ADIPATI UNUS SULTAN DEMAK II
I. silsilah Syaikh Maulana Khaliqul Abdul Idrus dan Trah Keturunannya di Jawa
Siapakah yang dimaksud dengan tokoh Adipati Unus, seorang Senopati Perang Kasultanan Demak Bintoro yang kemudian menjadi Sultan Demak Bintoro yang ke-II? Berdasarkan beberapa sumber catatan sejarah, misalnya pada catatan Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, atau Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa nama asli Adipati Unus adalah Raden Mas Abdul Qadir al-Idrus Bin Raden Mas Muhammad Yunus al-Idrus dari Jepara. Raden Mas Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Negeri Parsi yang dikenal dengan sebutan Hadratus Syaikh Maulana Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Negeri Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an Masehi.
Silsilah beliau, antara lain: Raden Mas Abdul Qadir al-Idrus bin Raden Mas Muhammad Yunus al-Idrus bin Hadratusy Syaikh Maulana Abdul Khaliq al-Idrus bin Hadratusy Syaikh Maulana Muhammad al-Alsiy [w. di Parsi] bin Hadratusy Syaikh Maulana Abdul Muhyi al-Khayri [w. di al-Quds, Palestina] bin Hadratusy Syaikh Maulana Muhammad Akbar al-Ansari [w. di Madinah al-Munawwaroh] bin Syaikh Maulana Abdul Wahhab [w. di Mekkah al-Mukaromah] bin Hadratusy Syaikh Maulana Yusuf al-Mukhrowi [w. di Parsi] bin Sayyid Imam Akbar Hadratusy Syaikh Maulana Muhammad al-Faqih al-Muqaddam [w. di Hadramaut, Yaman] bin Abdillah.
Imam al-Faqih al-Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M adalah keturunan cucu Nabi Muhammad saw. Dari jalur Sayyid asy-Syuhada Imam Husain ra. putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra.
Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah di Asia Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di Delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal mengislamkan tanah Jawa.
Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama diberi gelar Sultan Alam Akbar al-Fattah. Di sini terbukalah rahasia kenapa beliau Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibunda beliau adalah cucu Ulama Besar Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya.
Kembali ke kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra beliau yang bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka dikenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.
II. Riwayat Adipati Unus Raden Mas Abdul Qadir Bin Muhammad Yunus al-Idrus
Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil menantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Dari pernikahan ini beliau diketahui memiliki dua putra. Kedua putra beliau yang merupakan cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam ekspedisi besar yang fatal yang segera merubah nasib Kesultanan Demak.
Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis di tahun 1511 M, maka Kesultanan Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah seperti yang disebut di muka adalah ibundanya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.
Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan yang kedua Pati Unus dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511 M. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelar beliau yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka Negara Kretabhumi.
Tahun 1512 M, giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 M dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.
Di tahun 1518 M, Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar al-Fattah mangkat, beliau berwasiat supaya menantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (patrilineal)-nya adalah keturunan Arab dan Parsi menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar ats-Tsaniy.
Memasuki tahun 1521 M, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemudahan dan kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau (yang masih sangat remaja) dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi (yang juga masih sangat remaja) dari seorang isteri, putri Syeikh as-Sultan Sayid Ismail, Pulau Besar, dengan resiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya.
Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.
Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng Malaka.
Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai syahid karena kewajiban membela sesama muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat di tahun 1521 M ini. Melalui situs keturunan Portugis di Malaka (kaum Papia Kristang) hanya terdapat kegagahan Portugis dalam mengusir Armada tanah Jawa (ekspedisi I) tahun 1513 M dan Armada Johor dalam banyak pertempuran kecil.
Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur di bawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah Pati Unus gugur. Satu riwayat yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan ke-2 yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa, Fadhlullah Khan alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.
Kegagalan ekspedisi jihad yang ke-2 ke Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor-faktor internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan-kesultanan Indonesia.
Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam mengislamkan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danaunya orang Malaya (Melayu).
Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di Seberang Utara. Pimpinan Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falathehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa tahun 1527 M. Diambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri beliau yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.
Dengan selamatnya putra Pati Unus yang kedua yaitu Raden Abdullah, maka sungguh Allah hendak melestarikan keturunan para syahid, seperti yang terjadi pada pembantaian cucu nabi Muhammad, Imam Husain dan keluarganya ternyata keturunan beliau justru menjadi berkembang besar dengan selamatnya putra beliau Imam Zainal Abidin. Bukan kebetulan pula bila Pati Unus pun seperti yang disebut di atas adalah keturunan Imam Husain cucu Nabi Muhammad saw., karena hanya Pahlawan besar yang melahirkan Pahlawan besar.
III. Sejarah Demak Pasca Gugurnya Adipati Unus
Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor tahun 1521 M, terjadi perebutan takhta antara kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana. Putra sulung Trenggana, yaitu Raden Mukmin (nama kecil Sunan Prawoto), mengirim utusan untuk membunuh Raden Kikin di tepi sungai. Sejak itu Raden Kikin terkenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen (artinya, "bunga yang gugur di sungai"). Raden Trenggana pun naik takhta, bergelar Sultan Trenggana.
Pada tahun 1524 M, datang seorang pemuda dari Pasai bernama Fatahillah. Sultan Trenggana menyukainya dan menikahkan pemuda itu dengan adiknya, yaitu Ratu Pembayun (janda Pangeran Jayakelana putra Sunan Gunung Jati). Sebaliknya, Fatahillah juga memperkenalkan pemakaian gelar bernuansa Arab sebagaimana yang lazim dipakai oleh raja-raja Islam di Sumatra. Maka, Sultan Trenggana kemudian juga bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.
Tokoh Fatahillah inilah yang pada tahun 1527 M dikirim membantu Sunan Gunung Jati raja Cirebon menghadapi Pajajaran dan Portugis. Ia berhasil membebaskan pelabuhan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau Jakarta.
Upacara pernikahan Fatahillah tahun 1524 M dikejutkan dengan berita kematian Sunan Ngudung dalam perang melawan Majapahit. Adapun ibu kota Majapahit saat itu sudah pindah ke Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana. Raja Majapahit ini hanyalah bersifat simbol, karena pemerintahan dikendalikan penuh oleh Patih Hudara. Sang Patih juga menjalin persahabatan dengan Portugis untuk memerangi Demak.
Akhirnya pada tahun 1527 M pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus (putra Sunan Ngudung) berhasil mengalahkan Majapahit. Kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu itu akhirnya musnah sama sekali. Selain itu Tuban juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Penguasa Tuban menurut catatan Portugis bernama Pate Vira, seorang muslim tapi setia kepada Majapahit. Berita ini menunjukkan kalau perang antara Demak dan Majapahit dilandasi persaingan kekuasaan, bukan karena sentimen antara agama Islam dan Hindu.
Pada tahun 1528 M Sultan Trenggana menaklukkan Wirasari, kemudian Gagelang atau Gelanggelang (Madiun) tahun 1529 M, Medangkungan (Blora) tahun 1530 M, Surabaya tahun 1531 M dan Pasuruan tahun 1535 M. Hampir sebagian besar penyerangan terhadap daerah-daerah tersebut dipimpin oleh Trenggana sendiri.
Antara tahun 1541-1542 M, Demak menaklukkan Lamongan, Blitar dan Wirasaba (Mojoagung, Jombang). Gunung Penanggungan yang menjadi pusat sisa-sisa pelarian Majapahit direbut tahun 1543 M. Kemudian Kerajaan Sengguruh di Malang, yang pernah menyerang Giri Kedaton, dikalahkan tahun 1545 M.
Pada tahun 1543 M, Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga pindah ke Demak. Sunan Kalijaga sendiri sebelumnya membantu Sunan Gunung Jati berdakwah di Cirebon. Beberapa waktu kemudian terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Dalam hal ini Sultan Trenggana lebih memilih pendapat Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak. Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan diberi tanah perdikan di Kadilangu.
Berita kematian Sultan Trenggana ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto.
Pada tahun 1546 M, Sultan Trenggana menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten.
IV. Jejak Syiar Dan Pengabdian Keturunan Adipati Yunus pada Nusa Jawa
Ketika Armada Islam mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden Abdullah diajak pula untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para komandan dan penasehat armada yang masih saling berkerabat satu sama lain sangat khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan takhta mengingat sepeninggal Pati Unus. Sebagian orang di Demak merasa lebih berhak untuk mewarisi kesultanan Demak karena Pati Unus hanya menantu Raden Patah dan keturunan Pati Unus (secara patrilineal) adalah keturunan Arab seperti keluarga Kesultanan Banten dan Cirebon, sementara Raden Patah adalah keturunan Arab hanya dari pihak Ibu sedangkan secara patrilineal (garis laki-laki terus menerus dari pihak ayah, Brawijaya) adalah murni keturunan Jawa (Majapahit).
Kebanggaan Orang Jawa sebagai orang Jawa walaupun sudah menerima Islam berbeda dengan sikap orang Pasundan setelah menerima Islam berkenan menerima Raja mereka dari keturunan Arab seperti Sultan Cirebon Sunan Gunung Jati dan putranya, Sultan Banten Mawlana Hasanuddin. Kebanggaan orang Jawa sebagai bangsa yang punya identitas sendiri, dengan gugurnya Pati Unus, membuka kembali konflik lama yang terpendam di bawah kewibawaan dan keadilan yang bersinar dari Pati Unus. Kisah ini nyaris mirip dengan gugurnya Khalifah umat Islam ketiga di Madinah, Utsman bin Affan, yang segera membuka kembali konflik lama antara banyak kelompok yang sudah lama saling bertikai di Mekah dan Madinah.
Sedangkan di tanah Jawa, sejak Islam merata masuk hingga pelosok di bawah kepeloporan kesultanan Demak pada akhirnya timbul persaingan antara kaum muslim 'Santri' di pesisir dengan muslim 'Abangan' di pedalaman yang berakibat fatal dengan perang saudara berkelanjutan antara Demak, Pajang dan Mataram.
Sebagian riwayat turun-temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ketiga, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke-II, Mawlana Yusuf, (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan. Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten, seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke-III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke-IV Mawlana Abdul Qadir.
Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir tahun 1579 M, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke-II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk di bawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebutkan di atas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan. Setelah beliau wafat, kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683 M), dan membuat keraton Pakuan Islam, sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.
Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan Panembahan Senopati ketika Mataram resmi menguasai Priangan Timur pada tahun 1595 M.
Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha mengislamkan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).
Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha pengislaman Priangan Timur. Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena di dalam pasukan beliau banyak terdapat keturunan Melayu Malaka.
Raden Surya di tahun 1580 M diangkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579 M, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada saat 1585-1595 M. wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilayah Priangan menaklukkan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering didengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata.
V. Hubungan Trah Adipati Unus dengan Dinasti Penguasa Kasultanan Mataram
Sekitar tahun 1595 M, Panembahan Senopati dari Mataram mengirim ekspedisi hingga Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun, kehilangan banyak wilayah termasuk Galuh Islam. Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat Panembahan Senopati sebagai Penasehat beliau untuk perluasan wilayah Priangan dan diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.
Di sekitar tahun 1620 M, salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak di tahun 1635 M resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke-VIII dan di masa ini dipindahkanlah ibukota Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek yang bergelar Raden Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901 M. Setelah beliau pensiun maka ibukota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.
VI. Trah Wongsopati dan Sejarah Kejayaan Kasultanan Demak hingga Era Mataram
Kisah ini bermula dari kejayaan Kasultanan Demak Bintoro yang berhasil menaklukkan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya V, serta sekaligus dengan dukungan Dewan Wali Songo telah mengislamkan tanah Jawa, bahkan beberapa kerajaan di Nusantara dari masa sekitar tahun 1400 M hingga akhir 1500 M. Singkat cerita, Sultan Demak Alam Akbar al-Fattah I mempunyai seorang puteri yang dinikahkan dengan Adipati ibnu Yunus, atau Raden Mas Abdul Qadir al-Idrus bin Muhammad Yunus al-Idrus atas keperwiraannya menjadi salah satu Senopati Perang Kasultanan Demak yang sukses dalam berbagai ekspedisi militer maritimnya.
Melalui beberapa narasumber dalam lingkungan keluarga Trah Wongsopati di Kalasan, serta berbagai sumber dokumen sejarah. Bahkan penelusuran sejarah ini masih diupayakan detail-detail kronologi, pencatatan waktu dan tempat, tempat-tempat petilasan tempat tinggal, pemakaman, peninggalan kisah sejarahnya, peta perjalanan sejarah kehidupannya, peninggalan Kitab, ajaran kebainan atau tradisi kearifan lokal, peninggalan pusaka, atribut dan sebagainya, bukan untuk dikeramatkan melainkan sebagai bukti sejarah yang nyata. Sebab, bagaimanapun generasi muda selayaknya banyak belajar dari sejarah generasi sebelumnya, para pendahulunya, leluhurnya yang dengan informasi tersebut maka keluhuran budi pekerti sebagai seorang mukmin akan terus terpelihara, dan semangat keperwiraan yang mengalir dalam DNA darah para penerus akan terus berkobar dalam semangat mewujudkan cita-cita mulia para pendahulunya. Bagi manusia Jawa, mengenal Asal-usul dan jati diri menjadi suatu persyaratan dasar untuk menjadi Manusia Utama, atau al-Insan al-Hanif yang berguna bagi hidup serta kehidupan.
Berikut silsilah atau hubungan darah yang menjelaskan bagaimana lahirnya Trah Wongsopati yang menjadi Pusaka Pepundhen di Klero; Prambanan, Sleman, Ngayogyakarto Hadiningrat, dan selanjutnya menyambung ikatan darah dengan Eyang Kakung Kalasan Kanjeng Raden Tumenggung Hasan Midaryo [Klero,1921-Kalasan,2004].
VII.
1. Awal Garis Merah dari Babad Demak Bintoro, Babad Pajang hingga Babad Mataram
Dalam Babad Demak, Babad Tanah Jawi maupun Babad Walisongo, banyak dikisahkan bahwa Kanjeng Sultan Maulana Fattah Akbar Senopati Djimbun ing Kasulthanan Demak Bintoro [1421-1518 M] mempunyai seorang istri putri dari Kanjeng Sunan Ampel Denta [Hadratusy Syaikh Maulana Ali Rahmatullah] yang bernama Kanjeng Gusti Ratu Mas Panggung Siti Asyikah Binti Kanjeng Syaikh Maulana Ali Rahmatullah Ampel Denta bin Kanjeng Syaikh Maulana Ibrahim Asmoro [as-Samarkand]. Setelah pernikahannya di Surabaya, maka lahirlah 6 anak keturunan Raden Patah dengan Gusti Ratu Mas Panggung, antara lain:
1. Kanjeng Gusti Raden Ayu Pembayun binti Raden Patah Sulthan Demak Bintoro-I
Raden Ayu Pembayun binti Raden Patah dinikahkan dengan Raden Mas Abdul Qadir al-Idrus bin Muhammad Yunus al-Idrus, atau dikenal sebagai Pati Unus, atau Kanjeng Pangeran Adipati Sabrang Lor. Selanjutnya, melalui keturunan salah satu putranya yang bernama Raden Mas Tedjo Kusumo yang menjadi Adipati Jogorogo lahirlah cikal bakal Trah Keturunan Kanjeng Panembahan Wongsopati di daerah Pegunungan Sewu atau Wukir Sewu perbatasan timur Kasultanan Mataram dengan Bumi Perdikan Bayat (Klaten). Dari garis silsilah inilah nasab Kanjeng Eyang Kalasan, yakni Kanjeng Raden Tumenggung Hasan Midaryo bertaut dengan sanad silsilah al-Idrus.
2. Kanjeng Gusti Pangeran Mas Haryo Sasongko bin Raden Patah Sultan Demak Bintoro-I
Raden Mas Haryo Sasongko Bin Raden Patah Sultan Demak Bintoro-I yang kemudian dikenal bergelar Kanjeng Pangeran Adipati Sabrang Kulon. Kisah Kanjeng Pangeran Adipati Sabrang Kulon ini agaknya tidak terlalu banyak sumber referensinya dalam berbagai babad.
3. Kanjeng Gusti Pangeran Mas Trenggono bin Raden Patah Sultan Demak Bintoro-I
Kanjeng Gusti Pangeran Mas Trenggono bin Raden Patah ingkang Jumeneng Nata Sultan Bintoro Kaping III, mempunyai keturunan antara lain:
1) Kanjeng Gusti Ratu Mas Kalinyamat binti Kanjeng Gusti Pangeran Mas Trenggono, yang dinikahkan dengan Kanjeng Sunan Prawoto, namun Kanjeng Sunan Prawoto kemudian wafat dalam suatu kudeta yang dilakukan oleh Adipati Jipang Panolan yang menginginkan tampuk kekuasaan Kasultanan Demak Bintoro. Selanjutnya, Kanjeng Gusti Ratu Mas Kalinyamat beserta para putrinya kemudian mengasingkan diri di suatu Goa di daerah Kalinyamat, Jepara.
Sultan Trenggana adalah raja ketiga Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1521-1546 m. Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa Timur. Sultan Trenggana adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel. Menurut Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483 M. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda).
2) Kanjeng Putri Ayu Cempaka Pembayun Binti Kanjeng Gusti Pangeran Mas Trenggono, yang dinikahkan dengan Jaka Tingkir atau Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo di Kasulthanan Pajang, cikal bakal Trah Dinasti Krathon Kartasura hingga Kraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegoro hingga kini.
3) Raden Mas Timur Bin Kanjeng Gusti Pangeran Mas Trenggono, wafat ketika masih kecil, dimakamkan di Sasanalaya Masjid Agung Demak Bintoro.
4. Kanjeng Raden Ayu Wulan binti Raden Patah Sultan Demak Bintoro-I
Kanjeng Raden Ayu Wulan binti Raden Patas Sultan Demak Bintoro-I, atau Kanjeng Gusti Ratu Mas Nyamat yang dinikahkan dengan Kanjeng Panembahan Cirebon, dan keturunannya banyak terdapat di Cirebon dan Banten, selain di dalam lingkungan Kraton Pakungwati Cirebon sebagai para perangkat Kerajaan, di antara keturunannya juga banyak yang keluar lingkungan Kraton Cirebon untuk menjadi para mubaligh yang mensyiarkan ajaran agama Islam ke daerah-daerah pinggiran dari Karawang, Lemah Abang, Bekasi, Batavia hingga beberapa wilayah pinggiran di Tasik Malaya dan Garut, Jawa Barat lainnya hingga Banten.
5. Raden Mas Wongkawa atau Raden Mas Kanduruwan bin Raden Patah Sultan Demak Bintoro-
Raden Mas Kanduruwan menjadi Adipati di Sumenep, Madura dan trah keturunannya banyak terdapat di daerah Jawa Timur dan Pulau Madura yang menjadi para Adipati, Bangsawan, maupun para tokoh Agama Islam.
6. Raden Mas Alit atau Kanjeng Gusti Pangeran Mas Pamekas.
Dikisahkan, beliau menjadi seorang pengembara yang lebih tertarik pada dunia Agama, khususnya Tasawuf Islam, hingga tidak begitu banyak narasumber atau sumber dokumentasi sejarah yang meriwayatkan perjalanan hidup Raden Mas Alit ini.
2. Garis Awal Trah Adipati Unus
Dalam catatan Silsilah Walisongo lan Babad Demak Bintoro di Makhtab Walisongo, Demak, Jawa Tengah disebutkan, bahwa silsilah nasab Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Unus, atau Kanjeng Gusti Pangeran Mas Maulana Abdul Qadir al-Idrus bin Kanjeng Gusti Pangeran Mas Muhammad Yunus al-Idrus dari Garis Nasab Bapak bertaut dengan Trah Keturunan Kanjeng Rasulullah saw., sebagai berikut:
1. Sayyidina Maulana Muhammad Rasulullah saw.
2. Siti Fatimah az-Zahro binti Muhammad saw. yang menikah dengan Sayyidina Ali al-Murtadho bin Abi Thalib kw.
3. Al-Imam Husain ra.
4. Al-Imam Ali Zainal Abidin.
5. Al-Imam Muhammad al-Baqir.
6. Al-Imam Ja’far ash-Shoddiq.
7. Al-Imam Ali al-‘Uraidhi.
8. Al-Imam Muhammad an-Naqib.
9. Al-Imam Isa ar-Rumi.
10. Al-Imam Ahmad al-Muhajir.
11. Al-Imam Ubaidillah.
12. Al-Imam Alawi.
13. Al-Imam Muhammad.
14. Al-Imam Alawi.
15. Al-Imam Ali Khali’ Qasam.
16. Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath.
17. Al-Imam Ali.
18. Al-Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (Hadramaut).
19. Syaikhuna Maulana Yusuf Al-Mukhrowi (Parsi).
20. Syaikhuna Maulana Abdul Wahhab (Makkah).
21. Syaikhuna Maulana Muhammad Akbar al-Anshori (Madinah).
22. Syaikhuna Abdul Muhyi al-Khayri (Palestina).
23. Syaikhuna Maulana Muhammad al-Alsiy (Parsi).
24. Syaikhuna Maulana Abdul Khaliqul Idrus al-Farsi (Jepara) [w. 1400]
25. Kanjeng Gusti Pangeran Mas Muhammad Yunus al-Idrus (Jepara).
26. Kanjeng Adipati Ibnu Yunus Sabrang Lor Maulana Abdul Qadir al-Idrus, menikah dengan Kanjeng Gusti Raden Ayu Pembayun binti Raden Patah Sulthan Demak Bintoro-I.
27. Kanjeng Pangeran Maulana Abdullah Hariyo Pamungkas Ing Sabrang Lor [w. 1528].
28. Kanjeng Panembahan Tedjo Kusumo ing Djogo Rogo [w. 1565],
berketurunan: Kanjeng Kyai Ageng Ampuhan, atau Kanjeng Raden Mas Haryo Wongso [wafat di Pralayan Wod Waru].
29. Kanjeng Kyai Ageng Ampuhan Kanjeng Raden Mas haryo Wongso, [w. 1587] berketurunan: Kanjeng Kyai Ageng Karang Lo Ing Tadji, [Pralayan Joro], Kanjeng Nyai Ageng Karotangan [Pager Gunung, Sasanalaya Trah Mangkuyudan], Kanjeng Gusti Pangeran Karang Gayam Pujonggo (Pajang).
30. Kanjeng Kyai Ageng Karang Lo ing Tadji [w. Joro, Prambanan, 1600 M] berketurunan: Kanjeng Raden Mas Haryo Tjokro Negoro, Kanjeng Kyai Ageng Djogo Makuto, Kanjeng Kyai Noyo Dipo, Kanjeng Raden Mas Megat Sari I, Kanjeng Adipati Tohpati ing Tulung, Kanjeng Kyai Tjutjuk Telon, Kyai Ageng Ragas sumare ing Karang Nongko, Nyai Ageng Selomarto, Kyai Tjutjuk Dandang, Raden Ngabei Duyandoko, Putri Ayu kagarwo Kanjeng Gusti Pangeran Mas Ronggo Bin Sultan Agung Hanyakra Kusumo (Mataram).
31. Kanjeng Adipati Tohpati Ing Tulung [w. 1645], [1675 s/d 1677 versi Babad Ing Sengkolo Geger Trunojoyo di Mataram].
32. Kanjeng Kyai Ageng Wongso Pati Ing Klero [w. 1680]
33. Kanjeng Kyai Ageng Rekso Pati Ing Klero [w. 1709]
34. Kanjeng Kyai Ageng Suto Menggolo Ing Klero [w. 1740]
35. Kanjeng Kyai Ageng Bongso Wirono Ing Klero [w. 1775]
36. Kanjeng Kyai Ageng Joyo Wirono Ing Klero [w. 1805]
37. Kanjeng Raden Mas Rono Rejo Ing Klero [w. 1885]
38. Kanjeng Raden Mas Wiro Sentono Ing Klero [w. 1901]
39. Kanjeng Kyai Muhammad Karto Sentono Ing Klero [w. 1927]
40. Kanjeng Raden Tumenggung Hasan Midaryo Ing Kalasan [w. 1921–2004].
Ismu Daly
[Disarikan dari berbagai sumber terbuka, antara lain: Nasab Silsilah Trah Kraton Majapahit, Nasab silsilah Trah Kasultanan Mataram, Nasab Silsilah Kasulthanan Banten, Nasab Silsilah Trah Kasultanan Cirebon, Nasab Silsilah Trah Kasultanan Demak, Sejarah Kota-kota Lama Jawa Barat, Negarakerthabumi Parwa I Sargha II, Berita-berita sumber Portugis abad 15-16 M].
Home »
Sejarah Islam Indonesia
» ADIPATI UNUS SULTAN DEMAK II
ADIPATI UNUS SULTAN DEMAK II
Written By MuslimMN on Rabu, 30 Maret 2011 | 01.13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Trah Wongsopati semoga Rahayu dan Sukses Dunia Akhirat
BalasHapus