PROBLEMATIKA QUNUT
Pengertian Qunut
Qunut secara bahasa mempunyai sepuluh makna, yaitu doa, khusyu', ibadah, thaat, pengakuan sifat kehambaan, melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan taat.[1]
Sedang menurut istilah adalah :
ذكر مخصوص مشتمل على دعاء وثناء
Dzikir tertentu yang memuat doa dan pujian[2]
دعاء مخصوص في الصلاة في محل مخصوص من القيام
Doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih dalam keadaan berdiri[3]
Macam-Macam Qunut
Berdasarkan dali-dalil yag ada, para ulama membagi qunut menjadi tiga :
1. Qunut as-Shubh/al-Fajr, yaitu doa qunut yang dibaca dalam shalat Shubuh
2. Qunut an-Nazilah, yaitu doa qunut yang dibaca di kala Islam atau orang Islam sedang mendapatkan cobaan atau musibah.
3. Qunut al-Witr, yaitu doa qunut yang dibaca dalam shalat witir.
4.
Hukum Membaca Qunut dalam Shalat Shubuh
Sebenarnya permasalahan qunut dalam shalat Shubuh termasuk masalah khilafiyah. Menurut madzhab Syafi'I dan madzhab Maliki, membaca doa qunut dalam shalat Shubuh hukumnya sunat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Kitab al-Majmu' 3/504
مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها سواء نَزلتْ نازلةٌ أم لم تنزِلْ وبهذا قال أكثر السلف ومن بعدهم أو كثير منهم وممن قال به أبو بكر الصديق وعمر ابن الخطاب وعثمان وعلي وابن عباس والبراء بن عازِب رضي الله عنهم
Dalam madzhab kita (madzhab Syafi'i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh. Baik ada bencana maupun tidak. Inilah pendapat kebanyakan ulama salaf dan ulama setelahnya atau pendapat banyak ulama dari mereka. Termasuk yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khathab, Utsman, Ali, ibn Abbas, dan Barra` bin 'Azib.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa membaca qunut dalam shalat Shubuh ternyata dilakukan oleh khulafa` ar-râsyidîn. Termasuk yang berpendapat demikian adalah shahabt ‘Ammâr bin Yâsir, Ubay bin Ka’b, Abu Mûsâ al-Asy’ary, ‘Abdurrahman bin Abi Bakar as-Shiddîq, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Halîmah Mu’âdz bin Hârits al-Anshâry, Sa’id bin Musayyab, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.[4]
Dasar pendapat ini adalah :
1. عن أنس بن مالك قال مازال رسول الله r يقنُت في الفجر حتى فارق الدنيا (رواه أحمد)
Dari Anas bin Mâlik ia berkata,”Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika shalat Shubuh sehingga Beliau wafat.” (HR Ahmad bin Hanbal)
1. عن ابن عباس قال كان رسول الله r يعلِّمُنا دعاءً ندعو به في القنوت من صلاة الصبح (رواه البيهقي)
Dari Ibn ‘Abbâs ia berkata, “Rasulullah SAW selalu mengajari kami doa yang dibaca dalam qunut shalat Shubuh. (HR al-Baihaqy).
1. عن أنس بن مالك أنه سئل هل قنت النبي r في صلاة الصبح فقال نعم فقيل له قبل الركوع أو بعد (بعده) الركوع قال بعد الركوع قال مسدد بيسير (يسيرا) (رواه أبو داود)
Dari Anas bin Malik, ia ditanya,”Apakah Rasulullah SAW membaca doa qunut dalam shalat Shubuh ? Beliau menjawab,”Benar.” Ia ditanya lagi,”Sebelum ruku’ atau setelah ruku’? Beliau menjawab,”Sesudah ruku’.” Musaddad berkta,”(hanya) membaca sebentar.” (HR Abu Dawud).
1. عَنْ الْعَوَّامِ بْنِ حَمْزَةَ قَالَ " سَأَلْتُ أَبَا عُثْمَانَ عَنْ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ قَالَ : بَعْدَ الرُّكُوعِ قُلْتُ : عَمَّنْ ؟ قَالَ : عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رضي الله تعالى عنهم " رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَقَالَ : هَذَا إسْنَادٌ حَسَنٌ
Dari al-‘Awwâm bin Hmazah ia berkata, “Aku bertanya pada Abu Utsman tentang qunut dalam shalat Shubuh. Beliau menjawab,’setelah ruku’.’ Aku bertanya lagi,’Dari siapa?’ Beliau menjawab,’Dari Abu Bakar, Umar, dan Utsman (HR al-Baihaqy)
1. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلٍ التَّابِعِيِّ قَالَ " قَنَتَ عَلِيٌّ t فِي الْفَجْرِ " رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَقَالَ : هَذَا عَنْ عَلِيٍّ صَحِيحٌ مَشْهُورٌ
Dari Abdullah bin Ma’qil at-Tabi’I ia berkata, “Sayyidina Ali berqunut dalam shalat Shubuh.” (HR al-Baihaqy).
Bacaan Doa Qunut
Bacaan qunut tidak mempunyai ketentuan pasti. Semua doa asal mengandung permohonan dan pujian kepada Allah maka diperbolehkan. Hanya yang lebih baik adalah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah yang terdapat dalam hadits riwayat al-Khamsah, at-Thabrâny, al-Baihaqy, dan an-Nasâ`i dari Hasan bin ‘Ali :
عن الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ t أنه قَالَ عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ r كلماتٍ أقولُهنَّ فِي قنوت الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافَنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ إنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ "(رواه الخمسة) وزاد الطبراني والبيهقي "ولا يعز من عاديتَ" وزاد النسائي "وصلى الله تعالى على النبي "
Dari al-Hasan bin ‘Ali bahwasanya ia berkata,”Rasulullah SAW mengajariku beberapa kalimat yang akau ucapkan pada qunut shalat Witir : Allahumma ihdiny……”
Hadits tersebut memang menjelaskan bacaan dalam qunut shalat Witir. Namun ternyata bacaan dalam qunut shalat Shubuh tidak berbeda sebagaimana keterangan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ فَيَدْعُو بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي..... (رواه الحاكم في المستدرك)
Dari Abi Hurairah ia berkata, "Rasulullah apabila mengangkat kepala dari ruku’ dalam shalat Shubuh pada rakaat yang kedua mengangkat kedua tangan Beliau SAW kemudian berdoa dengan doa ini : Allahumma ihdiny……"(HR al-Hâkim)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r يُعَلِّمُنَا دُعَاءً نَدْعُو بِهِ فِي الْقُنُوتِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ فَذَكَرَ مَا تَقَدَّمَ (وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ ) وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ كَانَ r يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَفِي وَتْرِ اللَّيْلِ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ فَذَكَرَ مَا تَقَدَّمَ
Dari ibn ‘Abbâs ra. ia berkata, "Rasululah SAW mengajari kami doa yang kami baca dalam qunut shalat Shubuh.” Kemudian ia menyebutkan doa sebagaiaman di atas. (HR al-Baihaqy)
Atau yang diajarkan oleh Sayyidina Umar bin al-Khathab :
رَوَى أَبُو رَافِعٍ قَالَ قَنَتَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ t بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي الصُّبْحِ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ " اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلَا نَكْفُرُكَ وَنُؤْمِنُ بِك وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ وَإِلَيْك نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ اللَّهُمَّ عَذِّبْ كَفَرَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِمْ الْإِيمَانَ وَالْحِكْمَةَ وَثَبِّتْهُمْ عَلَى مِلَّةِ رَسُولِكَ وَأَوْزِعْهُمْ أَنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذِي عَاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ يَا إلَهَ الْحَقِّ وَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ (رواه البيهقي)
Doa qunut versi Umar tersebut sebenarnya juga diajarkan oleh Rasulullah SAW yang kemudian diramu oleh Sayyidina Umar sebagaimana dalam hadits riwayat Imam al-Baihaqy dari Khâlid ibn ‘Ali Imran.
Tanggapan Hadits Said bin Thâriq
عَنْ أَبِي مَالِكٍ سعد بن طارق الْأَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْت لِأَبِي يَا أَبَتِ إنَّك قَدْ صَلَّيْت خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ r وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَاهُنَا بِالْكُوفَةِ قَرِيبًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ ؟ قَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ ( رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَابْنُ مَاجَهْ ) وَفِي رِوَايَةٍ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ ؟
Dari Abî Malik al-Asyja'i, ia berkata, “Aku bertanya pada ayahku,'Wahai ayah, sesungguhnya Anda telah shalat di belakang Rasululah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib di Kufah selama sekitar lima tahun. Apakah mereka membaca doa qunut ?' Ayah menjawab,'Wahai anakku, (qunut) adalah hal baru.'(HR Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibn Majah). Dalam satu riwayat,”Apakah mereka membaca doa qunut dalam shalat Shubuh?”
Hadits di atas memang bertentangan dengan hadits Anas di atas. Namun hadits yang menjelaskan Nabi SAW membaca doa qunut didahulukan sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
إذا تعارضَ المثبِت والنافي قُدِّم المُثْبت لاشتماله على زيادة علمٍ
Apabila bertentangan dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu peristiwa dan dalil yang menjelaskan peristiwa tersebut tidak ada, maka didahulukan yang menjelaskan adanya karena menunjukkan tambahnya pengetahuan
Tanggapan Hadits Anas
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ r لَمْ يَقْنُتْ إلَّا إذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ (رَوَاه ابْنُ خُزَيْمَةَ )
Dari Anas sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah membaca qunut kecuali apabila mendoakan (yang bermanfaat) bagi suatu kaum atau mendoakan (Yang merugikan) suatu kaum.(HR ibn Khuzaimah)
وَعَنْ أَنَسٍ { أَنَّ النَّبِيَّ r قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَفِي لَفْظٍ { قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِي لَفْظٍ { قَنَتَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْته حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ )
Dari Anas, "sesungguhnya Nabi SAW membaca doa qunut dalam sebulan kemudian meninmggalkannya." (HR Ahmad). Dalam satu redaksi,”Membaca qunut selama satu bulan mendoakan kepada beberapa kabilah dari kabilah-kabilah Arab kemudian meninggalkannya. (HR Ahmad, Muslim, an-Nasâ`I, dan ibn Mâjah). Dalam redaksi yang lain, “membaca qunut selama satu bulan tatkala para pembaca dibunuh. Aku tidak pernah melihat Beliau bersedih melebihi kesedihan Beliau itu.(HR Bukhari).
Hadits-hadits di atas memang bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan Nabi selalu berqunut pada shalat Shubuh. Namun hadits-hadits ini tidak dapat dapat digunakan untuk tidak mensunnahkan apalagi melarang qunut dalam shalat Shubuh karena ada kaidah ushul fiqh :
إذا تعارضَ المثبِت والنافي قُدِّم المُثْبت لاشتماله على زيادة علمٍ
Apabila bertentangan dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu peristiwa dan dalil yang menjelaskan peristiwa tersebut tidak ada, maka didahulukan yang menjelaskan adanya karena menunjukkan tambahnya pengetahuan
Sedang mengenai perkataan Anas “tsumma tarakahu” maka maksudnya adalah meninggalkan mendoakan kepada orang-orang kafir (kabilah Arab) atau meninggalkan qunut dalam selain shalat Shubuh. Penta’wilan ini harus dilakukan karena hadits riwayat Anas menjelaskan Nabi berqunut dalam shalat Shubuh sangat tegas dan tergolong hadits Shahih sebagaimana komentar Syeikh Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Balkhy, Imam al-Hâkim, Imam al-Baihaqy dan lain-lain. Hal ini dipertegas oleh salah satu riwayat Imam al-Baihaqy dari Abdirrahman bin Mahdy al-Imam yang berbunyi : ترك اللعن , juga oleh hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ r قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاتِهِ شَهْرًا يَدْعُو لِفُلَانٍ وَفُلَانٍ ثُمَّ تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ (متفق عليه)
Dari Abi Hurairah, "sesungguhnya Nabi SAW membaca qunut setelah ruku’ dalam shalatnya selama satu bulan untuk fulan dan fulan kemudian meninggalkan doa (qunut) untuk mereka." (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits tersebut jelas bahwa yang ditinggalkan Rasulullah adalah mendoakan qunut khusus untuk sebagian orang, bukan berhenti dari doa qunut secara mutlak.[5]
Tanggapan Hadits ‘Âshim
عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُلَيْمَانَ قُلْنَا لِأَنَسٍ إنَّ قَوْمًا مَا يَزْعُمُونَ أَنَّ النَّبِيَّ r لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ فَقَالَ : كَذَبُوا إنَّمَا قَنَتَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُو عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْمُشْرِكِينَ (رواه الخطيب)
Dari ‘âshim bin Sulaiman, kami bertanya kepada Anas,”Sesungguhnya kaum menyangka bahwa Nabi SAW senantiasa membaca qunut dalam shalat Shubuh.” Anas berkata,”Mereka berdusta. Sesungguhnya Rasulullah SAW hanya berqunut selama satu bulan mendoakan Kepada satu kabilah dari beberapa kabilah musyrik"
Menanggapi hadits tersebut, Imam ibn Hajar al-‘Asqalâny mengatakan :
ومعنى قوله كذب أي أخطأ وهو لغة أهل الحجاز يُطلِقون الكذب على ما هو أعم من العمد والخطإ ويحتمل أن يكون أراد بقوله كذب أي إن كان حكى أن القنوت دائما بعد الركوع وهذا يرجِّح الاحتمال الأول
Yang dimaksudkan dengan kadziba adalah salah,[6]demikian ini menurut bahasa Ahli Hijaz. Mereka maksudkan dengan al-kadziba makna yang lebih umum lagi daripada makna khusus; sengaja atau salah, atau ada kemungkinan yang dimaksudkan adalah membaca qunut selamanya sesudah ruku’ dan ini menguatkan kemungkinan yang pertama.[7]
[1] Syihab ad-Dîn Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar al-'Asqalâny, Op.Cit., vol.II, hal.394., Muhammad az-Zarqany, Syarh az-Zarqany 'Ala al-Muwatha`, (Beirut : al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra ), 1936, vol.I, hal.322.
[2] Muhammad Nawawi bin Umar at-Tanâry al-Bantany, Qût al-Habîb al-Gharîb (Tausyih 'ala ibn Qasim), (Beirut : Dar al-Fikr), cet.ke-1, 1996, hal.62
[3] KHM. Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Qunut, Santri, cet. ke-2, Januari 1997, hal.9
[4] Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwadzy Syarh Sunan at-Tirmidzy, (Beirut:Dâr al-Fikr), cet.ke-2, 1979, vol.II, hal.432.
[5] Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’ ‘ala Syarh al-Muhadzab, Maktabah al-Muniriyah, vol.III, hal.475-476.
[6] Akhtha`a dalam bahasa Arab berarti berbuat salah tanpa sengaja. Sedang berbuat salah dengan sengaja menggunakan shighat mujarrad. Lihat dalam Mathâli' al-Masarrât Syarh Dalâ`l al-Khairât.
[7] Syihab ad-Din Muhammad bin ‘Ali, Op.Cit.,vol.II, hal.393.
Home »
AQIDAH DAN AMALAN AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH
» PROBLEMATIKA QUNUT
PROBLEMATIKA QUNUT
Written By MuslimMN on Minggu, 13 Februari 2011 | 18.11
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar