SEPUTAR MAULID NABI SAW
Maulid Nabi adalah peringatan kelahiran Beliau SAW yang berisi pembacaan ayat-ayat al-Quran, kisah-kisah seputar Nabi Muhammad SAW guna mengenang kehidupan Beliau. Biasanya maulid Nabi dilakukan dengan membaca kisah kehidupan Nabi seperti al-Barzanjy, ad-Daiba’y, Simth ad-Durâr, menghidangkan makanan, memperbanyak shalawat, mau’idhah hasanah, dan lain-lain. Dengan menjelajahi seluk beluk kehidupan Nabi SAW banyak hal yang dapat kita pelajari baik dari sisi kemanusian, sosial dan keadilan, karena beliaulah manusia terbaik dan teladan kita yang akan membawa kita pada jalan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A<span>h</span>zâb ayat 21:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Peringatan maulid seperti yang kita kenal sekarang sebenarnya baru dirintis oleh penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Sa’îd Al Kukburi Bin Zainuddin Ali Bin Buktikin. Meski demikian, orang yang melakukannya akan diberi pahala. Imam Suyûthy mengatakan :
سُئِلَ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا قَالَ وَالْجَوَابُ عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ r وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنْ الْآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ r وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ
Beliau (Imam Suyûthy) ditanya tentang perayaan maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal. Bagaimana hukumnya menurut syara’ ? Apakah terpuji atau tercela ? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak ? Beliau menjawab, “Jawabannya menurutku bahwa asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Quran, dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya.. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan rasa suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia.[1]
Jadi sebetulnya hakikat perayaan maulid Nabi itu merupakan bentuk pengungkapan rasa syukur dan senang atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Di samping itu, melihat isi dari perayaan maulid Nabi SAW, hal ini termasuk melaksanakan anjuran-anjuran agama. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-<span>H</span>asani menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang tentu terkandung dalam perayaan maulid Nabi :
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS al-Ahzâb : 58)
Hanya yang perlu ditegaskan, peringatan maulid Nabi SAW tidak terkhusus pada bulan Rabi’ul Awwal saja. Kita dianjurkan untuk selalu memperingati Nabi Muhammad SAW sepanjang waktu setiap ada kesempatan, lebih-lebih ketika bulan Rabi’ul Awwal dan ketika hari Senin. Memang peringatan maulid Nabi SAW pada bulan tertentu dan dengan model tertentu tidak mempunyai nash yang tegas. Namun juga tidak ada satu dalilpun yang melarang karena berkumpul untuk bersama-sama mengingat Allah, membaca shalawat dan amal-amal baik lainnya termasuk yang harus selalu kita perhatikan dan kita lakukan. Lebih-lebih pada bulan kelahiran Beliau SAW di mana rasa keterikatan sejarah akan sangat mendorong masyarakat untuk lebih bersungguh-sungguh dan lebih meresapi apa yang dilakukan dan disampaikan.[4]
DALIL-DALIL DIPERBOLEHKAN PERAYAAN MAULID
@ Perayaan maulid Nabi SAW adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah atas kelahiran Beliau. Hal ini diperintahkan oleh agama sebagaimana firman Allah :
ö@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ
Katakanlah, "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan"(QS Yûnus : 58).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk bergembira ketika mendapatkan rahmat Allah. Padahal Nabi Muhammad SAW adalah rahmat yang paling agung sebagaimana firman Allah :
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(QS al-Anbiyâ` :107)
Hal ini diperkuat oleh pendapat shahabat Ibn ‘Abbas. Ketika mengomentari surat Yûnus : 58, Beliau mengatakan,
فضل الله العلم ورحمته محمد r قال الله تعالى وما أرسلناك إلا رحمة للعلمين
Karunia Allah adalah ilmu, sedang rahmat Allah adalah Nabi Muhammad SAW.Allah berfirman,”Wa Mâ Arsalnâka…..[5]
Bergembira atas kelahiran Nabi SAW dianjurkan di setiap waktu dan dalam setiap karunia. Namun anjuran tersebut menjadi lebih pada hari Senin dan bulan Rabi’ul Awwal karena mempunyai keterikatan sejarah.
@ Nabi sangat memulyakan dan memperhatikan hari kelahiran Beliau sebagaimana tercermin dalam hadits :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ , فَقَالَ : ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْت فِيهِ , وَبُعِثْت فِيهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ عن أبي قتادة
Rasulullah ditanya tentang puasa pada hari Senin. Beliau menjawab, “Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau wahyu diturunkan padaku (HR Muslim dari Abî Qatâdah)
Betapa Rasulullah memulyakan hari kelahirannya, beliau bersyukur pada Allah SWT pada hari tersebut atas karunianya yang telah menyebabkan keberadaannya yang diungkapkan dengan berpuasa. Di sinilah Nabi telah menanamkan benih-benih perayaan maulid Nabi.
Memang Nabi memperingati hari kelahiran Beliau dengan berpuasa berbeda dengan yang sering dilakukan oleh masyarakat sekarang. Namun hal ini tidak mengapa karena hanya masalah metode. Sedang inti dan tujuannya sama, yaitu memperingati dan mensyukuri kelahiran Beliau. Hal ini tidak jauh beda dengan perintah mengajarkan al-Quran. Sekarang al-Quran diajarkan melalui CD, kaset, dan lain sebagainya, berbeda dengan pada masa Rasulullah SAW. Hal ini tidak mengapa karena hanya dalam metode. Sedang intinya sama yaitu mengajarkan al-Quran.
@ Nabi SAW selalu memperhatikan waktu-waktu bersejarah yang telah lewat. Ketika tiba masa peristiwa tersebut, Rasulullah SAW memperingati dan memulyakan hari tersebut. Hal ini tercermin dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ r الْمَدِينَةَ وَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْفَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ثُمَّ أَمَرَ بِصَوْمِهِ (رواه البخاري وسلم وغيرهما)
Dari Ibn ‘Abbâs ra. Ia berkata, ketika Rasulallah SAW dan para sahabat tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang puasa Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah SAW bertanya, “Mengapa kalian melakukan puasa tersebut?” Orang yahudi menjawab, “Pada hari inilah Allah menenggelamkan Firaun dan menyalamatkan Nabi Musa as. Kami sangat mensyukurinya. Oleh karena itu kami berpuasa. Mendengar jawaban itu, Rasulallah bersabda, “Kami lebih berhak untuk memulyakan Nabi Musa as. (dengan berpuasa) daripada kalian.” (HR Bukhari, Muslim, Abi Dawud, dll.)
@ Peringatan maulid Nabi adalah mengingat perjalanan hidup dan diri Rasulullah SAW. Hal seperti ini termasuk bagian dari anjuran agama. Bila kita perhatikan rangkaian ritual ibadah haji, ternyata mayoritas adalah untuk mengingat peristiwa-peristiwa khusus dan tempat-tempat bersejarah, seperti : sa’i Shafa dan Marwah untuk mengingat Siti Hajar ketika mencari air, penyembelihan di Mina, melempar jumrah, dan lain sebagainya.
@ Manfaat dari bergembira dengan kelahiran Nabi SAW ternyata juga bisa dirasakan oleh Abu Lahab sebagaimana disampaikan al-<span>H</span>âfidh Syamsuddîn al-Jazary dalam ‘Urf at-Ta’rîf bi al-Maulid as-Syarîf :
قد رؤي أبو لهب بعد موته في النوم فقيل له ما حالك فقال في النار إلا أنه يخفَّف عني كلَّ ليلة اثنين وأمُصُّ من بين أصبعي هاتين ماء بقدر هذا وأشار برأس أصبعه وإن ذلك بإعتاقي ثُويبة عندما بشرتْني بولادة النبي r وبإرضاعها له
Abu Lahab terlihat dalam mimpi setelah ia mati. Ia ditanya,”Bagaimana kondisimu?” Abu Lahab menjawab, “Di neraka. Hanya saja Allah memberi keringanan padaku setiap malam Senin dan aku menghisap air dari antara jariku dengan ukuran segini –ia mengisyarahkan dengan ujung jarinya- semua ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah setelah memberitahukan kelahiran Nabi SAW dan karena menyusukan Nabi padanya.[6]
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Kitâb an-Nikâ<span>h</span>, Ibn Hajar dalam Fath al-Bâri`, ‘Abdur Razâq as-Shan’âny dalam al-Mushannaf, al-Baihaqy dalam Dalâ`il an-Nubuwwah, Ibn Katsîr dalam al-Bidâyah, as-Syaibany dalam Hadâ`iq al-Anwâr, al-Baghawy dalam Syarh as-Sunnah, dan lain-lain.
Abu Lahab yang kafir saja mendapatkan dispensasi siksa karena memulyakan dan gembira atas kelahiran Nabi. Apalagi bila yang bergembira adalah orang Islam. Meskipun kisah ini termasuk kategori hadits mursal, namun dapat diterima karena telah dinukil oleh Imam Bukhari dan menjadi pedoman para ulama. Lagipula ini dalam permasalahan sejarah bukan dalam hukum.[7]
@ Tidak setiap perbuatan yang tidak dikenal di masa awal Islam berarti tidak boleh dilakukan.[8] Apalagi dalam permasalahan maulid. Meski model secara utuh yang dikenal sekarang tidak pernah dilakukan di masa awal Islam namun secara parsial, tiap amal yang dilakukan pada perayaan maulid dianjurkan agama. Sehingga perayaan maulid Nabi juga termasuk anjuran agama. Sebab sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang dianjurkan berarti juga dianjurkan.[9]
SEPUTAR PENGKULTUSAN RASULULLAH DAN PEMBACAAN AL-BARZANJY
Membaca maulid al-Barzanjy, ad-Daiba’i, Simth ad-Durar, ad-Dliyâ` al-Lâmi’, dan sebagainya diperbolehkan. Bahkan tradisi bersyi’ir memuji Rasulullah SAW telah dilakukan oleh shahabat al-‘Abbas sebagaimana dalam hadits :
قَالَ خُرَيْمُ بن أَوْسِ بن حَارِثَةَ بن لامٍ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ r, فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَحِمَهُ اللَّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَمْدَحَكَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ r هَاتِ لا يَفْضُضِ اللَّهُ فَاكَ فَأَنْشَأَ الْعَبَّاسُ يَقُولُ :
مِنْ قَبْـلِهَا طِبْتَ فِي الظِّلالِ وَفِي & مُسْتَوْدَعٍ حَيْثُ يُخْصَفُ الْوَرَقُ
ثُـمَّ هَبَـطْتَ الْبِـــــــلادَ لا بَشَـرٌ أَنْـــ & ـــــــتَ وَلا مُضْــغَةٌ وَلا عَلَــــــــقُ
بَلْ نُطْفَــةٌ تَــرْكَـبُ السَّفـــِينَ وَقَـــدْ & أَلْجَــــــــمَ نَسْرًا وَاهَــلَهُ الْغَـــــــرَقُ
تُنْـــــقَلُ مِنْ صــَـالِبٍ إِلَى رَحِـــــمٍ & إِذَا مَضَى عَالِمٌ بَدَا طَبـــــــــــــــَقُ
حَتَّى احْتــَوَى بَيْتُكَ الْمُهَيْمِنُ مــِنْ & خَنْـــــدَفَ عَلْيَاءَ تَحْتَهَا النُّــــطْقُ
وَأَنْتَ لَمَّا وُلِــدْتَ أَشْــــــرَقَـتِ الْ & أَرْضُ وَضَـــاءَتْ بنورِكَ الأُفــــُقُ
فَنَــحْـــــنُ فِي الضِّيَـــــاءِ وَفِـي النْـ & ـنُوْرِ وَسُــبْلُ الرَّشَـــــادِ نَخْتَــــرِقُ
(رواه الحاكم في المستدرك والطبراني في المعجم الكبير)
Hadits di atas juga disebutkan oleh Qâdli ‘Iyâdl dalam as-Syifâ` dan al-Istî’âb dan Muhammad bin Abi ‘Umar (guru Imam Muslim).
Sebagian orang melarang perayaan maulid dan membaca al-Barzanjy dan sejenisnya karena berisi pujian kepada Rasulullah SAW. Padahal Nabi sendiri telah melarang pujian kepada Beliau sebagaimana dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ t يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ r يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ (رواه البخاري)
Dari Ibn ‘Abbas, ia mendengar Umar ra. berkata di atas mimbar : Aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Jangan mengkultuskan aku sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan Isa ibn Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhâri)
Menjawab hal tersebut, perlu kita ketahui bahwa Rasulullah SAW secara tegas telah melarang pengkultusan kepada Beliau. Yaitu pengkultusan seperti yang dilakukan orang nashrany kepada Nabi Isa dengan menganggap Nabi Isa sebagai anak Tuhan atau bagian dari trinitas. Sedang memuji kepada Nabi SAW yang tidak sampai menuhankan Beliau, mengeluarkan Beliau dari kemanusiaan diperbolehkan karena Allah sendiri telah memuji kepada Nabi Muhammad SAW seperti dalam firman-Nya :
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(QS al-Qalam : 4 ).
Kita memuji kepada Nabi Muhammad SAW bukan berarti kita mengangkat Beliau dari sifat kemanusiaan. Kita mengagungkan kepada Nabi sebagaimana Allah telah mengagungkan Beliau. Kita memuliakan orang yang telah dimuliakan Allah. Kita memuji kepada Beliau SAW yang telah dipuji oleh Allah. Kita menyanjung Nabi karena ketatan kita kepada Allah yang telah menyanjung Rasulullah SAW. Di samping itu, para shahabat dulu sering memuji kepada Beliau SAW seperti dalam kisah al-‘Abbâs di atas dan ternyata Beliau mendiamkan yang berarti pertanda Beliau menyetujui.
BERDIRI TATKALA MA<span>H</span>AL AL-QIYÂM
Berdiri tatkala membaca al-Barzanjy dan sebagainya bukan termasuk perbuatan sunnat atau wajib. Itu hanyalah ekspresi (ungkapan) rasa kegembiraan. Ketika disebutkan bahwa Nabi Muhammad lahir ke dunia, terbayanglah bahwa seluruh alam raya bergetar karena rasa gembira atas nikmat yang sangat agung. Karena itulah orang tersebut berdiri sebagai luapan rasa gembira tadi. Berdiri dalam maulid Nabi termasuk tradisi, bukan ibadah, bukan aturan syara’ dan bukan suatu kesunahan.
Hanya saja, berdiri tatkala maulid Nabi dianggap baik menurut sebagian ulama. Artinya perbuatan tersebut hukumnya mubah dilihat dari diri (dzatiyah) perbuatan tersebut dan dianjurkan (mathlûb) dilihat dari motivasi (pendorong) dan nilai yang dihasilkannya (‘awâqib). Syeikh al-Barzanjy mengatakan,
وقد استحسن القيام عند ذكر مولده الشريف أئمة ذوو رواية وروية فطوبى لمن كان تعظيمه r غاية مرامه ومرامه
Syeikh ‘Ali bin Burhânuddîn al-<span>H</span>alaby as-Syâfi’I berkata,[10]
وقد وجد القيام عند ذكر اسمه r من عالم الأمة ومقتدى الأئمة دينا وورعا الإمام تقي الدين السبكي اجتمع عنده جمع كثير من علماء عصره فأنشد قول البوصري في مدحه r :
قليلٌ لمدح المصطفى الخطّ بالذهب _ على ورق من خط أحسن من كتب
وأن تنــهض الأشــراف عند سماعه _ قيــاما صفوفا أو جثيّـًا على الركـب
فعند ذلك قام السبكي رحمه الله وجميع من في المجلس فحصل أنس كبير بذلك المجلس ويكفي مثل ذلك في الاقتداء
Berdiri tatkala penyebutan nama Nabi SAW ditemukan (dilakukan) dari orang ‘alimnya umat dan panutan para imam dalam agama dan kewara’an, Imam Taqiyuddin as-Subky. Belaiu berkumpul bersama banyak ulama masa itu kemudian membaca syi’ir al-Bûshiry dalam memuji Nabi SAW (dua syi’ir di atas). Ketika itulah Imam Subky rhm. dan semua orang yang berada di majlis berdiri sehingga terjadilah ketentraman yang sangat besar di majlis itu. Hal ini sudah cukup sebagai panutan.
[1] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, al-<span>H</span>âwi li al-Fatâwi, vol.I, hal. 251-252.
[2] Syekh Sayyid Muhamad ‘Alâwy al-Maliki, Fatâwî Rasâ`il, hal. 180
[3] Sayyid Muhamad ‘Alawy al- Maliki, Mafâhîm, tt., hal. 78
[4] Sayyid Muhammad ‘Alawy al-Mâliky al-<span>H</span>asany, <span>H</span>aul al-I<span>h</span>tifâl bi Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy as-Syarîf,(Kairo : Dâr Jawâmi’ al-Kalim), cet.ke-10, 1418 H., hal,11-13.
[5] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, ad-Dur al-Mantsûr, Maktabah al-Maimuniyah, vol.II, hal. 308.
[6] Sayyid Muhammad ‘Alawy al-Mâliky al-<span>H</span>asany, <span>H</span>aul al-Ihtifâl, hal. 17
[7] Yûsuf Khaththâr Muhammad, Op.Cit., hal.136
[8] Lebih jelas silahkan lihat dalam pembahasan bid’ah.
[9] Sayyid Muhammad ‘Alawy al-Mâliky al-<span>H</span>asany, <span>H</span>aul al-I<span>h</span>tifâl, hal. 34.
[10] Yûsuf Khaththâr Muhammad,Op.Cit., hal.147
Maulid Nabi adalah peringatan kelahiran Beliau SAW yang berisi pembacaan ayat-ayat al-Quran, kisah-kisah seputar Nabi Muhammad SAW guna mengenang kehidupan Beliau. Biasanya maulid Nabi dilakukan dengan membaca kisah kehidupan Nabi seperti al-Barzanjy, ad-Daiba’y, Simth ad-Durâr, menghidangkan makanan, memperbanyak shalawat, mau’idhah hasanah, dan lain-lain. Dengan menjelajahi seluk beluk kehidupan Nabi SAW banyak hal yang dapat kita pelajari baik dari sisi kemanusian, sosial dan keadilan, karena beliaulah manusia terbaik dan teladan kita yang akan membawa kita pada jalan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A<span>h</span>zâb ayat 21:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Peringatan maulid seperti yang kita kenal sekarang sebenarnya baru dirintis oleh penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Sa’îd Al Kukburi Bin Zainuddin Ali Bin Buktikin. Meski demikian, orang yang melakukannya akan diberi pahala. Imam Suyûthy mengatakan :
سُئِلَ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا قَالَ وَالْجَوَابُ عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ r وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنْ الْآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ r وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ
Beliau (Imam Suyûthy) ditanya tentang perayaan maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal. Bagaimana hukumnya menurut syara’ ? Apakah terpuji atau tercela ? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak ? Beliau menjawab, “Jawabannya menurutku bahwa asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Quran, dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya.. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan rasa suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia.[1]
Jadi sebetulnya hakikat perayaan maulid Nabi itu merupakan bentuk pengungkapan rasa syukur dan senang atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Di samping itu, melihat isi dari perayaan maulid Nabi SAW, hal ini termasuk melaksanakan anjuran-anjuran agama. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-<span>H</span>asani menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang tentu terkandung dalam perayaan maulid Nabi :
- Pembacaan shalawat pada Nabi SAW yang keutamaannya sudah tidak diragukan lagi. Di isi dengan sejarah nabi ketika berdakwah, cerita kelahiran beliau dan wafatnya. Sehingga dengan kajian inilah seorang muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
- Peringatan tersebut merupakan sebab atau sarana yang mendorong kita untuk bershalawat pada beliau sehingga termasuk melakukan perintah Allah :
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS al-Ahzâb : 58)
- Menceritakan tentang sopan santun dan tingkah laku yang terpuji sehingga seorang muslim akan termotivasi untuk mengikuti perilaku Beliau SAW. Apa lagi diselingi dengan pengajian agama, membaca Al-Quran, bersedekah dan ritual-ritual yang mendapat legalitas syariah.[2]
Hanya yang perlu ditegaskan, peringatan maulid Nabi SAW tidak terkhusus pada bulan Rabi’ul Awwal saja. Kita dianjurkan untuk selalu memperingati Nabi Muhammad SAW sepanjang waktu setiap ada kesempatan, lebih-lebih ketika bulan Rabi’ul Awwal dan ketika hari Senin. Memang peringatan maulid Nabi SAW pada bulan tertentu dan dengan model tertentu tidak mempunyai nash yang tegas. Namun juga tidak ada satu dalilpun yang melarang karena berkumpul untuk bersama-sama mengingat Allah, membaca shalawat dan amal-amal baik lainnya termasuk yang harus selalu kita perhatikan dan kita lakukan. Lebih-lebih pada bulan kelahiran Beliau SAW di mana rasa keterikatan sejarah akan sangat mendorong masyarakat untuk lebih bersungguh-sungguh dan lebih meresapi apa yang dilakukan dan disampaikan.[4]
DALIL-DALIL DIPERBOLEHKAN PERAYAAN MAULID
@ Perayaan maulid Nabi SAW adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah atas kelahiran Beliau. Hal ini diperintahkan oleh agama sebagaimana firman Allah :
ö@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ
Katakanlah, "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan"(QS Yûnus : 58).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk bergembira ketika mendapatkan rahmat Allah. Padahal Nabi Muhammad SAW adalah rahmat yang paling agung sebagaimana firman Allah :
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(QS al-Anbiyâ` :107)
Hal ini diperkuat oleh pendapat shahabat Ibn ‘Abbas. Ketika mengomentari surat Yûnus : 58, Beliau mengatakan,
فضل الله العلم ورحمته محمد r قال الله تعالى وما أرسلناك إلا رحمة للعلمين
Karunia Allah adalah ilmu, sedang rahmat Allah adalah Nabi Muhammad SAW.Allah berfirman,”Wa Mâ Arsalnâka…..[5]
Bergembira atas kelahiran Nabi SAW dianjurkan di setiap waktu dan dalam setiap karunia. Namun anjuran tersebut menjadi lebih pada hari Senin dan bulan Rabi’ul Awwal karena mempunyai keterikatan sejarah.
@ Nabi sangat memulyakan dan memperhatikan hari kelahiran Beliau sebagaimana tercermin dalam hadits :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ , فَقَالَ : ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْت فِيهِ , وَبُعِثْت فِيهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ عن أبي قتادة
Rasulullah ditanya tentang puasa pada hari Senin. Beliau menjawab, “Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau wahyu diturunkan padaku (HR Muslim dari Abî Qatâdah)
Betapa Rasulullah memulyakan hari kelahirannya, beliau bersyukur pada Allah SWT pada hari tersebut atas karunianya yang telah menyebabkan keberadaannya yang diungkapkan dengan berpuasa. Di sinilah Nabi telah menanamkan benih-benih perayaan maulid Nabi.
Memang Nabi memperingati hari kelahiran Beliau dengan berpuasa berbeda dengan yang sering dilakukan oleh masyarakat sekarang. Namun hal ini tidak mengapa karena hanya masalah metode. Sedang inti dan tujuannya sama, yaitu memperingati dan mensyukuri kelahiran Beliau. Hal ini tidak jauh beda dengan perintah mengajarkan al-Quran. Sekarang al-Quran diajarkan melalui CD, kaset, dan lain sebagainya, berbeda dengan pada masa Rasulullah SAW. Hal ini tidak mengapa karena hanya dalam metode. Sedang intinya sama yaitu mengajarkan al-Quran.
@ Nabi SAW selalu memperhatikan waktu-waktu bersejarah yang telah lewat. Ketika tiba masa peristiwa tersebut, Rasulullah SAW memperingati dan memulyakan hari tersebut. Hal ini tercermin dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ r الْمَدِينَةَ وَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْفَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ثُمَّ أَمَرَ بِصَوْمِهِ (رواه البخاري وسلم وغيرهما)
Dari Ibn ‘Abbâs ra. Ia berkata, ketika Rasulallah SAW dan para sahabat tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang puasa Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah SAW bertanya, “Mengapa kalian melakukan puasa tersebut?” Orang yahudi menjawab, “Pada hari inilah Allah menenggelamkan Firaun dan menyalamatkan Nabi Musa as. Kami sangat mensyukurinya. Oleh karena itu kami berpuasa. Mendengar jawaban itu, Rasulallah bersabda, “Kami lebih berhak untuk memulyakan Nabi Musa as. (dengan berpuasa) daripada kalian.” (HR Bukhari, Muslim, Abi Dawud, dll.)
@ Peringatan maulid Nabi adalah mengingat perjalanan hidup dan diri Rasulullah SAW. Hal seperti ini termasuk bagian dari anjuran agama. Bila kita perhatikan rangkaian ritual ibadah haji, ternyata mayoritas adalah untuk mengingat peristiwa-peristiwa khusus dan tempat-tempat bersejarah, seperti : sa’i Shafa dan Marwah untuk mengingat Siti Hajar ketika mencari air, penyembelihan di Mina, melempar jumrah, dan lain sebagainya.
@ Manfaat dari bergembira dengan kelahiran Nabi SAW ternyata juga bisa dirasakan oleh Abu Lahab sebagaimana disampaikan al-<span>H</span>âfidh Syamsuddîn al-Jazary dalam ‘Urf at-Ta’rîf bi al-Maulid as-Syarîf :
قد رؤي أبو لهب بعد موته في النوم فقيل له ما حالك فقال في النار إلا أنه يخفَّف عني كلَّ ليلة اثنين وأمُصُّ من بين أصبعي هاتين ماء بقدر هذا وأشار برأس أصبعه وإن ذلك بإعتاقي ثُويبة عندما بشرتْني بولادة النبي r وبإرضاعها له
Abu Lahab terlihat dalam mimpi setelah ia mati. Ia ditanya,”Bagaimana kondisimu?” Abu Lahab menjawab, “Di neraka. Hanya saja Allah memberi keringanan padaku setiap malam Senin dan aku menghisap air dari antara jariku dengan ukuran segini –ia mengisyarahkan dengan ujung jarinya- semua ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah setelah memberitahukan kelahiran Nabi SAW dan karena menyusukan Nabi padanya.[6]
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Kitâb an-Nikâ<span>h</span>, Ibn Hajar dalam Fath al-Bâri`, ‘Abdur Razâq as-Shan’âny dalam al-Mushannaf, al-Baihaqy dalam Dalâ`il an-Nubuwwah, Ibn Katsîr dalam al-Bidâyah, as-Syaibany dalam Hadâ`iq al-Anwâr, al-Baghawy dalam Syarh as-Sunnah, dan lain-lain.
Abu Lahab yang kafir saja mendapatkan dispensasi siksa karena memulyakan dan gembira atas kelahiran Nabi. Apalagi bila yang bergembira adalah orang Islam. Meskipun kisah ini termasuk kategori hadits mursal, namun dapat diterima karena telah dinukil oleh Imam Bukhari dan menjadi pedoman para ulama. Lagipula ini dalam permasalahan sejarah bukan dalam hukum.[7]
@ Tidak setiap perbuatan yang tidak dikenal di masa awal Islam berarti tidak boleh dilakukan.[8] Apalagi dalam permasalahan maulid. Meski model secara utuh yang dikenal sekarang tidak pernah dilakukan di masa awal Islam namun secara parsial, tiap amal yang dilakukan pada perayaan maulid dianjurkan agama. Sehingga perayaan maulid Nabi juga termasuk anjuran agama. Sebab sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang dianjurkan berarti juga dianjurkan.[9]
SEPUTAR PENGKULTUSAN RASULULLAH DAN PEMBACAAN AL-BARZANJY
Membaca maulid al-Barzanjy, ad-Daiba’i, Simth ad-Durar, ad-Dliyâ` al-Lâmi’, dan sebagainya diperbolehkan. Bahkan tradisi bersyi’ir memuji Rasulullah SAW telah dilakukan oleh shahabat al-‘Abbas sebagaimana dalam hadits :
قَالَ خُرَيْمُ بن أَوْسِ بن حَارِثَةَ بن لامٍ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ r, فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَحِمَهُ اللَّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَمْدَحَكَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ r هَاتِ لا يَفْضُضِ اللَّهُ فَاكَ فَأَنْشَأَ الْعَبَّاسُ يَقُولُ :
مِنْ قَبْـلِهَا طِبْتَ فِي الظِّلالِ وَفِي & مُسْتَوْدَعٍ حَيْثُ يُخْصَفُ الْوَرَقُ
ثُـمَّ هَبَـطْتَ الْبِـــــــلادَ لا بَشَـرٌ أَنْـــ & ـــــــتَ وَلا مُضْــغَةٌ وَلا عَلَــــــــقُ
بَلْ نُطْفَــةٌ تَــرْكَـبُ السَّفـــِينَ وَقَـــدْ & أَلْجَــــــــمَ نَسْرًا وَاهَــلَهُ الْغَـــــــرَقُ
تُنْـــــقَلُ مِنْ صــَـالِبٍ إِلَى رَحِـــــمٍ & إِذَا مَضَى عَالِمٌ بَدَا طَبـــــــــــــــَقُ
حَتَّى احْتــَوَى بَيْتُكَ الْمُهَيْمِنُ مــِنْ & خَنْـــــدَفَ عَلْيَاءَ تَحْتَهَا النُّــــطْقُ
وَأَنْتَ لَمَّا وُلِــدْتَ أَشْــــــرَقَـتِ الْ & أَرْضُ وَضَـــاءَتْ بنورِكَ الأُفــــُقُ
فَنَــحْـــــنُ فِي الضِّيَـــــاءِ وَفِـي النْـ & ـنُوْرِ وَسُــبْلُ الرَّشَـــــادِ نَخْتَــــرِقُ
(رواه الحاكم في المستدرك والطبراني في المعجم الكبير)
Hadits di atas juga disebutkan oleh Qâdli ‘Iyâdl dalam as-Syifâ` dan al-Istî’âb dan Muhammad bin Abi ‘Umar (guru Imam Muslim).
Sebagian orang melarang perayaan maulid dan membaca al-Barzanjy dan sejenisnya karena berisi pujian kepada Rasulullah SAW. Padahal Nabi sendiri telah melarang pujian kepada Beliau sebagaimana dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ t يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ r يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ (رواه البخاري)
Dari Ibn ‘Abbas, ia mendengar Umar ra. berkata di atas mimbar : Aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Jangan mengkultuskan aku sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan Isa ibn Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhâri)
Menjawab hal tersebut, perlu kita ketahui bahwa Rasulullah SAW secara tegas telah melarang pengkultusan kepada Beliau. Yaitu pengkultusan seperti yang dilakukan orang nashrany kepada Nabi Isa dengan menganggap Nabi Isa sebagai anak Tuhan atau bagian dari trinitas. Sedang memuji kepada Nabi SAW yang tidak sampai menuhankan Beliau, mengeluarkan Beliau dari kemanusiaan diperbolehkan karena Allah sendiri telah memuji kepada Nabi Muhammad SAW seperti dalam firman-Nya :
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(QS al-Qalam : 4 ).
Kita memuji kepada Nabi Muhammad SAW bukan berarti kita mengangkat Beliau dari sifat kemanusiaan. Kita mengagungkan kepada Nabi sebagaimana Allah telah mengagungkan Beliau. Kita memuliakan orang yang telah dimuliakan Allah. Kita memuji kepada Beliau SAW yang telah dipuji oleh Allah. Kita menyanjung Nabi karena ketatan kita kepada Allah yang telah menyanjung Rasulullah SAW. Di samping itu, para shahabat dulu sering memuji kepada Beliau SAW seperti dalam kisah al-‘Abbâs di atas dan ternyata Beliau mendiamkan yang berarti pertanda Beliau menyetujui.
BERDIRI TATKALA MA<span>H</span>AL AL-QIYÂM
Berdiri tatkala membaca al-Barzanjy dan sebagainya bukan termasuk perbuatan sunnat atau wajib. Itu hanyalah ekspresi (ungkapan) rasa kegembiraan. Ketika disebutkan bahwa Nabi Muhammad lahir ke dunia, terbayanglah bahwa seluruh alam raya bergetar karena rasa gembira atas nikmat yang sangat agung. Karena itulah orang tersebut berdiri sebagai luapan rasa gembira tadi. Berdiri dalam maulid Nabi termasuk tradisi, bukan ibadah, bukan aturan syara’ dan bukan suatu kesunahan.
Hanya saja, berdiri tatkala maulid Nabi dianggap baik menurut sebagian ulama. Artinya perbuatan tersebut hukumnya mubah dilihat dari diri (dzatiyah) perbuatan tersebut dan dianjurkan (mathlûb) dilihat dari motivasi (pendorong) dan nilai yang dihasilkannya (‘awâqib). Syeikh al-Barzanjy mengatakan,
وقد استحسن القيام عند ذكر مولده الشريف أئمة ذوو رواية وروية فطوبى لمن كان تعظيمه r غاية مرامه ومرامه
Syeikh ‘Ali bin Burhânuddîn al-<span>H</span>alaby as-Syâfi’I berkata,[10]
وقد وجد القيام عند ذكر اسمه r من عالم الأمة ومقتدى الأئمة دينا وورعا الإمام تقي الدين السبكي اجتمع عنده جمع كثير من علماء عصره فأنشد قول البوصري في مدحه r :
قليلٌ لمدح المصطفى الخطّ بالذهب _ على ورق من خط أحسن من كتب
وأن تنــهض الأشــراف عند سماعه _ قيــاما صفوفا أو جثيّـًا على الركـب
فعند ذلك قام السبكي رحمه الله وجميع من في المجلس فحصل أنس كبير بذلك المجلس ويكفي مثل ذلك في الاقتداء
Berdiri tatkala penyebutan nama Nabi SAW ditemukan (dilakukan) dari orang ‘alimnya umat dan panutan para imam dalam agama dan kewara’an, Imam Taqiyuddin as-Subky. Belaiu berkumpul bersama banyak ulama masa itu kemudian membaca syi’ir al-Bûshiry dalam memuji Nabi SAW (dua syi’ir di atas). Ketika itulah Imam Subky rhm. dan semua orang yang berada di majlis berdiri sehingga terjadilah ketentraman yang sangat besar di majlis itu. Hal ini sudah cukup sebagai panutan.
[1] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, al-<span>H</span>âwi li al-Fatâwi, vol.I, hal. 251-252.
[2] Syekh Sayyid Muhamad ‘Alâwy al-Maliki, Fatâwî Rasâ`il, hal. 180
[3] Sayyid Muhamad ‘Alawy al- Maliki, Mafâhîm, tt., hal. 78
[4] Sayyid Muhammad ‘Alawy al-Mâliky al-<span>H</span>asany, <span>H</span>aul al-I<span>h</span>tifâl bi Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy as-Syarîf,(Kairo : Dâr Jawâmi’ al-Kalim), cet.ke-10, 1418 H., hal,11-13.
[5] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, ad-Dur al-Mantsûr, Maktabah al-Maimuniyah, vol.II, hal. 308.
[6] Sayyid Muhammad ‘Alawy al-Mâliky al-<span>H</span>asany, <span>H</span>aul al-Ihtifâl, hal. 17
[7] Yûsuf Khaththâr Muhammad, Op.Cit., hal.136
[8] Lebih jelas silahkan lihat dalam pembahasan bid’ah.
[9] Sayyid Muhammad ‘Alawy al-Mâliky al-<span>H</span>asany, <span>H</span>aul al-I<span>h</span>tifâl, hal. 34.
[10] Yûsuf Khaththâr Muhammad,Op.Cit., hal.147
0 komentar:
Posting Komentar