BAB
3; MEMBANGUN MASJID DI ATAS KUBURAN
Pernyataan
Abdullah bin Baz Mengenai Larangan Membuat Bangunan Ataupun Membangun Masjid di
atas Kuburan:
Seseorang
bertanya: “Di kalangan kami ada diantara pemuka-pemuka sufi yang kerjanya membuat
kubah dan bangunan di atas kuburan. Orang-orang meyakini keshalihan dan
keberkahan pada mereka. Kalau hal ini tidak disyaria’atkan maka tolong mereka
dinasehati karena mereka adalah panutan di tengah-tengah masyarakat. Terima
kasih, semoga Allah memberkahi.”
Syekh
Abdul Aziz bin Baz menjawab: Nasehat saya kepada para ulama sufi dan ulama
lainnya, hendaklah mereka berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah
Rasulullah Saw. dan mengajarkannya kepada manusia dan tidak
mengikuti amalan generasi sebelumnya yang bertentangan dengan kedua
sumber tersebut. Agama ini tidak berdasarkan taklid buta kepada syekh
dan selain mereka tetapi agama ini berdasarkan kepada al-Quran dan
Sunnah Rasulullah Saw.
Dalam
Shahih Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: “Allah
telah melaknat kamu Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi
mereka sebagai masjid”. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah Saw. (dalam hadits ini)
memperingatkan agar mengindari perbuatan mereka.”
Dan
diriwayatkan dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah bahwa mereka
menceritakan kepada Rasulullah Saw. perihal gereja berikut lukisan-lukisan
yang ada di dalamnya yang pernah mereka lihat di Habasyah, kemudian
Rasulullah Saw. bersabda: “Mereka itu apabila salah seorang yang
shaleh di antara mereka meninggal, mereka bangun di atas kuburnya sebuah masjid
dan mereka buat lukisan-lukisan tadi, mereka itulah sejelek-jelek makhluk di
sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ummu
Habibah bahwa mereka menceritakan kepada Rasulullah Saw. perihal gereja berikut
lukisan-lukisan yang ada di dalamnya yang pernah mereka lihat di Habasyah,
kemudian Rasulullah Saw. bersabda, Rasulullah Saw telah mengkhabarkan bahwa
orang yang membangun masjid di atas kuburan itu adalah sejelek-jelek makhluk.
Demikian pula yang membuat lukisan si mayit di atas kuburannya karena hal itu
merupakan faktor pemicu perbuatan syirik. Karena masyarakat ketika melihat ada
masjid dan kubah-kubah diatas kuburan, otomatis mereka akan mengkultuskan dan
mengagung-agungkan akan mayit (yang dikubur di bawah masjid tersebut) meminta
pertolongan kepadanya, bernadzar untuknya dan berdoa serta mohon bantuan kepadanya.
Ini merupakan syirik akbar.
Dalam
hadits, Jundub bin Abdillah Al Bajali Ra. yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
Shahihnya, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menjadikanku
sebagai kekasihNya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai
kekasihNya. Seandainya aku boleh menjadikan salah seorang umatku sebagai
kekasihku, niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ingat!
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu menjadikan kuburan para Nabi dan
orang-orang yang shaleh di antara mereka sebagai masjid. Ingat!
Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang
kamu sekalian dari hal demikian.”
Hadits
ini menunjukkkan keistimewaan Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau adalah sahabat yang
paling mulia dan baik sehingga kalaulah dibolehkan, Rasulullah Saw. mengambil
seorang khalil (kekasih), niscaya dia akan mengambil Abu Bakar sebagai khalilnya.
Tetapi Allah melarangnya dari demikian agar cintanya hanya semata-mata tertuju
kepada Allah karena khalil itu adalah tingkatan cinta dan kasih yang
paling tinggi. Hadits ini juga menunjukkan haramnya membangun dan membuat
masjid di atas kuburan serta mencela orang yang melakukannya dalam tiga redaksi
larangan:
Pertama, Mencela
orang yang melakukannya.
Kedua, Sabda beliau
“Maka janganlah kamu menjadikan kuburan
sebagai masjid.”
Ketiga, Sabda beliau
“Sesungguhnya aku melarang kamu sekalian berbuat demikian.”
Rasulullah
Saw. melarang membangun di atas kuburan dengan tiga bentuk larangan tersebut
yaitu sabda beliau: “Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu
menjadikan kuburan para Nabi dan orang-orang yang shaleh di antara
mereka sebagai masjid”, kemudian beliau bersabda “Ingat! Janganlah
kamu menjadikan kuburan sebagai masjid”. Artinya janganlah kamu
mencontoh mereka, sesungguhnya aku melarang kamu sekalian dari berbuat
demikian. Ini merupakan larangan tegas membangun diatas kuburan dan
menjadikannya sebagai masjid.
Hikmah
dari larangan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh para ulama agar hal itu
tidak menjadi jalan yang akan membuat seseorang terjebak ke perbuatan syirik
akbar, seperti menyembah kepada para penghuni kubur, berdoa, bernadzar,
beristighatsah, berkorban, memohon bantuan dan pertolongan kepada mereka yang telah
mati, sebagaimana yang terjadi pada kuburan Badawi, Hissi, Siti Nafisah, Zainab
dan kuburan lainnya di Mesir.
Begitu
juga yang terjadi pada banyak kuburan yang ada di Sudan dan negara-negara Islam
lainnya. Dan hal ini juga terjadi pada kuburan Nabi yang ada di Madinah,
kuburan Baqi’, kuburan Khadijah dan kuburan lainnya seperti yang dilakukan oleh
sebagian jamaah haji yang jahil. Maka mereka itu butuh sekali kepada bimbingan
dan arahan yang benar dari para ulama. Dan mereka itu, baik itu ulama sufi dan
ulama syari’ah secara umum wajib takut kepada Allah dan menasehati manusia dan
mengajarkan agama kepada mereka serta mengingatkan agar mereka tidak membangun
di atas kubur, atau membuat masjid atau kubah diatasnya serta bangunan-bangunan
lainnya.
Tanggapan Al-Habib
Munzir Al-Musawa Mengenai Larangan Membuat Bangunan ataupun Membangun Masjid di
atas Kuburan:
“Rasul
Saw. shalat ghaib di pekuburan umum, Rasul Saw. shalat Jenazah (shalat
Ghaib) menghadap kuburan setelah dimakamkan di sebuah pemakaman, lalu
bermakmum di belakang beliau shaf para sahabat, beliau Saw. bertakbir
dengan 4 takbir.” (Shahih Muslim hadits no. 954). “Nabi
saw shalat (shalat Ghaib) di atas kuburan.” (Shahih Muslim hadits no.
955).
“Telah
wafat seseorang yang biasa berkhidmat menyapu masjid, maka Rasul Saw.
bertanya tentangnya dan para sahabat berkata bahwa ia telah
wafat, maka Rasul Saw bersabda: “Apakah kalian tak
memberitahuku?” maka para sahabat seakan tak terlalu
menganggap
penting
mengabarkannya, maka Rasul Saw. berkata: “Tunjukkan
padaku kuburnya!”, maka Rasul Saw. mendatangi kuburnya lalu menyalatkannya,
seraya
bersabda: “Sungguh
penduduk pekuburan ini penuh dengan kegelapan, dan Allah
menerangi mereka
dengan
shalatku atas mereka.” (Shahih Muslim hadits no. 956 dan Shahih
Bukhari hadits no. 1258).
Kita
akan lihat ucapan para Imam:
1. Berkata Guru
dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Imam Syafi’i rahimahullah: “Makruh
memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai
masjid, (*Imam syafii tidak mengharamkan memuliakan seseorang
hingga membangun kuburnya menjadi masjid, namun beliau
mengatakannya makruh), karena ditakutkan fitnah atas orang itu
atau atas orang lain, dan hal yang tak diperbolehkan adalah
membangun masjid di atas makam setelah jenazah dikuburkan. Namun
bila membangun masjid lalu membuat di dekatnya makam
untuk pewakafnya maka tidak ada larangannya”. (Demikian
ucapan Imam Syafii dalam kitab Faidh al-Qadir juz 5 halaman 274).
2. Berkata
Hujjatul Islam al-Imam Ibn Hajar al-Asqalaniy: “Hadits–hadits
larangan ini adalah larangan shalat dengan menginjak kuburan
dan diatas kuburan, atau berkiblat ke kubur atau di antara dua
kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sahnya shalat, (*maksudnya
bilapun shalat di atas makam, atau mengarah ke makam tanpa
pembatas maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadz
dari riwayat kitab ash-Shalat oleh Abu Na’im guru Imam Bukhari,
bahwa ketika Anas Ra. shalat di hadapan kuburan maka
Umar berkata: “Kuburan..kuburan..!”, maka Anas melangkahinya dan
meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan
tidak batal”. (Lihat dalam Fath al-Bari al-Mayshur juz 1 halaman
524).
3. Berkata Imam
Ibn Hajar: “Berkata Imam al-Baidhawiy: “Ketika orang Yahudi dan Nasrani
bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat dan
menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat
patung-patungnya, maka Rasul Saw. melaknat mereka, dan melarang
muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di
dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan
kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat
kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits
itu.”(Lihat dalam Fath al-Bari al-Masyhur Juz 1 halaman 525). “Berkata
Imam al-Baidhawiy: “Bahwa Kuburan Nabi Ismail As. adalah di
Hathiim (di samping Miizab di Ka’bah dan di dalam Masjidil Haram)
dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan
shalat di kuburan adalah kuburan yg sudah tergali.” (Lihat
dalam Faidh al-Qadir juz 5 halaman 251).
Kita
memahami bahwa Masjid Rasul Saw. itu di dalamnya terdapat makam beliau Saw.,
Abu Bakar Ra. dan Umar Ra., masjid diperluas dan diperluas, namun
bila saja perluasannya itu akan menyebabkan hal yang dibenci dan
dilaknat Nabi Saw. karena menjadikan kubur beliau Saw. di tengah-tengah
masjid, maka pastilah ratusan imam dan ulama di masa itu telah
memerintahkan agar perluasan tidak perlu mencakup rumah ‘Aisyah Ra.
(makam Rasul Saw.).
Perluasan
adalah di zaman Khalifah Walid bin Abdulmalik sebagaimana diriwayatkan
dalam Shahih Bukhari, sedangkan Walid bin Abdulmalik dibai’at
menjadi khalifah pada 4 Syawal tahun 86 Hijriyah, dan ia wafat pada 15
Jumadil Akhir pada tahun 96 Hijriyah. Lalu di mana Imam Bukhari? (194
H-256 H), Imam Muslim? (206 H-261H), Imam Syafi’i? (150 H-204 H),
Imam Ahmad bin Hanbal? (164 H-241H), Imam Malik? (93 H-179 H), dan ratusan imam-imam
lainnya? Apakah mereka diam membiarkan hal yang dibenci dan dilaknat
Rasul Saw. terjadi di Makam Rasul Saw.?, lalu imam- imam yang hafal
ratusan ribu hadits itu adalah para musyrikin yang bodoh dan hanya
menjulurkan kaki melihat kemungkaran terjadi di Makam Rasul Saw.? Munculkan
satu saja dari ucapan mereka yang mengatakan bahwa perluasan Masjid Nabawiy
adalah makruh, apalagi haram. Justru inilah jawabannya, mereka diam
karena hal ini diperbolehkan, bahwa orang yang kelak akan bersujud
menghadap Makam Rasul Saw. itu tidak satupun yang berniat menyembah Nabi
Saw., atau menyembah Abu Bakar Ra. atau Umar bin Khaththab Ra., mereka
terbatasi dengan tembok, maka hokum makruhnya sirna dengan adanya tembok
pemisah, yang membuat kubur-kubur itu terpisah dari masjid, maka ratusan imam dan
muhadditsin itu tidak melarang perluasan Masjid Nabawiy bahkan Masjidil Haram
pun, berkata Imam al-Baidhawiy bahwa: “Kuburan Nabi Ismail adalah di
Masjidil Haram.”
Kesimpulannya
larangan membuat masjid di atas makam adalah menginjaknya, menjadikannya
terinjak-injak, ini hukumnya makruh, dan ada pendapat mengatakannya
haram.
0 komentar:
Posting Komentar