafi’i di Makkah al-Mukarramah telah
mengutip dari mufti Zabid as-Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, beliau mengatakan
tidak perlu menulis sebuah kitab untuk membantah Wahabiyah, tetapi cukup untuk
membantah mereka dengan sabda Nabi Saw. tanda-tanda mereka adalah
mencukur rambutnya, sebab hal itu tidak dilakukan oleh seorangpun dari para ahli
bid’ah selain mereka. (Lihat dalam Shahih al-Bukhari Kitab at-Tauhid bab
Qira’ah al-Fajir wa al-Munafiq halaman 7562, Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar
‘ala ad-Durr al-Mukhtar juz 4 halaman 262, Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud
kitab as-Sunnah bab fi Qital al-Khawarij, Ahmad Zaini Dahlan dalam Fitnah
al-Wahhabiyah halaman 54)
4. Muhammad ibn Abdul Wahhab, para ulama pada masanya mentahdzir
(mengingatkan kesesatan) dia dan menjelaskan penyimpangan dan kesesatannya,
termasuk ayah dan saudaranya yang bernama Syekh Sulaiman. Saudaranya mengarang
dua risalah dalam membantah Muhammad ibn Abdul Wahhab yang pertama berjudul Fashl
al-Khithab fi ar-Radd ‘ala Muhammad ibn Abdul Wahhab dan yang kedua
berjudul ash-Shawa’iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahabiyah. Para
gurunya juga ikut mentahdzir (mengingatkan kesesatan) dia seperti Syekh
Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi dalam kitabnya al-Fatawa.
5. Muhammad ibn Abdul Wahhab tidak menganggap keberadaan
seorang muslim pun di atas bumi selain jama’ahnya dan setiap orang yang
menentangnya ia kirim orang untuk membunuhnya di tempat tidurnya atau di pasar
pada malam hari karena dia mengkafirkan umat Islam dan menghalalkan darah
mereka. Kalau ada seseorang yang masuk ke jama’ahnya dan dia telah haji sesuai
dengan aturan Islam, ia mengatakan kepadanya berhajilah lagi karena hajimu yang
pertama tidak diterima dan belum gugur kewajibannya karena kamu musyrik ketika
itu. Apabila ada seseorang yang ingin masuk dalam agamanya, ia mengatakan
kepadanya setelah mengucapkan dua kalimah syahadat: “Bersaksilah pada dirimu
sendiri bahwa kamu dahulu kafir, dan bersaksilah bahwa kedua orang tuamu mati
dalam keadaan kafir, dan juga si fulan dan si fulan.” Dia juga menganggap
bahwa mayoritas ulama sebelumnya kafir, kalau mereka mau mengucapkan syahadat
maka dianggap masuk Islam dan apabila tidak maka ia membunuhnya. Dengan lantang
ia mengkafirkan umat Islam sejak 600 tahun dan mengkafirkan orang-orang yang
tidak mengikutinya, ia menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik dan
menghalalkan darah dan harta mereka. (Lihat Ahmad Zaini Dahlan dalam Khulashah
al-Kalam halaman 229-230, Fitnah al-Wahhabiyah halaman 4 dan
Muhammad an-Najdi dalam as-Suhub al-Wabilah halaman 276).
6. Sejarah hitam Wahabiyah menjadi saksi bahwa kelompok Wahabi
sejak munculnya hingga sekarang tidak pernah berperang kecuali melawan umat
Islam. Di antara bukti sejarah itu adalah mereka menyerbu Yordania bagian timur
dan menyembelih kaum perempuan dan anak-anak yang mereka temui sehingga total
korban berjumlah 2.750 orang. Perang ini yang dikenal dengan sebutan perang
al-Khuya. (Lihat Koran ash-Shafa terbitan 12 Juni 1934 edisi 906 dan
juga disebutkan dokumen al-Hasyimiyah)
7. Wahabiyah menganut aqidah tasybih dan tajsim,
dalam kitab Majmu’ al-Fatawa Ibn Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya
Muhammad Rasulullah Saw. Tuhannya mendudukkannya di atas ‘Arsy bersamaNya.”
Ia juga mengatakan: “Sesungguhnya Allah turun dari ‘Arsy akan tetapi
‘Arsy tidak pernah kosong dariNya.” Ia juga menetapkan sifat duduk bagi
Allah ta’ala. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah, mereka mensucikan Allah
ta’ala dari sifat-sifat makhluk seperti duduk, bersemayam dan bertempat
pada satu tempat. Imam Abu Mansur al-Baghdadi telah mengutip ijma’ ulama
atas kemahasucian Allah ta’ala dari tempat, beliau mengatakan:
“Mereka (Ahlussunnah) telah sepakat bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan
tidak berlaku baginya zaman.” Imam Ali ibn Abi Thalib mengatakan: “Allah
ada pada azal dan belum ada tempat dan dia sekarang (setelah ada tempat) tetap
seperti semula (ada tanpa tempat).“ Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya
Allah menciptakan ‘Arsy untuk menunjukkan kekuasaanNya dan tidak
menjadikannya sebagai tempat bagi DzatNya”. (Lihat Ibn Taimiyah dalam Majmu’
al-Fatawa juz 4 halaman 384 dan pada juz 5 halaman 131 dan
415, Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq bain al-Firaq halaman 333).
8. Wahabiyah telah mereduksi teks-teks al-Qur’an al-Karim dan
menafsirkan kitab Allah tersebut dengan penafsiran yang sesuai dengan hawa
nafsu mereka. Abdul Aziz ibn Baz menafsirkan al-Istiwa’ dengan
bersemayam dan ia mengatakan bahwa orang yang mengingkari penafsiran ini adalah
orang Jahmiyah. Apa yang akan Ibn Baz katakana tentang imam Ahlussunnah yaitu
al-Imam al Baihaqi rahimahullah apakah dia menganggapnya sebagai orang
Jahmiyah atau bukan? Imam al-Baihaqi dalam kitab al-I’tiqad telah
mengatakan: “Wajib untuk mengetahui bahwa Istiwanya Allah subhanahu wata’ala
bukanlah istiwa yang berarti tegak dari bengkok, bukan bersemayam pada tempat,
bukan menempel pada makhlukNya, akan tetapi Allah istiwa atas ‘ArsyNya tanpa
disifati dengan sifat makhluk dan tanpa tempat. Allah tidak serupa dengan
seluruh makhlukNya dan bahwa ityanNya bukan datang dari satu tempat ke tempat
yang lain, dan bahwa maji’Nya juga bukan dengan bergerak, dan bahwa nuzulNya
bukan dengan berpindah dan bahwa Dzat Allah bukan jisim dan bahwa yadNya bukan
anggota badan, dan ‘ainNya bukan kelopak mata, tetapi ini semua adalah
sifat-sifat yang telah dating secara tauqifi (ditetapkan syara’) maka kita
mengatakan adanya sifat-sifat itu dan kita menafikan sifat makhluk dariNya.“
Bacalah firman Allah ta’ala dalam QS. asy-Syura ayat 11, al-Ikhlash ayat
4 dan Maryam ayat 65. (Lihat Tanbihat fi ar-Radd ‘ala Man Tawwala ash-Shifat
halaman 84 dan al-Baihaqi dalam al-I’tiqad halaman 72).
9. Wahabiyah mengatakan bahwa menafikan dan menetapkan jisim
bagi Allah bukanlah termasuk madzhab salaf karena hal itu tidak ada dalam
al-Qur’an dan sunnah juga tidak ada dalam perkataan para salaf. Penulis anggap
ini adalah ketidaktahuan terhadap sang Pencipta dan juga tidak mengetahui
aqidah yang diyakini para salaf. Diriwayatkan dari Sayyidina Ali Ra. bahwa
beliau mengatakan: “Sesungguhnya Tuhanku ‘azza wa jalla adalah al-Awwal
(adanya tanpa permulaan) tidak bermula dari sesuatupun (ada tanpa permulaan),
tidak bersamaNya sesuatupun (tidak bertempat pada sesuatu), tidak dapat
dibayangkan (tidak seperti yang dibayangkan oleh wahm), bukan jisim, tidak
diliputi oleh tempat dan adanya tidak bermula dari ketidakadaan.“ Kemudian
beliau mengatakan: “Barangsiapa yang menyangka bahwa Tuhan kita mahdud
(memiliki bentuk dan ukuran) maka dia tidak mengetahui Pencipta yang disembah.”
(HR. Abu Nu’aim). Apakah
orang-orang Wahabiyah tidak mengetahui bahwa imam Ali ibn Abi Thalib adalah
sahabat Rasulullah yang masuk Islam pada awal masa dakwah dan apakah mereka
juga tidak mengetahui bahwa imam Ahmad ibn Hanbal Ra. yang mereka klaim bahwa
mereka berintisab kepadanya telah mengingkari orang yang mengatakan
bahwa Allah itu jisim. Perkataan tersebut dikutip oleh pemuka ulama
Hanbali di Baghdad dan juga anak dari pemuka ulama Hanbali Abu al-Fadhl
at-Tamimi, bahkan kita tambahkan kepada orang Wahabi satu perkataan bahwa para
ulama salaf telah sepakat atas kufurnya orang yang mengatakan bahwa Allah itu jisim,
Imam Ahlussunnah Abu al-Hasan al-Asy’ari dan beliau termasuk imam salaf dalam
kitabnya an-Nawadir mengatakan: “Barangsiapa yang meyakini bahwa
Allah itu jisim maka ia tidak mengenal Tuhannya dan dia kafir kepadaNya.” (Lihat
Shalih ibn Fauzan dan Ibn Baz dalam Tanbihat halaman 34 dan Abu Nu’aim
dalam Hilyah al-Auliya juz 1 halaman 73)
10. Wahabiyah menetapkan had (batasan) pada Allah dan
mengatakan bahwa orang yang mengingkarinya telah kufur terhadap al-Qur’an,
dikutip oleh Ibn Taimiyah dari salah seorang Mujassimah dan dia
menyetujuinya. Ibn Taimiyah juga mengutip perkataan salah seorang mujassimah
dan ia membenarkannya: “Umat Islam dan orang kafir telah sepakat bahwa
Allah ada di langit dan mereka membatasinya dengan itu.” Padahal imam Abu
Ja’far ath-Thahawi telah mengutip ijma’ umat Islam atas kesucian Allah
dari had, beliau mengatakan: “Maha Suci Allah dari batasan-batasn,
ujung-ujung, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang
kecil dan tidak diliputi oleh arah yang enam seperti keseluruhan makhluk.”
(Lihat Ibn Taimiyah dalam Talbis al-Jahmiyah juz 1 halaman 427 dan dalam
Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul juz 2 halaman 29-30).
11. Wahabiyah menetapkan shurah (bentuk) bagi Allah ta’ala.
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibn Abbas, beliau
mengatakan: “Berfikirlah kalian pada setiap sesuatu dan jangan kalian
berfikir tentang Dzat Allah.” Imam Ahmad dalam perkataan yang diriwayatkan
oleh imam al-Baihaqi dalam kitab I’tiqad al-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn
Hanbal mengatakan: “Apapapun yang kamu gambarkan dalam hati kamu maka Allah
tidak seperti itu.” (Lihat at-Tanbihat halaman 69 dan al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa ash-Shifat halaman 420).
12. Wahabiyah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di luar alam,
dalam majalah al-Haj, Abdul Aziz ibn Baz mengatakan: “Sesungguhnya
Allah ta’ala bersemayam di atas arsyNya dengan DzatNya dan dia tidak berada
di dalam alam, tetapi Allah di luar Alam.” Cukup sebagai bantahan akan hal
itu firman Allah ta’ala: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia.” Dan telah maklum bahwa ittishal (menempel) atau infishal (berpisah)
adalah sifat jisim dan Allah maha suci dari semua itu. (Lihat Majalah al-Haj
edisi Jumadil Ula 1415 H halaman 73-74)
13. Wahabiyah menyerupakan Allah dengan lingkaran yang meliputi
alam dari semua arah. (Lihat perkataan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa
at-Tarhib juz 1 halaman 116).
14. Wahabiyah menetapkan kalam dengan huruf dan suara pada
Allah. Perkataan ini bertentangan dengan perkataan Abu Hanifah an-Nu’man dalam
kitab al-Fiqh al-Akbar: “Dan Allah mempunyai sifat kalam tidak
seperti perkataan kita, kita berkata dengan alat dan huruf, dan kalam Allah
tanpa alat dan huruf.” (Lihat Mulla Ali al-Qari dalam al-Fiqh al-Akbar halaman
58).
15. Wahabiyah menisbatkan arah bagi Allah ta’ala. Al-Albani
mengatakan dengan berdalih perkataan sebagian orang Mujassimah: “Seseorang
yang mengatakan bahwa Allah dilihat tidak pada arah hendaklah ia memeriksakan
akalnya.” Padahal imam Abu Hanifah an-Nu’man mengatakan dalam kitab al-Fiqhu
al-Akbar: “Dan Allah ta’ala dilihat di akhirat oleh orang-orang mukmin
mereka melihatNya sedangkan mereka berada di dalam surga dengan mata kepala
mereka tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa ukuran dan tidak ada jarak antara
Allah dan makhlukNya.”98 Imam ath-Thahawi dalam kitab aqidahnya yang
fenomenal al-‘Aqidat ath-Thahawiyah mengatakan: “Dan Allah tidak
diliputi oleh arah yang enam seperti seluruh makhluk.” Jadi siapa yang
mesti memeriksa kesehatan akalnya wahai Wahabiyah, kalian atau para ulama
salaf? (Lihat dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Tahawiyah, Syarh wa Ta’liq al-Albani
halaman 27 dan dalam al-Fiqh al-Akbar halaman 136-137).
16. Wahabiyah menolak pensucian Allah ta’ala dari kelopak
mata, daun telinga, lisan dan tenggorokan. Wahabiyah mengatakan bahwa ini bukan
ajaran Ahlussunnah tetapi termasuk pendapat para mutakallim yang tercela.
(Lihat Ibn Baz dalam at-Tanbihat halaman 19).
17. Wahabiyah ketika tidak menemukan dalil dalam kitab Allah dan
hadits Rasulullah, juga pada perkataan seorang ulama yang mu’tabar dari
kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah dan tidak dalam akal yang sehat, dalil yang
membuktikan perkataan mereka bahwa Allah bertempat, maka mereka mencari
dalilnya dari perilaku anak kecil, Muhammad ibn Jamil mengatakan: “Anak-anak
jika kamu bertanya kepadanya di mana Allah maka mereka akan menjawab dengan
fithrah mereka yang sehat bahwa dia ada di langit.” Kita temukan di sini
kelompok Wahabiyah membangun aqidahnya di atas apa yang mereka klaim sebagai
fithrah yang sehat yang dimiliki anak-anak. Kebodohan macam apa ini? Semoga
kita mendapatkan pemahaman yang benar. (Lihat Muhammad ibn Jamil Zainu dalam
Taujihat Islamiyah halaman 22)
18. Wahabiyah mengingkari takwil secara mutlak meskipun baik
tujuan orang yang mentakwil. Bahkan mereka menyebut orang yang mentakwil dengan
penghancur. Apa yang mereka katakan tentang hadits Rasulullah Saw. kepada
Sayyidina Ibn Abbas juru bicara al-Qur’an: “Ya Allah ajarkanlah hikmah
kepadanya dan takwil al-Qur’an”. (HR. Ibn Majah).103 Seandainya orang-orang
Wahabiyah mau berpegang pada firman Allah: “Tiada sesuatu apapun dari
makhluk yang serupa denganNya.” Atau jangan-jangan mereka menganggapnya
ayat ini juga menjelaskan tentang tasybih? Maha Suci Allah dari apa yang
dikatakan oleh orang-orang kafir. Apakah mereka yang mengaku berpegang pada
aqidah salaf shalih lupa dengan perkataan imam Abu Ja’far ath-Thahawi yang
dikutip dalam kitab aqidahnya yang terkenal dan menjadi referensi para ulama
salaf, beliau mengatakan: “Maha Suci Allah dari batasan-batasn, ujung-ujung,
sisi-sisi, anggota badan yang besar, anggota badan yang kecil dan tidak
diliputi oleh arah yang enam seperti keseluruhan makhluk”. (al-Albani
dalam Syarh ath-Thahawiyah halaman 18, Ibn Baz dalam at-Tanbihat
halaman 34-71 dan Sunan Ibn Majah dalam al-Muqaddimah bab fi Fadhail Ashhab
Rasulillah; Fadhl Ibn Abbas halaman 166).
19. Ibn Baz dalam fatwa nomor 19.606 tertanggal 24/4/1418
mengatakan: “Sesungguhnya mentakwil nash-nash yang ada dalam al-Qur’an dan
sunnah tentang sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah bertentangan dengan
pendapat yang disepakati (ijma’) oleh umat Islam dari masa sahabat, tabi’in dan
orang-orang yang mengikuti ajaran mereka sampai pada masa sekarang ini.”
Ijma’ yang manakah yang dikutip Ibn Baz? Padahal an-Nawawi dalam Syarh
Muslim mengutip perkatan al-Qadhi ‘Iyadh: “Tidak ada perbedaan pendapat di
antara umat Islam seluruhnya yang ahli fikih, ahli hadits, ahli kalam dan
orang-orang yang semisal dengan mereka serta orang-orang yang bertaklid pada
mereka bahwa lafadz dzahir yang terdapat dalam al-Qur’an dengan menyebut Allah
ta’ala di langit seperti firman Allah ta’ala “a amintum man fi as-sama’” dan
semacamnya maknanya bukanlah seperti dzahirnya akan tetapi seluruhnya
ditakwilkan.” Ini adalah ijma’ Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
menetapkan bolehnya takwil. Sedangkan ijma yang diklaim oleh Ibn Baz
dalam menafikan takwil adalah ijmanya ahli tasybih dan tajsim mulai
dari munculnya mereka sampai sekarang. Diantara kebodohan orang ini
adalah bahwa setelah ia mengutip suatu ijma’ kemudian dia menentang ijma’
itu sendiri dengan ijma’ bohongan yang dia klaim. Hal ini disebutkan
dalam majalah al-Haj. Dia mentakwil firman Allah ta’ala “wahuwa
ma’akum ainama kuntum” dengan ilmu. Dan betapa celakanya orang yang buta
menurutmu wahai Ibn Baz. Ketika kamu mengklaim ijma’ yang
melarang takwil, terlewatkan olehmu firman Allah ta’ala yang jika tidak
dita’wil seperti ini: “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar).” Jadi menurutnya orang yang buta di dunia akan lebih celaka di
akhirat. (Lihat an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juz 5 halaman 24 dan
Majalah al-Haj edisi Jumadil Ula tahun 1415H halaman 74)
20. Wahabiyah mengatakan tentang firman Allah ta’ala QS.
al-Qashash “kullu syai-in haalikun illa wajhahu”, bahwa takwil dalam
ayat ini tidak diucapkan seorang muslimpun. Padahal imam al-Bukhari
mentakwil ayat ini, beliau mentakwil dengan “kecuali kekuasaanNya.” Sebagaimana
juga imam Sufyan ats-Tsauri juga mengatakan: “Kecuali sesuatu yang
dilakukan dengan mencari ridha Allah berupa amal perbuatan yang baik”. (Lihat
al-Albani dalam al-Fatawa halaman 523 dan Shahih al-Bukhari kitab
at-Tafsir bab Surat al-Qashash).
21. Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim mengutip adanya dua
metode takwil: pertama; madzhab salaf yaitu takwil ijmali (menyerahkan
maknanya pada Allah) dan kedua; madzhab khalaf yaitu takwil tafshili
(dengan menjelaskan maknanya yang sesuai dengan keagungan Allah),
sedangkan Ibn Baz dalam bantahannya terhadap sebagian orang yang
menta’wil mengatakan: “Pembagian ini menurut yang saya ketahui tidak pernah
ada seorangpun yang mengatakan.”109 Perkataannya ini adalah bukti kebodohannya
terhadap apa yang disebutkan oleh para ulama. (Lihat Ibn Baz dalam at-Tanbihat
halaman 17)
22. Wahabiyah mengakui keazaliahan jenis alam dan Ibn
Taimiyah telah menyebutkan keyakinan tersebut dalam lima kitabnya.
(Lihat kitab Muwafaqah Sharih al-Ma’qul juz 1 halaman 245 dan juz 2
halaman 75, kitab Minhaj as-Sunnah juz 1 halaman 109 dan 223, kitab Naqd
Maratib al-Ijma’ halaman 168, kitab Sayrh Hadits Imran ibn
Hushain halaman 193, dan Majmu al-Fatawa juz 18 halaman 239. Semua
kitab tersebut karya Ibn Taimiyah yang oleh golongan Wahhabi disebut sebagai
Syekh al-Islam)
23. Wahabiyah meyakini neraka akan punah dan adzab orang kafir
yang ada di dalamya akan habis. (Lihat Ibn al-Qayyim dalam Hadi
al-Arwah ila Bilad al-Afrah halaman 582 dan 591)
24. Wahabiyah mengatakan bahwa Abu jahal dan Abu Lahab lebih
bertauhid dan lebih murni imannya dari pada umat Islam yang bertawassul
kepada Allah dengan para nabi, para wali dan orang-orang shalih.112
Sungguh mengherankan pernyataan ini, bagaimana bisa diterima oleh akal
orang yang sudah nyata-nyata musyrik dikatakan lebih murni imannya dari
pada orang mukmin yang bertawassul kepada Allah dengan para nabi dan orang
shalih, Maha Suci Engkau ya Allah, sungguh ini adalah kesesatan yang nyata. Berarti,
mereka telah menjadikan Abu Jahal lebih mulia dari para sahabat, tabi’in dan
para pengikut tabi’in dan seterusnya, karena terbukti bahwa para sahabat
bertawassul dengan nabi Saw., demikian juga para tabi’in, dan umat Islam
senantiasa bertawassul dengan Rasul sampai sekarang ini karena memang
Rasulullah mengajarkannya. Sebagaimana beliau memerintahkan orang buta
yang datang mengadu kepadanya akan penglihatannya yang hilang untuk
berdo’a dengan tawassul “Allaahumma innii as-aluka wa atawajjahu ilaika
binabiyyinaa muhammadin nabiyyirrahmat”, dan hadits ini adalah shahih
menurut ulama hadits. Pernyataan golongan Wahabiyah telah menyesatkan
umat, seakan-akan mereka mengatakan: “Tidak ada Islam kecuali jama’ah
mereka.” Mereka mencabut status Islam dari umat. Hal ini dikuatkan oleh cerita
yang disebutkan oleh Haji Ahmad an-Na’imi al-Halabi, beliau mengatakan: “Aku
pada tahun 1987 di Saudi Arabia di kota Abha di masjid Jami’ asy-Syurthah pada
hari Jum’at, seorang khatib Wahabi bernama Syekh Jasir berdiri dan berkata di
atas mimbar kepada hadirin yang berada di dalam masjid: “Demi Allah, hanya
kalianlah umat Islam, dan tidak ada di timur dan di barat seorang muslim
kecuali kalian dan sisanya selain kalian adalah orang-orang kafir dan musyrik.
Semua Timur dan Barat telah menjadi musyrik.” (Lihat Muhammad Basyamil
dalam Kaifa Nafhamu at-Tauhid halaman 16)
25. Wahabiyah mencela empat madzhab yang telah disepaki oleh
umat Islam. Mereka mengatakan bahwa: “Para pengikut madzhab telah
memecah-belah umat dan bahwa taqlid pada salah satu madzhab adalah inti
kesyirikan. Orang yang mengikuti satu madzhab saja dalam satu masalah, maka ia
adalah seorang yang fanatik buta, dan orang yang taklid buta telah keluar dari
agama karena ia mengikuti hawa nafsunya, dan menjadi bagian dari hizb
asy-syaithan (golongan syaithan) dan budak hawa nafsu sehingga hilang cahaya
keimanan dalam hatinya.” (Muhammad Sulthan al-Ma’shumi dalam Hal
al-Muslim Mulzamun bi at-Tiba’i Madzhaibn Mu’ayyanin halaman 38 dan 76).
26. Wahabiyah mengkafirkan Ahlussunnah wal Jama’ah, mereka
mengkafirkan Asya’irah dan Maturidiyah dan menganggapnya sebagai
kelompok yang sesat dan bahwasanya Asy’ariyah Maturidiyah reinkarnasi
Muktazilah. Cukup bagi kita untuk merenungkan perkataan imam al-Hafidz
Muhammad Murtadha az-Zabidi: “Apabila dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah maka
yang dimaksud adalah al-Asya’irah dan al-Maturidiyah”. (Abdurrahman Alu
Syekh dalam Fath al-Majid, dicetak oleh asosiasi mereka yang bernama
Jam’iyyah Ihya’ Turats al Islami, halaman 353 dan Muhammad Murtadha az-Zabidi
dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin bi Syarh Ihya’ ‘Ulum ad-Din juz 2
halaman 6).
27. Kelompok Wahabiyah menuduh tarekat sufi dengan kesyirikan.
Mereka menganggap bahwa tarekat sufi sebagai biang keladi terpecahnya
umat Islam. Bahkan lebih dari itu, karena sangat bencinya mereka
terhadap kaum sufi sampai mereka mengatakan: “Wahai umat Islam, Islam kalian
tidak akan bermanfaat kecuali jika kalian terang-terangan memerangi tarekat dan
memberantasnya… perangilah kaum sufi sebelum kalian memerangi Yahudi.”
Dengan tuduhan syirk dan nifaq terhadap kaum sufi yang
shadiqah, berarti Wahabiyah telah mengkafirkan ratusan juta umat Islam
dari Timur hingga Barat dari masa Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian masa para imam
madzhab empat dan ulama-ulama lainnya yang shalih seperti al-Imam Junaid al-Baghdadi,
al-Imam Ahmad ar-Rifa’i, al-Imam Abdul Qadir al-Jilani, sultan ulama al-‘Iz Ibn
Abdissalam dan ulama-ulama lainnya sampai masa kita sekarang ini. Sesungguhnya
dasar-dasar tasawwuf adalah al-Qur’an dan sunnah, tasawwuf mengajarkan zuhud,
wara’, taqwa, dan ibadah. Jalan kebaikan dan juga cara untuk menyebarkan
kebaikan kepada umat Islam. Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Jadilah kamu
seorang ahli fikih yang sufi bukan pengikut wahdat al-wujud (Aqidah
wahdatul wujud adalah aqidah sesat yang meyakini bahwa Allah adalah keseluruhan
alam ini dan makhluk yang ada di alam adalah bagian dari Allah). Sesungguhnya
demi Tuhan ka’bah, aku memberi nasehat kepadamu.” (Ali ibn Muhammad ibn
Sinan dalam al-Majmu’ al-Mufid halaman 55 dan asy-Syafi’i dalam
ad-Diwan, hal. 34).
28. Termasuk celaan mereka kepada para wali adalah tuduhan
mereka bahwa para wali tersebut telah mencoreng wajah Islam dengan
pengakuan munculnya karamah. Ini mereka lakukan karena mereka sendiri
tidak mengakui adanya karamah. Dan mereka (Wahabi) tidak akan pernah
mencapai derajat itu. Mengapa mereka mengingkari apa yang telah Allah
berikan kepada para wali yang shalih? Bukankah Allah berfirman: “Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” Jelas, karena di antara mereka tidak
ada yang muncul darinya karamah. Bagaimana mungkin akan muncul karamah
dari orang yang aqidahnya sesat! (Lihat al-Albani dalam al-Ghifari
halaman 18 dan Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam al-Ajwibah al-Jaliyyah
halaman 128).
29. Wahabiyah mengkafirkan para wali Allah seperti al-Badawi,
ad-Dasuqi. Mereka mengatakan bahwa mereka (para wali tersebut) hanya
dikenal di antara orang-orang musyrik. Bahkan mereka dengan nada
menghina mengatakan: “Ada segolongan kaum yang dimakamkan di Syam yang sandal
mereka lebih mulia dan lebih terhormat dari al-Badawi dan ad-Dasuqi.”
30. Wahabiyah mengklaim bahwa Adam, Syits, dan Idris bukanlah
nabi.
31. Wahabiyah mengkafirkan Hawa. (Lihat Muhammad Shidiq Hasan
al-Qanuji dalam ad-Din al-Khalish juz 1 halaman 16).
32. Wahabiyah mengkafirkan penduduk Mesir, Yaman, Irak dan Syam,
karena mereka bertawasul kepada Allah dengan para Nabi dan orang shalih.
(Lihat Abdur Rahman Alu Syekh dalam Fath al-Majid halaman 213).
33. Wahabiyah mengkafirkan penduduk Dubai, Abu Dhabi dan
menamakan mereka dengan anjing-anjing neraka Jahannam. (Lihat Abdul Aziz
ibn Abdullah Alu Syekh dalam Ahlussunnah an-Nabawiyah ‘ala Takfir
al-Mu’aththilah al-Jahmiyyah halaman 51, 101, 102, dan 124).
34. Wahabiyah mencela Umar ibn Abdul Aziz. (Lihat Abdul Aziz
al-Hasyimi dalam Ithlaq al-Ainnah halaman 16-17).
35. Wahabiyah membid’ahkan al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dan
an-Nawawi dan mengatakan sesungguhnya keduanya bukan Ahlussunnah wal Jama’ah.
(Lihat kitab mereka Liqa’ al-Bab al-Maftuh halaman 42).
36. Wahabiyah menuduh al-Hafidz al-Hakim seorang ahli hadits
pengarang kitab al-Mustadrak adalah orang yang aqidahnya rusak.
(Lihat Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam Tathhir al-Jinan wa al-Arkan ‘an Dun
asy-Syirk wa al-Kufran halaman 64).
37. Wahabiyah mengkafirkan Jama’ah ad-Dakwah wa at-Tabligh dan
para masyayikhnya seperti Syekh Khalid an-Naqsyabandi dan Syekh Muhammad
Ilyas dan Syekh Zakariya dan Syekh Muhammad In’am al-Hasan. (Lihat dalam
kitab al-Qaulu al-Baligh fi Tahdzir min Jama’ah ad-Da’wah wa at-Tabligh).
38. Wahabiyah mengkafirkan Hasan al-Bana. Lihatlah majalah al-Majallah
edisi 830 Desember 1996.
39. Wahabiyah mengatakan tentang al-Azhar bahwasanya al-Azhar
telah keluar dari tradisi kebaikan yang pernah mereka alami sebelumnya.
40. Umat Islam dan para walinya yang telah meninggal dunia juga
tidak lepas dari celaan Wahabiyah. Dalam koran Nida al-Wathan tanggal
3/9/1994 dengan judul Penyerangan makam-makam Adn, orang-orang
Wahabiyah masuk dengan mortir dan rudal bahkan menggali kubur al-Imam al-Idrus
dan lainnya.
41. Wahabiyah menghalalkan darah orang yang membaca shalawat
kepada Nabi Saw. dengan suara keras setelah adzan dan mereka menganggapnya
lebih besar dosanya dari pada zina. Suatu ketika didatangkan kepada Muhammad
ibn Abdul wahhab seorang muadzdzin yang membaca shalawat nabi Saw.
setelah adzan maka ia memerintahkan anak buahnya untuk membunuhnya. Ketika
mereka menjajah Makkah kemudian mereka mendengar penduduk Makkah membaca do’a
setelah adzan dan shalawat nabi seperti kebiasaan mereka dengan suara keras,
dikatakan: “Sungguh ini adalah syirik besar.” (Lihat Syekh Ahmad Zaini
Dahlan dalam al-Futuhat al-Islamiyah juz 2 halaman 68 dan Tarikh
as-Sulthanah al-‘Ustmaniyah).
42. Wahabiyah mencampuradukkan antara makna ibadah dan tawassul
sehingga mereka mengkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah dengan
para nabi, para wali dan orang-orang shalih dan mereka menamakan orang yang
bertawassul dengan quburiyyah (para penyembah qubur) dan rusak Islamnya.
Sedangkan Ahlussunah wal Jama’ah berpendapat bahwa tawassul kepada Allah dengan
para nabi, para wali yang shalih adalah sesuatu yang baik yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya. Dalam hadits shahih diriwayatkan oleh
ath-Thabarani dalam dua kitab Mu’jamnya, al-Mu’jam ash-Shaghir
dan al-Mu’jam al-Kabir dan beliau menshahihkannya, bahwa seorang
laki-laki buta datang kepada Nabi Saw. dan mengadu kepadanya tentang matanya
yang buta, kemudian nabi berkata kepadanya: “Jika kamu mau bersabarlah dan
jika kamu mau aku akan mendo‘akanmu.” Laki-laki itu kemudian mengatakan
bahwa kebutaanku terasa berat bagiku dan aku tidak memiliki orang yang
menuntunku, kemudian nabi berkata kepadanya: “Pergilah ke tempat wudhu dan
berwudhulah kemudian shalatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya
aku meminta kepadaMu dan dengan kemuliaan nabiMu nabi Muhammad nabi pembawa
rahmat, wahai Muhammad aku bertawajuh denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku
agar Engkau kabulkan untukku.” Kemudian laki-laki itu pergi dan melakukan
apa yang dikatakan nabi kepadanya. Utsman ibn Hunaif perawi hadits ini
mengatakan: ”Demi Allah kami belum meninggalkan majlis dan tidak lama kemudian
laki-laki itu masuk sudah sembuh dari butanya sekan-akan tidak pernah buta”.
(Lihat al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir juz 9 halaman 17
dan al-Mu’jam ash-Shaghir halaman 201 dan al-Albani dalam at-Tawassul
halaman 24, 74, dan 70).
43. Wahabiyah menganggap Istighotsah sebagai syirik besar
(pelakunya keluar dari Islam). Dalam mereka berfatwa bahwa orang yang
beristighatsah dengan orang-orang yang telah meninggal dunia dan tidak hadir di
tempat adalah musyrik dengan syirik besar dapat mengeluarkan seseorang dari
agama Islam, pelakunya tidak sah menjadi wali dan tidak sah bermakmum di
belakangnya. Padahal telah ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
bahwa nabi Saw. bersabda: “Pada hari kiamat matahari mendekat sehingga
keringat seseorang sampai pada tengah telinga, dan ketika mereka dalam
keadaan seperti itu mereka beristighatsah dengan Adam kemudian dengan
Musa kemudian dengan Muhammad.” (Lihat al-Albani dalam at-Tawassul
halaman 25, Ibn Baz dan Ibn ‘Utsaimin dalam al-Fatawa juz 1 halaman 3
dan Shahih al-Bukhari kitab az-Zakat bab Man Saala an-Nas Takatstsuran
hadits no. 1.475).
44. Wahabiyah mengatakan bahwa orang yang beristighatsah dengan
orang yang hidup agar turun hujan adalah musyrik. Perkataan ini sama saja
dengan mengkafirkan Umar ibn Khattab sebagaimana disebutkan dalam Shahih
al-Bukhari bahwasanya beliau beristighatsah dengan al-‘Abbas agar turun hujan.
Juga mengkafirkan Ahmad ibn Hanbal karena telah mengatakan tentang Shafwan ibn
Sulaim bahwa dengan menyebutnya (bertawassul dengannya) orang bisa sembuh dari
sakitnya dan turun hujan. Shafwan adalah seorang Tabi’in yang dikenal dengan
zuhud, tekun ibadah dan tinggi ilmunya. Ulama salaf maupun khalaf hampir semua
dikafirkan oleh golongan wahabiyah. (Lihat dalam al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab
at-Tauhid juz 1 halaman 335 dan as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Huffadz
halaman 61).
45. Wahabiyah mengharamkan nida’ (memanggil) ya Muhammad
bahkan mereka menganggapnya sebagai ibadah kepada selain Allah apapun niat
orang yang mengatakannya. Hal ini sama saja dengan mengkafirkan Abdullah ibn
Umar (apapun niatnya sebagaimana prasangka Wahabiyah). Al-Bukhari meriwayatkan
dalam al-Adab al-Mufrad dari Abdurrahman ibn Sa’ad berkata: “Kaki
Abdullah ibn Umar kesakitan (semacam keseleo), kemudian dikatakan kepadanya
sebutkanlah nama orang yang paling kamu cintai, kemudian ia berkata: “Ya
Muhammad.” Maka spontan hilang rasa sakit yang ada pada kakinya.” Sungguh
kalian wahai Wahabiyah lancing terhadap sahabat Rasulullah! (Muhammad
Jamil Zainu dalam Taujihat Islamiyah halaman 9 dan al-Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad bab Ma Yaqulu ar-Rajul idza Khadirat Rijluhu).
46. Wahabiyah mengatakan bahwa diantara bid’ah yang kufur adalah
berdoa kepada orang yang meninggal, yang tidak hadir dan istighatsah kepada
mereka. Berarti mereka telah mengkafirkan Bilal ibn al-Harits al-Muzani seorang
sahabat yang mulia datang ke makam Nabi Saw. dan bertawassul dengan beliau.
Bahkan Abdul Aziz ibn Baz mengatakan perbuatan sahabat nabi ini syirik.148
Hadits tentang hal ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih
dari Malik ad-Dar, ia adalah khazin (pemegang amanat dari) Umar
mengatakan: “Pada masa Umar, umat Islam mengalami paceklik, datanglah
seorang laki-laki ke makam Nabi Saw. kemudian berkata: “Wahai Rasulullah
mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka akan binasa.” Kemudian lelaki
tersebut mimpi bertemu Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan
salam saya kepada Umar dan beritahukanlah bahwa mereka akan diberi hujan dan
hendaknya kamu (Umar) lebih cerdas dan bijak. Selanjutnya laki-laki ini
mendatangi Umar ibn al-Khaththab dan menceritakan kejadian tersebut. Umar
menangis dan berkata: “Ya Allah mereka tidak mengalami ini kecuali karena
kelemahanku.”150 Lelaki ini adalah Bilal ibn al-Harits al-Muzani seorang
sahabat, ia datang ke makam Nabi Saw. dan Umar tidak mengingkarinya.” Demi
Allah, siapakah yang lebih tahu tentang perkara yang diperbolehkan dan yang
tidak diperbolehkan, ini kufur dan ini tidak kufur, Umar ibn Khaththab atau Ibn
Baz? Bukankah perkataan Ibn Baz sama saja telah mengkafirkan Bilal ibn Harits
al-Muzani dan Umar ibn Khaththab yang menyetujui perbuatan Bilal? (Lihat Ta’liq
Ibn Baz ‘ala Fath al-Bari juz 2 halaman 495 dan al-Baihaqi dalam Dalail
an-Nubuwwah juz 7 halaman 47).
47. Wahabiyah mengatakan bahwa meminta hajat kepada para Nabi
dan para wali adalah syirik. Lihat fatwa Abdul Aziz ibn Baz yang dimuat koran ar-Ra’yi
Yordania. Berarti mereka mengkafirkan sahabat Rabi’ah ibn Ka’ab al-Aslami
yang disebutkan dalam hadits shahih bahwa nabi berkata kepadanya: “Mintalah,
ia berkata: “Saya minta menjadi temanmu di surge.” Nabi mengatakan: “Apa ada
permintaan yang lain? Ia menjawab: “Hanya itu”, kemudian Nabi mengatakan:
“Maka tolonglah dirimu dengan memperbanyak shalat.” Bukankah dalam
fatwa Ibn Baz seakan-akan menurutnya Nabi mengajak sahabat ini kepada
kesyirikan? (Lihat dalam Shahih Muslim kitab ash-Shalat bab Fadh Sujud wa
al-Hats ‘Alaih halaman 489).
48. Wahabiyah mengkafirkan orang yang meminta pertolongan pada
selain Allah. Dan ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala: “Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS. al-Baqarah ayat 45) dan
bertentangan juga dengan hadits Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya Allah
memiliki malaikat yang menyebar di bumi selain malaikat al-Hafadzah
mereka menulis sesuatu yang gugur dari daun pepohonan, apabila salah seorang di
antara kalian tersesat di daerah padang pasir maka hendaknya ia memanggil
tolonglah wahai hamba-hamba Allah.” Diriwayatkan oleh ath-Thabarani
dan al-Bazzar. Al-Hafidz al-Haitsami mengatakan: “Para perawinya semuanya tsiqat.
Bagaimana jika sekedar meminta pertolongan ketika dalam keadaan susah atau
lainnya dengan tetap meyakini bahwasanya tidak ada yang menciptakan bahaya dan
memberi manfaat dengan sebenarnya kecuali hanya Allah, juga dianggap syirik ?,
padahal Rasulullah Saw. telah bersabda: “Dan Allah menolong seorang hamba
selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” Diriwayatkan oleh
Abu Dawud. (Lihat Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam Majmu’ah at-Tauhid
halaman 24, Ibn Hajar al Haitsmi dalam Majma’ az-Zawaid juz 10 halaman
132 dan Sunan Abu Dawud kitab al-Adab bab fi al-Ma’unah li al-Muslim
hadits no. 4.946).
49. Wahabiyah membagi tauhid menjadi tiga bagian. Perkataan
mereka bahwa tauhid ada tiga bagian: Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan
Tauhid Asma wa ash-Shifat. Di balik pembagian ini mereka ingin
mengkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah dengan para nabi dan orang
shalih. Muhammad ibn Abdul wahhab mengatakan: “Sesungguhnya Nabi memerangi manusia
yang meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta tidak ada sekutu bagiNya
dan bahwa Allah ta’ala Maha Hidup, Yang Memberi Rizki dan Pencipta, akan tetapi
mereka musyrik karena mereka berharap pada malaikat dan para nabi serta para
wali untuk mendapatkan syafaat mereka dan mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara seperti itu, maka hal inilah yang menghalalkan darah dan harta mereka.”
Ketahuilah bahwa pembagian ini tidak ada dalam al-Qur’an, hadits bahkan
perkataan ulama sekalipun. Sebaliknya yang ada dalam hadits yang mutawatir
adalah bahwa Nabi Saw. bersabda: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk
memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan
yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah dan bahwa aku adalah
utusan Allah apabila mereka melakukannya maka mereka terjaga dariku darah dan
harta mereka.” Pertanyaan dua malaikat Munkar dan Nakir pada
Mayit di dalam kubur, apakah keduanya bertanya apakah kamu bertauhid
Uluhiyyah? Apakah kamu bertauhid Rububiyah? Apakah kamu bertauhid
Asma dan Shifat? Bukankah yang disebutkan dalam hadits keduanya bertanya siapa
Tuhanmu?, apa agamamu? Dan siapa nabimu? Wahabiyah mengatakan bahwa barangsiapa
yang menjadikan antara dia dan agamanya perantaraan yang dengannya dia berdo’a
kepadanya dan meminta syafa’at dan bertawakkal kepada mereka maka ia telah
kufur secara ijma’. Di sini terlihat bahwa kebodohan Wahabiyah tidak
hanya pada kebodohan dalam masalah hadits Rasulullah, akan tetapi juga pada
sejarah para sahabat. Bukankah Umar ibn al-Khatthab meminta hujan dengan
perantara al-Abbas dan bertawassul dengannya kepada Allah, beliau berkata: “Ya
Allah kami bertawassul kepadaMu dengan nabi kami maka turunkanlah hujan kepada
kami dan sesungguhnya kami bertawassul kepadaMu dengan paman nabi kami maka
turunkanlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari). Al Hafidz Ibn Hajar
mengatakan setelah cerita ini: “Dari kisah al-Abbas ini dapat diambil faidah
kesunnahan meminta syafa’at kepada orang-orang yang baik dan shalih juga
keturunan Nabi (ahlul bait).” Sekarang kita bertanya kepada Ibn Baz tentang
ijma’ yang dia klaim, ijma’ siapa? Atau jangan-jangan dia tidak
mengetahui makna ijma’, atau itu adalah ijma’ Wahabiyah yang
menganggap hanya diri merekalah umat Islam? Apakah Ibn Baz menganggap bahwa
Umar ibn al-Khatthab, al-Abbas, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani yang mengutip
kesunnahan meminta syafa’at dengan orang shalih dan ahlul bait,
bahwa mereka telah menentang ijma’? Apa komentar Ibn Baz tentang kutipan
as-Suyuthi dalam kitab Thabaqat al-Huffadz bahwa ketika disebut nama
Shafwan ibn Sulaim di hadapan Ahmad ibn Hanbal, kemudian ia (Ahmad) mengatakan
orang ini bisa menyebabkan sembuhnya orang yang sakit dan turunnya hujan kalau
disebutkan namanya. (Lihat Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam Kasyf asy-Syubhat
halaman 3-6, Shahih Muslim kitab al-Iman bab al-Amr bi Qital an-Nas hatta
Yaqulu Laa ilaha Illallah Muhammad Rasulullah halaman 22, Muhammad
ibn Abdul Wahhab dalam Majmu’ah at-Tauhid halaman 38, Shahih
al-Bukhari kitab al-Istisqa’ bab Sual an-Nas al-Imam al-Istisqa’ idza Qahithu
hadits no. 1010, as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Huffadz halaman 61).
50. Wahabiyah mengharamkan melakukan perjalanan untuk ziarah ke
kuburan para wali dan orang-orang yang shalih bahkan menurut mereka ziarah ke
makam Nabi adalah perjalanan maksiat tidak boleh mengqashar shalat. Jelas ini
adalah penyelewengan atas nama agama dan bertentangan dengan hadits Rasulullah
Saw.: “Barangsiapa yang berziarah ke kuburanku maka wajib baginya
syafaatku.” Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan dikuatkan oleh al-Hafidz
Taqiyuddin as-Subki. Al-Qadhi Iyadh al-Yahshubi al-Maliki dalam kitabnya asy-Syifa
bi Ta’rifi Huquqi al-Mushtafa mengutip ijma’ umat Islam bahwa
ziarah kubur nabi Saw. adalah salah satu sunnah dari sunnah-sunnah umat Islam.
Adapun hadits yang dijadikan sebagai dalih Wahabiyah untuk mengharamkan
bepergian menuju selain tiga masjid yaitu sabda Nabi Saw.: “Janganlah kalian
melakukan bepergian kecuali pada tiga masjid: masjidku ini, Masjid
al-Haram dan Masjid al-Aqsha (HR al-Bukhari). Kita katakan bahwa tidak
seorang ulama pun baik salaf maupun khalaf yang memahami hadits ini seperti apa
yang dipahami oleh Wahabiyah. Hadits ini maknanya; tidak ada keutamaan yang
lebih dalam melakukan perjalanan dengan tujuan shalat pada sebuah masjid
kecuali bepergian ke tiga masjid ini. Karena shalat di dalamnya dilipatgandakan
pahalanya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad secara marfu’: “Tidak seyogyanya bagi orang yang berjalan untuk
bepergian ke sebuah masjid dengan tujuan shalat di dalamnya selain
Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha dan Masjidku ini.” Kemudian
bagaimana mungkin hanya bermaksud ziarah ke makam Nabi dikatakan bid’ah yang
haram. Bukankah Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa yang datang kepadaku untuk
berziarah tidak ada tujuan lain kecuali untuk menziarahiku maka niscaya
aku pemberi syafa’at baginya. Al-‘Iraqi mengatakan: “Hadits ini
diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari hadits Ibn Umar dan dishahihkan oleh Ibn
Sakan, dikutip oleh az-Zabidi dalam Syarh Ihya.” (Lihat Ibn Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa Ibn Taimiyah juz 4 halaman 520, Sunan ad-Daruquthni kitab al-Haj;
bab al-Mawaqit juz 2 halaman 278, lihat juga as-Subki dalam Syifa’
as-Saqam bi Ziarah Khair al-Anam juz 2 halaman 11, al- Qhadhi Iyadh dalam asy-Syifa
bi Ta’rif Huquq al-Musthafa juz 2 halaman 83, Shahih al-Bukhari kitab
Fadhl ash-Shalah fi Masjid Makkah wa al-Madinah hadits no. 1.190, al-Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad juz 3 halaman 64 dan Muhammad
Murtadha az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin juz 4 halaman 416).
51. Wahabiyah mengatakan bahwa tabarruk dengan kuburan
adalah haram dan salah satu macam kesyirikan. Berarti, Wahabiyah telah
mengkafirkan sahabat Rasulullah Abu Ayyub al-Anshari. Al-Imam Ahmad telah
meriwayatkan dari Daud ibn Abi Shalih mengatakan: “Suatu hari Marwan datang dan
menemukan seseorang sedang meletakkan wajahnya di atas sebuah kuburan, kemudian
dia berkata: “Tahukah kamu apa yang sedang kamu lakukan?” Kemudian Abu
Ayyub berpaling padanya dan berkata: “Ya, aku datang kepada Rasulullah Saw. dan
aku tidak datang kepada batu, aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah
kalian menangisi agama ini jika dipegang oleh ahlinya (orang yang tahu
agama), akan tetapi tangisilah jika agama ini dipegang oleh orang yang bukan
ahlinya.” Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan ath-Thabarani dalam al-Kabir
dan al-Ausath. (Lihat Ibn Baz dan al-Utsaimin dalam Fatawa wa
Adzkar li Ithaf al-Akhyar halaman 10, Musnad Ahmad Juz 5 halaman
422, al-Mu’jam al-Kabir juz 4 halaman 158 dan Majma’ az-Zawaid Juz
5 halaman 245).
52. Wahabiyah mengatakan bahwa mengusap-usap pintu, tembok dan
jendela Masjid Nabawi adalah syirik besar. Jawabannya terdapat dalam kitab as-Sualat
dari Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau berkata: “Aku bertanya
kepada ayahku tentang orang yang sengaja mengusap tempat pegangan pada mimbar
Rasulullah dengan tujuan bertabarruk, demikian juga orang yang mengusap
kuburan, kemudian beliau menjawab tidak apa-apa.” Dalam kitab Manaqib
Ma’ruf al-Karkhi karya Ibn al-Jauzi, beliau menukil perkataan Ibrahim
al-Harbi seorang alim yang mirip Imam Ahmad dalam zuhud dan wara’nya:
“Kuburan Ma’ruf al-Karkhi penuh keberkahan yang telah teruji.” (Lihat Fatwa
Ibn Baz yang dimuat dalam majalah al-Muslimun edisi 563, al-Imam Ahmad
ibn Hanbal dalam al-‘Ilal wa Ma’rifah ar-Rijal juz 2 halaman 32, Ibn
al-Jauzi dalam Manaqib Ma’ruf halaman 200, Tarikh Baghdad juz 1
halaman 122).
53. Wahabiyah mengatakan bahwa perbuatan Abdullah ibn Umar yang
mencari-cari tempat yang pernah digunakan Nabi shalat kemudian beliau shalat di
tempat tersebut adalah dzari’ah (pengantar) pada syirik kepada Allah.
Hal ini sama saja dengan mengkafirkan sahabat Rasulullah. Bukankah dalam sebuah
hadits disebutkan: ”Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah (ibn Umar).” Diriwayatkan
oleh al-Imam al-Bukhari. (Lihat Ibn Taimiyah dalam Iqtidha’ ash-Shirat
al-Mustaqim, Shahih al-Bukhari kitab Fadhail ash-Shahabah; bab Manaqib
Abdullah ibn Umar hadits no. 3.739).
54. Wahabiyah mengatakan bahwa seseorang yang mendatangi kuburan
untuk mencari berkah adalah penyimpangan kepada Allah, RasulNya dan bid’ah
dalam agama yang tidak diridhai Allah. Kita katakan kepada mereka, berarti
kalian telah menuduh imam asy-Syafi’i sebagai ahli bid’ah sebagaimana kalian
juga telah membid’ahkan para imam salaf selain beliau, karena mereka telah
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hawa nafsu kalian. Al-Hafidz
al-Khathib al-Baghdadi telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih kepada
asy-Syafi’i bahwasanya beliau mengatakan: “Sesungguhnya aku benar-benar
bertabarruk dengan Abu Hanifah dan aku berziarah ke kuburnya setiap
hari. Apabila aku mempunyai hajat maka aku shalat dua rakaat, datang ke kuburan
beliau dan berdoa kepada Allah memohon hajatku di samping makam beliau,
biasanya tidak lama kemudian hajatku terpenuhi.” (Lihat al-Albani dalam
Tahdzir as-Sajid min Ittihad al-Qubur Masajid halaman 34, al-Khatib
al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad juz 1 halaman 123).
55. Wahabiyah mendukung penghancuran Qubbah Khadra’ yang
berada di atas makam Nabi Saw. sebagaimana dipahami dari perkataan mereka dan
mereka juga menyerukan untuk memindahkan makam nabi Muhammad dari Masjid
Nabawi. (Lihat al-Albani dalam Tahdzir as-Sajid halaman 68-69).
56. Wahabiyah mengharamkan perayaan Maulid Nabi Saw. dan mereka
menganggapnya sebagai bid’ah yang diharamkan karena ada kemiripan dengan
perayaan kaum Yahudi.181 Dalam kitab al-Ajwibah al-Jaliyyah Ahmad ibn
Hajar Al-Buthami mengatakan bahwa para ulama al-Muhaqqiqun berfatwa
bahwa perayaan malam kelahiran Nabi yang mulia yakni malam 12 Rabi’ul Awwal
setiap tahun termasuk bid’ah yang dilarang oleh para ulama.182 Pertanyaannya,
siapakah para ulama yang mereka maksud yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi
Saw.? Padahal al-Hafidz asy-Syakhawi dalam kitab Fatawanya telah
menuturkan bahwa perayaan Maulid telah dilakukan semenjak 3 abad hijriyah.
Kemudian umat Islam dari seluruh pelosok di kota-kota besar senantiasa
merayakan maulid, bersedekah pada malam maulid dengan berbagai macam sedekah,
mereka membaca sirah Nabi yang mulia. Keberkahan maulid nampak pada mereka yang
merayakan. Al-Hafidz as-Suyuthi menulis sebuah Risalah yang berjudul Husnu
al-Maqshid fi ‘Amali al-Maulid. (Lihat Ibn Baz dalam Fatawa Muhimmah li
‘Umum al-Ummah halaman 145, Ibn Baz dalam Tahdzir min al-Bida’
halaman 3-6 dan Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam al-Ajwibah al-Jaliyyah
juz 4 halaman 118).
57. Wahabi tidak hanya mengharamkan perayaan Maulid Nabi, tetapi
mereka juga mengharamkan umat Islam bergembira, ya sekedar bergembira pada
malam Maulid Nabi. Padahal mereka sendiri mengadakan pertemuan untuk napak
tilas sejarah Muhammad ibn Abdul Wahab setiap tahun memperingati kelahiran atau
kematiannya dengan format acara seminar dan muktamar yang menghabiskan dana
yang luar biasa selama sepekan. Acara ini biasanya dikenal dengan nama Usbu’iyatu
Muhammad ibn Abdil Wahhab/Sepekan Memperingati Muhammad ibn Abdul Wahhab.
(Lihat as-Sahsuni dalam Shiyanah al-Insan halaman 228).
58. Allah ta’ala memuji orang-orang yang mengagungkan
Nabi Muhammad dengan firmannya: ”Maka orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. al-A’raf ayat 157). Sedangkan Wahabi menghalalkan darah
orang yang mengagungkan Rasulullah Saw. (Lihat Muhammad ibn Abdul Wahhab
dalam Majmu’ at-Tauhid halaman 139).
59. Wahabiyah mengatakan tentang Qasidah al-Burdah karya
al-Bushiri yang di dalamnya terdapat pujian terhadap Nabi Saw. memuat berbagai
hal kecuali iman, namun perkataan Imam al-Bushairi ini dianggap Wahabi sebuah
kekufuran yang jelas. (Lihat Muhammad Sulthan al-Ma’shumi dalam Hal
al-Muslim Mulzamun bi at-Tiba’i Madzhaibn Mu’ayyanin ta’liq Salim al-Hilali
halaman 73).
60. Wahabiyah mengharamkan ziarah kubur pada dua hari raya, hari
raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. (Lihat al-Albani dalam al-Fatawa
halaman 61).
61. Wahabiyah mengharamkan umat Islam membaca kalimat tahlil
ketika mengantarkan jenazah. (Lihat ‘Ali Abdul Hamid dalam al-Maut ‘Idhatuhu
wa Ahkamuhu halaman 29).
62. Wahabiyah mengharamkan perempuan ikut mengantarkan jenazah
demikian juga membuat tenda untuk membaca al-Qur’an. (Lihat Ibn Baz wa
al-‘Utsaimin dalam Kitab Fatawa wa Adzkar halaman 13).
63. Wahabiyah mengatakan bahwa seorang perempuan haram hukumnya
ziarah kubur dan termasuk dosa besar dengan alas an karena Nabi Saw. bersabda: “Allah
melaknat perempuan-perempuan yang berziarah kubur.” Berarti Ibn Baz tidak
tahu kalau hadits ini telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan hadits
Rasulullah Saw.: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur maka sekarang
berziarahkuburlah kalian.” (HR.Muslim). Ketidaktahuan Ibn Baz tentang
status hadits yang telah dimansukh tersebut tidaklah mengherankan. Sebab dia
sendiri mengaku dalam sebuah wawancara dengan redaksi majalah al-Majallah tanggal
29/7/1995 ketika ditanya: “Apakah Anda hafal di luar kepala sejumlah kitab-kitab
induk?” Dia menjawab: “Tidak, aku tidak menghafalnya, hanya saja aku
pernah membaca kitab shahih ini dan aku belum menyelesaikannya, aku juga
membaca kitab lainnya juga belum selesai.” Jadi, yang lebih mengherankan
adalah bahwa seseorang yang mengaku tidak hafal sedikitpun dari kitab-kitab
hadits dan kitab-kitab fikih menjadi referensi dalam fatwa dan pemimpin sebuah
organisasi yang bernama “Haiah Kibar al-Ulama’”. Sungguh benar sabda
Nabi Saw. yang mengatakan bahwa pada akhir zaman ketika para ulama telah
meninggal dunia yang ada hanyalah orang-orang bodoh, padahal Imam Ali Ra.
mengatakan tentang mereka: “Orang-orang bodoh bagi ahli ilmu adalah musuh.” (Lihat
Hadits yang disebutkan dalam kitab Fatawa Muhimmah halaman 149 dan Shahih
Muslim kitab al-Janaiz; bab Isti’dzan an-Nabi Rabbahu fi Ziarati Qabri Ummihi
hadits no. 977).
64. Wahabiyah mengharamkan perkataan Shadaqallahul ‘Adzim setelah
membaca al-Qur’an. (Lihat Muhammad Jamil Zainu dalam Taujihat Islamiyah
halaman 45-46).
65. Wahabiyah mengharamkan para Kiyai hadir untuk membaca
al-Qur’an untuk mayyit dalam acara tahlilan orang mukmin yang telah meninggal
dunia.
66. Wahabiyah mengharamkan mengirimkan hadiah pahala bacaan
al-Qur’an dan mereka mengatakan bahwa hal itu tidak ada dasarnya. Sedangkan
Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan dan pahala
bacaannya akan sampai pada si mayyit dengan kehendak Allah. Perkataan Wahabiyah
yang mengatakan bahwa hal itu tidak ada dasarnya bertentangan dengan hadits
Nabi Saw. riwayat al-Bukhari bahwa Nabi Saw. bersabda kepada ‘Aisyah: “Apabila
itu terjadi (engkau meninggal dunia) dan aku masih hidup maka aku akan
memintakan ampun untukmu dan aku berdo’a untukmu.” Termasuk makna hadits
ini adalah do’a seseorang setelah membaca ayat al-Qur’an untuk disampaikan
pahalanya kepada mayit. Al-Imam al-Muhaddits Murtadha az-Zabidi dalam Syarh
Ihya telah mengutip dari imam asy-Syafi’i tentang kebolehan hal itu. (Lihat
Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam al-Ajwibah al-Jaliyyah halaman 177-178,
Lihat Shahih al-Bukhari kitab al-Mardha; bab Ma Rukhisha li al-Maridh an
Yaqulu Inni Waj’ hadits no. 5.666 dan Murtadha az-Zabidi dalam
Ithaf as-Sadah al-Muttaqin juz 10 halaman 369).
67. Wahabiyah mengharamkan membaca surat Yasin di atas kubur.
Dan ini jelas bertentangan dengan hadits Rasulullah Saw.: “Bacalah Yasin
pada orang yang meninggal di antara kalian.” Diriwayatkan oleh an-Nasai,
Ibn Majah dan Ibn Hibban. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila
Fahmi al-Islam halaman 54, ‘Amalul Yaum wa al-Lailah halaman 581, Sunan
Ibn Majh kitab al-Janaiz; bab Ma Ja-a fima Yuqal ‘ind al-Maridh idz
Hudhira, dan Ibn Balban dalam al-Ihsan bi Tartib Shahih Ibn Hibban
juz 5 halaman 3).
68. Wahabiyah mengharamkan membaca surat al-Ikhlas 11 kali atau
kurang atau lebih di atas kubur. Perkataan ini bertentangan dengan sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasai dan ar-Rafi’i dalam Tarikhnya dan
Abu Muhammad as-Samarqandi dalam kitab Fadhail Surat al-Ikhlash dari
hadits Imam Ali Ra.: “Barangsiapa yang melewati pekuburan dan membaca
Qulhuwallahu Ahad 11 kali kemudian memberikan hadiah pahalanya kepada
mereka yang telah meninggal maka ia akan mendapatkan pahala sejumlah
orang yang mati.” Dan kami tidak mengetahui berapa banyak amal
kebaikan yang dilarang oleh Wahabiyah bagi umat Islam dan bagaimana mereka
menjawab perkataan Imam Ali Ra.? (Lihat al-Armuni dalam 40 Haditsan fi
Fadhli Surat al-Ikhlas halaman 59).
69. Wahabiyah mengharamkan membawa mushaf ke kuburan dan
membacanya untuk mayit. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila
Fahmi al-Islam halaman 54).
70. Wahabiyah mengharamkan membaca al-Qur’an melalui pengeras
menara-menara masjid. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi
al-Islam halaman 55)
71. Wahabiyah mengharamkan talqin mayit.202 Padahal dalam
hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan ath-Thabarani dari Abi Umamah
al-Bahili mengatakan: “Jika aku mati maka lakukanlah kepadaku sebagaimana
Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk melakukannya terhadap orang-orang
yang meninggal. Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara
kalian mati maka ratakanlah tanah padanya dan hendaknya salah satu di antara
kalian berdiri di atas bagian kepalanya kemudian mengatakan “Wahai fulan ibn
fulanah”, sesungguhnya dia mendengar tapi tidak menjawab kemudian hendaknya dia
mengatakan “Wahai fulan ibn fulanah”, sesungguhnya dia mengatakan “Berilah kami
petunjuk, semoga Allah merahmatimu akan tetapi kalian tidak merasa”, hendaknya
orang yang berdiri tersebut mengatakan: “Sebutkanlah apa yang ketika kamu
keluar dari dunia ini yaitu persaksian bahwasanya tidak ada Tuhan yang disembah
dengan haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa
engkau ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi
dan al-Qur’an sebagai imam, sesungguhnya salah satu dari Munkar dan Nakir akan
memegang tangan yang lainnya dan mengatakan “Mari kita pergi tidak ada alasan
bagi kita untuk duduk di sini di samping orang yang telah ditalqin hujjahnya.”
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan dikuatkan oleh adh-Dhiya’ dalam Ahkamnya.
Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab at-Talkhis al-Habir mengatakan:
“Sanadnya shalih (baik).” (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda
ila Fahmi al-Islam halaman 53 dan Ibn Hajar al-Asqalani dalam at-Talkhis
al-Habir juz 2 halaman 135-136).
72. Wahabiyah mengatakan bahwasanya tidak disyariatkan membawa
jenazah menggunakan mobil. Melarang hal ini secara mutlak adalah batil karena
para ulama mengatakan dianjurkan menggunakan mobil jika dalam keadaan terpaksa.
Karena akan sulit kalau diharuskan membawa jenazah di atas pundak terutama di
kota-kota besar. Sungguh mengharuskan hal ini berarti memberi beban yang susah
bagi umat Islam dan agama Allah tidaklah ada kesulitan di dalamnya. (Lihat
dalam al-Maut ‘Idhatuhu wa Ahkamuhu halaman 30).
73. Wahabiyah mengingkari seseorang yang berwasiat untuk
dimakamkan pada tempat tertentu. Berarti, mereka juga mengingkari apa yang
pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khaththab ketika beliau mengutus
putranya Abdullah untuk meminta izin kepada Sayyidah ‘Aisyah agar beliau dikuburkan
di samping Rasulullah Saw. (Lihat dalam al-Maut ‘Idhatuhu wa Ahkamuhu
halaman 35).
74. Wahabiyah mengatakan bahwa seseorang yang berkeinginan untuk
shalat atau puasa kemudian ia mengatakan dengan lisannya aku berniat untuk
shalat atau aku niat untuk puasa maka dia disiksa di neraka. (Dimuat dalam
koran yang bernama Australia Isamic preview 26/9/ April/1996/p2).
75. Wahabiyah mengharamkan berjabat tangan selesai shalat antara
sesama jama’ah juga melarang mengucapkan kepada jama’ah lain setelah shalat yataqabbalallah/
semoga Allah menerima shalatmu. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim
al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 49).
76. Diriwayatkan dari Rasulullah bahwasanya beliau berkata: “Apabila
datang malam pertengahan bulan Sya’ban maka shalatlah pada malam harinya
dan berpuasalah pada siang harinya.” (HR. Ibn Majah). Namun Wahabiyah
mengharamkan shalat sunnah pada malam Nishfu sya’ban dan puasa pada siang
harinya. (Lihat Sunan Ibn Majah kitab Iqamah ash-Shalat; bab Ma Ja-a fi
Lailati an-Nishfi min Sya’ban hadits no. 1.388, Fatawa Muhimmah li ‘Umum
al-Ummah halaman 57 dan Shalih ibn Fauzan dalam at-Tauhid halaman
101).
77. Sahabat yang mulia Abu Hurairah Ra. memiliki benang panjang
yang memiliki 2000 bundelan, beliau bertasbih kepada Allah dengannya setiap
hari 12 ribu kali tasbih. Diriwayatkan oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqat.
Bahkan mereka mengharamkan membawa subhah (tasbih) untuk berdzikir
kepada Allah sebagaimana dituturkan dalam majalah at-Tamadun. (Lihat
juga dalam al-Hadiyah as-Sunniyah karya Abdullah ibn Muhammad ibn Abdul
Wahhab halaman 47).
78. Wahabiyah mengharamkan berdoa berjama’ah, imam dan makmum
dengan mengangkat tangan setelah shalat juga melarang makmum mengamininya.
(Disebutkan dalam majalah Dzikra edisi 7 tahun 1991 halaman 16).
79. Wahabiyah mengharamkan membaca al-Qur’an atau mengadakan
ta’lim sebelum shalat Jum’at, sebagaimana disebutkan dalam majalah mereka Dzikra.
(Majalah Dzikra edisi 7 tahun 1991 halaman 25-26).
80. Wahabiyah mengharamkan adzan kedua pada hari Jum’at. (Lihat
Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 49).
81. Wahabiyah mengharamkan shalat sunnah Qabliyah Jum’at.
Al-Albani mengatakan: “Setiap hadits yang menjelaskan shalat sunnah Qabliyah
Jum’at tidak ada yang shahih.” Padahal Imam Ali ibn Abi Thalib Ra.
mengatakan: “Rasulullah sebelum Jum’at melakukan shalat sunnah empat rakaat
dan setelahnya beliau juga shalat sunnah empat rakaat.” Al-Hafidz
Walyuddin al-‘Iraqi mengatakan: “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abul
Hasan al-Khala’iy dalam kitab Fawaidnya dengan sanad yang kuat.” Ini
menunjukkan bahwa betapa minimnya kemampuan Nashiruddin al-Albani dalam bidang
hadits. (Lihat al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah halaman 41 dan Tharh
at-Tatsri juz 3 halaman 41)
82. Wahabiyah melarang untuk membaca Assalamu‘alaika
ayyuhannabiy dalam tasyahud, tetapi hendaknya membaca Assalamu‘alannabi.
Padahal sayyidina Umar Ra. pernah mengajarkan para sahabat di atas mimbar
setelah wafatnya Nabi Saw. Dengan lafadz ayyuhannabi, diriwayatkan
oleh Imam Malik dalam kitab Muwaththa’. (Lihat al-Albani dalam Kitab
Shifat ash-Shalat an-Nabiy halaman 143 dan al-Imam Malik dalam Muwaththa’
Malik bab ash-Shalah halaman 90).
83. Wahabiyah mengharamkan shalat Qiyam Ramadhan lebih dari 11
rakaat. Cukup untuk membantah mereka hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
bahwa Nabi Saw. bersabda: “Shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat,
apabila salah seorang di antara kalian khawatir datang Shubuh maka
hendaknya dia shalat satu rakaat untuk mengganjilkan shalat yang telah
ia lakukan.” (Lihat al-Albani dalam Qiyam Ramadhan halaman 22 dan Shahih
al-Bukhari kitab al-Witr; bab Ma Ja-a fi al-Witr hadits no. 990).
84. Wahabiyah mengharamkan berdo’a dengan suara keras setelah
shalat lima waktu juga setelah shalat sunnah dan rawatib. (Lihat Ibn Baz dalam Fatawa
Islamiyah juz 1 halaman 239).
85. Wahabiyah mengharamkan wudhu menggunakan air lebih dari satu
mud yakni sama dengan 3/4 gelas air, mereka juga mengharamkan mandi
dengan menggunakan air lebih dari satu sha’ yakni sama dengan 4 mud.
Sangat jelas bahwa yang menyebabkan al-Albani ngawur dalam masalah ini karena
dia hanya mengambil hadits Anas Ra. bahwa Nabi Saw. pernah berwudhu dengan satu
mud dan mandi dengan satu sha’, dia tinggalkan riwayat lain yang
diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan satu makuk dan
mandi dengan 5 makuk air. Satu makuk adalah satu sha’ setengah.
Ini adalah dalil bahwa Rasulullah terkadang menyedikitkan air wudhunya sampai
dengan satu mud dan terkadang menambah sampai dengan satu makuk. (Lihat
dalam Majalah at-Tamaddun Damaskus tulisan al-Abani edisi tahunn 1375 H
dan Shahih Muslim kitab al-Haidh; bab al-Qadr al-Mutahab min al-Ma’ fi
Ghasli al-Janabah halaman 325).
86. Wahabiyah mengharamkan Qunut dalam shalat Shubuh. (Lihat Abu
Yusuf Abdurrahman Abdushshamad dalam As-ilatun Thala Haulaha al-Jadal
halaman 80).
87. Wahabiyah mengatakan bahwa waktu Isya’ hanya sampai tengah
malam. (Lihat Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin dalam Mawaqit ash-Shalah
halaman 4).
88. Wahabiyah mengharamkan shalat di masjid yang di dalamnya
terdapat kuburan. (Lihat dalam Fatawa Islamiyah juz 1 halaman 28-29).
89. Wahabiyah mengatakan bahwa: “Termasuk bid’ah dalam
masalah dzikir adalah ketika seorang syekh menentukan jumlah bilangan tertentu
agar dibaca jama’ahnya dalam berdzikir. Misalnya sang syekh mengatakan, bacalah
laa Ilaaha illallah 1.000 atau 10.000 kali atau lebih dan semua ini tidak ada
dalam syara’, ini merupakan bid’ah orang-orang jahiliyah. Mereka telah keluar
dari dzikir yang sesungguhnya kepada dzikir syirik kepada Allah ta’ala.”
Aku berlindung kepada Allah dari kekufuran orang-orang Wahabiyah. (Lihat Hussam
al-‘Aqqad dalam Halaqat Mamnu’ah halaman 25).
90. Wahabiyah mengatakan bahwa mengalungkan hiriz (jimat
yang bertuliskan al-Qur’an dan hadits) pada orang yang sakit dan anak-anak
tidak diperbolehkan, menurut mereka hal itu diharamkan dan termasuk salah satu
macam dari kesyirikan meskipun diambil dari al-Qur’an.230 Kita jadi
bertanya-tanya, orang macam apa Anda wahai Ibn Baz? Bagaimana bisa tulisan
ayat-ayat al-Qur’an pada kertas bisa menyebabkan seseorang syirik. Apabila kamu
tahu makna ibadah secara bahasa dan istilah, maka itu akan cukup bagi kamu
daripada mempermainkan hukum sesuai hawa nafsumu tanpa ada dalil dan hujjah.
Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya mengatakan dahulu Rasulullah
Saw. pernah mengajarkan kepada kami kalimat-kalimat untuk kami baca
ketika merasa ketakutan dalam tidur, dan dalam riwayat Ismail: “Apabila
salah seorang di antara kamu ketakutan maka hendaknya dia membaca “A’uudzu
bikalimaatillahi at-taammati min ghadhabihi wa’iqaabihi wamin syarri ‘ibaadihi wamin
hamazaati asy-syayaathiina wa an yahdhuruun”. Abdullah ibn Umar pernah
mengajarkan kalimat tersebut pada anak-anaknya yang baligh untuk dibaca ketika
tidur. Dan bagi anak-anaknya yang belum baligh beliau menulisnya dan
mengalungkannya pada lehernya. Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan hadits ini adalah
hadits shahih yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.231 Mungkin hadits ini belum
sampai kepada Ibn Baz, padahal dalam sebuah majalah dia mengatakan telah
membaca sunan at-Tirmidzi. Ketidaktahuannya ini telah menyebabkannya menuduh
orang lain berbuat syirik, dan hanya kepada Allahlah kita mengadu. (Lihat Fatawa
Islamiyah juz 1 halaman 27 dan 50 dan dalam Sunan at-Tirmidzi kitab
ad-Da’awat; bab 94).
91. Wahabiyah mengatakan tidak boleh menggunakan pengeras suara
untuk mengumumkan pernikahan. (Lihat Ibn Baz wa al-‘Utsaimin dalam Fatwa wa
Adzkar li Ithaf al-Akhyar halaman
19).
92. Wahabiyah mengingkari penamaan malaikat pencabut nyawa
dengan nama ‘Azrail. Padahal al-Qadhi Iyadh dalam kitab asy-Syifa telah
mengutip ijma’ bahwa nama malaikat maut adalah ‘Azrail, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits ash-Shur (hadits tentang sangkakala) yang
panjang yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam kitab ath-Thiwalat. (Lihat
dalam kitab al-Maut ‘Idhatuhu wa Ahkamuhu halaman 12 dan al-Qadhi Iyadh
dalam asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Mushthafa juz 2 halaman 303).
93. Wahabiyah mengatakan: “Di sini ada dua ruh, ruh yang
pertama yang ada bersama hawin yang berada pada tulang rusuk seorang laki-laki
dan ruh yang kedua ditiupkan setelah 4 bulan berdasarkan nash hadits.”
(Lihat Fatawa al-Albani halaman 382).
94. Wahabiyah menyeru pada perbuatan zina, mereka mengatakan
bahwa talak tiga itu jatuh satu dan bahwa talak mu’allaq (talak yang
digantungkan pada sesuatu) pelakunya hanya dikenakan kafarat yamin (denda
sumpah). Ini bertentangan dengan ijma’, Imam Abu Abdillah ibn Muhammad
ibn Nashr al-Marwazi telah mengatakan: “Bahwa seseorang yang bersumpah
dengan talak atau ‘itaq, maka umat telah sepakat bahwa itu adalah talak dan
tidak ada kaffarah di dalamnya, dan apabila dilanggar sumpahnya maka jatuh
talak.” Para ulama juga telah sepakat bahwa talak tiga jatuh tiga.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwasanya beliau telah berfatwa tentang jatuhnya
talak tiga dengan satu lafadz. Fatwa tersebut diriwayatkan oleh kibar sahabat
beliau yang terpercaya sebagaimana dijelaskan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan
al-Kubra. (Lihat Ibn Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa juz 8 halaman
33 dan 46 dan Ikhtilaf al-Fuqaha’ halaman 219).
95. Wahabiyah mengatakan bahwa Istimna’ yakni
mengeluarkan air mani baik penyebabnya dengan mencium istri, memeluknya atau
mengeluarkannya dengan tangan tidak membatalkan puasa. (Lihat dalam kitab Tamam
al-Minnah halaman 418).
96. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik kepadaNya.” (QS. an-Nisa’ ayat 48). Sementara
Wahabiyah mengatakan bahwa Allah mengampuni sebagian dosa syirik. (Lihat dalam Fatawa
al-Albani halaman 351).
97. Wahabiyah mengatakan keluarnya seorang perempuan untuk
bekerja adalah bagian dari zina. Demikianlah orang-orang Wahabiyah menjadikan
para muslimah yang mulia yang tidak berdosa sebagai para pezina yang berdosa.
Padahal telah diterangkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah Saw.
pernah memerintahkan para perempuan keluar rumah untuk melaksanakan shalat Hari
Raya di mushalla. Barangkali orang-orang Wahabiyah ini lupa dengan sejarah umat
Islam yang menceritakan keluarnya Rafidah, Nusaibah al-Maziniyah dan Khaulah
binti al-Azur dan peranan mereka dalam jihad fi sabilillah. (Lihat
tulisan Ibn Baz yang dimuat di koran al-Qabs edisi Jum’at 27 Muharram no.
8252).
98. Wahabiyah mengharamkan membuka wajah dan kedua telapak
tangan bagi perempuan kecuali di depan suami atau mahramnya. Padahal al-Hafidz
al-Mujtahid Muhammad ibn Jarir ath-Thabari dalam kitab Tafsirnya telah
mengutip ijma’ umat Islam bahwa aurat perempuan ajnabiyah di
depan laki-laki lain adalah seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak
tangannya. (Lihat Ibn ‘Utsaimin dalam Fatawa wa Adzkar li Ithaf al-Akhyar
halaman 16 dan Ibn Jarir dalam at-Tafsir, Taqrib wa Tahdzib Shalah
al-Khalidi juz 5 halaman 544).
99. Wahabiyah mengharamkan mengenakan emas yang dikalungkan pada
leher perempuan. Nashiruddin al-Albani mengatakan: “Dan ketahuilah bahwa
perempuan sama dengan laki-laki dalam keharaman memakai cincin emas dan juga kalung
emas.” Ini tentu bertentangan dengan ijma’ umat Islam yang
disebutkan oleh an-Nawawi yang menyatakan bahwasanya boleh bagi perempuan
mengenakan berbagai macam perhiasan dari perak dan emas seperti kalung, gelang
dan cincin, perhiasan yang biasa dipakai pada leher atau anggota badan lainnya
yang biasa dikenakan seorang perempuan, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam
masalah ini. (Lihat al-Albani dalam Adab az-Zifaf halaman 132-133 dan
an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz 6 halaman 40).
100. Wahabiyah mengatakan diantara yang wajib adalah mengunci
pintu ruangan belajar khusus perempuan untuk laki-laki meskipun pada tingkat
Ibtidaiyah/sekolah dasar. (Lihat Ibn Baz dalam ar-Rasail wa al-Fatawa
halaman 39-41).
101. Wahabiyah membolehkan thawaf bagi perempuan yang
sedang haid. Kita bantah dengan hadits Nabi Saw.: “Dan thawaf menempati
kedudukan shalat hanya saja Allah menghalalkan dalam thawaf untuk
berbicara.” Diriwayatkan oleh al-Baihaqi. (Lihat Ibn Taimiyah dalam al-Fatawa
al-Kubra juz 3 halaman 95).
102. Ibn Baz mengatakan bahwa orang yang mengatakan bumi itu
berputar maka wajib dibunuh. (Lihat dalam Majalah al-‘Arabi edisi 904 tahun
1995).
103. Wahabiyah menyalahkan Imam Ali, mereka mengatakan bahwa
beliau tidak diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang membangkang, perang
bersama barisan Ali tidaklah wajib juga tidak sunnah dan bahwa hal itu
membahayakan umat Islam dan tidak ada manfaatnya. Ini bertentangan dengan
hadits yang diriwayatkan an-Nasa’i dengan sanad yang shahih tentang Sayyidina
Ali, dari Ali Ra. bahwa beliau berkata: “Aku diperintahkan untuk memerangi
yang tidak mau berbaiat, mereka yang membangkang dan mereka yang tidak
taat.” Bagaimana dikatakan bagi orang yang taat kepada perintah Allah bahwa
perbuatannya bukan wajib dan bukan sunnah. Sebagaimana diketahui bahwa imam Ali
adalah khalifah yang rasyid tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari
barisannya. Memerangi orang-orang yang membangkang terhadapnya adalah
kewajiban. Jelas, perkataan Wahabiyah ini menunjukkan kebencian yang mendalam pada
hati mereka terhadap imam Ali Ra. dan keluarga Rasulullah Saw. (Lihat Ibn
Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah juz 2 halaman 203, 204 dan
214).
104. Wahabiyah membolehkan membuat kesepakatan damai dengan
Yahudi tanpa batas dan tanpa syarat. (Lihat koran Telegraf edisi no. 2754
tanggal 23 November 1994 dan koran as-Safir tanggal 23 Februari 1994).
105. Wahabiyah mengharamkan bepergian menuju negara orang kafir,
Ibn Baz mengatakan: “Yang benar bahwasanya tidak boleh bepergian menuju
negara orang-orang kafir untuk belajar kecuali dalam keadaan darurat dan dengan
syarat bahwa dia adalah seorang yang berilmu, paham agama dan tujuannya untuk
berdakwah atau semacamnya, ini adalah pengecualian.” (Lihat Ibn Baz dalam Fatawa
Islamiyah juz 1 halaman 94-96).
106. Sedangkan permusuhan Wahabiyah kepada umat Islam secara
gamblang bisa dilihat dari fatwa Nashiruddin al-Albani ketika memberikan fatwa
kepada penduduk Palestina dengan mewajibkannya keluar dari Palestina. Apa
kemaslahatan dari ini semua? Dan untuk siapa kita tinggalkan Palestina jika
kita mewajibkan penduduknya meninggalkan Palestina? Berapa harga fatwa ini?
Orang yang cerdas adalah orang yang memahami isyarat ini. Siapa yang membayar
al-Albani untuk fatwanya ini?
0 komentar:
Posting Komentar