BAB
2; PERINGATAN MALAM NISFU SYA’BAN
Pernyataan
Abdullah bin Baz Bahwa Memperingati Malam Nisfu Sya’ban adalah Bi’dah:
Allah
ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agama bagimu.” (QS. AL-Maidah ayat 3). ”Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah.” (QS. asy-Syura ayat 21).
Di
dalam Shahih Bukhari dan Muslim, ‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami maka hal itu
akan ditolak (tidak diterima).”
Dalam
Shahih Muslim dari Jabir Ra. bahwa Nabi Saw. Bersabda: ”Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah al-Quran, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw.,
sejelek-jelek perkara adalah hal-hal yang diada-adakan di dalam agama (bid’ah)
dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”
Banyak
lagi ayat dan hadits lain yang senada dengan ayat dan hadits di atas
yang secara tegas menunjukkan bahwa Allah telah menyempurnakan
agama dan nikmatNya untuk umat ini dan Rasulullah Saw. sebelum wafatnya
telah menyampaikan secara lengkap dan jelas kepada umat semua apa
yang disyari’atkan Allah, baik berupa perkataan maupun amal perbuatan.
Rasulullah
Saw. juga telah menjelaskan bahwa apa saja yang diada-adakan oleh orang-orang
yang datang sesudahnya dan mereka nisbatkan kepada Islam baik berupa
perkataan maupun amal perbuatan, maka semua itu adalah bid’ah yang
ditolak dan tidak diterima, sekalipun diada-adakan oleh pelakunya atas
niat dan tujuan yang baik. Hal itu telah diketahui oleh para
sahabat dan para ulama yang datang setelah mereka.
Oleh
karena itu, mereka mengingkari segala bentuk bid’ah dan mengingatkan
manusia untuk tidak terjerumus ke dalamnya. Sebagaimana yang
tertera dalam karya-karya Ibnu Wadhdhah, Thurthusyi, Abu Syamah dan
lainnya, tentang pengagungan Sunnah dan pengingkaran terhadap bid’ah.
Diantara
bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian orang adalah memperingati malam
Nisfu Sya’ban serta mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa.
Padahal, tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sebagai
landasannya. Memang ada beberapa hadits lemah yang menjelaskan
fadhilahnya namun tidak bisa dijadikan landasan. Sedangkan hadits-hadits
yang menjelaskan keutamaan shalat di hari itu, menurut kebanyakan ahli
hadits semuanya adalah hadits palsu.
Berikut
ini akan kita paparkan sebagian dari komentar mereka. Terdapat juga
beberapa atsar dari sebagian salaf dari kalangan penduduk Syam dan
selain mereka. Telah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa
memperingati malam tersebut adalah bid’ah. Hadits-hadits yang
menjelaskan tentang keutamaannya adalah dhaif (lemah) bahkan
sebagiannya adalah palsu, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Rajab dalam
bukunya “Lathaiful Ma’arif” dan lainnya.
Hadits
dha’if baru boleh diamalkan dalam hal ibadah yang sudah ada dasarnya
dari hadits-hadits yang shahih, sedangkan memperingati Nishfu
Sya’ban tidak ada satupun dasarnya dari hadits yang shahih
sehingga bisa dijadikan alas an untuk mengamalkan hadits dha’if
tersebut. Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Abul ‘Abbas
Ibnu Taimiyah.
Wahai
para pembaca, berikut ini saya akan nukil kepada anda perkataan sebagian
ulama tentang masalah ini, sehingga benar-benar dipahami. Para
ulama telah sepakat bahwa kita wajib mengembalikan kepada al-Quran dan
Sunnah Rasulullah Saw. Apa yang tertera dalam keduanya atau salah
satunya itulah syari’at yang wajib diikuti dan apa saja yang
bertentangan dengan keduanya maka wajib ditolak. Apapun bentuk ibadah
yang tidak tertera dalam keduanya adalah bid’ah yang tidak boleh
diamalkan apalagi menganjurkan orang lain untuk melakukannya.
Allah
berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya
dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu.” (QS. asy-Syura ayat 10). “Katakanlah:
“Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran ayat 31). “Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An Nisa ayat 59).
Banyak
lagi ayat-ayat lain yang senada dengan itu. Ayat-ayat tersebut dengan
tegas menunjukkan akan kewajiban untuk mengembalikan permasalahan-permasalahan
yang diperselisihkan kepada al-Quran dan Sunnah serta ridha dengan hukum
yang ada pada keduanya. Dan hal itu merupakan konsekwensi iman serta
kemaslahatan bagi para hamba di dunia dan akhirat kelak.
Al-Hafidz
Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” dalam masalah ini
menjelaskan sebagai berikut: “Para tabi’in dari kalangan penduduk Syam
seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lainnya, mereka
memuliakan malam Nisfu Sya’ban dan melakukan ibadah sebanyak mungkin padanya.
Dari merekalah orang-orang mengambil keutamaan dan kebesaran malam tersebut.
Dan menurut satu pendapat, mereka menerima beberapa Atsar Israiliyyat. Tatkala
hal ini masyhur bersumber dari mereka di mana-mana, para ulama berselisih
pendapat dalam menanggapinya. Ada yang menerima dan menyetujui mereka dalam
membesarkan malam tersebut seperti sebagian ahli ibadah dari kalangan penduduk
Bashrah dan selain mereka. Sedangkan mayoritas ulama Hijaz mengingkarinya
seperti ‘Atha dan Ibnu Abi Mulaikah dan Fuqaha (ulama fiqih) Madinah seperti
dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Ini adalah pendapat para pengikut Imam
Malik dan selain mereka, semua mereka mengatakan bid’ah.”
Para
ulama dari Syam sendiri, berselisih pendapat tentang teknis menghidupkan
malam tersebut. Pendapat pertama: Disunnahkan menghidupkan malam
tersebut secara berjama’ah dalam masjid. Khalid bin Ma’dan,
Luqman bin‘ Amir dan lainnya, memakai pakaian yang terbagus pada malam
tersebut, memakai harum-haruman dan bercelak, lalu mereka
beribadah di masjid. Hal ini disetujui pula oleh Ishak bin Rahawaih,
beliau berkata tentang menghidupkannya di masjid secara berjama’ah. Hal
ini tidaklah termasuk “bid’ah”, dinukil darinya oleh al-Karmani
dalam “Al-Masaail”.
Pendapat
kedua: Makruh
hukumnya berkumpul di masjid pada malam tersebut, baik untuk shalat,
bercerita dan berdoa. Tetapi tidak makruh bagi seseorang yang melakukan
shalat (beribadah) pada malam itu dengan sendirian. Ini adalah pendapat
Auza’i, seorang ulama dan ahli fiqih dari Syam. Pendapat ini
Insya Allah lebih dekat kepada kebenaran. Sedangkan Imam Ahmad, tidak
diketahui komentar beliau secara tegas tentang menghidupkan malam
Nisfu Sya’ban. Namun dapat ditakhrij dari beliau dua riwayat berdasarkan
dua riwayat pendapat beliau dalam masalah menghidupkan malam dua hari
raya untuk ibadah. Dalam satu riwayat beliau mengatakan, tidak mustahab
(dianjurkan) menghidupkan malam tersebut secara berjama’ah karena
hal itu tidak ada sama sekali dinukil dan Nabi Saw. juga para sahabat.
Dalam riwayat lain, beliau mengatakan hal itu mustahab berdasarkan
apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Yazid bin Aswad dari kalangan
tabi’in. Begitu pula halnya dengan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban
untuk beribadah, tidak ada dinukil dari Nabi Saw. dan juga para
sahabatnya, hanya saja sekelompok tabi’in dari kalangan ulama Syam
pernah melakukannya.
Demikianlah,
secara ringkas perkataan al-Hafiz Ibnu Rajab dalam masalah tersebut. Secara tegas
beliau mengatakan bahwa tidak ada sama sekali dinukil dari Nabi Saw. dan
para sahabatnya tentang beribadah secara khusus pada malam Nisfu Sya’ban.
Sedangkan pendapat Auza’i tentang dianjurkannya beribadah pada malam
tersebut secara perorangan dan diikuti oleh al-Hafiz Ibnu Rajab adalah lemah,
karena segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syari’at maka hal itu tidak
boleh dilakukan oleh seorang muslim baik secara berjama’ah atau sendirian baik
secara sembunyi ataupun terang-terangan, berdasarkan sabda Nabi Saw.: “Barangsiapa
yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka
amalan itu akan ditolak.” Dan dalil-dalil umum lainnya yang menunjukkan
pengingkaran terhadap perbuatan bid’ah dan menghindarinya.
Imam
Abu Bakar ath-Tharthusyi dalam bukunya “Al-Hawadits wa al-Bida”, mengatakan:
“Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, beliau berkata:
“Kami tidak mendapatkan seorangpun di antara guru dan ulama kami, yang
memberikan perhatian khsusus kepada malam Nisfu Sya’ban. Mereka juga
tidak menoleh (berhujjah) kepada hadits Makhul dan tidak pula melihat
adanya keutamaan khusus beribadah pada malam tersebut”.
Seseorang
mengatakan kepada Ibnu Abi Maikah bahwa Ziyad an-Numairi berkata: “Sesungguhnya
pahala beribadah pada malam Nisfu Sya’ban sama dengan pahala
beribadah pada malam “Lailatul Qadar”. Beliau menjawab: “Kalaulah aku
yang mendengarnya, kemudian di tanganku ada tongkat, niscaya aku
akan memukulnya. Ziyad terkenal sebagai seorang ahli bercerita.”
Imam
asy-Syaukani dalam bukunya “Al-Fawaid Majmu’ah” berkata: “Hadits yang
berbunyi: “Hai Ali, barangsiapa yang melakukan shalat seratus raka’at
pada malam Nisfu Sya’ban, yang mana pada setiap raka’at dia membaca al-Fatihah
dan al-Ikhlas sebanyak sepuluh kali maka Allah akan memenuhi semua
hajatnya.” Hadits tersebut adalah palsu, dari lafal yang menerangkan
ganjaran pahala bagi pelakunya. Seorang yang berakal, tidak akan
menragukan kepalsuannya, disamping sanadnya yang majhul (tidak
dikenal). Hadits ini juga diriwayatkan dari dua jalur sanad yang
lain, tetapi semuanya adalah palsu dan para rawinya majhul (tidak
dikenal)”.
Dalam
bukunya “Al-Mukhtashar” Imam asy-Syaukani berkata: “Hadits tentang
shalat pada Nisfu Sya’ban adalah bathil. Adapun riwayat Ibnu
Hibban dari Ali: “Apabila datang malam Nisfu Sya’ban, maka lakukanlah
qiyamullail dan berpuasalah pada siangnya, adalah lemah”.
Dalam
bukunya “Allaali” Imam Suyuti berkata: “Seratus raka’at pada malam
Nisfu Sya’ban (dengan membaca) al-Ikhlas sepuluh kali”, beserta banyak lagi
keutamaan lainnya yang diriwayatkan oleh Dilami dan lainnya adalah maudhu’
(palsu), mayoritas perawinya pada ketiga jalur sanadnya adalah majhul dan
dhaif”. Dia juga berkata: “Dua belas raka’at dan empat belas
raka’at dengan (membaca surat) al-Ikhlas tiga puluh kali (pada setiap
raka’at) adalah maudhu’ (palsu)”.
Sebagian
ahli fiqih, seperti pengarang buku “Ihya Ulumuddin”, begitu juga
sebagian ahli tafsir terkecoh dan berpegang dengan hadits tersebut. Hadits
tentang melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan
melalui beberapa jalur sanad yang berbeda-beda. Namun semuanya adalah bathil
dan maudhu’. Ini tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits
‘Aisyah yang menjelaskan perginya Rasulullah Saw. ke Baqi’ dan turunnya Tuhan
pada Nisfu Sya’ban ke langit dunia, mengampunkan dosa-dosa manusia
sekalipun lebih banyak dari bulu-bulu domba bani Kalb. Karena pembicaraan di sini
adalah tentang shalat yang dibuat-buat pada malam tersebut. Disamping itu,
sanad hadits ‘Aisyah itu lemah dan terputus, begitu juga hadits Ali di atas
yang menganjurkan qiyamullail pada malam itu. Ini tidak menafikan kedudukan
shalat ini sebagai yang diada-adakan, disamping lemahnya hadits tersebut, sebagaimana
yang telah kita uraikan.
Al-Hafidz
al-‘Iraqi berkata: “Hadits tentang shalat malam Nishfu Sya’ban adalah
maudhu’ dan bohong terhadap Rasulullah Saw.”
Imam
an-Nawawi dalam bukunya “Al-Majmu’” berkata: “Shalat yang dikenal
dengan shalat Raghaib, yaitu dua belas raka’at antara Maghrib dan
Isya pada malam Jum’at yang pertama dari bulan Rajab, begitu juga shalat
malam Nishfu Sya’ban seratus raka’at, kedua-duanya disebutkan dalam
buku “Quutul Quluub” dan buku “Ihya Ulumiddin”, dan karena adanya hadits
yang menjelaskan keduanya. Karena semua itu adalah bathil. Dan
juga jangan terpedaya dengan beberapa ulama yang menulis tentang
dianjurkannya kedua macam shalat tersebut, karena mereka dalam hal ini
adalah shalat.”
Syaikh
Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah menulis sebuah buku yang
sangat berharga dan bagus sekali tentang kebathilan kedua macam shalat
tersebut. Perkataan ulama dalam masalah ini banyak sekali dan akan sangat panjang
lebar kalau kita menukil seluruhnya. Semoga apa yang telah kita paparkan, bisa
memuaskan para pembaca. Dari ayat-ayat, hadits-hadits dan perkataan ulama di atas,
jelaslah bagi siapa saja menginginkan kebenaran bahwa memperingati dan menghidupkan
malam Nisfu Sya’ban dengan shalat dan ibadah lainnya serta mengkhususkan
siangnya dengan puasa adalah bid’ah yang munkar menurut pendapat kebanyakan
ulama, dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at. Bahkan ia merupakan
hal yang diada-adakan dalam Islam setelah masa para sahabat. Dan cukuplah bagi
siapa saja menginginkan yang haq dalam masalah ini, firman Allah: “Pada hari
ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku
cukupkan nikmatKu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS.
al-Maidah ayat 3).
Dan
ayat-ayat lain yang semakna dengannya, begitu pula sabda Rasulullah Saw.: “Barangsiapa
yang mengada-adakan dalam urusan agama kami tanpa ada dasarnya, maka
hal itu akan ditolak (tidak diterima).” Dan hadits-hadits lain yang senada
dengannya. Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Ra., Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam-malam
lainnya dengan shalat dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang
harinya dengan puasa kecuali kalau itu adalah puasa yang telah
dibiasakan oleh salah seorang kamu.” Seandainya boleh kita
mengkhususkan suatu malam untuk ibadah tertentu, tentu malam Jum’at lebih patut
untuk hal itu daripada malam lainnya karena Jum’at adalah hari yang paling baik
daripada hari-hari yang ada.
Berdasarkan
beberapa hadits yang shahih dari Rasulullah Saw. Kalau Rasulullah Saw. telah melarang
kita untuk mengkhususkan malamnya dengan ibadah, tentu mengkhususkan malam-malam
yang lain dengan ibadah tertentu akan lebih terlarang lagi. Maka tidak boleh
mengkhususkan malam tertentu dengan ibadah tertentu kecuali berdasarkan hadits
shahih yang menunjukkan pengkhususan tersebut. Seperti malam Lailatul Qadar dan
malam-malam Ramadhan, tatkala disyari’atkan untuk menghidupkan dan memperbanyak
ibadah padanya maka Rasulullah Saw. mengingatkan bahkan menganjurkan umat untuk
melakukan qiyamullail di malam-malam tersebut. Dan beliau sendiri melakukannya,
sebagaimana yang tertera dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan qiyam pada (malam-malam) Ramadhan dengan
penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan
mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Barangsiapa yang melakukan
qiyam pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan
harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang
telah lalu.”
Seandainya
disyari’atkan untuk mengkhususkan ibadah tertentu pada malam Nisfu Sya’ban atau
malam Jum’at yang pertama dari bulan Rajab atau malam Isra’ dan Mi’raj maka
pasti Rasulullah Saw. menganjurkan umat untuk melakukannya dan beliau sendiri
akan mengamalkannya. Dan kalau hal itu ada terjadi, niscaya para sahabat
menukilnya kepada umat dan mereka pasti tidak akan menyembunyikannya karena
mereka adalah sebaik-baik pemberi nasehat setelah para Nabi. Semoga Allah
meridhai para sahabat Rasulullah Saw.
Di
atas telah anda ketahui bahwa tidak ada satupun nukilan yang shahih dari
Rasulullah Saw. dan para sahabat dari Rasulullah Saw. Dan para sahabat tentang
keutamaan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, begitu pula malam Nisfu
Sya’ban. Maka memperingati keduanya merupakan perbuatan bid’ah yang
munkar. Begitu pula dengan malam keduapuluh tujuh Rajab, yang diyakini sebagian
orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj. Tidak boleh mengkhususkannya dengan
ibadah tertentu, begitu pula merayakannya berdasarkanm dalil-dalil di atas. Ini
kalau benar terjadi pada malam tersebut, padahal menurut pendapat ulama yang
benar bahwa malam Isra’ dan Mi’raj itu tidak diketahui.
Adapun
pendapat yang mengatakan terjadinya pada malam keduapuluh tujuh Rajab adalah
bathil. Tidak ada hadits shahih yang mendasarinya. Benarlah apa yang dikatakan seorang
ulama pujangga: “Sebaik-baik perkara adalah yang dilakukan berdasarkan
petunjuk, sedangkan sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah perbuatan
bid’ah yang diada-adakan.”
Tanggapan Al-Habib
Mundzir Al-Musawa Mengenai Pengingkaran atas Malam Nisfu Sya’ban:
Mengenai
doa di malam Nisfu Sya’ban adalah sunnah Rasul saw., sebagaimana hadits-hadits
berikut:
Sabda
Rasulullah Saw.: “Allah mengawasi dan memandang hamba-hambaNya
di malam Nisfu Sya’ban, lalu mengampuni dosa-dosa mereka semuanya
kecuali musyrik dan orang yang pemarah pada sesama muslimin.” (Shahih
Ibn Hibban hadits no.5755).
Berkata
Aisyah Ra.: “Di suatu malam aku kehilangan Rasul saw., dan
kutemukan beliau saw. sedang di pekuburan Baqi’, beliau
mengangkat kepalanya ke arah langit, seraya bersabda: “Sungguh
Allah turun ke langit bumi di malam Nisfu Sya’ban dan mengampuni
dosa-dosa hambaNya sebanyak lebih dari jumlah bulu anjing
dan domba.” (Musnad Imam Ahmad hadits no.24825).
Berkata
Imam Syafi’i rahimahullah: “Doa mustajab adalah pada 5 malam,
yaitu malam Jum’at, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam
pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya’ban.” (Sunan al-Kubra
Imam Baihaqiy juz 3 halaman 319).
Dengan
fatwa ini maka kita memperbanyak doa di malam itu, jelas pula bahwa doa
tak bisa dilarang kapanpun dan di manapun, bila mereka melarang
doa maka hendaknya mereka menunjukkan dalilnya. Bila mereka
meminta riwayat cara berdoa, maka alangkah bodohnya mereka tak memahami
caranya doa, karena caranya adalah meminta kepada Allah. Pelarangan
akan hal ini merupakan perbuatan mungkar dan sesat, sebagaimana sabda
Rasulullah Saw.: “Sungguh sebesar-besarnya dosa muslim dengan
muslim lainnya adalah pertanyaan yang membuat hal yang halal
dilakukan menjadi haram, karena sebab pertanyaannya.”(Shahih
Muslim).
Pertama,
waktunya
adalah 14 Sya’ban malam 15 Sya’ban.
Kedua,
yang
paling pokok adalah berdoa, karena memang ada pendapat para mufassirin
bahwa malam Nisfu Sya’ban adalah malam ditentukannya banyak takdir
kita, walaupun pendapat yang lebih kuat adalah pada malam Lailatul
Qadar. Namun bukan berarti pendapat yang pertama ini batil,
karena diakui oleh para muhadditsin, bisa saja saya cantumkan seluruh
fatwa mereka akan malam Nisfu Sya’ban beserta bahasa Arabnya, namun
saya kira tak perlulah kita memperpanjang masalah ini pada orang yang
dangkal pemahaman syariahnya.
Para
ulama kita menyarankan untuk membaca surat Yasin 3x, itu pula haram
seseorang mengingkarinya, kenapa dilarang? Apa dalilnya melarang
seseorang membaca surat al-Qur’an? Melarangnya adalah haram secara
mutlak. Sebagaimana imam Masjid Quba yang selalu menyertakan
surat al-Ikhlas bila ia menjadi Imam, selalu ia membaca surat al-Ikhlas di
setiap rakaatnya setelah surat al-Fatihah, ia membaca al-Fatihah,
lalu al-Ikhlas, baru surat lainnya. Demikian di setiap rakaat ia lakukan, dan demikian
pada setiap shalatnya, bukankah ini kebiasaan yang tak diajarkan oleh Rasul Saw.?
Bukankah ini menambah-nambahi bacaan dalam shalat? Maka makmumnya berdatangan
pada Rasul Saw. seraya mengadukannya, maka Rasul Saw. memanggilnya dan bertanya
mengapa ia berbuat demikian, dan orang itu menjawab: “Inniy uhibbuhaa
(aku mencintainya)”, yaitu ia mencintai surat al-Ikhlas, hingga selalu
menggandengkan al-Ikhlas dengan al-Fatihah pada setiap rakaat dalam shalatnya.
Apa
jawaban Rasul Saw.?, beliau bersabda: “Hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah
(cintamu pada surat al-Ikhlas itulah yang akan
membuatmu masuk surga).” Hadits ini dua kali diriwayatkan dalam
Shahih Bukhari. Dan Shahih Bukhari adalah kitab hadits yang terkuat
dari seluruh kitab hadits lainnya untuk dijadikan dalil.
Akan
jelaslah Rasul Saw. tidak melarang ide-ide baru yang datang dari iman, selama
tidak merubah syariah yang telah ada, apalagi hal itu merupakan
kebaikan. Dan doa Nisfu Sya’ban adalah mulia, apa yang diminta?
panjang umur dalam taat pada Allah, diampuni dosa-dosa, diwafatkan dalam
husnul khatimah.
Salahkah
doa seperti ini? Akankah perkumpulan seperti ini dibubarkan dan
ditentang? Tunjukkan pada saya satu hadits shahih atau dhoif yang
melarang doa di malam Nisfu Sya’ban? tidak ada!. Beramal dengan
hadits dhoif adalah boleh, bukan dijadikan dalil hukum syariah, bukan
dijadikan dalil hukum fardhu atau hukum jinayat atau hukum syariah
lainnya.
Mereka
tak bisa membedakan antara amal ibadah mustahab dengan hukum
fardhu dan syara. Nisfu Sya’ban tak ada perayaan, siapa pula yang
merayakannya? cuma Wahabi (gelar bagi penganut faham Ibn Abdul Wahhab,
sebagaimana pengikut madzhab Imam Malik disebut Malikiy, pengikut
Imam Syafi’i disebut Syafi’iy) saja yang menuduhnya, kalau untuk
kelompok mereka tidak ada istilah bid’ah dan musyrik, walau dengan berpesta
dan memajang foto-fotonya di masjid dan di mana-mana. Itu sih tidak
mengapa, juga hari ulang tahun kelompoknya, mengadakan pesta besar-besaran
dengan menggelar panggung artis dan musik, itu sih tidak mengapa
tapi Nisfu Sya’ban bid’ah.
Mengenai
fatwa Ibn Baz yang menentang malam Nisfu Sya’ban, tentunya Imam Syafii
lebih mulia dari seribu orang semacam pengingkar tersebut, karena
Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum Imam Bukhari lahir, dan ia adalah
guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal
itu hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya. Dan Imam
Ahmad bin Hanbal berkata: “20 tahun aku berdoa setiap malam untuk
Imam Syafii, dan Imam Syafii adalah Imam besar yang ratusan
para Imam mengikuti madzhabnya.”
Mengenai
Imam Ghazali beliau adalah Hujjatul Islam, telah hafal lebih dari
300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan bukunya Ihya diakui
oleh banyak para Fuqaha dan Huffadz. Berbeda dengan para Wahabi yang
diakui sebagai imam padahal mereka tak satupun sampai ke derajat al-Hafidz
(hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya), tapi fatwanya
menghukumi hadits-hadits seakan mereka itu para Nabi, dan ulama
lain adalah bodoh.
0 komentar:
Posting Komentar