BAB
4; PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Pernyataan
Abdullah bin Baz bahwa Memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah Bid’ah:
Segala
puji bagi Allah dan semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurah
untuk Rasulullah, keluarga, para sahabatnya dan untuk seluruh
orang yang mengikuti petunjuknya.
Banyak
sekali orang yang bertanya tentang hukum memperingati Maulid Nabi Saw.
dan berdiri bersama ketika peringatan berlangsung serta memberi
salam kepada Nabi Saw. dan hal lainnya yang dilakukan orang-orang pada
peringatan tersebut.
Jawabannya:
Tidak boleh memperingati hari Maulid Nabi Saw. dan maulid siapapun,
karena hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama.
Rasulullah Saw., Khulafaurrasyidin dan para Sahabat, begitu pula para
tabi’in yang berada pada kurun terbaik tidak pernah melakukannya. Padahal
mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah dan orang yang
paling sempurna cintanya kepada Rasulullah Saw. serta paling
konsisten dalam mengikuti syari’atnya dibanding dengan orang-orang yang dating
setelah mereka.
Nabi
Saw. bersabda:“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan
agama kami tanpa dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak
diterima).”
Dalam
hadits lain beliau bersabda: “Berpegangteguhlah kamu kepada sunnahku
dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat
petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan hindarilah
oleh kamu sekalian hal-hal yang diada-adakan dalam agama, sesungguhnya setiap
hal yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu
adalah sesat.”
Dua
hadits ini merupakan peringatan yang keras kepada kita agar tidak
mengada-ada bid’ah dan mengamalkannya. Allah ta’ala berfirman di
dalam al-Quran: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr
ayat 7). “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS.
an-Nur ayat 63). “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab ayat
21). “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama- tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah ayat 100). “Pada hari ini telah
Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu,
dan telah Aku ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. al-Maidah ayat 3).
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ini.
Dengan
mengada-adakan semacam peringatan Maulid, terkesan bahwa Allah ta’ala
belum menyempurnakan agama untuk umat ini dan Rasulullah Saw. belum
menyampaikan semua yang patut diamalkan oleh mereka maka generasi terakhir
mengada-ada dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dengan
keyakinan bahwa hal tersebut bisa mnedekatkan mereka kepada
Allah. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini sangat berbahaya dan merupakan
pembangkangan kepada Allah dan RasulNya, karena Allah telah menyempurnakan
agama ini untuk para hambaNya untuk mereka. Begitu pula Rasulullah Saw. telah
menyampaikan risalahnya dengan sempurna. Tidak ada satupun jalan yang
membawa umat ke surga, dan yang menjauhkan mereka dari api neraka
kecuali Rasulullah Saw. telah terangkan kepada mereka.
Di
dalam hadits yang shahih dari Abdullah bin Amr Ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah
Allah mengutus seorang Nabi melainkan diwajibkan atasnya agar
menunjukkan umatnya kepada semua kebaikan yang diketahuinya untuk
mereka dan mengingatkan mereka (agar menghindari) semua keburukan yang
diketahuinya bagi mereka.” (HR. Muslim).
Telah
dimaklumi bahwa Nabi kita Muhammad Saw. adalah Nabi terakhir dan yang paling
mulia serta Nabi yang paling sempurna nasehat dan risalahnya. Jikalau
peringatan Maulid ini termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Swt. maka
Rasulullah Saw. pasti menyampaikannya kepada umat atau melakukannya semasa
hidupnya atau dilakukan oleh para sahabat. Namun tidak ada satupun hal tersebut
yang terjadi. Ini berarti dalam ajaran Islam dan merupakan hal yang diada-adakan
yang mana Rasulullah Saw. telah mengingatkanm umat agar menghindarinya,
sebagaimana telah disebutkan pada dua hadits yang lalu dan hadits-hadits lain
yang semakna dengan itu, seperti sabda Rasulullah Saw. ketika khutbah Jum’at: “Selanjutnya,
sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Quran, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Saw., sejelek-jelek perkara adalah hal-hal
yang diada-adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat.”
(HR. Muslim).
Sejumlah
ulama secara tegas mengingkari dan melarang peringatan Maulid, berdasarkan
kepada dalil-dalil di atas dan dalil-dalil lainnya. Sebagian ulama dari
kalangan mutaakhirin membolehkannya selama tidak mengandung hal-hal yang
munkar, seperti berlebihan dalam pujian-pujian kepada Rasulullah, campur-baur
antara laki-laki dan wanita, menggunakan alat-alat musik dan hal-hal lain yang
tidak dibolehkan oleh syara’. Mereka menganggap hal itu merupakan bid’ah
hasanah. Padahal dalam kaidah syari’ah dikatakan bahwa segala sesuatu yang
diperselisihkan manusia wajib dikembalikan kepada al-Quran dan Sunnah. Allah
berfirman: “Hai orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
RasulNya dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu, kemudian jika kamu
berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran)
dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. an-Nisa ayat 59).
Dan
kita telah kembalikan masalah peringatan Maulid ini kepada al-Quran dan kita
dapatkan di dalamnya bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk mengikuti
seluruh yang dibawa oleh Rasulullah Saw. dan mengingatkan kita agar menjauhi
semua yang dilarangnya. Al-Quran juga memberitakan kepada kita bahwa Allah ta’ala
telah menyempurnakan agama untuk umat ini, sedangkan peringatan maulid tidak
termasuk dalam apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Ini berarti ia tidak termasuk
ajaran agama yang telah disempurnakan Allah bagi kita dan Allah telah
memerintahkan kita semua untuk mengikuti Rasulullah Saw. Kita juga telah
kembalikan permasalahan ini kepada Rasulullah Saw., kemudian kita tidak mendapatkan
bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkannya. Begitu pula para sahabat,
mereka juga tidak pernah mengamalkannya.
Dengan
demikian kita ketahui bahwa ia tidaklah termasuk ajaran agama kita tetapi hal itu
meruapkan bid’ah yang diada-adakan dan mencontoh kaum Yahudi dan Nashrani dalam
perayaan-perayaan mereka. Maka jelaslah bagi siapa saja yang menginginkan yang
haq bahwa perayaan Maulid bukanlah bagian dari ajaran Islam tetapi ia adalah bid’ah
yang dibuat-buat, yang mana Allah dan RasulNya telah memerintahkan kita untuk meninggalkan
dan menghindarinya. Tidaklah patut bagi seseorang yang berakal, tergiur dengan
banyaknya orang yang melakukan hal tersebut di berbagai belahan dunia.
Sesungguhnya ukuran kebenaran itu, bukanlah pada banyaknya jumlah orang yang
melakukannya. Tetapi, ukurannya adalah dalil-dalil syara’, sebagaimana Allah
berfirman tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani: “Dan mereka (Yahudi dan
Nashrani) berkata “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
(yang beragama) Yahudi dan Nashrani, demikian itu hanya angan-angan mereka yang
kosong belaka”. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah
orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah ayat 111).
Allah
berfirman: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. al-An’am ayat 116).
Disamping
perayaan maulid tersebut adalah bid’ah, biasanya ketika acara berlangsung
banyak mengandung kemunkaran lain, seperti campur-baur laki-laki dan wanita,
nyanyian dan alat-alat musik, minuman yang memabukkan, narkotika dan lain sebagainya.
Bahkan terjadi juga hal yang lebih parah dari itu semua yaitu syirik akbar
dengan menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap Rasulullah Saw. atau
selainnya seperti para wali serta berdoa memohon pertolongan dan bantuan kepadanya
dan meyakini bahwa dia mengetahui hal yang ghaib dan berbagai bentuk kekufuran lainnya
yang dicontoh oleh kebanyakan orang yang menghadiri perayaan maulid Nabi Saw.
tersebut dari orang-orang yang mereka sebut sebagai wali-wali.
Di
dalam hadits yang shahih Rasulullah Saw. bersabda: “Hindarilah oleh kamu
sekalian bersikap ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sesungguhnya sikap
ghuluw dalam agama itulah yang telah menyebabkan hancurnya orang-orang
yang sebelum kamu.” Dan Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu
sekalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani
berlebihan dalam memuji (Isa) putra Maryam, maka ucapkanlah: “Hamba
Allah dan RasulNya”.” (HR. Bukhari dari Umar Ra.).
Merupakan
satu hal yang aneh dan mengherankan bahwa banyak di antara manusia yang rajin
dan bersemangat dalam menghadiri perayaan-perayaan bid’ah tersebut. Bahkan mereka
membela dan mempertahankannya tapi di sisi lain mereka meninggalkan hal-hal
yang secara jelas diwajibkan Allah kepada mereka, seperti menghadiri shalat
Jum’at dan shalat berjama’ah. Mereka tidak mengindahkannya dan tidak menganggap
bahwa mereka dengan demikian telah berbuat kemunkaran yang besar. Ini jelas
sekali, disebabkan oleh kelemahan iman serta minimnya pemahaman dan pengetahuan
terhadap agama, disamping hati yang kotor yang telah dibalut oleh berbagai
macam jenis dosa dan maksiat. Hanya kepada Allah kita memohon, keselamatan
untuk kita dan seluruh kamu muslimin di dunia dan akhirat.
Diantara
hal yang aneh juga bahwa sebagian mereka meyakini bahwa Rasulullah Saw. hadir bersama
mereka dalam acara Maulid tersebut. Oleh karena itu mereka secara bersama-sama
berdiri untuk menyambut dan member penghormatan kepada beliau. Ini merupakan kebathilan
dan kebodohan yang nyata karena Rasulullah Saw. tidak akan keluar dari kuburnya
sebelum hari kiamat dan selama itu beliau tidak akan berhubungan dengan
siapapun dan tidak akan hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Akan tetapi
beliau akan tetap tinggal di kuburnya sampai hari kiamat sedangkan ruh beliau
berada di tempat tertinggi di sisi Allah di tempat yang mulia. Allah berfirman:
“Kemudian kamu sekalian setelah itu benar-benar akan mati, kemudian
sesungguhnya kamu sekalian pada hari kiamat akan dibangkitkan (dari
kuburmu).” (QS. al-Mukminun ayat 15-16).
Rasulullah
Saw. bersabda: “Aku adalah orang pertama yang akan dibangkitkan dari
kubur pada hari kiamat dan aku
adalah orang pertama yang memberi syafa’at dan yang diizinkan member
syafa’at.”
Ayat
dan hadits diatas, begitu pula ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang semakna
dengannya menunjukkan bahwa Nabi Saw. dan orang-orang yang meninggal dunia
lainnya akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka pada hari kiamat. Ini telah
merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Maka setiap muslim harus hati-hati
dalam hal ini, jangan sampai terjerumus kepada bid’ah-bid’ah dan khurafat yang
sengaja diada-adakan oleh orang-orang jahil dan yang sejenis dengan mereka. Hanya
Allah tempat kita memohon pertolongan, hanya kepadaNya kita berserah diri dan
tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izinNya.
Adapun
mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw. adalah termasuk ibadah dan
amal shaleh yang paling afdhal (utama), sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
(QS. al-Ahzab ayat 56).
Rasulullah
Saw. bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku dengan satu
shalawat maka Allah akan bershalawat (memberi rahmat) kepadanya
dengan sepuluh kali lipat.”
Shalawat
tersebut disyari’atkan di setiap waktu, terutama penghujung shalat. Bahkan menurut
sejumlah ulama, hukumnya adalah wajib pada tasyahhud akhir dalam setiap
shalat, dan sunah muakkad pada beberapa waktu, diantaranya adalah setelah
adzan, ketika disebut nama Nabi Saw., pada hari Jum’at dan malamnya sebagaimana
yang tertera dalam banyak hadits yang shahih. Semoga Allah memberi taufiq
kepada kita dan seluruh kamu muslimin untuk memahami dan mendalami Islam, serta
konsisten dengannya dan menganugerahkan kepada kita semua kekuatan untuk tetap
berpegang teguh kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah
dan Mulia. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi kita
Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Tanggapan Al-Habib
Mundzir Al-Musawa Mengenai Mereka yang Mengingkari Maulid:
“Peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw.”. Ketika kita membaca kalimat ini maka di dalam
hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi
sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘aqlan wa
syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang
membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya,
mereka merayakannya dengan pesta, mabuk-mabukkan, berjoget bersama, wayang,
lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat di seluruh
dunia. Sampai di sini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran
Rasul Saw.:
Allah Merayakan
Hari Kelahiran Para NabiNya:
·
Firman
Allah: “(Isa berkata dari dalam perut ibunya): “Salam sejahtera atasku, di
hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan.” (QS.
Maryam ayat 33).
·
Firman
Allah: “Salam sejahtera dari kami (untuk Yahya As.) di hari
kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan.” (QS.
Maryam ayat 15).
·
Rasul
Saw. lahir dengan keadaan sudah dikhitan. (Lihat dalam al-Mustadrak ‘ala
Shahihain hadits No. 4177).
·
Berkata
Utsman bin Abil Ash ats-Tsaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya
Aminah Ra. bunda Nabi Saw., ketika Bunda Nabi Saw. mulai saat-saat
melahirkan, ia (Ibu Utsman) melihat bintang-bintang mendekat
hingga ia takut berjatuhan di atas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang-benderang
keluar dari Bunda Nabi Saw. hingga membuat terang benderangnya
kamar dan rumah (Lihat dalam Fath al-Bari al-Masyhur juz 6 halaman 583).
·
Ketika
Rasul Saw. lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Lihat dalam Sirah Ibn Hisyam).
·
Riwayat
shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi Saw. saat melahirkan
Nabi Saw. melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya
menembus dan melihat istana-istana Romawi (Lihat dalam Fath al-Bari
al-Masyhur juz 6 halaman 583) .
·
Malam
kelahiran Rasul Saw. itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14
buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang
1000 tahun tak pernah padam (Lihat dalam Fath al-Bari al-Masyhur juz 6
halaman 583).
Kenapa
kejadian-kejadian ini dimunculkan oleh Allah Swt.?, kejadian-kejadian besar ini
muncul menandakan kelahiran Nabi Saw., dan Allah Swt. telah merayakan kelahiran
Muhammad Rasulullah Saw. di alam ini, sebagaimana Dia Swt. telah pula membuat
salam sejahtera pada kelahiran Nabi-nabi sebelumnya.
Rasulullah Saw.
Memuliakan Hari Kelahirannya Sendiri
Ketika
beliau Saw. ditanya mengenai puasa di hari Senin, beliau Saw. menjawab: “Itu
adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan.” (Shahih Muslim
hadits no. 1162), dari hadits ini sebagian saudara-saudara kita mengatakan
boleh merayakan Maulid Nabi Saw. asal dengan puasa. Rasul Saw. jelas-jelas
memberi pemahaman bahwa hari Senin itu berbeda di hadapannya daripada hari
lainnya, dan hari Senin itu adalah hari kelahiran beliau Saw. Karena beliau Saw.
tak menjawab misalnya: “Oh puasa hari Senin itu mulia dan boleh-boleh saja..”,
namun beliau bersabda: “Itu adalah hari kelahiranku”, ini menunjukkan
bahwa hari kelahiran beliau Saw. ada nilai tambah dibanding hari-hari lainnya.
Contoh
mudah misalnya Zaid bertanya pada Amir: “Bagaimana kalau kita berangkat
umroh pada 1 Januari?”, maka Amir menjawab: “Oh itu hari kelahiran
saya.” Nah, bukankah jelas-jelas bahwa Zaid memahami bahwa 1 Januari adalah
hari yang berbeda dari hari-hari lainnya bagi Amir. Dan Amir menyatakan dengan
jelas bahwa 1 Januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini
termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau Amir tak acuh
dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut-nyebut bahwa 1
Januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi Saw. tak memerintahkan puasa hari Senin
untuk merayakan kelahirannya.
Pertanyaan
sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau Saw. yang lebih luas dari
sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh di atas, Amir tidak memerintahkan
umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat
bahwa boleh merayakan Maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari
dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa. Orang itu bertanya tentang puasa hari
Senin, maksudnya boleh atau tidak? Rasul Saw. menjawab: “Hari itu hari
kelahiranku”, menunjukkan hari kelahiran beliau Saw. ada nilai tambah pada
pribadi beliau Saw., sekaligus diperbolehkannya puasa di hari itu. Maka
jelaslah sudah bahwa Nabi Saw. termasuk yang perhatian pada hari kelahiran
beliau Saw., karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya Islam.
Sahabat Memuliakan
Hari Kelahiran Nabi Saw
Berkata
Abbas bin Abdul Muththalib Ra.: “Izinkan aku memujimu wahai
Rasulullah.”, maka Rasul Saw. menjawab: “Silakan.., maka Allah
akan membuat bibirmu terjaga.” Maka Abbas Ra. memuji dengan
syair yang panjang, diantaranya: “… Dan Engkau (wahai Nabi Saw.)
saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya di bumi hingga
terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu,
dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan
kemuliaan (al-Qur’an) kami terus mendalaminya.” (Lihat dalam
al-Mustadrak ‘ala Shahihain hadits no. 5417).
Kasih Sayang Allah
terhadap yang Kafir yang Gembira atas Kelahiran Nabi Saw.
Diriwayatkan
bahwa Abbas bin Abdul Muthhalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya
padanya: “Bagaimana keadaanmu?” Abu Lahab menjawab: “Di neraka, cuma
diringankan siksaku setiap Senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah
karena gembiraku atas kelahiran Rasul Saw.” (Shahih Bukhari hadits
no. 4813, Imam Baihaqi dalam Sunan al-Kubra hadits no. 13701, Syi’b al-Iman no.281,
Fath al-Bari al-Masyhur juz 11 halaman 431).
Walaupun
kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak
menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah Swt., maka Allah
menguranginya setiap hari Senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul
Saw. dengan membebaskan budaknya. Walaupun mimpi tidak dapat dijadikan hujjah untuk
memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib,
sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi Saw.,
maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi Saw. Maka para imam
di atas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal
itu benar adanya, karena diakui oleh para imam dan mereka tidak mengingkarinya.
Lebih lagi hal itu teriwayatkan pada Shahih Bukhari, dan sebagian para muhadditsin
pun mengatakan: ”Tidak mudah untuk mengingkari hal ini, karena Imam Bukhari meriwayatkan
hal itu pada Shahihnya. Karena walaupun hal itu hanya mimpi Abbas Ra., tapi
sudah berubah menjadi ucapan Abbas Ra. karena ia telah mengucapkannya, dan jika
hal itu batil maka Sayyidina Abbas Ra. Tak akan menceritakannya, dan diperkuat
pula Imam Bukhari pada Shahihnya meriwayatkan ucapan Abbas Ra. itu, maka ucapan
itu telah menjadi hujjah, karena diucapkan oleh sahabat besar, Abbas bin Abdul
Muththalib Ra. paman Nabi Saw.”
Rasulullah Saw.
Memperbolehkan Syair Pujian di Masjid
Hasan
bin Tsabit Ra. membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar Ra.,
lalu Hassan berkata: “Aku sudah baca syair nasyidah di sini di hadapan
orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi Saw.)”. Lalu
Hassan berpaling pada Abu Hurairah Ra. dan berkata: “Bukankah kau
dengar Rasul Saw. menjawab syairku dengan doa: “Wahai Allah bantulah ia
dengan Ruhul Qudus?” Maka Abu Hurairah Ra. berkata: “Betul.” (Shahih
Bukhari hadits no. 3040 dan Shahih Muslim hadits no. 2485).
Ini
menunjukkan bahwa pembacaan syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa
hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa
yang dilarang adalah syair-syair yang membawa pada ghaflah, pada
keduniawian. Namun syair-syair yang memuji Allah dan RasulNya maka hal itu diperbolehkan
oleh Rasul Saw. bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau Saw. sebagaimana riwayat
di atas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul Saw. mendirikan
mimbar khusus untuk Hasan bin Tsabit di masjid agar ia berdiri untuk
melantunkan syair-syairnya. Lihatlah dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain hadits no.
6058, Sunan at-Tirmidzi hadits no. 2846.
Dari
Aisyah Ra. bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hasan bin Tsabit Ra.
maka Aisyah Ra. berkata: “Jangan kalian caci Hasan, sungguh ia itu selalu
membanggakan Rasulullah Saw.” (Lihat dalam Musnad Abu Ya’la juz 8
halaman 337).
Pendapat Para
Imam dan Muhaddits atas Perayaan Maulid
1. Pendapat Imam al-Hafidh
Ibn Hajar al-Asqalaniy rahimahullah:
Telah jelas
dan kuat riwayat yang sampai padaku dari Shahihain bahwa Nabi Saw. datang ke
Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari Asyura (10 Muharram), maka
Rasul Saw. bertanya tentangnya, maka mereka berkata: “Hari ini hari
ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa
sebagai tanda syukur pada Allah swt”, maka bersabda Rasul Saw.: “Kita
lebih berhak atas Musa As. dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan
bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap
tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti
sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca al-Qur’an, maka nikmat apalagi yang
melebihi kebangkitan Nabi ini?. Telah berfirman Allah Swt.: “Sungguh Allah
telah memberikan anugerah pada orang-orang mu’min ketika dibangkitkannya
Rasul dari mereka.” (QS. Ali Imran ayat 164)
2. Pendapat Imam al-Hafidz
Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah:
“Telah jelas
padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul Saw. beraqiqah untuk
dirinya setelah beliau Saw. menjadi Nabi.” (Ahadits al-Mukhtarah hadis no.
1832 dengan sanad shahih dan Sunan al-Kubra Imam Baihaqi juz 9 halaman 300).
Dan telah
diriwayatkan bahwa telah beraqiqah untuknya kakeknya Abdul Muththalib saat usia
beliau Saw. berumur 7 tahun, dan aqiqah tak mungkin diperbuat dua kali. Maka
jelaslah bahwa aqiqah beliau Saw. yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur
beliau Saw. kepada Allah Swt. yang telah membangkitkannya sebagai rahmatan lil
’alamin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga
untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau Saw. dengan mengumpulkan
teman-teman dan saudara-saudara, menjamu dengan makanan-makanan dan yang serupa
itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bahkan Imam as-Suyuthiy
mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan Maulid dengan nama “Husn al-Maqshad
fi ‘Amal al-Maulid”.
3. Pendapat Imam al-Hafidz
Abu Syamah rahimahullah (guru Imam an-Nawawi):
“Merupakan bid’ah
hasanah yang mulia di zaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap
tahunnya di hari kelahiran Rasul Saw. dengan banyak bersedekah, dan
kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul Saw.
dan membangkitkan rasa cinta pada beliau Saw., dan bersyukur kepada Allah
dengan kelahiran Nabi Saw.”
4. Pendapat Imam
al-Qurra’ al-Hafidz Syamsuddin al-Jazriy rahimahullah:
Dalam kitabnya
‘Urif bi at-Ta’rif Maulid asy-Syariif: Telah diriwayatkan bahwa Abu
Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? Ia menjawab: “Di
neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam Senin, itu semua sebab
aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran
Nabi (Saw.) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (Saw.).” (Shahih Bukhari).
Maka apabila Abu Lahab Kafir yang al-Qur’an turun mengatakannya di neraka,
mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi Saw., maka bagaimana
dengan muslim ummat Muhammad Saw. yang gembira atas kelahiran Nabi Saw.? Maka demi
usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan
dimasukkan ke surga kenikmatanNya dengan sebab anugerahNya.”
5. Pendapat Imam al-Hafidz
Syamsuddin bin Nashiruddin ad-Dimasyqiy rahimahullah:
Dalam kitabnya
yang bernama Aurid ash-Shadiy fi Maulid al-Hadiy menyatakan hal yang serupa dengan
ucapan Imam al-Qurra’ al-Hafidz Syamsuddin al-Jazriy di atas, yaitu menukil hadits
tentang Abu Lahab.
6. Pendapat Imam al-Hafidz
as-Sakhawiy rahimahullah:
Dalam kitab
Sirah al-Halabiyah beliau berkata: ”Tidak dilaksanakan Maulid oleh salaf
hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya dan tetap melaksanakannya
umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan
berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah
terhadap mereka keberkahan yang sangat besar.”
7. Pendapat Imam al-Hafidz
Ibn Abidin rahimahullah:
Dalam
syarahnya Maulid Ibn Hajar berkata: ”Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah
adalah pelaksanaan Maulid di bulan kelahiran nabi Saw.”
8. Pendapat Imam al-Hafidz
Ibn al-Jauzi rahimahullah:
Dengan
karangan Maulidnya yang terkenal al-‘Aruus beliau juga berkata tentang
pembacaan mauled: ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan
berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa
yang membacanya serta merayakannya.”
9. Pendapat Imam al-Hafidz
al-Qasthalani rahimahullah:
Dalam kitabnya
al-Mawahib al-Ladunniyyah juz 1 halaman 148 cetakan al-Maktab al-Islami
berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmatNya kepada orang yang
menjadikan hari kelahiran Nabi Saw. sebagai hari besar.”
10. Pendapat Imam al-Hafidz
al-Muhaddits Abul Khaththab Umar bin Ali bin Muhammad rahimahullah yang terkenal
dengan Ibn Dihyah al-Kalbi:
Dengan
karangan maulidnya yang bernama at-Tanwir fi Maulid Basyir an-Nadzir.
11. Pendapat Imam al-Hafidz
al-Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah al-Juzri rahimahullah:
Dengan kitab maulidnya
‘Urfu at-Ta’rif bi Maulid asy-Syarif.
12. Pendapat Imam al-Hafidz
Ibn Katsir rahimahullah:
Yang karangan
kitab maulidnya dikenal dengan nama Maulid Ibn Katsir.
13. Pendapat Imam al-Hafidz
al-’Iraqy rahimahullah:
Dengan karya maulidnya
Maurid al-Hana fi Maulid as-Sana.
14. Pendapat Imam al-Hafidz
Nasruddin ad-Dimasyqiy rahimahullah:
Telah
mengarang beberapa kitab maulid diantaranya adalah Jami’ al-Astar fi Maulid
Nabi al-Mukhtar 3 jilid, al-Lafadz ar-Ra’iq fi Maulid Khair al-Khalaiq,
Maurud ash-Shadiy fi Maulid al-Hadi.
15. Pendapat Imam as-Sakhawiy
rahimahullah:
Dengan karangan
maulidnya al-Fajr al-‘Ulwi fi Maulid an-Nabawi.
16. Pendapat al-
Allamah al-Faqih Ali Zainal Abidin asy-Syamuhdi:
Dengan kitab maulidnya
al-Mawarid al-Haniah fi Maulid Khairil Bariyyah.
17. Pendapat al-Imam
al-Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad asy-Syaibaniy yang terkenal
dengan nama Ibn Diba’:
Dengan karangan
maulidnya ad-Diba’i.
18. Pendapat Imam
Ibn Hajar al-Haitsami:
Dengan kitab maulidnya
Itmam an-Ni’mah ‘ala al-‘Alam bi Maulid Sayidi Waladu Adam.
19. Pendapat Imam
Ibrahim al-Bajuri:
Mengarang hasyiah
atas Maulid Ibn Hajar dengan nama Tuhfah al-Basyar ‘ala Maulid Ibn Hajar.
20. Pendapat al-Allamah
Ali al-Qari’:
Dengan kitab maulidnya
Maurud ar-Rawi fi Maulid Nabawi.
21. Pendapat al-Allamah
al-Muhaddits Ja’far bin Hasan al-Barzanji:
Dengan kitab maulidnya
yang terkenal Maulid al-Barzanji.
22. Pendapat al-Imam
al-Muhaddits Muhammad bin Ja’far al-Kattani:
Dengan kitab maulidnya
al-Yaman wa al-Is’ad bi Maulid Khair al-‘Ibad.
23. Pendapat al-Allamah
Syeikh Yusuf bin Ismail an-Nabhaniy:
Dengan kitab maulidnya
al-Jawahir an Nadzmu al-Badi’ fi Maulid asy-Syafi’.
24. Pendapat Imam
Ibrahim asy-Syaibaniy:
Dengan kitab maulidnya
al-Maulid Musthofa ‘Adnani.
25. Pendapat Imam
Abdul Ghaniy an-Nablisy:
Dengan karangan
maulidnya al-‘Alam al-Ahmadi fi Maulid Muhammadi.
26. Pendapat Syihabuddin
al-Halwani:
Dengan karanagn
maulidnya Fath al-Lathif fi Syarh Maulid asy-Syarif.
27. Pendapat Imam
Ahmad bin Muhammad ad-Dimyathi:
Dengan karanagan
maulidnya al-Kaukab al-Azhar ‘ala al-‘Iqdu al Jauhar fi Maulid Nadi al-Azhar.
28. Pendapat asy-Syeikh
Ali at-Tanthowiy:
Dengan karangan
maulidnya Nur ash-Shofa fi Maulid al-Musthafa.
29. Pendapat asy-Syeikh
Muhammad al-Maghribi:
Dengan karangan
maulidnya at-Tajalliyyat al-Khifiyyah fi Maulid Khair al-Bariyyah.
Tiada
satupun para muhadditsin dan para imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai
beberapa pernyataan para imam dan muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana
disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting
dan memotong ucapan para imam itu, dengan kelicikan yang jelas-jelas meniru
kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Berdiri di
Saat Mahal Qiyam dalam Pembacaan Maulid
Mengenai
berdiri saat Maulid ini, merupakan qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan
syariah Rasul Saw., dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa
risalah pada kehidupan kita. Hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang
dianjurkan oleh Rasul Saw. adalah berdiri, diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz
Ra. datang maka Rasul Saw. berkata kepada kaum Anshar: “Berdirilah untuk
tuan kalian.” (Shahih Bukhari hadits no. 2878 dan Shahih Muslim hadits no. 1768),
demikian pula berdirinya Thalhah Ra. untuk Ka’ab bin Malik Ra.
Memang
mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang
dijelaskan bahwa berkata Imam al-Khaththabiy bahwa berdirinya bawahan untuk
majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan
imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari
bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi
yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tidak apa-apa, sebagaimana
Nabi Saw. berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah Ra. saat ia dating. Namun ada
pula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan. (Lihat dalam Fathal-Baari
al-Masyhur juz 11 dan Syarh Imam an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 12 halaman
93).
Namun
dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat Mahalul Qiyam dalam membaca mauled
itu tak ada hubungan apa-apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul Saw. tidak
dzahir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul Saw. hadir
saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah
ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dzahir. Semua ucapan di atas
adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul Saw. pernah
melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau Saw.
Jauh
berbeda bila kita yang berdiri sebagai penghormatan mengingat jasa beliau saw,
tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdirinya kita adalah sebagai
bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi Saw., dan penghormatan kita kepada kedatangan
Islam, dan kerinduan kita pada nabi Saw., sebagaimana kita bersalam pada Nabi Saw.
setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau Saw.
Diriwayatkan
bahwa Imam al-Hafidz Taqiyuddin as-Subkiy rahimahullah, seorang imam
besar dan terkemuka di zamannya bahwa ia berkumpul bersama para muhaddits dan imam-imam
besar dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji-pujian untuk Nabi Saw. Lalu
diantara syair-syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam as-Subkiy dan
seluruh imam-imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur
dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan.
Dan
berkata Imam Ibn Hajar al-Haitsamiy rahimahullah bahwa: “Bid’ah
hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan
hal yang sunnah, (berlandaskan hadits Shahih Muslim no.1017 yang
terncantum pada bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan
bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan Maulid itu adalah
salah satu bid’ah hasanah.”
Dan
berkata pula Imam as-Sakhawiy rahimahullah bahwa: “Mulai abad ketiga
hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung
ini di seluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya.”
(Lihat dalam Sirah al-Halabiyah juz 1 halaman 137).
Pada
hakekatnya, perayaan Maulid ini bertujuan mengumpulkan para muslimin untuk
Medan Tabligh dan bersilaturahim sekaligus mendengarkan ceramah islami yang
diselingi bershalawat dan salam pada Rasul Saw., dan puji-pujian pada Allah dan
Rasul Saw. yang sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw., dan untuk mengembalikan
kecintaan mereka pada Rasul Saw., maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan
risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka par imam dan fuqaha manapun tak
akan ada yang mengingkarinya karena jelas-jelas merupakan salah satu cara
membangkitkan keimanan muslimin. Hal semacam ini tak pantas dipungkiri oleh
setiap muslimin ‘aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal
ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai). Sebagaiman kaidah syariah
bahwa “Ma yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang
menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
Contohnya
saja sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan
membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat
kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka
membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan
shalat yang wajib. Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat
kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa
siwak dan baju kita tidak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong
baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi
sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah.
Maka
perayaan Maulid Nabi Saw. diadakan untuk Medan Tabligh dan Dakwah, dan dakwah merupakan
hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tidak
peduli dengan Nabinya, tak pula peduli apalagi mencintai sang Nabi Saw. dan
rindu pada sunnah beliau Saw. Dan untuk mencapai tabligh ini adalah dengan
perayaan Maulid Nabi saw., maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena
menjadi perantara Tabligh dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi Saw. serta
silaturahim.
Sebagaimana
penulisan al-Qur’an yang merupakan suatu hal yang tidak perlu di zaman Nabi
Saw., namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai
banyak yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an, dan menjadi wajib hukumnya
setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya al-Qur’an
dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa al-Qur’an telah dijaga oleh
Allah. Hal semacam ini telah dipahami dan dijelaskan oleh para Khulafa’urrasyidin,
sahabat radhiyallahu’anhum, imam dan muhadditsin, para ulama, fuqaha dan
bahkan orang muslimin yang awam sekalipun, namun hanya sebagian saudara-saudara
kita muslimin yang masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah member mereka
keluasan hati dan kejernihan, Aamiin. Walillahittaufiq.
0 komentar:
Posting Komentar