SEPUTAR TAHLIL
PENGERTIAN SECARA UMUM
Tahlil menurut bahasa berasal dari asal kata هلل يهللل تهليلا yang berarti membaca kalimat thayyibah لا اله الا الله . Dalam prakteknya, pembacaan tahlil biasanya disertai dengan membaca tasbih ( سبحان الله ) tahmid (الحمدلله) , shalawat, serta bacaan –bacaan al Qur'an yang lain dan biasanya diawali dengan al-Fatihah dan diakhiri dengan doa. Para ulama sepakat bahwa pembacaan tahlil, tasbih , shalawat , merupakan salah satu bentuk dzikir kepada Allah. Dan Allah telah memerintahkan kepada kita untuk sebanyak mungkin berdzikir kepada-Nya dalam segala kondisi (duduk maupun tidur). Firman allah :
يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا وسبحوه بكرة وأصيلا
"hai orang-orang yang beriman, beerdzikirlah kepada allah sebanyak mungkin dan bertasbihlah kepadaNya pada waktu pagi dan sore " (QS al-A<span>h</span>zâb : 41-42)
Dan firman Allah yang lain :
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين
"Berdzikirlah, sebutlah (nama) tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diridan perasaan takut dan tidak mengeraskan suara diwaktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai". (QS. Al-A'râf : 205).
Hadits Nabi SAW :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله (مسند ابن حنبل : 8353 )
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Perbaharuilah iman kalian semua!’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana caranya, Ya Rosulallah ?’ Kemudian Rasulullah menjawab, ‘Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh.“ ( Musnad ibn <span>H</span>anbal : 8353 )
Rasulullah SAW juga bersabda
عن أبي هريرة t قال قال رسول الله r لأن أقول سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله أكبر أحب الي مما طلعت عليه الشمش (رواه مسلم)
Dari sahabat Abi Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda :"Sungguh, membaca subhanallah wal hamdulillah wala ilaaha illa allah lebih aku senangi dari pada seluruh alam yang diterangi oleh matahari".(HR. Muslim)
عن أبى هريرة t قال قال رسول الله r كلمتان خفيفتان على اللسان ثقيلتان فى الميزان حبيبتان الى الرحمن سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم (رواه البخارى و مسلم)
"Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasullullah SAW bersabda : "Dua kalimah yang ringan di lidah (mudah diucapkan), berat dalam timbangan (amal di akhirat), dicintai oleh Allah SWT, yaitu : subhanallah wa bi hamdih subhanallahil 'adhim". (HR. Bukhâri Muslim)
PENGERTIAN SECARA KHUSUS
Pada dasarnya tahlil yang secara khusus seperti halnya yang kita kenal dengan diawali bacaan al-fatihah kemudian bacaan-bacaan dzikir dan seterusnya yang terakhir ditutup dengan doa, sebenarnya tidak pernah disusun oleh Nabi SAW. Namun menyusun tahlil seperti di atas diperbolehkan karena berisi dzikir-dzikir yang dianjurkan agama dan bertujuan menyumbangkan pahala atau memberi supley kepada orang yang sudah meninggal supaya bermanfaat baginya .
Melihat isi dan tujuan tersebut, kita seharusnya berterimakasih kepada para ulama’ yang telah menyusun tahlil sehingga kita lebih mudah dalam berdzikir dan ber’amal.
SEPUTAR FIDA’AN
Fida’ merupakan istilah dari ritual yang faidahnya sebagai penebus dari api neraka dengan cara membaca lafadz tahlil sebanyak 70.000 kali.
Syekh Abu Muhammad Abdullah bin As'ad al-Yâfi'i bersumber dari Syekh Abi Zaid al-Qurthûbi menjelaskan :
سمعت من بعض الأثر أن من قال لا اله الا الله سبعين ألف مرة كانت فداءه من النار فعملت على ذلك رجاء بركة الوعد أعمالا ادخرتها لنفسى وعملت منها لأهلى
Saya mendengar dari salah satu Atsar ( haditsnya sahabat Nabi ) bahwasanya barang siapa membaca لا اله الا الله sebanyak 70.000 kali maka bacaan tersebut akan menjadi tebusan dari api neraka‘
Sebenarnya status riwayat ini masih perselisihkan oleh para ulama’. Sebagian memvonis riwayat tadi adalah dhaif , karena dalam meriwayatkan hadits harus jelas status orang tersebut baik dalam sisi luar maupun dalam sehingga karena Imam Qurtubi tidak dikenal kepiawaiannya di bidang hadits oleh para ulama’ hadits, maka hadits tersebut belum bisa untuk menjadi dalil kesunahan fidâ`an. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa atsar yang diriwayatkan oleh Imam Qurthûbi memang benar adanya. Termasuk ulama yang mempunyai pendapat semacam itu adalah al-‘Allâmah Ahmad bin Muhammad al-Wâyily dan al-Imâm Syaikhul Islam al Thanbadawi al Bakri didalam kitab fatawinya. Bahkan beliau memantapkan kita dengan menunjukkan sebuah referensi dengan ungkapan beliau, “ Lihatlah atsar tadi di kitab Al maqâshid al-<span>H</span>asanah fi al-Ahâdits ad-Dâ`irah ‘alâ al-Alsinah milik Syaikh al-Imam al-Khafidh Syamsuddîn al-Sakhâwi.” Pendapat ini didukung oleh hadits :
مَنْ بَلَغَهُ عَنْ اللَّهِ شَيْءٌ لَهُ فِيهِ فَضِيلَةٌ فَأَخَذَهُ إيمَانًا بِهِ وَرَجَاءَ ثَوَابِهِ أَعْطَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ (رَوَاهُ الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ فِي جُزْئِهِ وَيَتَوَجَّهُ أَنَّ إسْنَادَهُ حَسَنٌ)
“Barang siapa yang datang kepadanya dari Allah suatu amal yang mempunyai keutamaan, kemudian dia mengamalkan dengan mengimaninya dan mengharapkan limpahan pahalanya maka allah SWT akan memberikan apa yang dia harapkan walaupuun sebenarnya suatu amal tadi sebenarnya tidak seperti itu.”
Hadits di atas menjelaskan bahwa ketika kita mendengar suatu amalan yang mengandung fadlîlah kemudian kita laksanakan seraya mengharap fadlilah tersebut, maka Allah akan memberikannya. Menurut al-‘Alâmah Jamâl al-Qamâth, mengamalkan hal yang demikian lebih utama karena tidak bertentangan dengan ushul syari’ah. Hal ini diamini oleh Sayyid Muhamad bin Ahmad bin ‘Abdul Bari al-Ahdali. [1]
HUKUM MEMBACA TAHLIL/MENGHADIAHKAN
PAHALA AMAL PEMBACAAN AL-QURAN, DZIKIR DLL
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Islam di berbagai negara untuk menyelenggarakan pembacaan al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai dzikir lainnya, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia. Lantunan Yasîn dan surat-surat lain dalam al-Quran serta gemuruh tahlil dari lisan para peziarah bukanlah pemandangan yang asing katika kita memasuki sebuah rumah yang sedang berduka atau pemakaman. Dengan khusyu', kerendahan hati dan prasangka baik kepada Allah yang Maha Pemberi dan Maha Pengampun, para penta'ziah ataupun peziarah melantunkan ayat-ayat suci dan kalimat dzikir. Mereka yakin perbuatan tersebut akan bermanfaat bagi peziarah maupun yang diziarahi.
Adapun hukum pembacaan al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid dan sholawat merupakan salah satu bentuk dzikir kepada Allah SWT. Allah telah memerintahkan kita untuk sebanyak mungkin dzikir kepada-Nya dalam segala keadaan, berdiri, duduk maupun berbaring.
Dzikir merupakan salah satu sarana ibadah yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT secara cepat. Sayangnya, di saat dan tepat di mana manusia seharusnya lebih banyak dzikir, mereka justru lalai dan tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Di hadapan mayat, di perkebunan, di Masjid, saat ini sering kali terdengar pembicaraan bisnis, padahal Rasulallah SAW pernah bersabda:
سيكون في آخر الزمان رجالٌ يأتون المساجد فيقعُدون فيها حلقا حلقا ذكْرُُهم الدنيا وحُبُّها فلا تجالسوهم فليس لله بهم حاجةٌ
"Kelak di akhir zaman akan muncul manusia-manusia yang mendatangi masjid-masjid dan duduk disana secara berkelompok-kelompok. Perbincangan mereka hanyalah dunia dan kecintaan kepada dunia. Janganlah kalian duduk bersama mereka, karena Allah tidak membutuhkan mereka.[2]
Di Zaman akhir ini, banyak orang yang tidak dapat memetik pelajaran dari sesosok jenazah yang terbujur kaku. Dihadapannya justru banyak orang yang berbincang bincang tetang urusan duniawi, tidak berdzikir, apalagi membaca al-Quran. Padahal, Allah memerintahkan kita untuk mengingat kematian, untuk mengingat-Nya.
Daripada duduk diam tanpa arti, atau berbicara yang tidak bermanfa'at, mengucapkan kalimat yang tidak berpahala, dihadapan jenazah saudara kita sesama muslim, alangkah baiknya jika kita gunakan kesempatan tersebut untuk berdzikir kepada Allah SWT dengan membaca al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat dan berbagai bentuk dzikir lainnya. Paling tidak, orang yang berdzikir dan umat Islam yang hadir di sana mendapat manfa'at darinya.
Tapi mungkin saja muncul pertanyaan apakah hal tersebut secara khusus pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW dan dilakukan oleh para shahabat ra.?
Di dalam al-Quran, Allah SWT mewahyukan:
úïÏ%©!$#ur râä!%y` .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ cqä9qà)t $uZ/u öÏÿøî$# $oYs9 $oYÏRºuq÷z\}ur úïÏ%©!$# $tRqà)t7y `»yJM}$$Î/ ÇÊÉÈ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Allah, berilah ampunan pada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (QS al-<span>H</span>asyr : 10 )
Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah SWT telah meridhai terhadap orang-orang yang meminta ampun untuk dirinya dan kerabatnya yang sudah meninggal dunia. Berarti bisa diambil kesimpulan bahwa tahlil untuk mayit adalah ritual yang memang dianjurkan dan ada dasarnya dari Al-Quran.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan bahwa Amîrul Mukminîn Ustman bin Affân ra berkata, “Dahulu, setelah jenazah dikebumikan, Rasulullah SAW berdiri di depan makam dan bersabda:
اِسْتغفِروا لأخيكم وَسَلُوْا له بالتَّثبًيت فإنه الآن يُسْأَل
Artinya: " Mintakanlah ampun bagi saudara kalian ini, dan berdo'alah agar ia diteguhkan (dalam menjawab pertanyaan Malaikat), sebab, saat ini ia sedang ditanya.! (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas secara jelas mengajarkan kepada kita untuk mendoakan dan memohonkan ampun tatkala jenazah telah dikubur. Seandainya doa tidak bermanfaat bagi mayit, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkannya.
Di samping itu, ulama telah sepakat tentang bolehnya mendoakan mayat dalam shalat jenazah. Rasulullah SAW pernah bersabda :[3]
قال r إذا صليتم على الميت فأخلِصوا له الدعاء ( أخرجه أبو داوود في السنن من حديث أبي هريرة)
"Ketika kalian semua mensholati mayit maka ihklaslah dalam mendo'akannya "
Umpama doa itu tidak bisa sampai dan bermanfaat bagi mayat, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan kita untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dengan tulus ikhlas.
Adapun tentang hukum membaca Al-Quran dihadapan jenazah atau makam, maka hal itu boleh-boleh saja dan hal itu dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:
إقرؤوا يس على موتاكم
Artinya: " Bacakanlah surat Yasîn kepada orang-orang yang meniggal dunia diantara kalian.! (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
يس قلب القرآن لايقرؤها رجل يريد الله تبارك وتعالى والدار الآخرة إلا غفر له واقررها على موتاكم
Artinya: "Surat Yasin adalah jantung al-Quran, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan (keridho'an) Allah Tabaraka Wata'ala dan negeri Akhirat, melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah Yasîn kepada orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian.! (HR. Ahmad)
Sayyid Zainal Abidin al-Alawi Al-<span>H</span>usaini dalam kitab al-Ajwibah al-Ghâliyah fi 'Aqidah Firqah an-Najiyah menuliskan :
"Para ulama muhaqqiqin menyebutkan bahwa hadits di atas (tentang pembacaan surat Yasin kepada yang telah meninggal dunia) berlaku secara umum, baik untuk mereka yang sedang sekarat, maupun bagi mereka yang telah meninggal dunia sebagaimana tampak jelas dalam teks hadits tersebut"[4].
Dalam hadits lain disebutkan,
عَنْ عَلِيٍّ t أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ إحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنْ الْأَجْرِ بِعَدَدِ الْأَمْوَاتِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)
Dari Sayyidina Ali ra. sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Barang siapa lewat di kuburan dan membaca Qul huwa Allah A<span>h</span>ad (surat al-Ikhlâsh) sebelas kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang mati, maka ia akan diberi pahala sesuai jumlah orang yang meninggal (HR. ad-Dâruquthny).
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُورَةَ يس خُفِّفَ عَنْهُمْ يَوْمَئِذٍ وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيهَا حَسَنَاتٌ
Dari Anas, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa masuk ke kuburan kemudian membaca surat yâsîn maka ketika itu siksa diringankan dari mereka dan ia mendapat kebaikan sesuai jumlah orang yang ada dalam kuburan tersebut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t أن النبي r قَالَ إن الله ليرفع الدرجةَ للعبد الصالح في الجنة فيقول ياربِّ أنَّى هَذِهِ ؟ فَيَقُولُ باسْتِغْفَارِ وَلَدِك لكَ (أخرجه أحمد وقال ابن كثير في تفسيره إسناده صحيح)
Diriwayatkan dari Abi Hurairah,sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah meninggikan derajat seorang hamba yang shalih di surga. Ia bertanya, “Wahai Tuhanku, Bagaimana aku mendapatkan ini ? Allah menjawab,” Dengan permohonan ampun dari anakmu untukmu.” (HR Ahmad”[5]
Dari beberapa dalil di atas jelaslah bahwa tahlil dan seisinya adalah bacaan–bacaan yang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW dan pahalanya bisa sampai kepada orang yang meninggal. Bahkan Imam Abu Hanifah menyatakan, " Barang siapa mengatakan pahalanya tidak sampai kepada ahli mayit maka dia berarti merusak kesepakatan para ulama' "
Imam Ibnu Hajar juga berpendapat, " Madzhab ahli sunnah itu mempersilahkan menjadikan pahala amalnya dan sholatnya di peruntukkan kepada orang yang sudah meninggal dunia dan pahalanya akan sampai kepadanya " [6]
Imam al-Qurtubi juga mengatakan, " Ulama' sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada arang yang sudah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-Quran, do'a , dan istighfar dan itu semua termasuk kategori sadaqah "[7]
Imam an-Nawawi dalam kitab Adzkarnya juga mengatakan :
" أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويَصِلُهم ثوابُهم "
"Ulama sepakat bahwa do'a yang diperuntukkan pada orang yang wafat akan memberikan manfaat serta akan sampai pahalanya"
TANGGAPAN ATAS BEBERAPA DALIL
Tanggapan Ayat : وأَنْ لَيْسَ لِِلإنسان إلا ماسَعَى
Ayat di atas seakan-akan memberikan sebuah pemahaman, “Bahwa manusia hanya bisa mendapatkan pahala amal baik yang telah ia lakukan, dari pribadinya masing-masing, dan amal baik seseorang tidak akan bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain”.
Sedangkan tahlil yang dipercayai bisa memberikan kemanfaatan bagi mayat atau bahkan ada istilah fida’ (tebusan), hal ini jelas bertentangan dengan konsep ayat di atas. Selain itu, menurut orang yang tidak mempercayai tahlil, kenyataan yang sudah mewabah di masyarakat saat ini, telah dianggap satu perkara yang dilarang oleh Nabi SAW, dengan dikategorikan sebagai bid’ah dlolalah. Sesuai dengan hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”
Hadits ini telah disepakati oleh ulama sebagai dasar atas diharamkannya bid’ah dlolalah, sehingga tahlil yang sama sekali tidak pernah kita dengar dari Nabi SAW, dianggap satu bid’ah atau model baru yang sesat dan menyesatkan, masya Allah na’udzubillah min dzalik.
Jawaban <span> </span>
Kalau kita pandang sekilas dari pemahaman ayat tersebut (An-Najm : 39), maka akan memberikan sebuah kesan bahwa manusia yang sudah meninggal (di akhirat) hanya akan mendapatkan balasan amal sesuai dengan apa yang telah ia lakukan (tidak ditambah maupun dikurangi) ketika ia masih hidup (di dunia), atau juga bisa memberikan kesan perbuatan baik seseorang tidak akan pernah bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain.
Hanya saja pemahaman yang sangat sederhana ini memiliki banyak sekali kelemahan, apabila ditinjau dari berbagai macam aspek :
Pertama; anak cucu yang mengikuti leluhurnya dengan keimanan akan diletakkan ditempat yang sama meskipun tidak memiliki bekal amal yang sama sesuai dengan al-Quran yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNåk÷Jyèt7¨?$#ur NåkçJÍhè ?`»yJÎ*Î/ $uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJÍhè !$tBur Nßg»oY÷Gs9r& ô`ÏiB OÎgÎ=uHxå `ÏiB &äóÓx« 4 @ä. ¤ÍöD$# $oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu ÇËÊÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya”.( QS. At-Thur : 21 )
Dari pemahaman ayat ini berarti amal baik seorang ayah dapat bermanfaat kepada anak cucunya. Apakah kenyataan ini tidak dinamakan “Kebaikan seseorang bisa bermanfaat kepada orang lain?”
Selain itu, kalau melihat sebuah cerita yang tertera dalam Al-Quran “pada saat Allah mensyafa’ati (menolong) seorang anak maka ayahnyapun juga ikut di dalamnya, ataupun sebaliknya”, hal ini telah difirmankan oleh Allah yang berupa :
3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR
Artinya : “Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu”. (QS. Al-Nisa’ : 11)
Kalau mau jujur, dari dua ayat ini saja sebenarnya sudah dapat disimpulkan “Bahwa amal baik seseorang dapat bermanfaat pada orang lain”, karena kedua ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa amal baik seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain.
Kedua; Syekh Sulaiman bin Umar al-‘Ajili menjelaskan :
قال ابن عباس t هذا منسوخ الحكم فى هذه الشريعة أي وإنما هو في صحف موسى وابراهيم عليهما السلام بقوله "وألحقنا بهم ذريتهم" فأُدْخِلَ الأبناء في الجنة بصلاح الأباء وقال عكرمة إن ذلك لقوم ابراهيم وموسى عليهما السلام وأما هذه الأمة فلهم ماسعوا وماسعى لهم غيرهم (الفتوحات الإلهية)
“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. An-Najm : 39 telah dihapus dengan firman Allah SWT (QS. At-thur ; 21) . Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain”[8].
Ketiga; Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :
وأما قوله تعالى وأن ليس للإنسان إلا ماسعى فهو مقيَّد بما إذا لم يَهَب العاملُ ثوابَ عملهِ لغيره ومعنى الأية أنه ليس ينفع الإنسان فى الآخرة إلا ماعمله فى الدنيا مالم يعمل له غيره عملا ويَهَبَه له فإنه ينفعه كذلك
“Firman Allah SWT وان ليس للإنسان إلاماسعىperlu diberi batasan, yaitu ketika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada orang yang meninggal. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut”[9]
Pendapat lain mengatakan :
أنَّ الآية إخبار عن شرع من قبلنا لقوله تعالى "لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا"(المائدة : 48) وقد دل شرعُنا على أن الإنسان له سعْيُه وماسعى له غيرُه كما دلت عليه الآيات المتقدمة (سورة الطور) والحديث المتقدم
“Ayat tersebut menceritakan mengenai syari’at orang-orang terdahulu, sebagaimana Firman Allah SWT “Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah, 48). Sedangkan dalam syari’at kita, yakni syari’at Nabi Muhammad SAW, telah dijelaskan bahwa manusia dapat menerima amalnya sendiri atau amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaiman ditunjukkan dalam QS. Al-Thur, 21 serta hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di depan”.
Keempat; di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39, yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Wafa’ Ibnu ‘Aqil al-Baghdadi al-Hanbali sebagai berikut :
الجواب الجيِّدُ عندي أن يقال الإنسان بسعيه وحُسْنِ عُشْرَتِه اكْتَسَبَ الأصدقاءَ وأوْلَدَ الأولادَ ونكح الأزواجَ وأَسْدَى الخيرَ وتودَّدَ إلى الناس فتَرَحَّمُوا عليه وأهدَوْا له العباداتِ وكان ذلك أثرَ سعيِهِ
“Jawaban yang baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya, kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”[10].
Kelima; Menurut Abi Bakar al-Warrâq, ayat di atas (QS. Al-Najm : 39) tidak tepat kalau dibuat alasan untuk melarang tahlil dan menghadiahkan pahala, karena ungkapan al-Quran (الاماسعى) tidak berhubungan sama sekali dengan amal baik atau buruk seseorang, apalagi berhubungan dengan dilarangnya tahlil dan menghadiahkan pahala, karena menurut Abi Bakar al-Warrâq arti (الاماسعى) adalah (الامانوى) yang berarti :”kecuali dengan apa yang diniati”. Hal ini didukung sabda Nabi SAW,
يُبْعَثُ الناسُ يوم القيامة على نياتهم
Artinya : “Manusia dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niatnya” [11] Pendapat ini lebih mengedepankan niat untuk mengarahkan ayat diatas dari pada diarahkan ke-fi’lu (pekerjaan) yang jelas-jelas bertentangan dengan banyak sekali teks al-Quran dan al-Hadits.
Keenam; ayat وان ليس للإنسان الاماسعى menurut ar-Rabî’ bin Anas hanya diperuntukkan untuk orang kafir. Di dunia ini mereka akan mendapatkan balasan atas amal baik mereka, sehingga di akhirat nanti sudah tidak memiliki kebaikan lagi. Sebagaimana riwayat bahwa ketika ‘Abdullah bin Ubay, pemimpin orang munafik meninggal dunia, Rasulullah SAW memberikan pakaian Beliau untuk dijadikan kain kafannya. Hal ini Beliau SAW lakukan karena dulu ‘Abdullah bin Ubay pernah menghadiahkan pakaiannya kepada Sayyidina ‘Abbâs, paman Rasulullah SAW. Sehingga di akhirat nanti ‘Abdullah bin Ubay tidak memiliki kebaikan lagi. Lain halnya dengan orang muslim, ia akan mendapatkan pahala atas amalnya dan amal orang lain yang ditujukan untuknya. [12]
$ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 ÇËÑÏÈ Tanggapan Ayat
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."(QS Al Baqarah : 286)
Ayat ini juga termasuk ayat yang sering dijadikan sebagai dalil bahwa pahala amal saleh tidak bisa sampai pada orang yang meninggal. Untuk dapat mengetahui makna ayat-ayat al-Quran dengan benar, kita harus bertanya kepada ahlinya yaitu para mufassir (ahli tafsir). Banyak orang mengartikan al-Quran dengan pemikiranya sendiri tanpa dilandasi ilmu yang luas, maka akan diancam oleh baginda Nabi Muhammad SAW dalam sabda beliau ;
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار )رواه الترمذي وأحمد(
“Barang siapa berbicara tentang ayat-ayat yangt terdapat dalam al qur’an tanpa dilandasi dengan ilmu hendaknya dia mengambil tempatnya dineraka “
Inilah prinsip dasar yang harus kita pegang, bukan didorong oleh hawa nafsu dalam mentafsiri al-Quran.
Sebenarnya ayat di atas mengandung dua makna pokok ;
Makna pertama; bahwa seseorang bisa mendapatkan kebaikan disebabkan amalnya. Maksud dari ayat ini hampir sama dengan ayat ; (وأن ليس للانسان الا ما سعى), karena dari pemahaman bahwa seseorang bisa mendapatkan pahala dari amal yang ia kerjakan, tidak berarti secara langsung bisa diambil kesimpulan bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan manfa’at dari pemberian pahala orang lain. Seperti contoh dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mendapatkan makanan dan minuman dari hasil pekerjaan kita, kita mendapat gaji dari hasil kerja kita, namun apakah kita tidak diperbolehkan makan dan minum dari pemberian orang lain? Tentu jawabannya boleh-boleh saja .
Makna kedua ; menjelaskan bahwa seseorang akan disiksa karena kejahatan yang dikerjakannya. Bila difikir lebih dalam, sebenarnya ayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan persoalan apakah pahala akan bisa sampai pada mayat atau tidak. Ayat ini hanya membicarakan bahwa seseorang akan menanggung siksa dari dosa yang ia lakukan. Namun bukan berarti menafikan ketika seseorang diringankan dari siksanya dengan lantaran ada sumbangan doa atau shadaqah dari orang lain, seperti yang dikutip dari Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abd al-Bârî al-Ahdal dalam Ifâdah at-Tulâbnya [13]
Tanggapan Hadits
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Ketika anak cucu Adam meninggal maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga hal ; shadaqoh jariyah (waqaf), ilmu yang bermanfa’at, dan anak sholeh yang mendoakannya “
Maksud dari hadits tersebut menurut Sayyid ‘Alâwi ibn Abbâs al-Mâlikî al-<span>H</span>asanî adalah sebagaiman dalam dawuh beliau,
“Ketahuilah bahwa sebenarnya terputusnya amal sebab kematian termasuk hal yang maklum, karena ketika sudah meninggal, seseorang tidak beramal dan juga sudah tidak terkena beban hukum. Namun maksud dari hadits di atas adalah bahwa sebagian dari amal ada yang tidak terputus pahalanya, dalam arti tetap berbuah dan mengalir walaupun sudah meninggal dunia.”
Sebenarnya amal yang pahalanya masih mengalir setelah kematian tidak terbatas hanya tiga hal saja, terbukti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Abi Hurairah ra. :
قال رسول الله r إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته علما نشره وولدا صالحا تركه ومصحفا ورثه ومسجدا بناه وبيتا لابن السبيل بناه ونهرا أجراه وصدقة أخرجها من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته (أخرجه ابن ماجه عن أنس)
“Sesungguhnya termasuk dari amal dan kebaikan yang mengalir pahalanya setelah kematian adalah ilmu yang ia sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah untuk para musafir yang ia dirikan, sungai yang ia alirkan, shadaqah yang ia keluarkan dari hartanya tatakala sehat maupun sakit. Semua itu tetap ia temui setelah ia meninggal.”(HR Ibn Mâjah) [14]
Kemudian dalam memahami makna hadits ini banyak yang keliru karena kekeliruan dalam memahami bahasa “terputus” yang terdapat dalam hadits tersebut.Ibn Abî al-‘Izz dalam Syarh al-‘Aqîdahat-Tha<span>h</span>âwiyah mengatakan<span>,</span>
Menggunakan sabda Rasulullah Idzâ Mâta Ibn Âdama… sebagai dalil (tidak sampainya hadiah pahala) tidaklah tepat. Hal ini karena Rasulullah tidak mengatakan, “terputus kemanfaatannya (intifâ`).” Beliau hanya mengabarkan tentang terputusnya amal orang tersebut. Sedang mengenai amal orang lain, maka itu milik orang yang melakukannya. Apabila ia berikan Kepada orang yang mati tadi, maka pahala orang yang melakukan dapat sampai kepadanya, bukan pahala amalnya sendiri. Hal ini mirip dengan permasalahan melunasi hutang orang lain. Tentunya orang yang punya hutang sudah terbebas dari tanggung jawab. Namun yang digunakan untuk melunasi hutang bukan dari hartanya. [15]
KESIMPULAN
Setelah mennyimak berbagai dalil diatas kita tidak perlu lagi terjerumus dalam perdebatan yang membosankan dan tak ada ujungnya. Jika kita rasa dalil-dalil itu telah cukup, maka segera amalkan.Bantulah saudara-audara kita yang berada di alam kubur, di alam barzakh, dengan mengirimkan doa-doa kita kepada mereka dan bersedekah atas nama mereka.
MEMBACA AL-QURAN DAN TAHLIL DI PEMAKAMAN
Membaca al-Quran atau lainnya di pemakaman hampir sama dengan membaca al-Quran di rumah dengan tujuan dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal. Hanya saja kalau membaca berada dipemakaman itu mempunyai nilai plus tersendiri, diantaranya para ahli kubur merasa senang, tentram dan merasa diperhatikan oleh orang-orang yang masih hidup di dunia. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah bahwa Nabi muhamad SAW pernah bersabda,
ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عنده إلا استأنس به وردّ عليه حتى يقوم (رواه الديلمي )
“tidaklah seseorang yang berziarah kemakam saudaranya dan duduk disampingnya, melainkan saudaranya tersebut merasa senang dengan kehadirannya dan saudaranya juga menjawab salam sehingga seseorang tadi berdiri”
Al-<span>H</span>âfidh Jalâluddin as-Suyûthi berkata, ”Al-Baihaqi dan at-Thabrâny meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda
إذا مات أحدكم فلا تحبسوه وأِسْرِعوا به إلى قبره وليقرأ عند رأسه بفاتحة الكتاب وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره ( رواه الطبراني في الكبير ) ولفظ البيهقي "فاتحة البقرة وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره
Ketika salah satu dari kalian meninggal, maka jangan lama-lama di rumah, segeralah membawanya ke pemakaman dan bacakanlah di sisi kepalanya surat al-fatihah dan di sisi kedua kakinya akhir surah al baqarah” Dalam riwayat al-Baihaqy,”dengan awal al-Baqarah dan di sisi kedua kakinya dengan akhir surat al-Baqarah ketika di kuburnya.
Menurut keterangan Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al Mâliki, para sahabat juga melakukan aktivitas ini berdasarkan haditst di atas. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal awalnya mengatakan bid’ah namun kemudian beliau menarik lagi pendapat tadi.
فَقَدْ رَوَى جَمَاعَةٌ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ أَنَّهُ مَرَّ بِضَرِيرٍ يَقْرَأُ عِنْدَ قَبْرٍ فَنَهَاهُ وَقَالَ الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِيُّ يَا أَبَا عَبْدَ اللَّهِ مَا تَقُولُ فِي حَبَشٍ الْحَلَبِيِّ ؟ فَقَالَ ثِقَةٌ فَقَالَ حَدَّثَنِي مُبَشِّرٌ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَوْصَى إذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْت ابْنَ عُمَرَ يُوصِي بِذَلِكَ فَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ارْجِعْ فَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى رُجُوعِهِ
Ketika imam ahmad bin Hanbal mengikuti ritual pemakaman dengan Muhamad bin Qudamah, ada seorang lelaki buta membaca al-Quran di samping makam. Imam Ahmad melarang dan berkata kepadanya, “Membaca al-Quran di kuburan termasuk bid’ah.” Setelah keluar dari pemakaman Imam Ahmad ditanya oleh Muhamad bin Qudamah al-Jauhary, “Wahai Abâ Abdillah (Ahmad bin Hanbal), bagaimana pendapatmu tentang <span>H</span>abasy al-<span>H</span>alabby ?” “Dia orang terpercaya,” jawab Ahmad bin Hanbal. Muhammad bin Qudâmah berkata, “Mubasyir bercerita kepadaku dari ayahnya sesungguhnya ia berwasiat apabila telah dikubur agar dibacakan disampingnya permulaan al-Baqarah dan akhirnya dan berkata, “Aku mendengar Ibn Umar mewasiatkan hal itu.” Imam Ahmad kemudian berkata, “Kembalilah kemudian katakan kepada lelaki tadi yang membaca. (Al-Inshâf li al-Mardâwy 2/558-559)
Al-Hasan bin as-Shabâ<span>h</span> az Za’farâny pernah bertanya pada imam syafi’I tentang membaca bacaan di pemakaman. Beliau menjawab, “لا بأس به”(tidak masalah). Demikian laporan Ibn al-Qoyyim dan as-Suyûthy.
Syeikh Khalâl menceritakan dari as-Sya’bi, ia berkata, “Orang Anshar apabila ada salah seorang dari mereka yang meninggal, mereka berkali-kali datang ke kuburnya seraya membaca al-Quran di sisinya. [16]
Imam Nawawi ra<span>h</span>ima<span>h</span>ullah dalam al-Majmû’ (5/268) berkata,
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنْ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ , وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا , نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ , وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ
Disunnahkan untuk membaca apa yang mudah (dapat dilakukan) dari al-Quran kemudian mendoakan Kepada ahli kubur sebagaimana yang dinash (dinyatakan secara tegas) oleh Imam Syafi’i dan disepakati oleh ash-<span>h</span>âb
[1] Sayyid Muhamad bin Ahmad bin Abdul Bârî al-Ahdal, Ifâdah at-Thullâb, (Bangilan : al-Mishbâ<span>h</span>), hal. 38-43
[2] Abu ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûby, Al-Jâmi' li al-Ahkâm al-Qur`ân, Dâr el-Ihya' Turâts al-‘Arabi, vol.XII hal.277.
[3] Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bârî al-Ahdal, Op.Cit., Hal 10.
[4] Zainal Âbidin Alwi al-Husaini, Op.Cit., hal. 80.
[5] Utsmân bin ‘Ali az-Zala’I, Tabyîn al-<span>H</span>aqâ`iq, Dâr al-Kitâb al-Islâmy, vol.II, hal.85
[6] Muhammad Nawawi ibn ‘Umar at-Tanâry al-Bantany, Nihâyah az-Zain, (Surabaya : al-Hidâyah), tt., hal.193
[7] Abu ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûby, Tadzkirah al-Qurthûby, hal 25
[8] Sulaiman ibn Umar al-‘Ajili, Al-Futu<span>h</span>ât al-Ilâhiyah, (Beirut : Dâr al-Fikr),tt., vol.IV, hal.236
[9] Hasanain Muhammad Makhlûf, <span>H</span>ukm as-Syarî’ah al-Islâmiyyah fi Ma’tam al-Arba’în, (Beirut : Mushthafâ al-Bâb al-Halaby), 1968, hal. 23-24
[10] Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Ar-Rûh, (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 2002, hal. 145
[11] Fakhruddîn ar-Râzi, Tafsir Fakhr ar-Râzi, vol. 27, hal, 115
[12] Abû Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Farrâ` al-Baghawy, Ma’âlim at-Tanzîl, (Beirut : Dâr al-Fikr), 1985, vol. V, hal. 255
[13] Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bârî al-Ahdal, Op.Cit., hal 12
[14] Sayyid Muhammad bin ‘Alawy al-Mâliky, Ta<span>h</span>qîq al-Âmâl, (Kairo : Dâr al-Jawâmi’ al-Kalim), hal 12-13
[15] Ibid, hal. 15
[16] Ibid, hal. 59-60
PENGERTIAN SECARA UMUM
Tahlil menurut bahasa berasal dari asal kata هلل يهللل تهليلا yang berarti membaca kalimat thayyibah لا اله الا الله . Dalam prakteknya, pembacaan tahlil biasanya disertai dengan membaca tasbih ( سبحان الله ) tahmid (الحمدلله) , shalawat, serta bacaan –bacaan al Qur'an yang lain dan biasanya diawali dengan al-Fatihah dan diakhiri dengan doa. Para ulama sepakat bahwa pembacaan tahlil, tasbih , shalawat , merupakan salah satu bentuk dzikir kepada Allah. Dan Allah telah memerintahkan kepada kita untuk sebanyak mungkin berdzikir kepada-Nya dalam segala kondisi (duduk maupun tidur). Firman allah :
يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا وسبحوه بكرة وأصيلا
"hai orang-orang yang beriman, beerdzikirlah kepada allah sebanyak mungkin dan bertasbihlah kepadaNya pada waktu pagi dan sore " (QS al-A<span>h</span>zâb : 41-42)
Dan firman Allah yang lain :
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين
"Berdzikirlah, sebutlah (nama) tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diridan perasaan takut dan tidak mengeraskan suara diwaktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai". (QS. Al-A'râf : 205).
Hadits Nabi SAW :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله (مسند ابن حنبل : 8353 )
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Perbaharuilah iman kalian semua!’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana caranya, Ya Rosulallah ?’ Kemudian Rasulullah menjawab, ‘Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh.“ ( Musnad ibn <span>H</span>anbal : 8353 )
Rasulullah SAW juga bersabda
عن أبي هريرة t قال قال رسول الله r لأن أقول سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله أكبر أحب الي مما طلعت عليه الشمش (رواه مسلم)
Dari sahabat Abi Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda :"Sungguh, membaca subhanallah wal hamdulillah wala ilaaha illa allah lebih aku senangi dari pada seluruh alam yang diterangi oleh matahari".(HR. Muslim)
عن أبى هريرة t قال قال رسول الله r كلمتان خفيفتان على اللسان ثقيلتان فى الميزان حبيبتان الى الرحمن سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم (رواه البخارى و مسلم)
"Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasullullah SAW bersabda : "Dua kalimah yang ringan di lidah (mudah diucapkan), berat dalam timbangan (amal di akhirat), dicintai oleh Allah SWT, yaitu : subhanallah wa bi hamdih subhanallahil 'adhim". (HR. Bukhâri Muslim)
PENGERTIAN SECARA KHUSUS
Pada dasarnya tahlil yang secara khusus seperti halnya yang kita kenal dengan diawali bacaan al-fatihah kemudian bacaan-bacaan dzikir dan seterusnya yang terakhir ditutup dengan doa, sebenarnya tidak pernah disusun oleh Nabi SAW. Namun menyusun tahlil seperti di atas diperbolehkan karena berisi dzikir-dzikir yang dianjurkan agama dan bertujuan menyumbangkan pahala atau memberi supley kepada orang yang sudah meninggal supaya bermanfaat baginya .
Melihat isi dan tujuan tersebut, kita seharusnya berterimakasih kepada para ulama’ yang telah menyusun tahlil sehingga kita lebih mudah dalam berdzikir dan ber’amal.
SEPUTAR FIDA’AN
Fida’ merupakan istilah dari ritual yang faidahnya sebagai penebus dari api neraka dengan cara membaca lafadz tahlil sebanyak 70.000 kali.
Syekh Abu Muhammad Abdullah bin As'ad al-Yâfi'i bersumber dari Syekh Abi Zaid al-Qurthûbi menjelaskan :
سمعت من بعض الأثر أن من قال لا اله الا الله سبعين ألف مرة كانت فداءه من النار فعملت على ذلك رجاء بركة الوعد أعمالا ادخرتها لنفسى وعملت منها لأهلى
Saya mendengar dari salah satu Atsar ( haditsnya sahabat Nabi ) bahwasanya barang siapa membaca لا اله الا الله sebanyak 70.000 kali maka bacaan tersebut akan menjadi tebusan dari api neraka‘
Sebenarnya status riwayat ini masih perselisihkan oleh para ulama’. Sebagian memvonis riwayat tadi adalah dhaif , karena dalam meriwayatkan hadits harus jelas status orang tersebut baik dalam sisi luar maupun dalam sehingga karena Imam Qurtubi tidak dikenal kepiawaiannya di bidang hadits oleh para ulama’ hadits, maka hadits tersebut belum bisa untuk menjadi dalil kesunahan fidâ`an. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa atsar yang diriwayatkan oleh Imam Qurthûbi memang benar adanya. Termasuk ulama yang mempunyai pendapat semacam itu adalah al-‘Allâmah Ahmad bin Muhammad al-Wâyily dan al-Imâm Syaikhul Islam al Thanbadawi al Bakri didalam kitab fatawinya. Bahkan beliau memantapkan kita dengan menunjukkan sebuah referensi dengan ungkapan beliau, “ Lihatlah atsar tadi di kitab Al maqâshid al-<span>H</span>asanah fi al-Ahâdits ad-Dâ`irah ‘alâ al-Alsinah milik Syaikh al-Imam al-Khafidh Syamsuddîn al-Sakhâwi.” Pendapat ini didukung oleh hadits :
مَنْ بَلَغَهُ عَنْ اللَّهِ شَيْءٌ لَهُ فِيهِ فَضِيلَةٌ فَأَخَذَهُ إيمَانًا بِهِ وَرَجَاءَ ثَوَابِهِ أَعْطَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ (رَوَاهُ الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ فِي جُزْئِهِ وَيَتَوَجَّهُ أَنَّ إسْنَادَهُ حَسَنٌ)
“Barang siapa yang datang kepadanya dari Allah suatu amal yang mempunyai keutamaan, kemudian dia mengamalkan dengan mengimaninya dan mengharapkan limpahan pahalanya maka allah SWT akan memberikan apa yang dia harapkan walaupuun sebenarnya suatu amal tadi sebenarnya tidak seperti itu.”
Hadits di atas menjelaskan bahwa ketika kita mendengar suatu amalan yang mengandung fadlîlah kemudian kita laksanakan seraya mengharap fadlilah tersebut, maka Allah akan memberikannya. Menurut al-‘Alâmah Jamâl al-Qamâth, mengamalkan hal yang demikian lebih utama karena tidak bertentangan dengan ushul syari’ah. Hal ini diamini oleh Sayyid Muhamad bin Ahmad bin ‘Abdul Bari al-Ahdali. [1]
HUKUM MEMBACA TAHLIL/MENGHADIAHKAN
PAHALA AMAL PEMBACAAN AL-QURAN, DZIKIR DLL
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Islam di berbagai negara untuk menyelenggarakan pembacaan al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai dzikir lainnya, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia. Lantunan Yasîn dan surat-surat lain dalam al-Quran serta gemuruh tahlil dari lisan para peziarah bukanlah pemandangan yang asing katika kita memasuki sebuah rumah yang sedang berduka atau pemakaman. Dengan khusyu', kerendahan hati dan prasangka baik kepada Allah yang Maha Pemberi dan Maha Pengampun, para penta'ziah ataupun peziarah melantunkan ayat-ayat suci dan kalimat dzikir. Mereka yakin perbuatan tersebut akan bermanfaat bagi peziarah maupun yang diziarahi.
Adapun hukum pembacaan al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid dan sholawat merupakan salah satu bentuk dzikir kepada Allah SWT. Allah telah memerintahkan kita untuk sebanyak mungkin dzikir kepada-Nya dalam segala keadaan, berdiri, duduk maupun berbaring.
Dzikir merupakan salah satu sarana ibadah yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT secara cepat. Sayangnya, di saat dan tepat di mana manusia seharusnya lebih banyak dzikir, mereka justru lalai dan tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Di hadapan mayat, di perkebunan, di Masjid, saat ini sering kali terdengar pembicaraan bisnis, padahal Rasulallah SAW pernah bersabda:
سيكون في آخر الزمان رجالٌ يأتون المساجد فيقعُدون فيها حلقا حلقا ذكْرُُهم الدنيا وحُبُّها فلا تجالسوهم فليس لله بهم حاجةٌ
"Kelak di akhir zaman akan muncul manusia-manusia yang mendatangi masjid-masjid dan duduk disana secara berkelompok-kelompok. Perbincangan mereka hanyalah dunia dan kecintaan kepada dunia. Janganlah kalian duduk bersama mereka, karena Allah tidak membutuhkan mereka.[2]
Di Zaman akhir ini, banyak orang yang tidak dapat memetik pelajaran dari sesosok jenazah yang terbujur kaku. Dihadapannya justru banyak orang yang berbincang bincang tetang urusan duniawi, tidak berdzikir, apalagi membaca al-Quran. Padahal, Allah memerintahkan kita untuk mengingat kematian, untuk mengingat-Nya.
Daripada duduk diam tanpa arti, atau berbicara yang tidak bermanfa'at, mengucapkan kalimat yang tidak berpahala, dihadapan jenazah saudara kita sesama muslim, alangkah baiknya jika kita gunakan kesempatan tersebut untuk berdzikir kepada Allah SWT dengan membaca al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat dan berbagai bentuk dzikir lainnya. Paling tidak, orang yang berdzikir dan umat Islam yang hadir di sana mendapat manfa'at darinya.
Tapi mungkin saja muncul pertanyaan apakah hal tersebut secara khusus pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW dan dilakukan oleh para shahabat ra.?
Di dalam al-Quran, Allah SWT mewahyukan:
úïÏ%©!$#ur râä!%y` .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ cqä9qà)t $uZ/u öÏÿøî$# $oYs9 $oYÏRºuq÷z\}ur úïÏ%©!$# $tRqà)t7y `»yJM}$$Î/ ÇÊÉÈ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Allah, berilah ampunan pada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (QS al-<span>H</span>asyr : 10 )
Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah SWT telah meridhai terhadap orang-orang yang meminta ampun untuk dirinya dan kerabatnya yang sudah meninggal dunia. Berarti bisa diambil kesimpulan bahwa tahlil untuk mayit adalah ritual yang memang dianjurkan dan ada dasarnya dari Al-Quran.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan bahwa Amîrul Mukminîn Ustman bin Affân ra berkata, “Dahulu, setelah jenazah dikebumikan, Rasulullah SAW berdiri di depan makam dan bersabda:
اِسْتغفِروا لأخيكم وَسَلُوْا له بالتَّثبًيت فإنه الآن يُسْأَل
Artinya: " Mintakanlah ampun bagi saudara kalian ini, dan berdo'alah agar ia diteguhkan (dalam menjawab pertanyaan Malaikat), sebab, saat ini ia sedang ditanya.! (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas secara jelas mengajarkan kepada kita untuk mendoakan dan memohonkan ampun tatkala jenazah telah dikubur. Seandainya doa tidak bermanfaat bagi mayit, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkannya.
Di samping itu, ulama telah sepakat tentang bolehnya mendoakan mayat dalam shalat jenazah. Rasulullah SAW pernah bersabda :[3]
قال r إذا صليتم على الميت فأخلِصوا له الدعاء ( أخرجه أبو داوود في السنن من حديث أبي هريرة)
"Ketika kalian semua mensholati mayit maka ihklaslah dalam mendo'akannya "
Umpama doa itu tidak bisa sampai dan bermanfaat bagi mayat, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan kita untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dengan tulus ikhlas.
Adapun tentang hukum membaca Al-Quran dihadapan jenazah atau makam, maka hal itu boleh-boleh saja dan hal itu dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:
إقرؤوا يس على موتاكم
Artinya: " Bacakanlah surat Yasîn kepada orang-orang yang meniggal dunia diantara kalian.! (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
يس قلب القرآن لايقرؤها رجل يريد الله تبارك وتعالى والدار الآخرة إلا غفر له واقررها على موتاكم
Artinya: "Surat Yasin adalah jantung al-Quran, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan (keridho'an) Allah Tabaraka Wata'ala dan negeri Akhirat, melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah Yasîn kepada orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian.! (HR. Ahmad)
Sayyid Zainal Abidin al-Alawi Al-<span>H</span>usaini dalam kitab al-Ajwibah al-Ghâliyah fi 'Aqidah Firqah an-Najiyah menuliskan :
"Para ulama muhaqqiqin menyebutkan bahwa hadits di atas (tentang pembacaan surat Yasin kepada yang telah meninggal dunia) berlaku secara umum, baik untuk mereka yang sedang sekarat, maupun bagi mereka yang telah meninggal dunia sebagaimana tampak jelas dalam teks hadits tersebut"[4].
Dalam hadits lain disebutkan,
عَنْ عَلِيٍّ t أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ إحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنْ الْأَجْرِ بِعَدَدِ الْأَمْوَاتِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)
Dari Sayyidina Ali ra. sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Barang siapa lewat di kuburan dan membaca Qul huwa Allah A<span>h</span>ad (surat al-Ikhlâsh) sebelas kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang mati, maka ia akan diberi pahala sesuai jumlah orang yang meninggal (HR. ad-Dâruquthny).
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُورَةَ يس خُفِّفَ عَنْهُمْ يَوْمَئِذٍ وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيهَا حَسَنَاتٌ
Dari Anas, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa masuk ke kuburan kemudian membaca surat yâsîn maka ketika itu siksa diringankan dari mereka dan ia mendapat kebaikan sesuai jumlah orang yang ada dalam kuburan tersebut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t أن النبي r قَالَ إن الله ليرفع الدرجةَ للعبد الصالح في الجنة فيقول ياربِّ أنَّى هَذِهِ ؟ فَيَقُولُ باسْتِغْفَارِ وَلَدِك لكَ (أخرجه أحمد وقال ابن كثير في تفسيره إسناده صحيح)
Diriwayatkan dari Abi Hurairah,sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah meninggikan derajat seorang hamba yang shalih di surga. Ia bertanya, “Wahai Tuhanku, Bagaimana aku mendapatkan ini ? Allah menjawab,” Dengan permohonan ampun dari anakmu untukmu.” (HR Ahmad”[5]
Dari beberapa dalil di atas jelaslah bahwa tahlil dan seisinya adalah bacaan–bacaan yang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW dan pahalanya bisa sampai kepada orang yang meninggal. Bahkan Imam Abu Hanifah menyatakan, " Barang siapa mengatakan pahalanya tidak sampai kepada ahli mayit maka dia berarti merusak kesepakatan para ulama' "
Imam Ibnu Hajar juga berpendapat, " Madzhab ahli sunnah itu mempersilahkan menjadikan pahala amalnya dan sholatnya di peruntukkan kepada orang yang sudah meninggal dunia dan pahalanya akan sampai kepadanya " [6]
Imam al-Qurtubi juga mengatakan, " Ulama' sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada arang yang sudah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-Quran, do'a , dan istighfar dan itu semua termasuk kategori sadaqah "[7]
Imam an-Nawawi dalam kitab Adzkarnya juga mengatakan :
" أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويَصِلُهم ثوابُهم "
"Ulama sepakat bahwa do'a yang diperuntukkan pada orang yang wafat akan memberikan manfaat serta akan sampai pahalanya"
TANGGAPAN ATAS BEBERAPA DALIL
Tanggapan Ayat : وأَنْ لَيْسَ لِِلإنسان إلا ماسَعَى
Ayat di atas seakan-akan memberikan sebuah pemahaman, “Bahwa manusia hanya bisa mendapatkan pahala amal baik yang telah ia lakukan, dari pribadinya masing-masing, dan amal baik seseorang tidak akan bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain”.
Sedangkan tahlil yang dipercayai bisa memberikan kemanfaatan bagi mayat atau bahkan ada istilah fida’ (tebusan), hal ini jelas bertentangan dengan konsep ayat di atas. Selain itu, menurut orang yang tidak mempercayai tahlil, kenyataan yang sudah mewabah di masyarakat saat ini, telah dianggap satu perkara yang dilarang oleh Nabi SAW, dengan dikategorikan sebagai bid’ah dlolalah. Sesuai dengan hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”
Hadits ini telah disepakati oleh ulama sebagai dasar atas diharamkannya bid’ah dlolalah, sehingga tahlil yang sama sekali tidak pernah kita dengar dari Nabi SAW, dianggap satu bid’ah atau model baru yang sesat dan menyesatkan, masya Allah na’udzubillah min dzalik.
Jawaban <span> </span>
Kalau kita pandang sekilas dari pemahaman ayat tersebut (An-Najm : 39), maka akan memberikan sebuah kesan bahwa manusia yang sudah meninggal (di akhirat) hanya akan mendapatkan balasan amal sesuai dengan apa yang telah ia lakukan (tidak ditambah maupun dikurangi) ketika ia masih hidup (di dunia), atau juga bisa memberikan kesan perbuatan baik seseorang tidak akan pernah bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain.
Hanya saja pemahaman yang sangat sederhana ini memiliki banyak sekali kelemahan, apabila ditinjau dari berbagai macam aspek :
Pertama; anak cucu yang mengikuti leluhurnya dengan keimanan akan diletakkan ditempat yang sama meskipun tidak memiliki bekal amal yang sama sesuai dengan al-Quran yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNåk÷Jyèt7¨?$#ur NåkçJÍhè ?`»yJÎ*Î/ $uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJÍhè !$tBur Nßg»oY÷Gs9r& ô`ÏiB OÎgÎ=uHxå `ÏiB &äóÓx« 4 @ä. ¤ÍöD$# $oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu ÇËÊÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya”.( QS. At-Thur : 21 )
Dari pemahaman ayat ini berarti amal baik seorang ayah dapat bermanfaat kepada anak cucunya. Apakah kenyataan ini tidak dinamakan “Kebaikan seseorang bisa bermanfaat kepada orang lain?”
Selain itu, kalau melihat sebuah cerita yang tertera dalam Al-Quran “pada saat Allah mensyafa’ati (menolong) seorang anak maka ayahnyapun juga ikut di dalamnya, ataupun sebaliknya”, hal ini telah difirmankan oleh Allah yang berupa :
3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR
Artinya : “Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu”. (QS. Al-Nisa’ : 11)
Kalau mau jujur, dari dua ayat ini saja sebenarnya sudah dapat disimpulkan “Bahwa amal baik seseorang dapat bermanfaat pada orang lain”, karena kedua ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa amal baik seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain.
Kedua; Syekh Sulaiman bin Umar al-‘Ajili menjelaskan :
قال ابن عباس t هذا منسوخ الحكم فى هذه الشريعة أي وإنما هو في صحف موسى وابراهيم عليهما السلام بقوله "وألحقنا بهم ذريتهم" فأُدْخِلَ الأبناء في الجنة بصلاح الأباء وقال عكرمة إن ذلك لقوم ابراهيم وموسى عليهما السلام وأما هذه الأمة فلهم ماسعوا وماسعى لهم غيرهم (الفتوحات الإلهية)
“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. An-Najm : 39 telah dihapus dengan firman Allah SWT (QS. At-thur ; 21) . Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain”[8].
Ketiga; Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :
وأما قوله تعالى وأن ليس للإنسان إلا ماسعى فهو مقيَّد بما إذا لم يَهَب العاملُ ثوابَ عملهِ لغيره ومعنى الأية أنه ليس ينفع الإنسان فى الآخرة إلا ماعمله فى الدنيا مالم يعمل له غيره عملا ويَهَبَه له فإنه ينفعه كذلك
“Firman Allah SWT وان ليس للإنسان إلاماسعىperlu diberi batasan, yaitu ketika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada orang yang meninggal. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut”[9]
Pendapat lain mengatakan :
أنَّ الآية إخبار عن شرع من قبلنا لقوله تعالى "لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا"(المائدة : 48) وقد دل شرعُنا على أن الإنسان له سعْيُه وماسعى له غيرُه كما دلت عليه الآيات المتقدمة (سورة الطور) والحديث المتقدم
“Ayat tersebut menceritakan mengenai syari’at orang-orang terdahulu, sebagaimana Firman Allah SWT “Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. Al-Maidah, 48). Sedangkan dalam syari’at kita, yakni syari’at Nabi Muhammad SAW, telah dijelaskan bahwa manusia dapat menerima amalnya sendiri atau amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaiman ditunjukkan dalam QS. Al-Thur, 21 serta hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di depan”.
Keempat; di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39, yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Wafa’ Ibnu ‘Aqil al-Baghdadi al-Hanbali sebagai berikut :
الجواب الجيِّدُ عندي أن يقال الإنسان بسعيه وحُسْنِ عُشْرَتِه اكْتَسَبَ الأصدقاءَ وأوْلَدَ الأولادَ ونكح الأزواجَ وأَسْدَى الخيرَ وتودَّدَ إلى الناس فتَرَحَّمُوا عليه وأهدَوْا له العباداتِ وكان ذلك أثرَ سعيِهِ
“Jawaban yang baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya, kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”[10].
Kelima; Menurut Abi Bakar al-Warrâq, ayat di atas (QS. Al-Najm : 39) tidak tepat kalau dibuat alasan untuk melarang tahlil dan menghadiahkan pahala, karena ungkapan al-Quran (الاماسعى) tidak berhubungan sama sekali dengan amal baik atau buruk seseorang, apalagi berhubungan dengan dilarangnya tahlil dan menghadiahkan pahala, karena menurut Abi Bakar al-Warrâq arti (الاماسعى) adalah (الامانوى) yang berarti :”kecuali dengan apa yang diniati”. Hal ini didukung sabda Nabi SAW,
يُبْعَثُ الناسُ يوم القيامة على نياتهم
Artinya : “Manusia dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niatnya” [11] Pendapat ini lebih mengedepankan niat untuk mengarahkan ayat diatas dari pada diarahkan ke-fi’lu (pekerjaan) yang jelas-jelas bertentangan dengan banyak sekali teks al-Quran dan al-Hadits.
Keenam; ayat وان ليس للإنسان الاماسعى menurut ar-Rabî’ bin Anas hanya diperuntukkan untuk orang kafir. Di dunia ini mereka akan mendapatkan balasan atas amal baik mereka, sehingga di akhirat nanti sudah tidak memiliki kebaikan lagi. Sebagaimana riwayat bahwa ketika ‘Abdullah bin Ubay, pemimpin orang munafik meninggal dunia, Rasulullah SAW memberikan pakaian Beliau untuk dijadikan kain kafannya. Hal ini Beliau SAW lakukan karena dulu ‘Abdullah bin Ubay pernah menghadiahkan pakaiannya kepada Sayyidina ‘Abbâs, paman Rasulullah SAW. Sehingga di akhirat nanti ‘Abdullah bin Ubay tidak memiliki kebaikan lagi. Lain halnya dengan orang muslim, ia akan mendapatkan pahala atas amalnya dan amal orang lain yang ditujukan untuknya. [12]
$ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 ÇËÑÏÈ Tanggapan Ayat
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."(QS Al Baqarah : 286)
Ayat ini juga termasuk ayat yang sering dijadikan sebagai dalil bahwa pahala amal saleh tidak bisa sampai pada orang yang meninggal. Untuk dapat mengetahui makna ayat-ayat al-Quran dengan benar, kita harus bertanya kepada ahlinya yaitu para mufassir (ahli tafsir). Banyak orang mengartikan al-Quran dengan pemikiranya sendiri tanpa dilandasi ilmu yang luas, maka akan diancam oleh baginda Nabi Muhammad SAW dalam sabda beliau ;
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار )رواه الترمذي وأحمد(
“Barang siapa berbicara tentang ayat-ayat yangt terdapat dalam al qur’an tanpa dilandasi dengan ilmu hendaknya dia mengambil tempatnya dineraka “
Inilah prinsip dasar yang harus kita pegang, bukan didorong oleh hawa nafsu dalam mentafsiri al-Quran.
Sebenarnya ayat di atas mengandung dua makna pokok ;
Makna pertama; bahwa seseorang bisa mendapatkan kebaikan disebabkan amalnya. Maksud dari ayat ini hampir sama dengan ayat ; (وأن ليس للانسان الا ما سعى), karena dari pemahaman bahwa seseorang bisa mendapatkan pahala dari amal yang ia kerjakan, tidak berarti secara langsung bisa diambil kesimpulan bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan manfa’at dari pemberian pahala orang lain. Seperti contoh dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mendapatkan makanan dan minuman dari hasil pekerjaan kita, kita mendapat gaji dari hasil kerja kita, namun apakah kita tidak diperbolehkan makan dan minum dari pemberian orang lain? Tentu jawabannya boleh-boleh saja .
Makna kedua ; menjelaskan bahwa seseorang akan disiksa karena kejahatan yang dikerjakannya. Bila difikir lebih dalam, sebenarnya ayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan persoalan apakah pahala akan bisa sampai pada mayat atau tidak. Ayat ini hanya membicarakan bahwa seseorang akan menanggung siksa dari dosa yang ia lakukan. Namun bukan berarti menafikan ketika seseorang diringankan dari siksanya dengan lantaran ada sumbangan doa atau shadaqah dari orang lain, seperti yang dikutip dari Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abd al-Bârî al-Ahdal dalam Ifâdah at-Tulâbnya [13]
Tanggapan Hadits
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Ketika anak cucu Adam meninggal maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga hal ; shadaqoh jariyah (waqaf), ilmu yang bermanfa’at, dan anak sholeh yang mendoakannya “
Maksud dari hadits tersebut menurut Sayyid ‘Alâwi ibn Abbâs al-Mâlikî al-<span>H</span>asanî adalah sebagaiman dalam dawuh beliau,
“Ketahuilah bahwa sebenarnya terputusnya amal sebab kematian termasuk hal yang maklum, karena ketika sudah meninggal, seseorang tidak beramal dan juga sudah tidak terkena beban hukum. Namun maksud dari hadits di atas adalah bahwa sebagian dari amal ada yang tidak terputus pahalanya, dalam arti tetap berbuah dan mengalir walaupun sudah meninggal dunia.”
Sebenarnya amal yang pahalanya masih mengalir setelah kematian tidak terbatas hanya tiga hal saja, terbukti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Abi Hurairah ra. :
قال رسول الله r إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته علما نشره وولدا صالحا تركه ومصحفا ورثه ومسجدا بناه وبيتا لابن السبيل بناه ونهرا أجراه وصدقة أخرجها من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته (أخرجه ابن ماجه عن أنس)
“Sesungguhnya termasuk dari amal dan kebaikan yang mengalir pahalanya setelah kematian adalah ilmu yang ia sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah untuk para musafir yang ia dirikan, sungai yang ia alirkan, shadaqah yang ia keluarkan dari hartanya tatakala sehat maupun sakit. Semua itu tetap ia temui setelah ia meninggal.”(HR Ibn Mâjah) [14]
Kemudian dalam memahami makna hadits ini banyak yang keliru karena kekeliruan dalam memahami bahasa “terputus” yang terdapat dalam hadits tersebut.Ibn Abî al-‘Izz dalam Syarh al-‘Aqîdahat-Tha<span>h</span>âwiyah mengatakan<span>,</span>
Menggunakan sabda Rasulullah Idzâ Mâta Ibn Âdama… sebagai dalil (tidak sampainya hadiah pahala) tidaklah tepat. Hal ini karena Rasulullah tidak mengatakan, “terputus kemanfaatannya (intifâ`).” Beliau hanya mengabarkan tentang terputusnya amal orang tersebut. Sedang mengenai amal orang lain, maka itu milik orang yang melakukannya. Apabila ia berikan Kepada orang yang mati tadi, maka pahala orang yang melakukan dapat sampai kepadanya, bukan pahala amalnya sendiri. Hal ini mirip dengan permasalahan melunasi hutang orang lain. Tentunya orang yang punya hutang sudah terbebas dari tanggung jawab. Namun yang digunakan untuk melunasi hutang bukan dari hartanya. [15]
KESIMPULAN
Setelah mennyimak berbagai dalil diatas kita tidak perlu lagi terjerumus dalam perdebatan yang membosankan dan tak ada ujungnya. Jika kita rasa dalil-dalil itu telah cukup, maka segera amalkan.Bantulah saudara-audara kita yang berada di alam kubur, di alam barzakh, dengan mengirimkan doa-doa kita kepada mereka dan bersedekah atas nama mereka.
MEMBACA AL-QURAN DAN TAHLIL DI PEMAKAMAN
Membaca al-Quran atau lainnya di pemakaman hampir sama dengan membaca al-Quran di rumah dengan tujuan dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal. Hanya saja kalau membaca berada dipemakaman itu mempunyai nilai plus tersendiri, diantaranya para ahli kubur merasa senang, tentram dan merasa diperhatikan oleh orang-orang yang masih hidup di dunia. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah bahwa Nabi muhamad SAW pernah bersabda,
ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عنده إلا استأنس به وردّ عليه حتى يقوم (رواه الديلمي )
“tidaklah seseorang yang berziarah kemakam saudaranya dan duduk disampingnya, melainkan saudaranya tersebut merasa senang dengan kehadirannya dan saudaranya juga menjawab salam sehingga seseorang tadi berdiri”
Al-<span>H</span>âfidh Jalâluddin as-Suyûthi berkata, ”Al-Baihaqi dan at-Thabrâny meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda
إذا مات أحدكم فلا تحبسوه وأِسْرِعوا به إلى قبره وليقرأ عند رأسه بفاتحة الكتاب وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره ( رواه الطبراني في الكبير ) ولفظ البيهقي "فاتحة البقرة وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره
Ketika salah satu dari kalian meninggal, maka jangan lama-lama di rumah, segeralah membawanya ke pemakaman dan bacakanlah di sisi kepalanya surat al-fatihah dan di sisi kedua kakinya akhir surah al baqarah” Dalam riwayat al-Baihaqy,”dengan awal al-Baqarah dan di sisi kedua kakinya dengan akhir surat al-Baqarah ketika di kuburnya.
Menurut keterangan Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al Mâliki, para sahabat juga melakukan aktivitas ini berdasarkan haditst di atas. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal awalnya mengatakan bid’ah namun kemudian beliau menarik lagi pendapat tadi.
فَقَدْ رَوَى جَمَاعَةٌ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ أَنَّهُ مَرَّ بِضَرِيرٍ يَقْرَأُ عِنْدَ قَبْرٍ فَنَهَاهُ وَقَالَ الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِيُّ يَا أَبَا عَبْدَ اللَّهِ مَا تَقُولُ فِي حَبَشٍ الْحَلَبِيِّ ؟ فَقَالَ ثِقَةٌ فَقَالَ حَدَّثَنِي مُبَشِّرٌ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَوْصَى إذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْت ابْنَ عُمَرَ يُوصِي بِذَلِكَ فَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ارْجِعْ فَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى رُجُوعِهِ
Ketika imam ahmad bin Hanbal mengikuti ritual pemakaman dengan Muhamad bin Qudamah, ada seorang lelaki buta membaca al-Quran di samping makam. Imam Ahmad melarang dan berkata kepadanya, “Membaca al-Quran di kuburan termasuk bid’ah.” Setelah keluar dari pemakaman Imam Ahmad ditanya oleh Muhamad bin Qudamah al-Jauhary, “Wahai Abâ Abdillah (Ahmad bin Hanbal), bagaimana pendapatmu tentang <span>H</span>abasy al-<span>H</span>alabby ?” “Dia orang terpercaya,” jawab Ahmad bin Hanbal. Muhammad bin Qudâmah berkata, “Mubasyir bercerita kepadaku dari ayahnya sesungguhnya ia berwasiat apabila telah dikubur agar dibacakan disampingnya permulaan al-Baqarah dan akhirnya dan berkata, “Aku mendengar Ibn Umar mewasiatkan hal itu.” Imam Ahmad kemudian berkata, “Kembalilah kemudian katakan kepada lelaki tadi yang membaca. (Al-Inshâf li al-Mardâwy 2/558-559)
Al-Hasan bin as-Shabâ<span>h</span> az Za’farâny pernah bertanya pada imam syafi’I tentang membaca bacaan di pemakaman. Beliau menjawab, “لا بأس به”(tidak masalah). Demikian laporan Ibn al-Qoyyim dan as-Suyûthy.
Syeikh Khalâl menceritakan dari as-Sya’bi, ia berkata, “Orang Anshar apabila ada salah seorang dari mereka yang meninggal, mereka berkali-kali datang ke kuburnya seraya membaca al-Quran di sisinya. [16]
Imam Nawawi ra<span>h</span>ima<span>h</span>ullah dalam al-Majmû’ (5/268) berkata,
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنْ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ , وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا , نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ , وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ
Disunnahkan untuk membaca apa yang mudah (dapat dilakukan) dari al-Quran kemudian mendoakan Kepada ahli kubur sebagaimana yang dinash (dinyatakan secara tegas) oleh Imam Syafi’i dan disepakati oleh ash-<span>h</span>âb
[1] Sayyid Muhamad bin Ahmad bin Abdul Bârî al-Ahdal, Ifâdah at-Thullâb, (Bangilan : al-Mishbâ<span>h</span>), hal. 38-43
[2] Abu ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûby, Al-Jâmi' li al-Ahkâm al-Qur`ân, Dâr el-Ihya' Turâts al-‘Arabi, vol.XII hal.277.
[3] Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bârî al-Ahdal, Op.Cit., Hal 10.
[4] Zainal Âbidin Alwi al-Husaini, Op.Cit., hal. 80.
[5] Utsmân bin ‘Ali az-Zala’I, Tabyîn al-<span>H</span>aqâ`iq, Dâr al-Kitâb al-Islâmy, vol.II, hal.85
[6] Muhammad Nawawi ibn ‘Umar at-Tanâry al-Bantany, Nihâyah az-Zain, (Surabaya : al-Hidâyah), tt., hal.193
[7] Abu ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûby, Tadzkirah al-Qurthûby, hal 25
[8] Sulaiman ibn Umar al-‘Ajili, Al-Futu<span>h</span>ât al-Ilâhiyah, (Beirut : Dâr al-Fikr),tt., vol.IV, hal.236
[9] Hasanain Muhammad Makhlûf, <span>H</span>ukm as-Syarî’ah al-Islâmiyyah fi Ma’tam al-Arba’în, (Beirut : Mushthafâ al-Bâb al-Halaby), 1968, hal. 23-24
[10] Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Ar-Rûh, (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 2002, hal. 145
[11] Fakhruddîn ar-Râzi, Tafsir Fakhr ar-Râzi, vol. 27, hal, 115
[12] Abû Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Farrâ` al-Baghawy, Ma’âlim at-Tanzîl, (Beirut : Dâr al-Fikr), 1985, vol. V, hal. 255
[13] Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bârî al-Ahdal, Op.Cit., hal 12
[14] Sayyid Muhammad bin ‘Alawy al-Mâliky, Ta<span>h</span>qîq al-Âmâl, (Kairo : Dâr al-Jawâmi’ al-Kalim), hal 12-13
[15] Ibid, hal. 15
[16] Ibid, hal. 59-60
0 komentar:
Posting Komentar