Home » » ESTAFET DAKWAH RASULULLAH HINGGA PARA SUNAN SAMPAI PARA KIAYI KETURUNAN RASULULLAH

ESTAFET DAKWAH RASULULLAH HINGGA PARA SUNAN SAMPAI PARA KIAYI KETURUNAN RASULULLAH

Written By MuslimMN on Rabu, 30 Maret 2011 | 01.15

ESTAFET DAKWAH RASULULLAH HINGGA PARA SUNAN SAMPAI PARA KIAYI KETURUNAN RASULULLAH


Semua orang Madura dan hampir seluruh orang Jawa, khususnya kaum santri, pasti mengenal nama Asy-Syekh Muhammad Kholil yang oleh kebanyakan orang lebih dikenal dengan sebutan “Syaikona Kholil Bangkalan”. Dalam paket-paket ziarah makam-makam wali Madura, makam Syekh Kholil termasuk tiga “makam besar” yang pasti masuk dalam program, selain Makam Syekh Batu Ampar Pamekasan dan Syekh Yusuf Sumenep.
Mengingat nasab Syekh Kholil yang bersambung pada Al-Husain bin Fathimah binti Rasulillah saw, maka saya rasa akan lebih mengasyikkan kalau kita membicarakan tentang dua hal yang berkaitan dengan Syekh Kholil sebagai cucu Rasulullah SAW. Pertama, bahwa Syekh Kholil dan cucu-cucu Rasulullah lainnya -yang memiliki nasab jelas- membuktikan kebenaran janji Allah untuk memberi keturunan yang banyak kepada Rasulullah saw.
Kedua, bahwa Rasulullah saw. tidak hanya cukup bangga dengan jumlah keturunan yang banyak, melainkan beliau akan lebih bangga karena ternyata banyak sekali dari keturunan beliau yang menjadi orang berprestasi. Tentang dua hal ini, sebenarnya saya telah menulisnya dalam buku saya yang berjudul “Dari Kanjeng Nabi Sampai Kanjeng Sunan”. Namun masih sangat pas untuk dibicarakan kembali pada buku ini.

Keturunan Rasulullah saw. Memenuhi Belahan Bumi
Ketika Al-Qasim, putra Rasulullah, wafat dalam usia masih kecil, terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, di antara mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah dengan mengatakan bahwa beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliau, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu Allah menurunkan surat Al-Kautsar ayat pertama:
“Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.”
Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa Allah memberi banyak keturunan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’.
Sedangkan Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu:
“Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”
Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.
Sekedar gambaran, penulis memiliki banyak data tentang silsilah Ulama-ulama Pesantren yang dikenal sebagai “Kiai” Indonesia, khususnya Jawa (termasuk Madura), Hampir seratus persen dari mereka memiliki garis nasab pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti Kiai-kiai keturunan keluarga Azmatkhan, Basyaiban dan sebagainya. Kemudian, di berbagai daerah, kaum santri sangat dominan dipenuhi oleh keluarga-keluarga yang bernasab sama dengan Kiai-kiai itu, bedanya hanya karena beberapa generasi sebelum mereka tidak berprestasi seperti leluhur “keluarga Kiai”, sehingga setelah selisih beberapa generasi, mereka pun tidak dikenal sebagai “keluarga Kiai”, tapi hanya sebagai “keluarga santri”.
Di Madura ada semacam “pepatah” yang mengatakan bahwa kalau ada santri yang sampai bisa membaca “kitab kuning” maka pasti dia punya nasab pada “Bhujuk”. Bhujuk adalah julukan buat Ulama-ulama zaman dulu yang membabat alas dan berda’wah di Madura. Dan semua Bhujuk Madura memiliki nasab pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kebanyakan mereka keturunan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus. “Pepatah” itu memang hanya dibicarakan di kalangan “orang awam”, namun kenyataan memang sangat mendukung, hampir semua masyarakat pesantren di Madura adalah keturunan “Bhujuk”, sehingga tidak aneh bila dikatakan bahwa dari penduduk pulau Madura, orang yang bernasab pada Rasulullah lebih banyak daripada yang tidak.
Mungkin hal itu akan menimbulkan pertanyaan “mengapa bisa demikian?”, maka jawabannya adalah bahwa keluarga Bhujuk dan Kiai Madura dari zaman dulu memiliki anak lebih banyak dari pada orang biasa, apalagi hampir semua mereka dari zaman dulu –bahkan banyak juga yang sampai sekarang- memiliki istri lebih dari satu, merekapun tidak terlalu pilih-pilih nasab ketika menikahkan anak mereka, mereka cukup menerima ke-shaleh-an sebagai syarat utama menerima menantu, baik laki-laki maupun perempuan, maka tentu saja setelah puluhan generasi maka keturunan Bhujuk-bhujuk itu mendominan pulau Madura.
Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan kebanyakan mereka adalah keturunan “Sunan” dari perempuan?, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah sepakat untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Maka bila ada orang yang membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan maka berarti orang itu bukan penganut paham Islam dan bukan pula penganut “budaya berpendidikan.” Dan lebih “tidak berpendidikan” lagi orang yang mengatakan bahwa hubungan nasab keturunan anak perempuan terputus dari ayah si perempuan. Paham ini berakibat pada penolakan terhadap keturunan Rasulullah sebagai Ahlulbayt, ada banyak orang Arab awam yang berkata bahwa Rasulullah saw. tidak memiliki keturunan dari anak laki-laki, Hasan-Husain adalah putra Fathimah yang berarti putus nasab dari Rasulullah saw. Paham ini sebenarnya adalah warisan bangsa Arab jahiliyah yang pernah diabadikan dalam syair mereka:
بَنُوْناَ بَنُوْ أَبْناَئِناَ وَبَناَتُناَ بَنُوْهُنَّ أَبْناَءُ الرِّجاَلِ الأَباَعِدِ
“Anak-anak kami adalah keturunan dari anak-anak laki-laki kami. Adapun anak-anak perempuan kami, keturunan mereka adalah anak-anak orang lain.”
Cucu dari anak perempuan itu hanya keluar dari deretan daftar ahli waris, dalam istilah ilmu “Fara’idh” disebut “mahjub” (terhalang untuk mendapat warisan). Namun dalam deretan “dzurriyyah” (keturunan), cucu dari anak perempuan tidak beda dengan cucu dari anak laki-laki; mereka sama-sama cucu yang akan dipanggil “anakku” oleh kakek yang sama. Apabila kakek mereka adalah orang shaleh maka mereka sama-sama masuk dalam daftar keturunan yang akan mendapat berkah dan syafa’at leluhurnya, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman dan anak-cucu mereka mengikuti mereka dengan beriman, maka Kami gabungkan anak cucu mereka itu dengan mereka .. “ (Q.S. ath-Thur : 21)
Jadi, madzhab kita adalah bahwa cucu dari garis perempuan dan dari garis laki-laki itu sama-sama cucu, kalau kakek mereka ulama shaleh maka -insyaallah- mereka sama-sama akan mendapat berkah. Termasuk anak cucu Rasulullah saw., baik yang garis silsilahnya laki-laki semua hingga ke Rasulullah saw., maupun yang melaui garis perempuan.
Madzhab ini telah lama dianut oleh Kiai-kiai keturunan Walisongo, terbukti dengan banyaknya kiai-kiai yang menulis nasab mereka yang bersambung pada Walisongo melalui garis perempuan. Terbukti pula dengan yang dikenal oleh Kiai-kiai bahwa Syekh Kholil adalah cucu Sunan Gunung Jati, padahal nasab Syekh Kholil pada Sunan Gunung Jati melalui garis perempuan, sedangkan dari garis laki-laki bernasab pada Sunan Kudus.
Madzhab ini baru tergeser sejak kedatangan orang-orang Arab pendatang baru. Kebetulan, mereka datang dari sebuah budaya dan adat yang memarginalkan nasab garis perempuan. Terus terang saja, di hadapan mereka, pada umumnya keturunan Walisongo kalah fasih di dalam berbahasa Arab, penampilan dan perawakan juga kalah, ditambah lagi darah keturuan Walisongo telah banyak bercampur dengan darah pribumi yang “dingin”, membuat mereka pada umumnya berpembawaan lembut. Nah, hal itulah yang membuat keturunan Walisongo sering mengalah pada orang Arab pendatang baru, termasuk mengalah dengan klaim mereka bahwa pendapat yang benar adalah “terputusnya nasab garis perempuan”. Bahkan sebagian keturunan Walisongo -tentu saja yang tidak ‘alim-, saya lihat mereka bukan mengalah, akan tetapi lebih pas disebut “dibodohi”, mau-maunya mereka mecampakkan madzhab leluhur demi mengikuti madzhab baru yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kekuatan argumentasinya. Namun, kenyataan juga membuktikan bahwa ikut-ikutan mereka itu hanya ketika berhubungan dengan orang Arab pendatang baru.
Terbukti dengan komentar seorang santri Madura yang saya anggap mewakili santri lain yang semadzhab, santri itu pernah berkata pada seseorang anak pasangan lelaki Madura dan perempuan Arab: “Kamu bukan keturunan Arab, soalnya ibu kamu yang Arab.” Sementara ketika ia ditanya tentang siapakah Kiai Abdullah Sachal, maka kontan saja santri itu menjawab: “Kiai Abdullah Sachal adalah keturunan Syekh Kholil Bangkalan.” Padahal dia tahu persis bahwa Kiai Abdullah Sachal adalah cucu Syekh Kholil dari garis ibu. Mengapa kalau ibunya orang Arab disebut bukan keturunan Arab, sedangkan kalau ibunya bernasab pada Syekh Kholil disebut keturunan Syekh Kholil?! Tidak ada seorangpun santri Madura yang berpikir -apalagi sampai berani bilang- bahwa Kiai Abdullah Sachal putus nasab dari Syekh Kholil.
Ini menunjukkan kerancuan dan keraguan si santri di dalam bermadzhab, karena memang pada dasarnya semua santri Jawa dan Madura lebih cenderung pada madzhab Kiai-kiai yang diwarisi secara turun-temurun sejak Walisongo, bahwa tidak ada bedanya antara garis laki-laki dan garis perempuan, kecuali dalam bab waris yang memang telah dibedakan oleh Islam dengan suatu alasan yang positif dan rasional.
Kembali ke bab kita, bahwa di Madura banyak terdapat keluarga-keluarga yang memiliki nasab pada Rasulullah, maka seperti di Madura, begitu pula yang terjadi di berbagai wilayah masyarakat Pesantren lainnya di Jawa. Maka bayangkan saja, betapa keturunan Rasulullah saw. telah memenuhi pulau Jawa, belum lagi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain. Ditambah dengan “jamaah habaib” yang memang sudah dikenal dengan “status menonjol” sebagai keturunan Rasulullah saw.
Ini yang terjadi di Indonesia, dan demikian pula di negeri-negeri non Arab yang lain, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, India, Pakistan, Afrika dan sebagainya. Banyak dari mereka yang sudah membaur dengan penduduk setempat sehingga mereka tidak lagi dikenal sebagai “Habib”, “Sayyid” atau julukan-julukan lainnya. Dalam kitabnya, “’Allimu Auladakum Mahabbata Aalin Nabi”, Syekh Muhammad Abduh Yamani mengatakan bahwa di Afrika banyak terdapat orang-orang kulit hitam yang ternayata memegang silsilah pada Rasulullah.
Hal itu dikarenakan leluhur mereka berbaur dengan orang kulit hitam, bergaul dan menikah dalam rangka menjalin hubungan sebagai jembatan dakwah. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa masih banyak keturunan Rasulullah saw. yang tidak terdata dan tidak dikenal. Itu adalah gambaran jumlah keturunan Rasulullah saw. yang keluar dari tanah Arab dan tidak dikenal sebagai orang Arab. Jumlah yang amat besar ditambah dengan jumlah keturunan Rasulullah saw. yang di Arab.
Maka kenyataan ini membenarkan apa yang dinyatakan oleh Allah swt. dalam surat Al-Kautsar, bahwa Rasulullah saw. akan diberi karunia agung dengan memiliki keturunan yang amat banyak. Sehingga kalau saja beliau dan orang-orang sezaman beliau masih hidup saat ini, maka beliau akan memiliki keluarga terbesar yang tak tertandingi oleh yang lain. Bisa jadi, bila kita mengumpulkan semua keturunan Rasulullah saw. sejak zaman beliau hingga kini, kemudian kita mengumpulkan seratus orang dari sahabat-sahabat beliau beserta keturunan mereka hingga kini, maka jumlah keturunan beliau akan mengalahkan keturunan seratus orang sahabat beliau.

Anak-Cucu Berprestasi
Banyak anak itu identik dengan “barokah”, dan memang dapat dikatakan demikian, karena keturunan beriman itu sangat bermanfaat, walaupun mereka tidak sampai menjadi orang-orang hebat dan berprestasi. Adapun Rasulullah saw., beliau tidak hanya bisa bangga dengan banyak keturunan, melainkan beliau lebih bangga lagi karena ternyata keturunan beliau banyak melahirkan orang-orang hebat dan berprestasi.
Sebagai orang Asia, kita pantas tahu siapa orang-orang yang berjasa mengislamkan negeri-negeri Asia ini. Maka ketahuilah bahwa hampir semua mereka adalah keturunan Rasulullah saw.
Sering terjadi perselisihan pendapat tentang dari mana datangnya para penyebar Islam di negeri-negeri Asia, termasuk Indonesia. Namun kalau diteliti maka perselisihan itu ibarat tiga orang buta yang menggambarkan bentuk gajah. Yang pertama berkata bahwa gajah itu mirip daun yang lebar dan tebal, karena ia hanya pernah meraba telinga gajah. Yang kedua berkata bahwa gajah itu mirip cambuk, karena ia hanya pernah memegang ekornya. Yang ketiga berkata bahwa gajah itu mirip pipa tapi lunak, karena ia hanya pernah memegang belalainya.
Demikianlah perumpamaan orang-orang yang berselisih pendapat tentang dari mana asal para pembawa Islam ke Indonesia. Ada yang berkata bahwa mereka berasal dari India, karena ditemukan batu-batu ukir khas Gujarat pada makam-makam mereka. Ada yang berkata bahwa mereka berasal dari Persia, karena di Persia terdapat sebuah perkampungan kuno yang dikenal dengan sebutan Kampung Jawi. Ada yang berkata bahwa mereka berasal dari Cina, karena Sunan Ampel adalah kelahiran Cina. Yang lain berkata bahwa semua itu salah, adapun yang benar adalah bahwa mereka berasal dari Arab.
Semua pendapat itu sebenarnya sama-sama benar. Namun lebih gamblangnya adalah bahwa para penyebar Islam itu berasal dari Arab, mereka keluar dari Arab dan mulai masuk ke tanah India, kemudian mereka atau generasi penerus mereka melanjutkan dakwah ke tanah Persia dan daratan Cina sampai akhirnya masuk ke Indonesia.
Kebanyakan mereka adalah Ahlulbayt (keluarga Rasulullah saw.) keturunan Al-Husain, mereka datang dengan berbagai “profesi lahiriah”, ada yang tampil sebagai pedagang, politikus, pelancong dan sebaginya. Namun misi utama mereka adalah memperkenalkan Islam pada penduduk negeri-negeri.
Sejarah mencatat bahwa kedatangan Sayyid Abdul Malik bin Alawi ‘Ammu al-Faqih (kakek keluarga Azmatkhan) mengawali sejarah Islam di India, sejarah juga mencatat bagaimana putra beliau, Sayyid Abdullah Azmatkhan, bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, kemudian keturunan beliau juga mewarnai sejarah dakwah di Filiphina, Indonesia dan sekitarnya.
Dalam buku berjudul “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”, H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini menukil perkataan Van den Berg, bahwa pengaruh islam di kalangan pribumi Indonesia bersumber dari kaum Alawiyyin yang bergelar “Sayyid” dan “Syarif”. Berkat upaya dan kegiatan mereka itulah agama Islam tersebar di kalangan Kerajaan Hindu di pulau Jawa dan di pulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya yang berasal dari Hadhramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Kenyataan besarnya pengaruh kaum “Sayyid” dan kaum “Syarif” terpulang pada martabat mereka sebagai keturunan seorang Nabi dan Rasul pembawa agama Islam, yakni Nabi Muhammad saw.
Al-Hamid juga menukil perkataaan Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa sebagian besar penyebar agama Islam datang dari negeri jauh. Kebanyakan mereka dipanggil “Sayyid” karena mereka dari keturunan Al-Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad saw.
Tidak sedikit dari mereka yang sukses berdakwah dengan memanfaatkan kedudukan, mereka pun menunjukkan kecakapan mereka di dalam hal memimpin hingga mereka pun dipercaya untuk memimpin sebuah Kerajaan, dan setelah mereka menjadi penguasa maka merekapun menerapkan hukum Islam sebagai landasan pemerintahan Kerajaan mereka.
Buku “Sejarah Serawak” di perpustakaan “Rafles”, di Singapura, menyebutkan bahwa Sultan Barakat adalah seorang keturunan Al-Husain. Dijelaskan pula bahwa beliau datang dari Tha’if dengan sebuah kapal perang yang sangat terkenal pada saat itu. Nasab beliau adalah Barakat bin Thahir bin Isma’il (terkenal dengan nama julukan “Al-Bashriy“) bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir.
Disebutkan pula bahwa kaum Syarif di Makkah pada umumnya adalah keturunan Al-Hasan, mereka tidak melakukan penyebaran Islam ke seberang lautan. Adapun yang menyebarkan Islam hingga ke seberang lautan adalah kaum Sayyid keturunan Al-Husain yang berasal dari Hadhramaut. Kegiatan itu lebih gencar mereka lakukan setelah terjadinya penyerbuan kaum Khawarij sekte Abadhiyyah terhadap Hadhramaut. Kota tempat mereka bermukim adalah Bait Al-Jabir, termasuk pusat perniagaan di negeri itu. Mereka mengumpulkan bekal dari Mirbath, kemudian diangkut dengan kafilah ke Yaman.
Disebutkan pula bahwa sejarah kaum muslimin Filipina dan sejarah Sulu menyebutkan bahwa mereka berasal dari keturunan ‘Abdullah bin Alawi 'Ammu al-Faqih bin muhammad Shahib Mirbath.
Sayyid Abdullah bin Alawi adalah bersaudara dengan Sayyid Abdul Malik (kakek marga Azmatkhan) dan Sayyid Abdurrahman (kakek marga Al-Haddad dsb.). Semula, keturunan Sayyid Abdullah dianggap telah putus generasi, karena mereka meninggalkan Hadhramaut dan tidak ada kabar tentang mereka, sehingga pada beberapa generasi yang lalu Ulama ahli nasab tidak mencatat Sayyid Abdullah sebagai nenek moyang yang memiliki keturunan. Namun kini mereka telah mengetahui bahwa sejarah Filipina telah mencatat keberadaan keturunan beliau, walaupun sampai saat ini saya belum tahu apakah mereka sudah mengadakan kontak dengan keluarga yang di Yaman atau tidak.
Saya pernah beberapa kali melihat poster silsilah di beberapa rumah Habib, di mana di situ ada kesalahan dengan menulis Abdullah ini sebagai pemilik gelar “Azmatkhan”, mungkin penyusunnya salah menukil atau tertukar nama dengan Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan, karena memang –nampaknya- nama belakang Azmatkhan lebih populer ditulis di belakang nama Abdullah bin Abdul Malik ketimbang di belakang nama Abdul Malik-nya. Mungkin hal itu membuat penyusun poster itu menganggap bahwa Abdullah adalah orang pertama yang bergelar Azmatkhan, dan Abdullah pun tertukar lagi antara Abdullah bin Abdul Malik dan Abdullah bin Alawi (saudara Abdul Malik). Maka bagi yang memiliki poster itu saya harap untuk mencoretnya dan memberi catatan sebagai koreksi agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengambil referensi.
Da’i-da’i Ahlul-bayt bukan hanya memperkenalkan Islam pada orang-orang Asia, melainkan mereka juga mengajarkan budaya pelestarian dan pembukuan sejarah. Al-Hamid menukil bahwa di dalam buku berjudul “Department of The Interior Ethnological Survey Publication Studies in Moro History Law Relegioan“ (Manila Bireau of Republic Printing 1905), di dalam menyebut sejarah Mindanau, Naqeeb M. Saleeby berkata: “Sebelum kedatangan Islam tidak terdapat data sejarah yang akurat, dan tidak terdapat pula kisah atau cerita-cerita yang diingat orang. Setelah kedatangan Islam barulah tampak penyebaran ilmu (pengetahuan), peradaban dan berbagai kegiatan. Undang-undang Dasar yang baru ditetapkan bagi negara, ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditetapkan dan silsilah serta cabang-cabang keturunan dari orang besar dibakukan, kemudian dengan hati-hati dan dijaga baik-baik oleh semua Sultan dan para bangsawan”. Silsilah tersebut dibakukan dalam sebuah catatan sejarah yang tertulis dengan bahasa Melayu tinggi, terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
“Alhamdulillah, saya yakin sepenuhnya bahwa Allah menjadi saksi atas saya. Buku catatan ini berisi silsilah Rasulullah saw. (yaitu mereka) yang tiba di Mindanau. Sebagaimana diketahui, Rasulullah saw. mempunyai seorang putri bernama Fatimah Az-Zahra. Putri itu melahirkan dua orang Syarif… dst. Keturunan dari Muhammad (Al-Baqir) putra (Ali) Zainal Abidin (yakni mereka yang datang dari Johor) ialah Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah (Saudara Sayyid Abdul Malik Azmatkhan) bin Alawi Ammu al-Faqih… dst.”
Dalam bukunya, “Sejarah Umat Islam”, HAMKA mengatakan bahwa banyak kaum Sadah (Alawiyyin) dan keturunan para sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Dikatakan juga bahwa Syarif Ali Ad-Da’iyah menikah dengan keponakan Sultan Muhammad, Sultan Brunai. Kemudian setelah Sultan Muhammad wafat maka Kesultanan diserahkan kepada adik Sultan Muhammad yang bernama Ahmad, setelah Sultan Ahmad meninggal maka dinobatkanlah Syarif Ali sebagai Sultan, maka beliaupun menjadi Sultan ketiga Brunai Darussalam.
Syarif Ali adalah seorang keturunan Al-Hasan, marga beliau adalah Al-Bulkhi atau Al-Bulqiyah. Dengan huruf latin mereka biasa menulisnya “Al-Bolkiah”, seperti Sultan Hasan Al-Bolkiah.
HAMKA juga mengatakan bahwa orang-orang keturunan Arab, khususnya kaum Sayyid, mendapatkan kedudukan dan martabat sangat terhormat. Keturunan mereka memegang tampuk kesultanan Aceh. Sultan yang pertama adalah Sultan Badrul Alam Asy-Syarif Hasyim Jamalullail (1699-1702). Demikian pula dengan Sultan-sultan Kesultanan Siak, Kesultanan Perlis dan Kesultanan Pontianak, mereka adalah kaum Alawiyyin.
Dari riwayat-riwayat itu, kita dapat membayangkan bagaimana senyum Rasulullah saw. ketika beliau menyaksikan keturunan beliau telah memenuhi dan menerangi bumi ini dengan cahaya Islam. Termasuk cucu beliau, Syekh Kholil Bangkalan, yang telah banyak berjasa menyebarkan ilmu dan da’wah Islam di pulau Madura, Jawa dan sekitarnya. [*]
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template