TAQLID

Written By MuslimMN on Minggu, 13 Februari 2011 | 18.12

TAQLID

Pengertian

Secara bahasa adalah mengalungi. Sedangkan secara istilah adalah menerima suatu pendapat dengan tanpa disertai adanya hujjah.

Syarat-Syarat Taqlid

1. Orang yang taqlid (muqollid) harus mengetahui syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh orang yang diikuti (muqollad) dalam permasalahan yang menjadi obyek taqlid.

Jika ada seorang penganut madzhab Syafi’i bertaqlid kepada Imam Malik dalam permasalahan tidak batalnya wudlu disebabkan al-lams (persentuhan lawan jenis) dengan tanpa adanya qoshd al-ladzdzah dan wujud al-ladzdzah maka taqlidnya dianggap tidak sah kecuali jika dia sudah mengetahui dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan Imam Malik dalam permasalahan wudlu seperti mengusap seluruh bagian kepala, menggosok, muwalah dan sebagainya.

1. Taqlid tidak dilakukan dalam persoalan yang sudah terjadi.

Jika ada seseorang melakukan suatu ibadah yang masih diperselisihkan keabsahannya tanpa taqlid kepada ulama’ yang menyatakan keabsahannya, maka orang tersebut diharuskan mengulangi ibadah yang dilakukan tersebut karena kecerobohannya dalam melaksanakan ibadah tersebut. Dari alasan ini dapat disimpulkan bahwa orang tersebut ketika melaksanakan ibadah telah mengetahui bahwa ibadahnya tidak sah karena dari situlah dia dianggap ceroboh. Hal ini mengecualikan seseorang yang memegang alat kelaminnya lalu lupa atau tidak mengetahui hukum akibat memegang alat kelamin dalam lingkup madzhabnya dan ketidaktahuannya termasuk yang ditolerir (ma'dzûr) kemudian melaksanakan sholat. Maka dia diperbolehkan taqlid kepada Imam Abu Hanifah guna menggugurkan kewajiban qadla’.

1. Muqollid tidak mengambil hal-hal yang mudah saja sehingga menyebabkan dia keluar dari beban hukum.

Contohnya, seseorang tidak menemukan air dan debu ketika waktu hampir habis. Ia hanya menemukan sebuah batu besar yang suci. Kemudia ia meninggalkan tayammumdengan bertaqlid kepada Imam Syâfi'i yang tidak memperbolehkan tayammum dengan selain batu yang suci. Selanjutnya ia tidak mengqadla'I shalatnya dengan bertaqlid kepada Imam Malik yang berpenadapat orang yang tidak menemukan air, debu, atau batu yang dapat dipergunakan tayammum maka shalatnya gugur dan tidak wajib menqadla'i. Orang tersebut dianggap telah keluar dari taklif melaksanakan shalat.

1. Muqollad adalah seorang mujtahid meskipun hanya mujtahid fatwa seperti Imam ar-Rofi’i, Imam an-Nawawi, Imam ar-Romli dan Imam Ibnu Hajar selama tidak dinyatakan pendapat imam tersebut sangat lemah. Begitu pula tidak diperbolehkan taqlid kepada seorang imam dalam pendapat yang telah dicabutnya selama tidak ada ulama’ pengikut madzhabnya yang memilih pendapat tersebut berdasarkan dalil yang telah dikaji dari kaidah-kaidah dasar imamnya.
2. Tidak bertalfîq, dalam arti tidak mencampuradukkan antara dua pendapat dalam satu qodliyah (permasalahan) yang dari dua pendapat itu memunculkan satu amaliyah yang tidak pernah dikatakan oleh dua orang yang mempunyai pendapat tersebut.

Contohnya seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepalanya lalu menyentuh kulit wanita bukan mahram kemudian sholat karena taqlid kepada Imam Malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu dan taqlid kepada Imam Syafi’i yang mencukupkan wudlu dengan hanya mengusap sebagian kepala. Maka shalat dan wudlu orang tersebut tidak sah menurut kesepakatan dua Imam tersebut, sebab Imam Syafi’i meskipun menganggap cukup wudlu dengan hanya mengusap sebagian kepala namun beliau berpendapat bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah membatalkan wudlu. sedangkan Imam Malik meskipun berpendapat bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu namun beliau berpendapat bahwa berwudlu dengan hanya mengusap sebagian kepala tidak sah.[1]



Hukum Taqlid

Hukum taqlid adalah wajib bagi orang yang belum mencapai derajat ijtihad dan haram bagi yang sudah mencapai derajat ijtihad.

Dalil yang menunjukkan kewajiban taqlid adalah firman Allah dalam surat al-'Ankabût : 7 dan an-Nahl : 43.

( (#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. w cqßJn=÷ès? ÇÐÈ

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiyâ’ : 7)

Ada yang mengatakan bahwa ayat di atas tidak menunjukkan kewajiban taqlid pada hukum-hukum syari’at bagi orang Islam karena diturunkan untuk menyikapi orang musyrik yang menyangka bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasul dari golongan manusia dan mengatakan, “Seandainya Tuhan kami menghendaki seorang utusan maka niscaya akan menurunkan malaikat.”

Maka perlu diketahui bahwa yang menjadi pertimbangan hukum adalah keumuman lafal bukan kekhushushan sebab selama tidak ada dalil yang mentakhshîshnya. Sehingga ayat di atas juga berarti perintah kepada orang awam untuk bertanya kepada para ulama.

Seandainya orang tersebut menerima konsep al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdz namun mengatakan bahwa yang dikehendaki dari perintah bertanya dalam ayat tersebut bukanlah untuk taqlid akan tetapi perintah bertanya tentang dalil supaya penanya mengetahui dalil dari suatu hukum sehingga penanya tersebut tidak masuk dalam katagori muqollid. Maka jawabannya adalah dalam ayat tersebut tidak ada indikasi bahwa perintah bertanya dikhususkan pada dalil karena ungkapan perintah bertanya dalam ayat tersebut berupa lafadz muthlaq dan ‘am.



$oYù=yèy_ur öNåk÷]ÏB Zp£Jͬr& crßöku $tRÍöDr'Î/ $£Js9 (#rçy9|¹ ( (#qçR%2ur $uZÏG»t$t«Î/ tbqãZÏ%qã ÇËÍÈ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (QS. As-Sajdah : 24)



Menurut Abu As-Su’ud, ayat tersebut menjelaskan bahwa crßöku Zp£Jͬr& memberikan petunjuk pada umat dengan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran. Dengan demikian wajib bagi yang lain untuk mengikuti petunjuknya (taqlid).



$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 59) Dalam kitab Al-Khozin disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mentafsiri kata ulil amri. Menurut Ibnu Abbas dan Jabir, yang dikehendaki dengan ulil amri adalah fuqâha’ dan ulama’ yang mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Pendapat ini didukung oleh al-Hasan, ad-Dlahâk dan Mujâhid. ( öqs9ur çnru n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB ÇÑÌÈ Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). QS. An-Nisa’ : 83) Imam ar-Râzi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, dalam Islam terdapat hukum yang tidak dapat diketahui dengan nash (al-Quran dan al-Hadits) namun dapat diketahui dengan istinbath (penggalian hukum). Kedua, istinbath termasuk hujjah. Ketiga, orang awam diwajibkan taqlid kepada ulama’ mengenai ketentuan hukum persoalan yang terjadi. Adapun dalil aqli yang menunjukkan kewajiban taqlid adalah bahwasanya telah kita ketahui sesungguhnya ijma’ telah menetapkan bahwa orang awam dituntut untuk mengetahui dan melaksanakan hukum-hukum syari’at. Namun menuntut mereka untuk berusaha mencapai tingkatan ijtihad adalah suatu hal yang mustahil karena hal ini akan dapat menimbulkan terputusnya perekonomian, keturunan, industri dan berbagai macam kebutuhan hidup lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya ketika seluruh umat manusia menuntut ilmu maka akan berakibat kekacauan dalam dunia ini, para ulama’ akan mencari kebutuhan hidupnya yang berarti hancurnya dunia keilmuan dan ulama itu sendiri. Ketika tuntutan tersebut mustahil untuk diwujudkan maka tuntutan bagi orang awam adalah bertanya pada ulama’.[2] Al-Quran sendiri sudah menyatakan agar ada sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman : $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At- Taubah : 122) Seputar Persoalan Taqlid dan Jawabannya 1. Kenapa Orang Awam Harus Taqlid ? Ada yang berpendapat bahwa orang awampun juga mempunyai potensi untuk berijtihad sebagaimana orang yang berilmu karena sama-sama memiliki akal. Sehingga tidak selayaknya apabila diharuskan taqlid. Jawaban Pendapat tersebut sama dengan mengatakan presiden Indonesia memiliki kemampuan berpikir (akal) yang sama dengan para penggembala domba, sehingga dapat dikatakan bahwa para pengembala domba memiliki kemampuan bernegara yang sama. Profesor mempunyai potensi yang sama dengan tukang sayur sehingga harusnya hak-haknya disamakan. Orang yang berpendapat semacam ini akan menjadi bahan tertawaan para wanita dan anak-anak. 1. 2. Apa Bukti Bahwa Orang Yang Kita Ikuti (muqollad) Memang Memiliki Kapasitas Mujtahid ? Ada yang bertanya, "Dari mana kita tahu bahwa muqollad kita lebih tahu tentang hukum Islam dari pada kita? Jawaban Ada dua macam jawaban yang dapat diberikan. Pertama, berita tentang ucapan, pemikiran, fatwa, dan sejarah mereka telah sampai pada kita dengan jalan tawâtur (tidak dapat disangsikan lagi). Kedua, setiap orang pasti merasa bahwa dirinya lebih rendah dari gurunya dalam segi keilmuannya. Contohnya, para murid Syeikh Hasyim Asy'ari Tebuireng tidak merasa lebih tinggi dari pada beliau. Bahkan mereka merasa jauh lebih rendah. Syeikh Hasyim Asy'ari merasa tidak selevel dengan gurunya yaitu Syeikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dalam segi keilmuannya. Syeikh Muhammad Mahfudz merasa tidak selevel dengan gurunya yaitu Sayyid al-Bakriy al-Makkiy. As-Sayyid al-Bakriy tidak selevel dengan gurunya yaitu as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dakhlan. As-Sayyid Ahmad tidak selevel dengan gurunya yaitu Syeikh Utsman ad-Dimyati. Syeikh ad-Dimyathy tidak selevel dengan gurunya yaitu Syeikh Muhammad asy-Syanwany. Syeikh Muhammad asy-Syanwany tidak selevel dengan gurunya yaitu Syeikh Isa al-Barâwy dan seterusnya hingga sampai pada Imam Syafi'i. Seandainya ada salah satu murid Syeikh Hasyim mengaku bahwa dia selevel dengan Syeikh Isa al-Barâwy dalam segi keilmuan tentu orang yang mendengar pengakuannya akan menganggapnya sebagai orang gila. 1. 3. Benarkah para Imam Madzab Telah Melarang Taqlid ? Ada yang mencoba melarang taqlid dengan mengetengahkan ucapan para imam madzhab. Imam Malik pernah berkata, “Setiap pendapat seseorang adalah tertolak kecuali Rasulullah SAW”. Imam Abu Hanifah mengatakan, “Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan menggunakan pendapatku”. Setelah memberikan fatwa pada seseorang beliau mengatakan “Ini (fatwa) adalah pendapat Abu Hanifah. Hal itu adalah yang yang terbaik menurutku, maka barang siapa dapat memberikan fatwa yang lebih baik maka itu adalah yang benar”. Imam Syafi’i berkata, “Ketika ada hadits shahih, itu adalah madzhabku”. Beliau juga pernah berkata, “Ketika kalian melihat pendapatku tidak sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, maka gunakanlah sabda Rasulullah dan tinggalkanlah pendapatku”. Beliau pernah berkata pada Imam al-Muzâny ketika taqlid pada beliau dalam suatu permasalahan, “Wahai Abî Ibrâhîm (al-Muzâny) janganlah kamu taqlid kepadaku.” Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Kalian jangan taqlid kepadaku, Imam Malik, Imam al-Auza'i, Imam an-Nakhâ’i dan lainnya. Namun ambillah hukum-hukum dari mana mereka mengambilnya”.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa para muqollid telah melanggar larangan para imam madzhab tersebut.

Jawaban

Memang benar bahwa para imam madzhab mengatakan demikian. Namun hal itu ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan keilmuan hampir sama dengan mereka seperti Imam al-Muzani dan yang selevel. Bukan semacam kita yang hanya mendapatkan ilmu dari pengajaran dan menelaah kitab-kitab.



1. 4. Benarkah Orang yang Mengetahui Dalil dari Orang Lain Sudah Tidak Dikategorikan Taqlid ?

Seandainya ada yang menyangka bahwa ketika Ahmad bertanya kepada seorang ulama tentang dalil kewajiban sholat yang kemudian mendapat jawaban yang berupa firman Allah :

(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#

Dirikanlah sembahyang. (QS. An-Nisa' : 77)

maka Ahmad telah tahu dalil tentang kewajiban sholat sehingga dia dapat dikatakan telah keluar dari taqlid, maka sangkaan semacam ini keliru. Karena apa ?

Manusia belum dianggap lepas dari taqlid sebelum dia mengetahui dalil dan wajh ad-dilalah (sisi penunjukan dalil) dari madlul dalil tersebut dengan kemampuan analisanya sendiri. Seandainya orang yang ditanya memberitahukan wajh ad-dilalah dan kemudian Ahmad menerimanya dengan tanpa analisa sendiri maka ia juga belum dianggap keluar dari taqlid, karena sebenarnya dia hanya menceritakan pendapat orang lain.

1. 5. Tanggapan Tentang Ayat :

wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS al-Isrâ` : 36)



Ayat di atas secara dhâhir menunjukkan larangan bertaqlid karena taqlid bukan termasuk 'ilmu (mengetahui dengan dalil).

Jawaban

Pernyataan tersebut tidak benar. Karena jika demikian, maka secara dhâhir selain menunjukkan larangan taqlid ayat tersebut juga menunjukkan larangan ijtihad, sebab ijtihad adalah upaya menghasilkan sebuah praduga (dhan) suatu hukum. Karena itu, yang dikehendaki dengan al-'ilm dalam ayat tersebut juga mencakup dhan. Hal tersebut sudah berlaku dalam bahasa Arab. Seandainya ada orang yang melarang taqlid dengan dalih ayat diatas maka seharusnya dia juga melarang ijtihad dengan menggunakan dalih ayat tersebut.

Seandainya orang tersebut mengatakan bahwa jawaban di atas tidak dapat diterima karena Allah sangat mencela dhan sebagaiaman dalam firman-Nya :

4 bÎ) tbqãèÎ7­Ft wÎ) £`©à9$# $tBur uqôgs? ߧàÿRF{$#

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. (QS. An-Najm : 23)

$tBur ßìÎ7­Gt óOèdçsYø.r& wÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# w ÓÍ_øóã z`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS. Yunus : 36 )

4 $tB Mçlm; ¾ÏmÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ wÎ) tí$t7Ïo?$# Çd`©à9$#

Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. (QS.an-Nisa' : 157)

Ayat-ayat ini sangat jelas menunjukkan celaan terhadap dhan sehingga tidak dapat disetarakan dengan 'ilmu.

Maka jawabannya adalah sesungguhnya Allah telah berfirman :

cÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ)

Sebagian dari prasangka itu dosa. (QS. Al-Hujurât : 12)

Membaca ayat di atas, dapat kita pahami bahwa terdapat prasangka (dhan) yang bukan perbuatan dosa/tercela. Terbukti Allah menggunakan bahasa "sebagian." Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits qudsi :

أنا عند ظن عبدي فليظن بي ما شاء ( رواه الشيخان)

Aku (Allah) sesuai prasangka hamba-Ku pada-Ku. Karena itu, bersangkalah apa yang ia kehendaki

Seandainya semua prasangka adalah buruk maka hamba Allah tidak akan diperkenankan memilih dhan yang dikehendakinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat di atas diarahkan pada dhan yang tanpa disertai dalil dan dasar yang jelas dan kuat. Padahal sudah jelas bahwasanya kebanyakan hukum-hukum syari'at adalah berupa dhan.[3]

1. 6. Benarkah Bahwa Taqlid Dilarang Dengan Berdasarkan Ayat :

#sÎ)ur @Ï% óOçlm; (#öqs9$yès? 4n<Î) !$tB tAtRr& ª!$# n<Î)ur ÉAqߧ9$# (#qä9$s% $uZç6ó¡ym $tB $tRôy`ur Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 4 öqs9urr& tb%x. öNèdät!$t/#uä w tbqßJn=ôèt $\«øx© wur tbrßtGöku ÇÊÉÍÈ

Apabila dikatakan kepada mereka,"Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab, "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Al-Maidah : 104)



Pendapat tersebut tidak benar, karena yang dimaksud nenek moyang pada ayat tersebut adalah orang-orang yang tidak mengetahui agama dan petunjuk dari Allah (kafir). Seandainya ayat ini menunjukkan larangan taqlid maka dari mana kita dapat mengetahui dan meyakini bahwa agama Islam yang kita anut ini adalah benar-benar agama Allah dan Rasul-Nya. Bukankah ini sama halnya dengan meragukan ajaran Rasulullah yang disampaikan secara turun temurun mulai dari Beliau kepada para sahabat, dari sahabat kepada tabi’in dan seterusnya hingga sampai pada kita sekarang ini, padahal ajaran Rasulullah tidak mungkin bisa kita ketahui dengan tanpa mengikuti petunjuk mereka ?





Ikatan dan Sambungan Madzhab-Madzhab para Mujtahidin Dengan al-Quran dan al-Hadits.

1. Imam Abu Hanifah dari Atha' ari Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW dari Jibril dari Allah SWT.
2. Imam Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW dari Jibril dari Allah SWT.
3. Imam Syafi'i dari Imam Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW dari Jibril dari Allah SWT.
4. Imam Ahmad dari Imam Syafi'i dari Imam Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW dari Jibril dari Allah SWT.[4]

Dalam bidang hadits riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi'I dari Imam Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW disebut dengan silsilah adz-dzahab yang merupakan rentetan sanad hadits yang terkuat.



[1] Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwîr al-Qulûb, (Surabaya : Al-Hidayah), hal. 396
[2] Abî al-Fadhl bin Abdis Syakûr, Al-Kawakib al-Lama’ah, (Surabaya : al-Hidayah), hal. 68
[3] Ibid, hal.72
[4] Imam Sya'râni, al-Mîzân al-Kubrâ, hal. 51 juz 2
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template