Home » » Sekilas Tentang Klaim-klaim Wahabiyah

Sekilas Tentang Klaim-klaim Wahabiyah

Written By MuslimMN on Jumat, 31 Agustus 2012 | 03.31


Sekilas Tentang Klaim-klaim Wahabiyah

 
1.    Wahabiyah adalah suatu kelompok yang mengikuti seseorang yang bernama Muhammad ibn Abdul Wahhab yang muncul di Nejd sejak sekitar 250 tahun yang lalu, dimana Rasulullah Saw. pernah bersabda tentang Nejd: “Di sana akan muncul tanduk syetan.” (HR.  Bukhari). Muhammad ibn Abdul Wahhab telah menyiapkan kelompok ini sebagai musuh Islam dan mereka mengklaim kelompoknya dengan gerakan Salafiyah agar mereka bisa memerangi Islam dengan kedok Islam. Sedangkan guru mereka Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah didikan mata-mata penjajah Inggris Jefri Hamford. (Lihat buku catatan Jefri Hamford)
2.    Gerakan Wahabiyah mempunyai beberapa doktrin dasar dan yang paling berbahaya adalah pengkafiran secara umum pada setiap orang yang berbeda dengan mereka, dan dengan itu mereka juga menghalalkan darah umat Islam dan menjadikannya sebagai payung untuk membentangkan kekuasaannya di jazirah Arabia dan al-Haramain (Makkah dan Madinah). (Lihat Musthafa as-Sa’dhan, al-Harakah al-Wahhabiyah.)
3.    Wahabiyah adalah Khawarij abad 12, Nabi Saw. bersabda: “Akan muncul orang-orang dari timur dan mereka membaca al-Qur’an yang tidak sampai tenggorokan, mereka melesat keluar dari agama seperti anak panah melesat dari busurnya, tanda-tanda mereka adalah mencukur habis rambut kepalanya.” (HR. Bukhari). Di antara orang yang menamakan mereka dengan Khawarij adalah Imam Ibn ‘Abidin al-Hanafi dalam Hasyiyahnya terhadap kitab Radd al-Muhtar. Syekh Ahmad Zaini Dahlan mufti madzhab Syafi’i di Makkah al-Mukarramah telah mengutip dari mufti Zabid as-Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, beliau mengatakan tidak perlu menulis sebuah kitab untuk membantah Wahabiyah, tetapi cukup untuk membantah mereka dengan sabda Nabi Saw. tanda-tanda mereka adalah mencukur rambutnya, sebab hal itu tidak dilakukan oleh seorangpun dari para ahli bid’ah selain mereka. (Lihat dalam Shahih al-Bukhari Kitab at-Tauhid bab Qira’ah al-Fajir wa al-Munafiq halaman 7562, Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar juz 4 halaman 262, Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud kitab as-Sunnah bab fi Qital al-Khawarij, Ahmad Zaini Dahlan dalam Fitnah al-Wahhabiyah halaman 54)
4.    Muhammad ibn Abdul Wahhab, para ulama pada masanya mentahdzir (mengingatkan kesesatan) dia dan menjelaskan penyimpangan dan kesesatannya, termasuk ayah dan saudaranya yang bernama Syekh Sulaiman. Saudaranya mengarang dua risalah dalam membantah Muhammad ibn Abdul Wahhab yang pertama berjudul Fashl al-Khithab fi ar-Radd ‘ala Muhammad ibn Abdul Wahhab dan yang kedua berjudul ash-Shawa’iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahabiyah. Para gurunya juga ikut mentahdzir (mengingatkan kesesatan) dia seperti Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi dalam kitabnya al-Fatawa.
5.    Muhammad ibn Abdul Wahhab tidak menganggap keberadaan seorang muslim pun di atas bumi selain jama’ahnya dan setiap orang yang menentangnya ia kirim orang untuk membunuhnya di tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena dia mengkafirkan umat Islam dan menghalalkan darah mereka. Kalau ada seseorang yang masuk ke jama’ahnya dan dia telah haji sesuai dengan aturan Islam, ia mengatakan kepadanya berhajilah lagi karena hajimu yang pertama tidak diterima dan belum gugur kewajibannya karena kamu musyrik ketika itu. Apabila ada seseorang yang ingin masuk dalam agamanya, ia mengatakan kepadanya setelah mengucapkan dua kalimah syahadat: “Bersaksilah pada dirimu sendiri bahwa kamu dahulu kafir, dan bersaksilah bahwa kedua orang tuamu mati dalam keadaan kafir, dan juga si fulan dan si fulan.” Dia juga menganggap bahwa mayoritas ulama sebelumnya kafir, kalau mereka mau mengucapkan syahadat maka dianggap masuk Islam dan apabila tidak maka ia membunuhnya. Dengan lantang ia mengkafirkan umat Islam sejak 600 tahun dan mengkafirkan orang-orang yang tidak mengikutinya, ia menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik dan menghalalkan darah dan harta mereka. (Lihat Ahmad Zaini Dahlan dalam Khulashah al-Kalam halaman 229-230, Fitnah al-Wahhabiyah halaman 4 dan Muhammad an-Najdi dalam as-Suhub al-Wabilah halaman 276).
6.    Sejarah hitam Wahabiyah menjadi saksi bahwa kelompok Wahabi sejak munculnya hingga sekarang tidak pernah berperang kecuali melawan umat Islam. Di antara bukti sejarah itu adalah mereka menyerbu Yordania bagian timur dan menyembelih kaum perempuan dan anak-anak yang mereka temui sehingga total korban berjumlah 2.750 orang. Perang ini yang dikenal dengan sebutan perang al-Khuya. (Lihat Koran ash-Shafa terbitan 12 Juni 1934 edisi 906 dan juga disebutkan dokumen al-Hasyimiyah)
7.    Wahabiyah menganut aqidah tasybih dan tajsim, dalam kitab Majmu’ al-Fatawa Ibn Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad Rasulullah Saw. Tuhannya mendudukkannya di atas ‘Arsy bersamaNya.” Ia juga mengatakan: “Sesungguhnya Allah turun dari ‘Arsy akan tetapi ‘Arsy tidak pernah kosong dariNya.” Ia juga menetapkan sifat duduk bagi Allah ta’ala. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah, mereka mensucikan Allah ta’ala dari sifat-sifat makhluk seperti duduk, bersemayam dan bertempat pada satu tempat. Imam Abu Mansur al-Baghdadi telah mengutip ijma’ ulama atas kemahasucian Allah ta’ala dari tempat, beliau mengatakan: “Mereka (Ahlussunnah) telah sepakat bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak berlaku baginya zaman.” Imam Ali ibn Abi Thalib mengatakan: “Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan dia sekarang (setelah ada tempat) tetap seperti semula (ada tanpa tempat).“ Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy untuk menunjukkan kekuasaanNya dan tidak menjadikannya sebagai tempat bagi DzatNya”. (Lihat Ibn Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa juz 4 halaman 384 dan pada juz 5 halaman 131 dan 415, Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq bain al-Firaq halaman 333).
8.    Wahabiyah telah mereduksi teks-teks al-Qur’an al-Karim dan menafsirkan kitab Allah tersebut dengan penafsiran yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Abdul Aziz ibn Baz menafsirkan al-Istiwa’ dengan bersemayam dan ia mengatakan bahwa orang yang mengingkari penafsiran ini adalah orang Jahmiyah. Apa yang akan Ibn Baz katakana tentang imam Ahlussunnah yaitu al-Imam al Baihaqi rahimahullah apakah dia menganggapnya sebagai orang Jahmiyah atau bukan? Imam al-Baihaqi dalam kitab al-I’tiqad telah mengatakan: “Wajib untuk mengetahui bahwa Istiwanya Allah subhanahu wata’ala bukanlah istiwa yang berarti tegak dari bengkok, bukan bersemayam pada tempat, bukan menempel pada makhlukNya, akan tetapi Allah istiwa atas ‘ArsyNya tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa tempat. Allah tidak serupa dengan seluruh makhlukNya dan bahwa ityanNya bukan datang dari satu tempat ke tempat yang lain, dan bahwa maji’Nya juga bukan dengan bergerak, dan bahwa nuzulNya bukan dengan berpindah dan bahwa Dzat Allah bukan jisim dan bahwa yadNya bukan anggota badan, dan ‘ainNya bukan kelopak mata, tetapi ini semua adalah sifat-sifat yang telah dating secara tauqifi (ditetapkan syara’) maka kita mengatakan adanya sifat-sifat itu dan kita menafikan sifat makhluk dariNya.“ Bacalah firman Allah ta’ala dalam QS. asy-Syura ayat 11, al-Ikhlash ayat 4 dan Maryam ayat 65. (Lihat Tanbihat fi ar-Radd ‘ala Man Tawwala ash-Shifat halaman 84 dan al-Baihaqi dalam al-I’tiqad halaman 72).
9.    Wahabiyah mengatakan bahwa menafikan dan menetapkan jisim bagi Allah bukanlah termasuk madzhab salaf karena hal itu tidak ada dalam al-Qur’an dan sunnah juga tidak ada dalam perkataan para salaf. Penulis anggap ini adalah ketidaktahuan terhadap sang Pencipta dan juga tidak mengetahui aqidah yang diyakini para salaf. Diriwayatkan dari Sayyidina Ali Ra. bahwa beliau mengatakan: “Sesungguhnya Tuhanku ‘azza wa jalla adalah al-Awwal (adanya tanpa permulaan) tidak bermula dari sesuatupun (ada tanpa permulaan), tidak bersamaNya sesuatupun (tidak bertempat pada sesuatu), tidak dapat dibayangkan (tidak seperti yang dibayangkan oleh wahm), bukan jisim, tidak diliputi oleh tempat dan adanya tidak bermula dari ketidakadaan.“ Kemudian beliau mengatakan: “Barangsiapa yang menyangka bahwa Tuhan kita mahdud (memiliki bentuk dan ukuran) maka dia tidak mengetahui Pencipta yang disembah.” (HR.  Abu Nu’aim). Apakah orang-orang Wahabiyah tidak mengetahui bahwa imam Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Rasulullah yang masuk Islam pada awal masa dakwah dan apakah mereka juga tidak mengetahui bahwa imam Ahmad ibn Hanbal Ra. yang mereka klaim bahwa mereka berintisab kepadanya telah mengingkari orang yang mengatakan bahwa Allah itu jisim. Perkataan tersebut dikutip oleh pemuka ulama Hanbali di Baghdad dan juga anak dari pemuka ulama Hanbali Abu al-Fadhl at-Tamimi, bahkan kita tambahkan kepada orang Wahabi satu perkataan bahwa para ulama salaf telah sepakat atas kufurnya orang yang mengatakan bahwa Allah itu jisim, Imam Ahlussunnah Abu al-Hasan al-Asy’ari dan beliau termasuk imam salaf dalam kitabnya an-Nawadir mengatakan: “Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah itu jisim maka ia tidak mengenal Tuhannya dan dia kafir kepadaNya.” (Lihat Shalih ibn Fauzan dan Ibn Baz dalam Tanbihat halaman 34 dan Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya juz 1 halaman 73)
10. Wahabiyah menetapkan had (batasan) pada Allah dan mengatakan bahwa orang yang mengingkarinya telah kufur terhadap al-Qur’an, dikutip oleh Ibn Taimiyah dari salah seorang Mujassimah dan dia menyetujuinya. Ibn Taimiyah juga mengutip perkataan salah seorang mujassimah dan ia membenarkannya: “Umat Islam dan orang kafir telah sepakat bahwa Allah ada di langit dan mereka membatasinya dengan itu.” Padahal imam Abu Ja’far ath-Thahawi telah mengutip ijma’ umat Islam atas kesucian Allah dari had, beliau mengatakan: “Maha Suci Allah dari batasan-batasn, ujung-ujung, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil dan tidak diliputi oleh arah yang enam seperti keseluruhan makhluk.” (Lihat Ibn Taimiyah dalam Talbis al-Jahmiyah juz 1 halaman 427 dan dalam Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul juz 2 halaman 29-30).
11. Wahabiyah menetapkan shurah (bentuk) bagi Allah ta’ala. Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibn Abbas, beliau mengatakan: “Berfikirlah kalian pada setiap sesuatu dan jangan kalian berfikir tentang Dzat Allah.” Imam Ahmad dalam perkataan yang diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dalam kitab I’tiqad al-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal mengatakan: “Apapapun yang kamu gambarkan dalam hati kamu maka Allah tidak seperti itu.” (Lihat at-Tanbihat halaman 69 dan al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa ash-Shifat halaman 420).
12. Wahabiyah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di luar alam, dalam majalah al-Haj, Abdul Aziz ibn Baz mengatakan: “Sesungguhnya Allah ta’ala bersemayam di atas arsyNya dengan DzatNya dan dia tidak berada di dalam alam, tetapi Allah di luar Alam.” Cukup sebagai bantahan akan hal itu firman Allah ta’ala: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” Dan telah maklum bahwa ittishal (menempel) atau infishal (berpisah) adalah sifat jisim dan Allah maha suci dari semua itu. (Lihat Majalah al-Haj edisi Jumadil Ula 1415 H halaman 73-74)
13. Wahabiyah menyerupakan Allah dengan lingkaran yang meliputi alam dari semua arah. (Lihat perkataan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib juz 1 halaman 116).
14. Wahabiyah menetapkan kalam dengan huruf dan suara pada Allah. Perkataan ini bertentangan dengan perkataan Abu Hanifah an-Nu’man dalam kitab al-Fiqh al-Akbar: “Dan Allah mempunyai sifat kalam tidak seperti perkataan kita, kita berkata dengan alat dan huruf, dan kalam Allah tanpa alat dan huruf.” (Lihat Mulla Ali al-Qari dalam al-Fiqh al-Akbar halaman 58).
15. Wahabiyah menisbatkan arah bagi Allah ta’ala. Al-Albani mengatakan dengan berdalih perkataan sebagian orang Mujassimah: “Seseorang yang mengatakan bahwa Allah dilihat tidak pada arah hendaklah ia memeriksakan akalnya.” Padahal imam Abu Hanifah an-Nu’man mengatakan dalam kitab al-Fiqhu al-Akbar: “Dan Allah ta’ala dilihat di akhirat oleh orang-orang mukmin mereka melihatNya sedangkan mereka berada di dalam surga dengan mata kepala mereka tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa ukuran dan tidak ada jarak antara Allah dan makhlukNya.”98 Imam ath-Thahawi dalam kitab aqidahnya yang fenomenal al-‘Aqidat ath-Thahawiyah mengatakan: “Dan Allah tidak diliputi oleh arah yang enam seperti seluruh makhluk.” Jadi siapa yang mesti memeriksa kesehatan akalnya wahai Wahabiyah, kalian atau para ulama salaf? (Lihat dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Tahawiyah, Syarh wa Ta’liq al-Albani halaman 27 dan dalam al-Fiqh al-Akbar halaman 136-137).
16. Wahabiyah menolak pensucian Allah ta’ala dari kelopak mata, daun telinga, lisan dan tenggorokan. Wahabiyah mengatakan bahwa ini bukan ajaran Ahlussunnah tetapi termasuk pendapat para mutakallim yang tercela. (Lihat Ibn Baz dalam at-Tanbihat halaman 19).
17. Wahabiyah ketika tidak menemukan dalil dalam kitab Allah dan hadits Rasulullah, juga pada perkataan seorang ulama yang mu’tabar dari kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah dan tidak dalam akal yang sehat, dalil yang membuktikan perkataan mereka bahwa Allah bertempat, maka mereka mencari dalilnya dari perilaku anak kecil, Muhammad ibn Jamil mengatakan: “Anak-anak jika kamu bertanya kepadanya di mana Allah maka mereka akan menjawab dengan fithrah mereka yang sehat bahwa dia ada di langit.” Kita temukan di sini kelompok Wahabiyah membangun aqidahnya di atas apa yang mereka klaim sebagai fithrah yang sehat yang dimiliki anak-anak. Kebodohan macam apa ini? Semoga kita mendapatkan pemahaman yang benar. (Lihat Muhammad ibn Jamil Zainu dalam Taujihat Islamiyah halaman 22)
18. Wahabiyah mengingkari takwil secara mutlak meskipun baik tujuan orang yang mentakwil. Bahkan mereka menyebut orang yang mentakwil dengan penghancur. Apa yang mereka katakan tentang hadits Rasulullah Saw. kepada Sayyidina Ibn Abbas juru bicara al-Qur’an: “Ya Allah ajarkanlah hikmah kepadanya dan takwil al-Qur’an”. (HR. Ibn Majah).103 Seandainya orang-orang Wahabiyah mau berpegang pada firman Allah: “Tiada sesuatu apapun dari makhluk yang serupa denganNya.” Atau jangan-jangan mereka menganggapnya ayat ini juga menjelaskan tentang tasybih? Maha Suci Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir. Apakah mereka yang mengaku berpegang pada aqidah salaf shalih lupa dengan perkataan imam Abu Ja’far ath-Thahawi yang dikutip dalam kitab aqidahnya yang terkenal dan menjadi referensi para ulama salaf, beliau mengatakan: “Maha Suci Allah dari batasan-batasn, ujung-ujung, sisi-sisi, anggota badan yang besar, anggota badan yang kecil dan tidak diliputi oleh arah yang enam seperti keseluruhan makhluk”. (al-Albani dalam Syarh ath-Thahawiyah halaman 18, Ibn Baz dalam at-Tanbihat halaman 34-71 dan Sunan Ibn Majah dalam al-Muqaddimah bab fi Fadhail Ashhab Rasulillah; Fadhl Ibn Abbas halaman 166).
19. Ibn Baz dalam fatwa nomor 19.606 tertanggal 24/4/1418 mengatakan: “Sesungguhnya mentakwil nash-nash yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah tentang sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijma’) oleh umat Islam dari masa sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti ajaran mereka sampai pada masa sekarang ini.” Ijma’ yang manakah yang dikutip Ibn Baz? Padahal an-Nawawi dalam Syarh Muslim mengutip perkatan al-Qadhi ‘Iyadh: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam seluruhnya yang ahli fikih, ahli hadits, ahli kalam dan orang-orang yang semisal dengan mereka serta orang-orang yang bertaklid pada mereka bahwa lafadz dzahir yang terdapat dalam al-Qur’an dengan menyebut Allah ta’ala di langit seperti firman Allah ta’ala “a amintum man fi as-sama’” dan semacamnya maknanya bukanlah seperti dzahirnya akan tetapi seluruhnya ditakwilkan.” Ini adalah ijma’ Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menetapkan bolehnya takwil. Sedangkan ijma yang diklaim oleh Ibn Baz dalam menafikan takwil adalah ijmanya ahli tasybih dan tajsim mulai dari munculnya mereka sampai sekarang. Diantara kebodohan orang ini adalah bahwa setelah ia mengutip suatu ijma’ kemudian dia menentang ijma’ itu sendiri dengan ijma’ bohongan yang dia klaim. Hal ini disebutkan dalam majalah al-Haj. Dia mentakwil firman Allah ta’ala “wahuwa ma’akum ainama kuntum” dengan ilmu. Dan betapa celakanya orang yang buta menurutmu wahai Ibn Baz. Ketika kamu mengklaim ijma’ yang melarang takwil, terlewatkan olehmu firman Allah ta’ala yang jika tidak dita’wil seperti ini: “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” Jadi menurutnya orang yang buta di dunia akan lebih celaka di akhirat. (Lihat an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juz 5 halaman 24 dan Majalah al-Haj edisi Jumadil Ula tahun 1415H halaman 74)
20. Wahabiyah mengatakan tentang firman Allah ta’ala QS. al-Qashash “kullu syai-in haalikun illa wajhahu”, bahwa takwil dalam ayat ini tidak diucapkan seorang muslimpun. Padahal imam al-Bukhari mentakwil ayat ini, beliau mentakwil dengan “kecuali kekuasaanNya.” Sebagaimana juga imam Sufyan ats-Tsauri juga mengatakan: “Kecuali sesuatu yang dilakukan dengan mencari ridha Allah berupa amal perbuatan yang baik”. (Lihat al-Albani dalam al-Fatawa halaman 523 dan Shahih al-Bukhari kitab at-Tafsir bab Surat al-Qashash).
21. Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim mengutip adanya dua metode takwil: pertama; madzhab salaf yaitu takwil ijmali (menyerahkan maknanya pada Allah) dan kedua; madzhab khalaf yaitu takwil tafshili (dengan menjelaskan maknanya yang sesuai dengan keagungan Allah), sedangkan Ibn Baz dalam bantahannya terhadap sebagian orang yang menta’wil mengatakan: “Pembagian ini menurut yang saya ketahui tidak pernah ada seorangpun yang mengatakan.”109 Perkataannya ini adalah bukti kebodohannya terhadap apa yang disebutkan oleh para ulama. (Lihat Ibn Baz dalam at-Tanbihat halaman 17)
22. Wahabiyah mengakui keazaliahan jenis alam dan Ibn Taimiyah telah menyebutkan keyakinan tersebut dalam lima kitabnya. (Lihat kitab Muwafaqah Sharih al-Ma’qul juz 1 halaman 245 dan juz 2 halaman 75, kitab Minhaj as-Sunnah juz 1 halaman 109 dan 223, kitab Naqd Maratib al-Ijma’ halaman 168, kitab Sayrh Hadits Imran ibn Hushain halaman 193, dan Majmu al-Fatawa juz 18 halaman 239. Semua kitab tersebut karya Ibn Taimiyah yang oleh golongan Wahhabi disebut sebagai Syekh al-Islam)
23. Wahabiyah meyakini neraka akan punah dan adzab orang kafir yang ada di dalamya akan habis. (Lihat Ibn al-Qayyim dalam Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah halaman 582 dan 591)
24. Wahabiyah mengatakan bahwa Abu jahal dan Abu Lahab lebih bertauhid dan lebih murni imannya dari pada umat Islam yang bertawassul kepada Allah dengan para nabi, para wali dan orang-orang shalih.112 Sungguh mengherankan pernyataan ini, bagaimana bisa diterima oleh akal orang yang sudah nyata-nyata musyrik dikatakan lebih murni imannya dari pada orang mukmin yang bertawassul kepada Allah dengan para nabi dan orang shalih, Maha Suci Engkau ya Allah, sungguh ini adalah kesesatan yang nyata. Berarti, mereka telah menjadikan Abu Jahal lebih mulia dari para sahabat, tabi’in dan para pengikut tabi’in dan seterusnya, karena terbukti bahwa para sahabat bertawassul dengan nabi Saw., demikian juga para tabi’in, dan umat Islam senantiasa bertawassul dengan Rasul sampai sekarang ini karena memang Rasulullah mengajarkannya. Sebagaimana beliau memerintahkan orang buta yang datang mengadu kepadanya akan penglihatannya yang hilang untuk berdo’a dengan tawassul “Allaahumma innii as-aluka wa atawajjahu ilaika binabiyyinaa muhammadin nabiyyirrahmat”, dan hadits ini adalah shahih menurut ulama hadits. Pernyataan golongan Wahabiyah telah menyesatkan umat, seakan-akan mereka mengatakan: “Tidak ada Islam kecuali jama’ah mereka.” Mereka mencabut status Islam dari umat. Hal ini dikuatkan oleh cerita yang disebutkan oleh Haji Ahmad an-Na’imi al-Halabi, beliau mengatakan: “Aku pada tahun 1987 di Saudi Arabia di kota Abha di masjid Jami’ asy-Syurthah pada hari Jum’at, seorang khatib Wahabi bernama Syekh Jasir berdiri dan berkata di atas mimbar kepada hadirin yang berada di dalam masjid: “Demi Allah, hanya kalianlah umat Islam, dan tidak ada di timur dan di barat seorang muslim kecuali kalian dan sisanya selain kalian adalah orang-orang kafir dan musyrik. Semua Timur dan Barat telah menjadi musyrik.” (Lihat Muhammad Basyamil dalam Kaifa Nafhamu at-Tauhid halaman 16)
25. Wahabiyah mencela empat madzhab yang telah disepaki oleh umat Islam. Mereka mengatakan bahwa: “Para pengikut madzhab telah memecah-belah umat dan bahwa taqlid pada salah satu madzhab adalah inti kesyirikan. Orang yang mengikuti satu madzhab saja dalam satu masalah, maka ia adalah seorang yang fanatik buta, dan orang yang taklid buta telah keluar dari agama karena ia mengikuti hawa nafsunya, dan menjadi bagian dari hizb asy-syaithan (golongan syaithan) dan budak hawa nafsu sehingga hilang cahaya keimanan dalam hatinya.” (Muhammad Sulthan al-Ma’shumi dalam Hal al-Muslim Mulzamun bi at-Tiba’i Madzhaibn Mu’ayyanin halaman 38 dan 76).
26. Wahabiyah mengkafirkan Ahlussunnah wal Jama’ah, mereka mengkafirkan Asya’irah dan Maturidiyah dan menganggapnya sebagai kelompok yang sesat dan bahwasanya Asy’ariyah Maturidiyah reinkarnasi Muktazilah. Cukup bagi kita untuk merenungkan perkataan imam al-Hafidz Muhammad Murtadha az-Zabidi: “Apabila dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al-Asya’irah dan al-Maturidiyah”. (Abdurrahman Alu Syekh dalam Fath al-Majid, dicetak oleh asosiasi mereka yang bernama Jam’iyyah Ihya’ Turats al Islami, halaman 353 dan Muhammad Murtadha az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin bi Syarh Ihya’ ‘Ulum ad-Din juz 2 halaman 6).
27. Kelompok Wahabiyah menuduh tarekat sufi dengan kesyirikan. Mereka menganggap bahwa tarekat sufi sebagai biang keladi terpecahnya umat Islam. Bahkan lebih dari itu, karena sangat bencinya mereka terhadap kaum sufi sampai mereka mengatakan: “Wahai umat Islam, Islam kalian tidak akan bermanfaat kecuali jika kalian terang-terangan memerangi tarekat dan memberantasnya… perangilah kaum sufi sebelum kalian memerangi Yahudi.” Dengan tuduhan syirk dan nifaq terhadap kaum sufi yang shadiqah, berarti Wahabiyah telah mengkafirkan ratusan juta umat Islam dari Timur hingga Barat dari masa Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian masa para imam madzhab empat dan ulama-ulama lainnya yang shalih seperti al-Imam Junaid al-Baghdadi, al-Imam Ahmad ar-Rifa’i, al-Imam Abdul Qadir al-Jilani, sultan ulama al-‘Iz Ibn Abdissalam dan ulama-ulama lainnya sampai masa kita sekarang ini. Sesungguhnya dasar-dasar tasawwuf adalah al-Qur’an dan sunnah, tasawwuf mengajarkan zuhud, wara’, taqwa, dan ibadah. Jalan kebaikan dan juga cara untuk menyebarkan kebaikan kepada umat Islam. Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Jadilah kamu seorang ahli fikih yang sufi bukan pengikut wahdat al-wujud (Aqidah wahdatul wujud adalah aqidah sesat yang meyakini bahwa Allah adalah keseluruhan alam ini dan makhluk yang ada di alam adalah bagian dari Allah). Sesungguhnya demi Tuhan ka’bah, aku memberi nasehat kepadamu.” (Ali ibn Muhammad ibn Sinan dalam al-Majmu’ al-Mufid halaman 55 dan asy-Syafi’i dalam ad-Diwan, hal. 34).
28. Termasuk celaan mereka kepada para wali adalah tuduhan mereka bahwa para wali tersebut telah mencoreng wajah Islam dengan pengakuan munculnya karamah. Ini mereka lakukan karena mereka sendiri tidak mengakui adanya karamah. Dan mereka (Wahabi) tidak akan pernah mencapai derajat itu. Mengapa mereka mengingkari apa yang telah Allah berikan kepada para wali yang shalih? Bukankah Allah berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Jelas, karena di antara mereka tidak ada yang muncul darinya karamah. Bagaimana mungkin akan muncul karamah dari orang yang aqidahnya sesat! (Lihat al-Albani dalam al-Ghifari halaman 18 dan Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam al-Ajwibah al-Jaliyyah halaman 128).
29. Wahabiyah mengkafirkan para wali Allah seperti al-Badawi, ad-Dasuqi. Mereka mengatakan bahwa mereka (para wali tersebut) hanya dikenal di antara orang-orang musyrik. Bahkan mereka dengan nada menghina mengatakan: “Ada segolongan kaum yang dimakamkan di Syam yang sandal mereka lebih mulia dan lebih terhormat dari al-Badawi dan ad-Dasuqi.”
30. Wahabiyah mengklaim bahwa Adam, Syits, dan Idris bukanlah nabi.
31. Wahabiyah mengkafirkan Hawa. (Lihat Muhammad Shidiq Hasan al-Qanuji dalam ad-Din al-Khalish juz 1 halaman 16).
32. Wahabiyah mengkafirkan penduduk Mesir, Yaman, Irak dan Syam, karena mereka bertawasul kepada Allah dengan para Nabi dan orang shalih. (Lihat Abdur Rahman Alu Syekh dalam Fath al-Majid halaman 213).
33. Wahabiyah mengkafirkan penduduk Dubai, Abu Dhabi dan menamakan mereka dengan anjing-anjing neraka Jahannam. (Lihat Abdul Aziz ibn Abdullah Alu Syekh dalam Ahlussunnah an-Nabawiyah ‘ala Takfir al-Mu’aththilah al-Jahmiyyah halaman 51, 101, 102, dan 124).
34. Wahabiyah mencela Umar ibn Abdul Aziz. (Lihat Abdul Aziz al-Hasyimi dalam Ithlaq al-Ainnah halaman 16-17).
35. Wahabiyah membid’ahkan al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dan an-Nawawi dan mengatakan sesungguhnya keduanya bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. (Lihat kitab mereka Liqa’ al-Bab al-Maftuh halaman 42).
36. Wahabiyah menuduh al-Hafidz al-Hakim seorang ahli hadits pengarang kitab al-Mustadrak adalah orang yang aqidahnya rusak. (Lihat Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam Tathhir al-Jinan wa al-Arkan ‘an Dun asy-Syirk wa al-Kufran halaman 64).
37. Wahabiyah mengkafirkan Jama’ah ad-Dakwah wa at-Tabligh dan para masyayikhnya seperti Syekh Khalid an-Naqsyabandi dan Syekh Muhammad Ilyas dan Syekh Zakariya dan Syekh Muhammad In’am al-Hasan. (Lihat dalam kitab al-Qaulu al-Baligh fi Tahdzir min Jama’ah ad-Da’wah wa at-Tabligh).
38. Wahabiyah mengkafirkan Hasan al-Bana. Lihatlah majalah al-Majallah edisi 830 Desember 1996.
39. Wahabiyah mengatakan tentang al-Azhar bahwasanya al-Azhar telah keluar dari tradisi kebaikan yang pernah mereka alami sebelumnya.
40. Umat Islam dan para walinya yang telah meninggal dunia juga tidak lepas dari celaan Wahabiyah. Dalam koran Nida al-Wathan tanggal 3/9/1994 dengan judul Penyerangan makam-makam Adn, orang-orang Wahabiyah masuk dengan mortir dan rudal bahkan menggali kubur al-Imam al-Idrus dan lainnya.
41. Wahabiyah menghalalkan darah orang yang membaca shalawat kepada Nabi Saw. dengan suara keras setelah adzan dan mereka menganggapnya lebih besar dosanya dari pada zina. Suatu ketika didatangkan kepada Muhammad ibn Abdul wahhab seorang muadzdzin yang membaca shalawat nabi Saw. setelah adzan maka ia memerintahkan anak buahnya untuk membunuhnya. Ketika mereka menjajah Makkah kemudian mereka mendengar penduduk Makkah membaca do’a setelah adzan dan shalawat nabi seperti kebiasaan mereka dengan suara keras, dikatakan: “Sungguh ini adalah syirik besar.” (Lihat Syekh Ahmad Zaini Dahlan dalam al-Futuhat al-Islamiyah juz 2 halaman 68 dan Tarikh as-Sulthanah al-‘Ustmaniyah).
42. Wahabiyah mencampuradukkan antara makna ibadah dan tawassul sehingga mereka mengkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah dengan para nabi, para wali dan orang-orang shalih dan mereka menamakan orang yang bertawassul dengan quburiyyah (para penyembah qubur) dan rusak Islamnya. Sedangkan Ahlussunah wal Jama’ah berpendapat bahwa tawassul kepada Allah dengan para nabi, para wali yang shalih adalah sesuatu yang baik yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya. Dalam hadits shahih diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam dua kitab Mu’jamnya, al-Mu’jam ash-Shaghir dan al-Mu’jam al-Kabir dan beliau menshahihkannya, bahwa seorang laki-laki buta datang kepada Nabi Saw. dan mengadu kepadanya tentang matanya yang buta, kemudian nabi berkata kepadanya: “Jika kamu mau bersabarlah dan jika kamu mau aku akan mendo‘akanmu.” Laki-laki itu kemudian mengatakan bahwa kebutaanku terasa berat bagiku dan aku tidak memiliki orang yang menuntunku, kemudian nabi berkata kepadanya: “Pergilah ke tempat wudhu dan berwudhulah kemudian shalatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan dengan kemuliaan nabiMu nabi Muhammad nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad aku bertawajuh denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku agar Engkau kabulkan untukku.” Kemudian laki-laki itu pergi dan melakukan apa yang dikatakan nabi kepadanya. Utsman ibn Hunaif perawi hadits ini mengatakan: ”Demi Allah kami belum meninggalkan majlis dan tidak lama kemudian laki-laki itu masuk sudah sembuh dari butanya sekan-akan tidak pernah buta”. (Lihat al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir juz 9 halaman 17 dan al-Mu’jam ash-Shaghir halaman 201 dan al-Albani dalam at-Tawassul halaman 24, 74, dan 70).
43. Wahabiyah menganggap Istighotsah sebagai syirik besar (pelakunya keluar dari Islam). Dalam mereka berfatwa bahwa orang yang beristighatsah dengan orang-orang yang telah meninggal dunia dan tidak hadir di tempat adalah musyrik dengan syirik besar dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam, pelakunya tidak sah menjadi wali dan tidak sah bermakmum di belakangnya. Padahal telah ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa nabi Saw. bersabda: “Pada hari kiamat matahari mendekat sehingga keringat seseorang sampai pada tengah telinga, dan ketika mereka dalam keadaan seperti itu mereka beristighatsah dengan Adam kemudian dengan Musa kemudian dengan Muhammad.” (Lihat al-Albani dalam at-Tawassul halaman 25, Ibn Baz dan Ibn ‘Utsaimin dalam al-Fatawa juz 1 halaman 3 dan Shahih al-Bukhari kitab az-Zakat bab Man Saala an-Nas Takatstsuran hadits no. 1.475).
44. Wahabiyah mengatakan bahwa orang yang beristighatsah dengan orang yang hidup agar turun hujan adalah musyrik. Perkataan ini sama saja dengan mengkafirkan Umar ibn Khattab sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari bahwasanya beliau beristighatsah dengan al-‘Abbas agar turun hujan. Juga mengkafirkan Ahmad ibn Hanbal karena telah mengatakan tentang Shafwan ibn Sulaim bahwa dengan menyebutnya (bertawassul dengannya) orang bisa sembuh dari sakitnya dan turun hujan. Shafwan adalah seorang Tabi’in yang dikenal dengan zuhud, tekun ibadah dan tinggi ilmunya. Ulama salaf maupun khalaf hampir semua dikafirkan oleh golongan wahabiyah. (Lihat dalam al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid juz 1 halaman 335 dan as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Huffadz halaman 61).
45. Wahabiyah mengharamkan nida’ (memanggil) ya Muhammad bahkan mereka menganggapnya sebagai ibadah kepada selain Allah apapun niat orang yang mengatakannya. Hal ini sama saja dengan mengkafirkan Abdullah ibn Umar (apapun niatnya sebagaimana prasangka Wahabiyah). Al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad dari Abdurrahman ibn Sa’ad berkata: “Kaki Abdullah ibn Umar kesakitan (semacam keseleo), kemudian dikatakan kepadanya sebutkanlah nama orang yang paling kamu cintai, kemudian ia berkata: “Ya Muhammad.” Maka spontan hilang rasa sakit yang ada pada kakinya.” Sungguh kalian wahai Wahabiyah lancing terhadap sahabat Rasulullah! (Muhammad Jamil Zainu dalam Taujihat Islamiyah halaman 9 dan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad bab Ma Yaqulu ar-Rajul idza Khadirat Rijluhu).
46. Wahabiyah mengatakan bahwa diantara bid’ah yang kufur adalah berdoa kepada orang yang meninggal, yang tidak hadir dan istighatsah kepada mereka. Berarti mereka telah mengkafirkan Bilal ibn al-Harits al-Muzani seorang sahabat yang mulia datang ke makam Nabi Saw. dan bertawassul dengan beliau. Bahkan Abdul Aziz ibn Baz mengatakan perbuatan sahabat nabi ini syirik.148 Hadits tentang hal ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Malik ad-Dar, ia adalah khazin (pemegang amanat dari) Umar mengatakan: “Pada masa Umar, umat Islam mengalami paceklik, datanglah seorang laki-laki ke makam Nabi Saw. kemudian berkata: “Wahai Rasulullah mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka akan binasa.” Kemudian lelaki tersebut mimpi bertemu Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salam saya kepada Umar dan beritahukanlah bahwa mereka akan diberi hujan dan hendaknya kamu (Umar) lebih cerdas dan bijak. Selanjutnya laki-laki ini mendatangi Umar ibn al-Khaththab dan menceritakan kejadian tersebut. Umar menangis dan berkata: “Ya Allah mereka tidak mengalami ini kecuali karena kelemahanku.”150 Lelaki ini adalah Bilal ibn al-Harits al-Muzani seorang sahabat, ia datang ke makam Nabi Saw. dan Umar tidak mengingkarinya.” Demi Allah, siapakah yang lebih tahu tentang perkara yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, ini kufur dan ini tidak kufur, Umar ibn Khaththab atau Ibn Baz? Bukankah perkataan Ibn Baz sama saja telah mengkafirkan Bilal ibn Harits al-Muzani dan Umar ibn Khaththab yang menyetujui perbuatan Bilal? (Lihat Ta’liq Ibn Baz ‘ala Fath al-Bari juz 2 halaman 495 dan al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah juz 7 halaman 47).
47. Wahabiyah mengatakan bahwa meminta hajat kepada para Nabi dan para wali adalah syirik. Lihat fatwa Abdul Aziz ibn Baz yang dimuat koran ar-Ra’yi Yordania. Berarti mereka mengkafirkan sahabat Rabi’ah ibn Ka’ab al-Aslami yang disebutkan dalam hadits shahih bahwa nabi berkata kepadanya: “Mintalah, ia berkata: “Saya minta menjadi temanmu di surge.” Nabi mengatakan: “Apa ada permintaan yang lain? Ia menjawab: “Hanya itu”, kemudian Nabi mengatakan: “Maka tolonglah dirimu dengan memperbanyak shalat.” Bukankah dalam fatwa Ibn Baz seakan-akan menurutnya Nabi mengajak sahabat ini kepada kesyirikan? (Lihat dalam Shahih Muslim kitab ash-Shalat bab Fadh Sujud wa al-Hats ‘Alaih halaman 489).
48. Wahabiyah mengkafirkan orang yang meminta pertolongan pada selain Allah. Dan ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS. al-Baqarah ayat 45) dan bertentangan juga dengan hadits Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang menyebar di bumi selain malaikat al-Hafadzah mereka menulis sesuatu yang gugur dari daun pepohonan, apabila salah seorang di antara kalian tersesat di daerah padang pasir maka hendaknya ia memanggil tolonglah wahai hamba-hamba Allah.” Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan al-Bazzar. Al-Hafidz al-Haitsami mengatakan: “Para perawinya semuanya tsiqat. Bagaimana jika sekedar meminta pertolongan ketika dalam keadaan susah atau lainnya dengan tetap meyakini bahwasanya tidak ada yang menciptakan bahaya dan memberi manfaat dengan sebenarnya kecuali hanya Allah, juga dianggap syirik ?, padahal Rasulullah Saw. telah bersabda: “Dan Allah menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud. (Lihat Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam Majmu’ah at-Tauhid halaman 24, Ibn Hajar al Haitsmi dalam Majma’ az-Zawaid juz 10 halaman 132 dan Sunan Abu Dawud kitab al-Adab bab fi al-Ma’unah li al-Muslim hadits no. 4.946).
49. Wahabiyah membagi tauhid menjadi tiga bagian. Perkataan mereka bahwa tauhid ada tiga bagian: Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa ash-Shifat. Di balik pembagian ini mereka ingin mengkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah dengan para nabi dan orang shalih. Muhammad ibn Abdul wahhab mengatakan: “Sesungguhnya Nabi memerangi manusia yang meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta tidak ada sekutu bagiNya dan bahwa Allah ta’ala Maha Hidup, Yang Memberi Rizki dan Pencipta, akan tetapi mereka musyrik karena mereka berharap pada malaikat dan para nabi serta para wali untuk mendapatkan syafaat mereka dan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara seperti itu, maka hal inilah yang menghalalkan darah dan harta mereka.” Ketahuilah bahwa pembagian ini tidak ada dalam al-Qur’an, hadits bahkan perkataan ulama sekalipun. Sebaliknya yang ada dalam hadits yang mutawatir adalah bahwa Nabi Saw. bersabda: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah apabila mereka melakukannya maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka. Pertanyaan dua malaikat Munkar dan Nakir pada Mayit di dalam kubur, apakah keduanya bertanya apakah kamu bertauhid Uluhiyyah? Apakah kamu bertauhid Rububiyah? Apakah kamu bertauhid Asma dan Shifat? Bukankah yang disebutkan dalam hadits keduanya bertanya siapa Tuhanmu?, apa agamamu? Dan siapa nabimu? Wahabiyah mengatakan bahwa barangsiapa yang menjadikan antara dia dan agamanya perantaraan yang dengannya dia berdo’a kepadanya dan meminta syafa’at dan bertawakkal kepada mereka maka ia telah kufur secara ijma’. Di sini terlihat bahwa kebodohan Wahabiyah tidak hanya pada kebodohan dalam masalah hadits Rasulullah, akan tetapi juga pada sejarah para sahabat. Bukankah Umar ibn al-Khatthab meminta hujan dengan perantara al-Abbas dan bertawassul dengannya kepada Allah, beliau berkata: “Ya Allah kami bertawassul kepadaMu dengan nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami dan sesungguhnya kami bertawassul kepadaMu dengan paman nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari). Al Hafidz Ibn Hajar mengatakan setelah cerita ini: “Dari kisah al-Abbas ini dapat diambil faidah kesunnahan meminta syafa’at kepada orang-orang yang baik dan shalih juga keturunan Nabi (ahlul bait).” Sekarang kita bertanya kepada Ibn Baz tentang ijma’ yang dia klaim, ijma’ siapa? Atau jangan-jangan dia tidak mengetahui makna ijma’, atau itu adalah ijma’ Wahabiyah yang menganggap hanya diri merekalah umat Islam? Apakah Ibn Baz menganggap bahwa Umar ibn al-Khatthab, al-Abbas, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani yang mengutip kesunnahan meminta syafa’at dengan orang shalih dan ahlul bait, bahwa mereka telah menentang ijma’? Apa komentar Ibn Baz tentang kutipan as-Suyuthi dalam kitab Thabaqat al-Huffadz bahwa ketika disebut nama Shafwan ibn Sulaim di hadapan Ahmad ibn Hanbal, kemudian ia (Ahmad) mengatakan orang ini bisa menyebabkan sembuhnya orang yang sakit dan turunnya hujan kalau disebutkan namanya. (Lihat Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam Kasyf asy-Syubhat halaman 3-6, Shahih Muslim kitab al-Iman bab al-Amr bi Qital an-Nas hatta Yaqulu Laa ilaha Illallah Muhammad Rasulullah halaman 22, Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam Majmu’ah at-Tauhid halaman 38, Shahih al-Bukhari kitab al-Istisqa’ bab Sual an-Nas al-Imam al-Istisqa’ idza Qahithu hadits no. 1010, as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Huffadz halaman 61).
50. Wahabiyah mengharamkan melakukan perjalanan untuk ziarah ke kuburan para wali dan orang-orang yang shalih bahkan menurut mereka ziarah ke makam Nabi adalah perjalanan maksiat tidak boleh mengqashar shalat. Jelas ini adalah penyelewengan atas nama agama dan bertentangan dengan hadits Rasulullah Saw.: “Barangsiapa yang berziarah ke kuburanku maka wajib baginya syafaatku.” Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan dikuatkan oleh al-Hafidz Taqiyuddin as-Subki. Al-Qadhi Iyadh al-Yahshubi al-Maliki dalam kitabnya asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Mushtafa mengutip ijma’ umat Islam bahwa ziarah kubur nabi Saw. adalah salah satu sunnah dari sunnah-sunnah umat Islam. Adapun hadits yang dijadikan sebagai dalih Wahabiyah untuk mengharamkan bepergian menuju selain tiga masjid yaitu sabda Nabi Saw.: “Janganlah kalian melakukan bepergian kecuali pada tiga masjid: masjidku ini, Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha (HR al-Bukhari). Kita katakan bahwa tidak seorang ulama pun baik salaf maupun khalaf yang memahami hadits ini seperti apa yang dipahami oleh Wahabiyah. Hadits ini maknanya; tidak ada keutamaan yang lebih dalam melakukan perjalanan dengan tujuan shalat pada sebuah masjid kecuali bepergian ke tiga masjid ini. Karena shalat di dalamnya dilipatgandakan pahalanya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad secara marfu’: “Tidak seyogyanya bagi orang yang berjalan untuk bepergian ke sebuah masjid dengan tujuan shalat di dalamnya selain Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha dan Masjidku ini.” Kemudian bagaimana mungkin hanya bermaksud ziarah ke makam Nabi dikatakan bid’ah yang haram. Bukankah Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa yang datang kepadaku untuk berziarah tidak ada tujuan lain kecuali untuk menziarahiku maka niscaya aku pemberi syafa’at baginya. Al-‘Iraqi mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari hadits Ibn Umar dan dishahihkan oleh Ibn Sakan, dikutip oleh az-Zabidi dalam Syarh Ihya.” (Lihat Ibn Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah juz 4 halaman 520, Sunan ad-Daruquthni kitab al-Haj; bab al-Mawaqit juz 2 halaman 278, lihat juga as-Subki dalam Syifa’ as-Saqam bi Ziarah Khair al-Anam juz 2 halaman 11, al- Qhadhi Iyadh dalam asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa juz 2 halaman 83, Shahih al-Bukhari kitab Fadhl ash-Shalah fi Masjid Makkah wa al-Madinah hadits no. 1.190, al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad juz 3 halaman 64 dan Muhammad Murtadha az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin juz 4 halaman 416).
51. Wahabiyah mengatakan bahwa tabarruk dengan kuburan adalah haram dan salah satu macam kesyirikan. Berarti, Wahabiyah telah mengkafirkan sahabat Rasulullah Abu Ayyub al-Anshari. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Daud ibn Abi Shalih mengatakan: “Suatu hari Marwan datang dan menemukan seseorang sedang meletakkan wajahnya di atas sebuah kuburan, kemudian dia berkata: “Tahukah kamu apa yang sedang kamu lakukan?” Kemudian Abu Ayyub berpaling padanya dan berkata: “Ya, aku datang kepada Rasulullah Saw. dan aku tidak datang kepada batu, aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian menangisi agama ini jika dipegang oleh ahlinya (orang yang tahu agama), akan tetapi tangisilah jika agama ini dipegang oleh orang yang bukan ahlinya.” Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan ath-Thabarani dalam al-Kabir dan al-Ausath. (Lihat Ibn Baz dan al-Utsaimin dalam Fatawa wa Adzkar li Ithaf al-Akhyar halaman 10, Musnad Ahmad Juz 5 halaman 422, al-Mu’jam al-Kabir juz 4 halaman 158 dan Majma’ az-Zawaid Juz 5 halaman 245).
52. Wahabiyah mengatakan bahwa mengusap-usap pintu, tembok dan jendela Masjid Nabawi adalah syirik besar. Jawabannya terdapat dalam kitab as-Sualat dari Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau berkata: “Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang sengaja mengusap tempat pegangan pada mimbar Rasulullah dengan tujuan bertabarruk, demikian juga orang yang mengusap kuburan, kemudian beliau menjawab tidak apa-apa.” Dalam kitab Manaqib Ma’ruf al-Karkhi karya Ibn al-Jauzi, beliau menukil perkataan Ibrahim al-Harbi seorang alim yang mirip Imam Ahmad dalam zuhud dan wara’nya: “Kuburan Ma’ruf al-Karkhi penuh keberkahan yang telah teruji.” (Lihat Fatwa Ibn Baz yang dimuat dalam majalah al-Muslimun edisi 563, al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al-‘Ilal wa Ma’rifah ar-Rijal juz 2 halaman 32, Ibn al-Jauzi dalam Manaqib Ma’ruf halaman 200, Tarikh Baghdad juz 1 halaman 122).
53. Wahabiyah mengatakan bahwa perbuatan Abdullah ibn Umar yang mencari-cari tempat yang pernah digunakan Nabi shalat kemudian beliau shalat di tempat tersebut adalah dzari’ah (pengantar) pada syirik kepada Allah. Hal ini sama saja dengan mengkafirkan sahabat Rasulullah. Bukankah dalam sebuah hadits disebutkan: ”Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah (ibn Umar).” Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari. (Lihat Ibn Taimiyah dalam Iqtidha’ ash-Shirat al-Mustaqim, Shahih al-Bukhari kitab Fadhail ash-Shahabah; bab Manaqib Abdullah ibn Umar hadits no. 3.739).
54. Wahabiyah mengatakan bahwa seseorang yang mendatangi kuburan untuk mencari berkah adalah penyimpangan kepada Allah, RasulNya dan bid’ah dalam agama yang tidak diridhai Allah. Kita katakan kepada mereka, berarti kalian telah menuduh imam asy-Syafi’i sebagai ahli bid’ah sebagaimana kalian juga telah membid’ahkan para imam salaf selain beliau, karena mereka telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hawa nafsu kalian. Al-Hafidz al-Khathib al-Baghdadi telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih kepada asy-Syafi’i bahwasanya beliau mengatakan: “Sesungguhnya aku benar-benar bertabarruk dengan Abu Hanifah dan aku berziarah ke kuburnya setiap hari. Apabila aku mempunyai hajat maka aku shalat dua rakaat, datang ke kuburan beliau dan berdoa kepada Allah memohon hajatku di samping makam beliau, biasanya tidak lama kemudian hajatku terpenuhi.” (Lihat al-Albani dalam Tahdzir as-Sajid min Ittihad al-Qubur Masajid halaman 34, al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad juz 1 halaman 123).
55. Wahabiyah mendukung penghancuran Qubbah Khadra’ yang berada di atas makam Nabi Saw. sebagaimana dipahami dari perkataan mereka dan mereka juga menyerukan untuk memindahkan makam nabi Muhammad dari Masjid Nabawi. (Lihat al-Albani dalam Tahdzir as-Sajid halaman 68-69).
56. Wahabiyah mengharamkan perayaan Maulid Nabi Saw. dan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang diharamkan karena ada kemiripan dengan perayaan kaum Yahudi.181 Dalam kitab al-Ajwibah al-Jaliyyah Ahmad ibn Hajar Al-Buthami mengatakan bahwa para ulama al-Muhaqqiqun berfatwa bahwa perayaan malam kelahiran Nabi yang mulia yakni malam 12 Rabi’ul Awwal setiap tahun termasuk bid’ah yang dilarang oleh para ulama.182 Pertanyaannya, siapakah para ulama yang mereka maksud yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi Saw.? Padahal al-Hafidz asy-Syakhawi dalam kitab Fatawanya telah menuturkan bahwa perayaan Maulid telah dilakukan semenjak 3 abad hijriyah. Kemudian umat Islam dari seluruh pelosok di kota-kota besar senantiasa merayakan maulid, bersedekah pada malam maulid dengan berbagai macam sedekah, mereka membaca sirah Nabi yang mulia. Keberkahan maulid nampak pada mereka yang merayakan. Al-Hafidz as-Suyuthi menulis sebuah Risalah yang berjudul Husnu al-Maqshid fi ‘Amali al-Maulid. (Lihat Ibn Baz dalam Fatawa Muhimmah li ‘Umum al-Ummah halaman 145, Ibn Baz dalam Tahdzir min al-Bida’ halaman 3-6 dan Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam al-Ajwibah al-Jaliyyah juz 4 halaman 118).
57. Wahabi tidak hanya mengharamkan perayaan Maulid Nabi, tetapi mereka juga mengharamkan umat Islam bergembira, ya sekedar bergembira pada malam Maulid Nabi. Padahal mereka sendiri mengadakan pertemuan untuk napak tilas sejarah Muhammad ibn Abdul Wahab setiap tahun memperingati kelahiran atau kematiannya dengan format acara seminar dan muktamar yang menghabiskan dana yang luar biasa selama sepekan. Acara ini biasanya dikenal dengan nama Usbu’iyatu Muhammad ibn Abdil Wahhab/Sepekan Memperingati Muhammad ibn Abdul Wahhab. (Lihat as-Sahsuni dalam Shiyanah al-Insan halaman 228).
58. Allah ta’ala memuji orang-orang yang mengagungkan Nabi Muhammad dengan firmannya: ”Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-A’raf ayat 157). Sedangkan Wahabi menghalalkan darah orang yang mengagungkan Rasulullah Saw. (Lihat Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam Majmu’ at-Tauhid halaman 139).
59. Wahabiyah mengatakan tentang Qasidah al-Burdah karya al-Bushiri yang di dalamnya terdapat pujian terhadap Nabi Saw. memuat berbagai hal kecuali iman, namun perkataan Imam al-Bushairi ini dianggap Wahabi sebuah kekufuran yang jelas. (Lihat Muhammad Sulthan al-Ma’shumi dalam Hal al-Muslim Mulzamun bi at-Tiba’i Madzhaibn Mu’ayyanin ta’liq Salim al-Hilali halaman 73).
60. Wahabiyah mengharamkan ziarah kubur pada dua hari raya, hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. (Lihat al-Albani dalam al-Fatawa halaman 61).
61. Wahabiyah mengharamkan umat Islam membaca kalimat tahlil ketika mengantarkan jenazah. (Lihat ‘Ali Abdul Hamid dalam al-Maut ‘Idhatuhu wa Ahkamuhu halaman 29).
62. Wahabiyah mengharamkan perempuan ikut mengantarkan jenazah demikian juga membuat tenda untuk membaca al-Qur’an. (Lihat Ibn Baz wa al-‘Utsaimin dalam Kitab Fatawa wa Adzkar halaman 13).
63. Wahabiyah mengatakan bahwa seorang perempuan haram hukumnya ziarah kubur dan termasuk dosa besar dengan alas an karena Nabi Saw. bersabda: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang berziarah kubur.” Berarti Ibn Baz tidak tahu kalau hadits ini telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan hadits Rasulullah Saw.: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur maka sekarang berziarahkuburlah kalian.” (HR.Muslim). Ketidaktahuan Ibn Baz tentang status hadits yang telah dimansukh tersebut tidaklah mengherankan. Sebab dia sendiri mengaku dalam sebuah wawancara dengan redaksi majalah al-Majallah tanggal 29/7/1995 ketika ditanya: “Apakah Anda hafal di luar kepala sejumlah kitab-kitab induk?” Dia menjawab: “Tidak, aku tidak menghafalnya, hanya saja aku pernah membaca kitab shahih ini dan aku belum menyelesaikannya, aku juga membaca kitab lainnya juga belum selesai.” Jadi, yang lebih mengherankan adalah bahwa seseorang yang mengaku tidak hafal sedikitpun dari kitab-kitab hadits dan kitab-kitab fikih menjadi referensi dalam fatwa dan pemimpin sebuah organisasi yang bernama “Haiah Kibar al-Ulama’”. Sungguh benar sabda Nabi Saw. yang mengatakan bahwa pada akhir zaman ketika para ulama telah meninggal dunia yang ada hanyalah orang-orang bodoh, padahal Imam Ali Ra. mengatakan tentang mereka: “Orang-orang bodoh bagi ahli ilmu adalah musuh.” (Lihat Hadits yang disebutkan dalam kitab Fatawa Muhimmah halaman 149 dan Shahih Muslim kitab al-Janaiz; bab Isti’dzan an-Nabi Rabbahu fi Ziarati Qabri Ummihi hadits no. 977).
64. Wahabiyah mengharamkan perkataan Shadaqallahul ‘Adzim setelah membaca al-Qur’an. (Lihat Muhammad Jamil Zainu dalam Taujihat Islamiyah halaman 45-46).
65. Wahabiyah mengharamkan para Kiyai hadir untuk membaca al-Qur’an untuk mayyit dalam acara tahlilan orang mukmin yang telah meninggal dunia.
66. Wahabiyah mengharamkan mengirimkan hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan mereka mengatakan bahwa hal itu tidak ada dasarnya. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan dan pahala bacaannya akan sampai pada si mayyit dengan kehendak Allah. Perkataan Wahabiyah yang mengatakan bahwa hal itu tidak ada dasarnya bertentangan dengan hadits Nabi Saw. riwayat al-Bukhari bahwa Nabi Saw. bersabda kepada ‘Aisyah: “Apabila itu terjadi (engkau meninggal dunia) dan aku masih hidup maka aku akan memintakan ampun untukmu dan aku berdo’a untukmu.” Termasuk makna hadits ini adalah do’a seseorang setelah membaca ayat al-Qur’an untuk disampaikan pahalanya kepada mayit. Al-Imam al-Muhaddits Murtadha az-Zabidi dalam Syarh Ihya telah mengutip dari imam asy-Syafi’i tentang kebolehan hal itu. (Lihat Ahmad ibn Hajar al-Buthami dalam al-Ajwibah al-Jaliyyah halaman 177-178, Lihat Shahih al-Bukhari kitab al-Mardha; bab Ma Rukhisha li al-Maridh an Yaqulu Inni Waj’ hadits no. 5.666 dan Murtadha az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin juz 10 halaman 369).
67. Wahabiyah mengharamkan membaca surat Yasin di atas kubur. Dan ini jelas bertentangan dengan hadits Rasulullah Saw.: “Bacalah Yasin pada orang yang meninggal di antara kalian.” Diriwayatkan oleh an-Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 54, ‘Amalul Yaum wa al-Lailah halaman 581, Sunan Ibn Majh kitab al-Janaiz; bab Ma Ja-a fima Yuqal ‘ind al-Maridh idz Hudhira, dan Ibn Balban dalam al-Ihsan bi Tartib Shahih Ibn Hibban juz 5 halaman 3).
68. Wahabiyah mengharamkan membaca surat al-Ikhlas 11 kali atau kurang atau lebih di atas kubur. Perkataan ini bertentangan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasai dan ar-Rafi’i dalam Tarikhnya dan Abu Muhammad as-Samarqandi dalam kitab Fadhail Surat al-Ikhlash dari hadits Imam Ali Ra.: “Barangsiapa yang melewati pekuburan dan membaca Qulhuwallahu Ahad 11 kali kemudian memberikan hadiah pahalanya kepada mereka yang telah meninggal maka ia akan mendapatkan pahala sejumlah orang yang mati. Dan kami tidak mengetahui berapa banyak amal kebaikan yang dilarang oleh Wahabiyah bagi umat Islam dan bagaimana mereka menjawab perkataan Imam Ali Ra.? (Lihat al-Armuni dalam 40 Haditsan fi Fadhli Surat al-Ikhlas halaman 59).
69. Wahabiyah mengharamkan membawa mushaf ke kuburan dan membacanya untuk mayit. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 54).
70. Wahabiyah mengharamkan membaca al-Qur’an melalui pengeras menara-menara masjid. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 55)
71. Wahabiyah mengharamkan talqin mayit.202 Padahal dalam hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan ath-Thabarani dari Abi Umamah al-Bahili mengatakan: “Jika aku mati maka lakukanlah kepadaku sebagaimana Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk melakukannya terhadap orang-orang yang meninggal. Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya dan hendaknya salah satu di antara kalian berdiri di atas bagian kepalanya kemudian mengatakan “Wahai fulan ibn fulanah”, sesungguhnya dia mendengar tapi tidak menjawab kemudian hendaknya dia mengatakan “Wahai fulan ibn fulanah”, sesungguhnya dia mengatakan “Berilah kami petunjuk, semoga Allah merahmatimu akan tetapi kalian tidak merasa”, hendaknya orang yang berdiri tersebut mengatakan: “Sebutkanlah apa yang ketika kamu keluar dari dunia ini yaitu persaksian bahwasanya tidak ada Tuhan yang disembah dengan haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa engkau ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi dan al-Qur’an sebagai imam, sesungguhnya salah satu dari Munkar dan Nakir akan memegang tangan yang lainnya dan mengatakan “Mari kita pergi tidak ada alasan bagi kita untuk duduk di sini di samping orang yang telah ditalqin hujjahnya.” Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan dikuatkan oleh adh-Dhiya’ dalam Ahkamnya. Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab at-Talkhis al-Habir mengatakan: “Sanadnya shalih (baik).” (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 53 dan Ibn Hajar al-Asqalani dalam at-Talkhis al-Habir juz 2 halaman 135-136).
72. Wahabiyah mengatakan bahwasanya tidak disyariatkan membawa jenazah menggunakan mobil. Melarang hal ini secara mutlak adalah batil karena para ulama mengatakan dianjurkan menggunakan mobil jika dalam keadaan terpaksa. Karena akan sulit kalau diharuskan membawa jenazah di atas pundak terutama di kota-kota besar. Sungguh mengharuskan hal ini berarti memberi beban yang susah bagi umat Islam dan agama Allah tidaklah ada kesulitan di dalamnya. (Lihat dalam al-Maut ‘Idhatuhu wa Ahkamuhu halaman 30).
73. Wahabiyah mengingkari seseorang yang berwasiat untuk dimakamkan pada tempat tertentu. Berarti, mereka juga mengingkari apa yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khaththab ketika beliau mengutus putranya Abdullah untuk meminta izin kepada Sayyidah ‘Aisyah agar beliau dikuburkan di samping Rasulullah Saw. (Lihat dalam al-Maut ‘Idhatuhu wa Ahkamuhu halaman 35).
74. Wahabiyah mengatakan bahwa seseorang yang berkeinginan untuk shalat atau puasa kemudian ia mengatakan dengan lisannya aku berniat untuk shalat atau aku niat untuk puasa maka dia disiksa di neraka. (Dimuat dalam koran yang bernama Australia Isamic preview 26/9/ April/1996/p2).
75. Wahabiyah mengharamkan berjabat tangan selesai shalat antara sesama jama’ah juga melarang mengucapkan kepada jama’ah lain setelah shalat yataqabbalallah/ semoga Allah menerima shalatmu. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 49).
76. Diriwayatkan dari Rasulullah bahwasanya beliau berkata: “Apabila datang malam pertengahan bulan Sya’ban maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya.” (HR. Ibn Majah). Namun Wahabiyah mengharamkan shalat sunnah pada malam Nishfu sya’ban dan puasa pada siang harinya. (Lihat Sunan Ibn Majah kitab Iqamah ash-Shalat; bab Ma Ja-a fi Lailati an-Nishfi min Sya’ban hadits no. 1.388, Fatawa Muhimmah li ‘Umum al-Ummah halaman 57 dan Shalih ibn Fauzan dalam at-Tauhid halaman 101).
77. Sahabat yang mulia Abu Hurairah Ra. memiliki benang panjang yang memiliki 2000 bundelan, beliau bertasbih kepada Allah dengannya setiap hari 12 ribu kali tasbih. Diriwayatkan oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqat. Bahkan mereka mengharamkan membawa subhah (tasbih) untuk berdzikir kepada Allah sebagaimana dituturkan dalam majalah at-Tamadun. (Lihat juga dalam al-Hadiyah as-Sunniyah karya Abdullah ibn Muhammad ibn Abdul Wahhab halaman 47).
78. Wahabiyah mengharamkan berdoa berjama’ah, imam dan makmum dengan mengangkat tangan setelah shalat juga melarang makmum mengamininya. (Disebutkan dalam majalah Dzikra edisi 7 tahun 1991 halaman 16).
79. Wahabiyah mengharamkan membaca al-Qur’an atau mengadakan ta’lim sebelum shalat Jum’at, sebagaimana disebutkan dalam majalah mereka Dzikra. (Majalah Dzikra edisi 7 tahun 1991 halaman 25-26).
80. Wahabiyah mengharamkan adzan kedua pada hari Jum’at. (Lihat Marwan al-Qaisi dalam Ma’alim al-Huda ila Fahmi al-Islam halaman 49).
81. Wahabiyah mengharamkan shalat sunnah Qabliyah Jum’at. Al-Albani mengatakan: “Setiap hadits yang menjelaskan shalat sunnah Qabliyah Jum’at tidak ada yang shahih.” Padahal Imam Ali ibn Abi Thalib Ra. mengatakan: “Rasulullah sebelum Jum’at melakukan shalat sunnah empat rakaat dan setelahnya beliau juga shalat sunnah empat rakaat.” Al-Hafidz Walyuddin al-‘Iraqi mengatakan: “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abul Hasan al-Khala’iy dalam kitab Fawaidnya dengan sanad yang kuat.” Ini menunjukkan bahwa betapa minimnya kemampuan Nashiruddin al-Albani dalam bidang hadits. (Lihat al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah halaman 41 dan Tharh at-Tatsri juz 3 halaman 41)
82. Wahabiyah melarang untuk membaca Assalamu‘alaika ayyuhannabiy dalam tasyahud, tetapi hendaknya membaca Assalamu‘alannabi. Padahal sayyidina Umar Ra. pernah mengajarkan para sahabat di atas mimbar setelah wafatnya Nabi Saw. Dengan lafadz ayyuhannabi, diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwaththa’. (Lihat al-Albani dalam Kitab Shifat ash-Shalat an-Nabiy halaman 143 dan al-Imam Malik dalam Muwaththa’ Malik bab ash-Shalah halaman 90).
83. Wahabiyah mengharamkan shalat Qiyam Ramadhan lebih dari 11 rakaat. Cukup untuk membantah mereka hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa Nabi Saw. bersabda: “Shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat, apabila salah seorang di antara kalian khawatir datang Shubuh maka hendaknya dia shalat satu rakaat untuk mengganjilkan shalat yang telah ia lakukan.” (Lihat al-Albani dalam Qiyam Ramadhan halaman 22 dan Shahih al-Bukhari kitab al-Witr; bab Ma Ja-a fi al-Witr hadits no. 990).
84. Wahabiyah mengharamkan berdo’a dengan suara keras setelah shalat lima waktu juga setelah shalat sunnah dan rawatib. (Lihat Ibn Baz dalam Fatawa Islamiyah juz 1 halaman 239).
85. Wahabiyah mengharamkan wudhu menggunakan air lebih dari satu mud yakni sama dengan 3/4 gelas air, mereka juga mengharamkan mandi dengan menggunakan air lebih dari satu sha’ yakni sama dengan 4 mud. Sangat jelas bahwa yang menyebabkan al-Albani ngawur dalam masalah ini karena dia hanya mengambil hadits Anas Ra. bahwa Nabi Saw. pernah berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’, dia tinggalkan riwayat lain yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan satu makuk dan mandi dengan 5 makuk air. Satu makuk adalah satu sha’ setengah. Ini adalah dalil bahwa Rasulullah terkadang menyedikitkan air wudhunya sampai dengan satu mud dan terkadang menambah sampai dengan satu makuk. (Lihat dalam Majalah at-Tamaddun Damaskus tulisan al-Abani edisi tahunn 1375 H dan Shahih Muslim kitab al-Haidh; bab al-Qadr al-Mutahab min al-Ma’ fi Ghasli al-Janabah halaman 325).
86. Wahabiyah mengharamkan Qunut dalam shalat Shubuh. (Lihat Abu Yusuf Abdurrahman Abdushshamad dalam As-ilatun Thala Haulaha al-Jadal halaman 80).
87. Wahabiyah mengatakan bahwa waktu Isya’ hanya sampai tengah malam. (Lihat Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin dalam Mawaqit ash-Shalah halaman 4).
88. Wahabiyah mengharamkan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan. (Lihat dalam Fatawa Islamiyah juz 1 halaman 28-29).
89. Wahabiyah mengatakan bahwa: “Termasuk bid’ah dalam masalah dzikir adalah ketika seorang syekh menentukan jumlah bilangan tertentu agar dibaca jama’ahnya dalam berdzikir. Misalnya sang syekh mengatakan, bacalah laa Ilaaha illallah 1.000 atau 10.000 kali atau lebih dan semua ini tidak ada dalam syara’, ini merupakan bid’ah orang-orang jahiliyah. Mereka telah keluar dari dzikir yang sesungguhnya kepada dzikir syirik kepada Allah ta’ala.” Aku berlindung kepada Allah dari kekufuran orang-orang Wahabiyah. (Lihat Hussam al-‘Aqqad dalam Halaqat Mamnu’ah halaman 25).
90. Wahabiyah mengatakan bahwa mengalungkan hiriz (jimat yang bertuliskan al-Qur’an dan hadits) pada orang yang sakit dan anak-anak tidak diperbolehkan, menurut mereka hal itu diharamkan dan termasuk salah satu macam dari kesyirikan meskipun diambil dari al-Qur’an.230 Kita jadi bertanya-tanya, orang macam apa Anda wahai Ibn Baz? Bagaimana bisa tulisan ayat-ayat al-Qur’an pada kertas bisa menyebabkan seseorang syirik. Apabila kamu tahu makna ibadah secara bahasa dan istilah, maka itu akan cukup bagi kamu daripada mempermainkan hukum sesuai hawa nafsumu tanpa ada dalil dan hujjah. Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya mengatakan dahulu Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada kami kalimat-kalimat untuk kami baca ketika merasa ketakutan dalam tidur, dan dalam riwayat Ismail: “Apabila salah seorang di antara kamu ketakutan maka hendaknya dia membaca “A’uudzu bikalimaatillahi at-taammati min ghadhabihi wa’iqaabihi wamin syarri ‘ibaadihi wamin hamazaati asy-syayaathiina wa an yahdhuruun”. Abdullah ibn Umar pernah mengajarkan kalimat tersebut pada anak-anaknya yang baligh untuk dibaca ketika tidur. Dan bagi anak-anaknya yang belum baligh beliau menulisnya dan mengalungkannya pada lehernya. Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan hadits ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.231 Mungkin hadits ini belum sampai kepada Ibn Baz, padahal dalam sebuah majalah dia mengatakan telah membaca sunan at-Tirmidzi. Ketidaktahuannya ini telah menyebabkannya menuduh orang lain berbuat syirik, dan hanya kepada Allahlah kita mengadu. (Lihat Fatawa Islamiyah juz 1 halaman 27 dan 50 dan dalam Sunan at-Tirmidzi kitab ad-Da’awat; bab 94).
91. Wahabiyah mengatakan tidak boleh menggunakan pengeras suara untuk mengumumkan pernikahan. (Lihat Ibn Baz wa al-‘Utsaimin dalam Fatwa wa Adzkar li Ithaf al-Akhyar  halaman 19).
92. Wahabiyah mengingkari penamaan malaikat pencabut nyawa dengan nama ‘Azrail. Padahal al-Qadhi Iyadh dalam kitab asy-Syifa telah mengutip ijma’ bahwa nama malaikat maut adalah ‘Azrail, sebagaimana dijelaskan dalam hadits ash-Shur (hadits tentang sangkakala) yang panjang yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam kitab ath-Thiwalat. (Lihat dalam kitab al-Maut ‘Idhatuhu wa Ahkamuhu halaman 12 dan al-Qadhi Iyadh dalam asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Mushthafa juz 2 halaman 303).
93. Wahabiyah mengatakan: “Di sini ada dua ruh, ruh yang pertama yang ada bersama hawin yang berada pada tulang rusuk seorang laki-laki dan ruh yang kedua ditiupkan setelah 4 bulan berdasarkan nash hadits.” (Lihat Fatawa al-Albani halaman 382).
94. Wahabiyah menyeru pada perbuatan zina, mereka mengatakan bahwa talak tiga itu jatuh satu dan bahwa talak mu’allaq (talak yang digantungkan pada sesuatu) pelakunya hanya dikenakan kafarat yamin (denda sumpah). Ini bertentangan dengan ijma’, Imam Abu Abdillah ibn Muhammad ibn Nashr al-Marwazi telah mengatakan: “Bahwa seseorang yang bersumpah dengan talak atau ‘itaq, maka umat telah sepakat bahwa itu adalah talak dan tidak ada kaffarah di dalamnya, dan apabila dilanggar sumpahnya maka jatuh talak.” Para ulama juga telah sepakat bahwa talak tiga jatuh tiga. Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwasanya beliau telah berfatwa tentang jatuhnya talak tiga dengan satu lafadz. Fatwa tersebut diriwayatkan oleh kibar sahabat beliau yang terpercaya sebagaimana dijelaskan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra. (Lihat Ibn Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa juz 8 halaman 33 dan 46 dan Ikhtilaf al-Fuqaha’ halaman 219).
95. Wahabiyah mengatakan bahwa Istimna’ yakni mengeluarkan air mani baik penyebabnya dengan mencium istri, memeluknya atau mengeluarkannya dengan tangan tidak membatalkan puasa. (Lihat dalam kitab Tamam al-Minnah halaman 418).
96. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepadaNya.” (QS. an-Nisa’ ayat 48). Sementara Wahabiyah mengatakan bahwa Allah mengampuni sebagian dosa syirik. (Lihat dalam Fatawa al-Albani halaman 351).
97. Wahabiyah mengatakan keluarnya seorang perempuan untuk bekerja adalah bagian dari zina. Demikianlah orang-orang Wahabiyah menjadikan para muslimah yang mulia yang tidak berdosa sebagai para pezina yang berdosa. Padahal telah diterangkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan para perempuan keluar rumah untuk melaksanakan shalat Hari Raya di mushalla. Barangkali orang-orang Wahabiyah ini lupa dengan sejarah umat Islam yang menceritakan keluarnya Rafidah, Nusaibah al-Maziniyah dan Khaulah binti al-Azur dan peranan mereka dalam jihad fi sabilillah. (Lihat tulisan Ibn Baz yang dimuat di koran al-Qabs edisi Jum’at 27 Muharram no. 8252).
98. Wahabiyah mengharamkan membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi perempuan kecuali di depan suami atau mahramnya. Padahal al-Hafidz al-Mujtahid Muhammad ibn Jarir ath-Thabari dalam kitab Tafsirnya telah mengutip ijma’ umat Islam bahwa aurat perempuan ajnabiyah di depan laki-laki lain adalah seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. (Lihat Ibn ‘Utsaimin dalam Fatawa wa Adzkar li Ithaf al-Akhyar halaman 16 dan Ibn Jarir dalam at-Tafsir, Taqrib wa Tahdzib Shalah al-Khalidi juz 5 halaman 544).
99. Wahabiyah mengharamkan mengenakan emas yang dikalungkan pada leher perempuan. Nashiruddin al-Albani mengatakan: “Dan ketahuilah bahwa perempuan sama dengan laki-laki dalam keharaman memakai cincin emas dan juga kalung emas.” Ini tentu bertentangan dengan ijma’ umat Islam yang disebutkan oleh an-Nawawi yang menyatakan bahwasanya boleh bagi perempuan mengenakan berbagai macam perhiasan dari perak dan emas seperti kalung, gelang dan cincin, perhiasan yang biasa dipakai pada leher atau anggota badan lainnya yang biasa dikenakan seorang perempuan, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. (Lihat al-Albani dalam Adab az-Zifaf halaman 132-133 dan an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz 6 halaman 40).
100.      Wahabiyah mengatakan diantara yang wajib adalah mengunci pintu ruangan belajar khusus perempuan untuk laki-laki meskipun pada tingkat Ibtidaiyah/sekolah dasar. (Lihat Ibn Baz dalam ar-Rasail wa al-Fatawa halaman 39-41).
101.      Wahabiyah membolehkan thawaf bagi perempuan yang sedang haid. Kita bantah dengan hadits Nabi Saw.: “Dan thawaf menempati kedudukan shalat hanya saja Allah menghalalkan dalam thawaf untuk berbicara.” Diriwayatkan oleh al-Baihaqi. (Lihat Ibn Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra juz 3 halaman 95).
102.      Ibn Baz mengatakan bahwa orang yang mengatakan bumi itu berputar maka wajib dibunuh. (Lihat dalam Majalah al-‘Arabi edisi 904 tahun 1995).
103.      Wahabiyah menyalahkan Imam Ali, mereka mengatakan bahwa beliau tidak diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang membangkang, perang bersama barisan Ali tidaklah wajib juga tidak sunnah dan bahwa hal itu membahayakan umat Islam dan tidak ada manfaatnya. Ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan an-Nasa’i dengan sanad yang shahih tentang Sayyidina Ali, dari Ali Ra. bahwa beliau berkata: “Aku diperintahkan untuk memerangi yang tidak mau berbaiat, mereka yang membangkang dan mereka yang tidak taat.” Bagaimana dikatakan bagi orang yang taat kepada perintah Allah bahwa perbuatannya bukan wajib dan bukan sunnah. Sebagaimana diketahui bahwa imam Ali adalah khalifah yang rasyid tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari barisannya. Memerangi orang-orang yang membangkang terhadapnya adalah kewajiban. Jelas, perkataan Wahabiyah ini menunjukkan kebencian yang mendalam pada hati mereka terhadap imam Ali Ra. dan keluarga Rasulullah Saw. (Lihat Ibn Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah juz 2 halaman 203, 204 dan 214).
104.      Wahabiyah membolehkan membuat kesepakatan damai dengan Yahudi tanpa batas dan tanpa syarat. (Lihat koran Telegraf edisi no. 2754 tanggal 23 November 1994 dan koran as-Safir tanggal 23 Februari 1994).
105.      Wahabiyah mengharamkan bepergian menuju negara orang kafir, Ibn Baz mengatakan: “Yang benar bahwasanya tidak boleh bepergian menuju negara orang-orang kafir untuk belajar kecuali dalam keadaan darurat dan dengan syarat bahwa dia adalah seorang yang berilmu, paham agama dan tujuannya untuk berdakwah atau semacamnya, ini adalah pengecualian.” (Lihat Ibn Baz dalam Fatawa Islamiyah juz 1 halaman 94-96).
106.      Sedangkan permusuhan Wahabiyah kepada umat Islam secara gamblang bisa dilihat dari fatwa Nashiruddin al-Albani ketika memberikan fatwa kepada penduduk Palestina dengan mewajibkannya keluar dari Palestina. Apa kemaslahatan dari ini semua? Dan untuk siapa kita tinggalkan Palestina jika kita mewajibkan penduduknya meninggalkan Palestina? Berapa harga fatwa ini? Orang yang cerdas adalah orang yang memahami isyarat ini. Siapa yang membayar al-Albani untuk fatwanya ini?
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template