Pengertian Ijtihad
Secara bahasa adalah suatu usaha dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan.
Secara istilah adalah usaha dengan mengerahkan segala kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli dalam bidang fiqih untuk menghasilkan dhan pada suatu hukum.[1] Versi lain mengatakan, ijtihad adalah usaha menggali hukum yang tidak ditemukan dalam hukum tersebut nash sharîh (keterangan tegas dari al-Quran dan hadits) yang hanya mungkin mengandung satu kemungkinan arti.[2]
Sejarah Ijtihad
Sebenarnya ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah. Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’âdz ra. ke Yaman untuk menjadi hakim, beliau bertanya kepadanya, ”Dengan apa engkau akan memberikan hukum di antara mereka? Muadz menjawab, ”Dengan apa yang saya dapatkan dalam Kitabullah. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maka akan saya hukumi dengan apa yang saya dapatkan dalam sunnah Rasulullah. Jika saya tidak mendapatkannya juga, maka saya akan berijtihad dengan pendapat saya."
Dalam sebuah hadits dikatakan, “Barang siapa yang berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala. Barang siapa berijtihad dan ijtihadnya salah maka ia akan mendapatkan satu pahala” (HR. Bukhâri). Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia memperoleh dua pahala juga; pahala pertama diperoleh karena ijtihadnya dan pahala yang kedua karena kesungguhannya untuk mendapatkan kebenaran meskipun ternyata ijtihadnya salah.
Sepeninggal Rasulullah, yaitu pada masa sahabat, tabi’in dan tabi’it at-tabi’in masyarakat awam bertanya kepada orang yang dikenal sebagai ulama di masanya. Maka ulama tersebut memberi fatwa menurut pandangan dan pemahamannnya tentang Kitabullah dan Sunah Rasulullah.
Para ulama menyebutkan bahwa orang-orang yang berperan untuk memberikan fatwa di antara mereka (para shahabat) jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari.[3]
Madzhab-madzhab baru terbukukan pada abad kedua dan ketiga hijriah dan baru tersebar puluhan tahun sesudah itu. Yaitu setelah para murid-murid senior (ash-hâb) dari masing-masing imam menyebarkan madzhabnya.
Setelah itu timbulah pewarisan madzhab dan penisbatan kepada madzhab-madzhab dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagaimana diketahui dari sejarah tasyri’ Islam.
Dari yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari karena sebagian besar kaum muslimin (masyarakat awam) kurang memiliki pemahaman yang cukup tentang urusan-urusan agamanya. Kesibukan-kesibukan membuat mereka tidak dapat memberikan perhatian yang semestinya tentang pengetahuan dan hukum-hukum syari’at Islam. Para ulama menyebut mereka sebagai ”orang awam yang tidak memiliki madzhab” (al-‘âmiy la madzhaba lah).[4]
Standar dan Obyek Ijtihad
Suatu permasalahan yang telah ditentukan hukumnya oleh nash sharîh yang qath’iy al-wurûd (jelas transmisinya) dan qath’iy ad-dilâlah (makna yang terkandung sudah jelas) maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Hal ini dikarenakan pembahasan dan ijtihad dalam permasalahan tersebut tidak diperlukan.
Contoh :
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (QS an-Nûr : 2)
Nash tersebut sharîh dan berstatus qath’iy al-wurûd dan qath’iy ad-dilâlah sehingga tidak diperbolehkan ijtihad dalam menentukan bilangan hukuman jilid.
Adapun permasalahan yang hukumnya berkaitan dengan nash yang berstatus dhanniy al-wurûd dan dhanniy ad-dilâlah atau salah satu dari wurûd dan dilâlah-nya berstatus dhanniy maka peluang ijtihad masih terbuka. Hal ini dikarenakan seorang mujtahid diharuskan meneliti dan mengkaji dalil yang berstatus dhanniy al-wurûd dalam segi sanad yang sampai pada Rasulullah, kapasitas para rawinya ditinjau dari segi ‘adâlah, dlâbith, tsiqah, dan sebagainya.
Para mujtahid memiliki standar yang berbeda dalam mengkaji dan meneliti nash tersebut sesuai dengan ushul al-fiqih dan qowa’id al-fiqih mereka masing-masing yang tentunya bertendensi pada Al-Quran dan Hadits.
Begitu juga suatu permasalahan yang hukumnya sama sekali tidak terdapat keterangan dari nash (Al-quran dan Hadits) maka peluang untuk ijtihad sangat terbuka lebar karena mujtahid dapat mengetahui hukum permasalahan tersebut melalui dalil-dalil syara' yang lain yaitu Ijma (kesepakatan para ulama’), Qiyas (analogi/ penyamaan hukum) , Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syari), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi terhadap hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man qoblanâ (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW).
Kesimpulannya, ruang ijtihad ada dua macam; permasalahan yang tidak ada nashnya dan permasalahan yang ada nashnya namun tidak qath'iy.[5] Ijtihad tidak dapat dilakukan pada hukum yang mempunyai nash qath’iy atau hukum-hukum yang aksiomatik (ma’lûm min ad-dîn bi ad-dlarûrah). Artinya untuk mengetahui dan mengamalkan hukum tersebut tidak melalui ijtihad karena dalilnya telah jelas.
Macam/Model Ijtihad
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ijtihad terbagi menjadi dua macam :
1. Ijtihad dengan model Istinbath al-Ahkâm asy-Syar’iyyah
Yaitu ijtihad yang secara khusus menggali hukum-hukun syariat. Ijtihad semacam ini tertentu bagi kalangan ulama’ yang mampu dan berupaya mengetahui hukum-hukum furu’ dari nash (adillah tafshîliyah). Menurut mayoritas ulama’ ijtihad semacam ini telah berakhir karena terbukti tidak ada lagi orang yang mumpuni untuk melakukannya.
1. Ijtihad dengan model Tathbîq al-Ahkâm asy-Syar’iyyah
Yaitu ijtihad yang secara khusus menerapkan hukum-hukum yang telah digali oleh para mujtahid terdahulu pada permasalahan-permasalahan yang baru muncul. Dengan ijtihad semacam ini dapat diketahui hukum suatu permasalahan yang belum pernah dikaji oleh para mujtahid terdahulu. Usaha mujtahid yang menggunakan model ijtihad semacam ini disebut tahqîq al-manâth.[6]
Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid[7]
1. Menguasai bahasa Arab
1. Mengetahui qiyas
1. Menguasai ilmu Al-Quran
1. Mengetahui maqoshid al-ahkam
1. Menguasai ilmu Hadits
1. Intelektualitas yang baik dan benar
1. Mengetahui hukum-hukum ijma’ dan khilaf
1. Memiliki niat yang baik dan i’tiqod yang benar
Melihat persyaratan mujtahid yang begitu ketat tersebut, hampir bisa dipastikan bahwa sekarang tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi persyaratan seorang mujtahid secara sempurna.
Tingkatan Ijtihad[8]
Menurut Muhammad Abu Zahrah para ulama’ ushul fiqih membagi fuqâha’ menjadi tujuh tingkatan, empat diantaranya dianggap sebagai mujtahid dan lainnya dianggap sebagai muqallid. Berikut urutannya :
1. al-Mujtahidîn fi as-syar’i
Fuqaha’ yang mencapai tingkatan ini disebut mujtahidîn mustaqillîn. Mereka adalah fuqaha’ yang telah memenuhi semua syarat-syarat yang telah disebutkan di atas dan menggali hukum dari Al-Quran dan Hadits secara langsung. Diantara fuqaha` yang telah mencapai tingkatan ini adalah semua fuqaha` dari kalangan sahabat, fuqaha` dari kalangan tabi’in seperti Sa’îd bin al-Musayyab dan Ibrâhîm an-Nakhâ’iy, fuqaha` yang berijtihad seperti Imam Ja’far Ash-Shadîq, Imam Muhammad al-Bâqir, Imam Abu Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syafi’i, Imam al-Awza’iy, Imam al-Laits bin Sa’d, Imam Sufyân Ats-Tsauriy, Imam Abu Tsaur dan masih banyak lagi meskipun madzhab-madzhab mereka tidak terdokumentasikan.
1. al-Mujtahidîn al-Muntasibîn
Mereka adalah fuqaha` yang memilih pendapat seorang imam dalam bidang ushul namun berbeda pendapat dalam bidang furu’ meskipun secara umum tidak berbeda jauh. Diantara fuqaha` yang mencapai tingkatan ini adalah Imam al-Muzâny dari madzhab Syafi’i, Abdurrahman bin al-Qâsim, Ibnu Wahb, Ibnu Abdul Hakîm dan lainnya.
1. al-Mujtahidîn fi al-Madzhab
Mereka adalah fuqaha` yang mengikuti seorang imam dalam bidang ushul dan furu’. Tugas mereka adalah menggali hukum-hukum dari beberapa permasalahan yang belum pernah ditetapkan oleh imam mereka.
1. al-Mujtahidîn al-Murajjihîn
Mereka adalah fuqaha` yang bertugas mentarjih (meneliti dan menyeleksi) pendapat ulama’ yang telah diriwayatkan dengan mengunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid sebelumnya.
1. Thabaqah al-Muhafidhîn
Ibnu ‘Âbidîn mengatakan bahwa mereka adalah fuqaha` yang mampu membedakan antara pendapat yang paling kuat (aqwâ), kuat (qowiy), lemah (dlo’if), dhâhir ar-riwâyah, dhâhir al-madzhab, ar-riwâyah an-nâdirah seperti para pengarang kitab matan yang mu’tabar sehingga mereka tidak menampilkan pendapat-pendapat yang tertolak (qaul mardûd) dan riwayat-riwayat yang lemah dalam kitab-kitab mereka. Tugas mereka bukan mentarjih namun berusaha mengetahui pendapat yang telah ditarjih dan mengurutkan derajat tarjih sesuai dengan ketetapan murajjihîn.
1. Muqallidîn
Mereka adalah fuqaha` yang berada pada tingkatan yang paling bawah. Mereka dapat memahami kitab-kitab para ulama’ terdahulu namun tidak mampu mentarjih pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat ulama’ terdahulu.
7. Kalangan Awam
Rasulullah Berijtihad
Ketika Rasulullah menerima para tawanan perang Badar, beliau meminta pendapat para sahabat. Abu Bakar berpendapat bahwa sebaiknya mereka dibiarkan hidup karena mungkin saja mereka masih mau bertaubat dengan diharuskan membayar tebusan guna menambah kekuatan kaum muslimin untuk melawan kaum kafir. Sedangkan Umar berpendapat bahwa mereka telah berdusta dan mengusir Rasulullah, karena itu mereka harus dibunuh sebagai balasannya. Adapun Ibnu Rawâhah berpendapat, mereka seharusnya dibakar dalam api yang membara. Rasulullah terdiam tidak menanggapi pendapat-pendapat mereka dan kemudian pergi. Para sahabat mengira bahwa Rasulullah akan memilih pendapat Abu Bakar dan ada yang mengira Rasulullah akan memilih pendapat Umar bahkan ada juga yang mengira bahwa Rasulullah akan memilih pendapat Ibnu Rowahah. Kemudian Rasulullah datang lagi dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah melunakkan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih lunak dari pada air susu dan Allah telah mengeraskan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih keras dari pada batu. Wahai Abu Bakar sesungguhnya sifatmu seperti sifat Nabi Ibrahim yang pernah berkata :
( `yJsù ÓÍ_yèÎ6s? ¼çm¯RÎ*sù ÓÍh_ÏB ( ô`tBur ÎT$|Átã y7¯RÎ*sù Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÏÈ
“Maka barangsiapa yang mengikutiku maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ibrahim : 36)
dan seperti sifat Nabi Isa yang pernah berkata :
bÎ) öNåkö5Éjyèè? öNåk¨XÎ*sù x8ß$t6Ïã ( bÎ)ur öÏÿøós? öNßgs9 y7¯RÎ*sù |MRr& âÍyèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÊÊÑÈ
“Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah : 118)
Wahai Umar sifatmu seperti sifat Nabi Nuh yang pernah berkata :
Éb>§ w öxs? n?tã ÇÚöF{$# z`ÏB tûïÍÏÿ»s3ø9$# #·$y ÇËÏÈ
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi”. (QS. Nuh : 26)
dan seperti sifat Nabi Musa yang pernah berkata :
( $uZ/u ó§ÏJôÛ$# #n?tã óOÎgÏ9ºuqøBr& ÷ßô©$#ur 4n?tã óOÎgÎ/qè=è% xsù (#qãZÏB÷sã 4Ó®Lym (#ãrtt z>#xyèø9$# tLìÏ9F{$# ÇÑÑÈ
“Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS. Yunus : 88)
Kemudian Rasulullah berkata, ”Hari ini kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari mereka sama sekali tidak boleh dilepaskan kecuali telah membayar tebusan atau dipotong lehernya”. Umar mengatakan, “Rasulullah lebih condong pada pendapat Abu bakar dan kurang setuju dengan pendapatku.” Kemudian para tawanan perang tersebut diminta tebusan. Umar berkata, “Keesokan harinya saya mendatangi Rasulullah. Ketika itu beliau dan Abu Bakar sedang menangis. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakanlah padaku kenapa Anda dan sahabat Anda ini menangis ? Rasulullah menjawab, “Aku menangis karena para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan padahal telah dijelaskan bagiku bahwa hampir saja adzab turun pada mereka.” Kemudian turunlah ayat :[9]
$tB c%x. @cÓÉ
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. (QS. Al-Anfal : 68)
Perbedaan Para Mujtahid dalam Berijtihad
Perbedaan dalam dunia ijtihad merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari. Perbedaan tersebut bermuara pada delapan hal :
1. Isytirâk al-alfâdh dan al-ma’âny
2. Al-haqîqah dan al-majâz
3. Al-ifrâd dan at-tarkîb
4. Al-khushûsh dan al-‘umûm
5. Ar-riwâyah dan an-naql
6. Ijtihad dalam permasalahan yang tidak ada nash-nya
7. An-nâsikh dan al-mansûkh
8. Al-ibâhah dan at-tausî’
Di awal mula perkembangan Islam, ijtihad di antara para ulama begitu marak sehingga muncul banyak sekali madzhab. Ketika itu, masyarakat awam mempunyai banyak pilihan dalam bermadzhab. Namun seiring perkembangan dan seleksi zaman, hanya empat madzhab yang mampu bertahan sehingga hanya empat madzhab tersebut yang layak untuk diikuti.[10]
Mengapa yang diakui serta diamalkan oleh kalangan ahl as-sunnah wa al-jama’ah hanya empat madzhab saja ? Sebenarnya hal ini tidak lepas dari peran para murid-murid mereka yang secara kreatif membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga semua pendapat imam tersebut dapat terkodifikasi dengan baik yang pada akhirnya validitas (kebenaran sumber) semua pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Disamping itu madzhab mereka telah teruji ke-shohihan-nya sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan tersistem dengan baik sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sumber Hukum Para Mujtahid
Mengenai sumber hukum yang digunakan oleh para mujtahid dapat diketahui dari firman Allah :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 59) Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber hukum Islam ada empat yaitu Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf bahwasanya perintah untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan perintah untuk mengikuti Al-Quran dan Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti ulil amri berarti perintah untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid sebab merekalah yang menjadi ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (Al-Quran dan Hadits) dan ijma’.[11] Keempat sumber hukum ini harus digunakan secara berurutan, artinya hukum yang digunakan pertama kali adalah hukum yang ada dalam Al-Quran. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Quran maka dengan hukum yang ada dalam hadits. Jika tidak ada juga maka digunakan hukum ijma’ dan yang terakhir dengan menggunakan hukum qiyas sebagaimana dalam urutan ayat diatas. Sebenarnya masih ada enam sumber hukum lain yang dipergunakan oleh mujtahid yaitu Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syari), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi terhadap hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man qoblana (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW). Akan tetapi sumber-sumber hukum tersebut dalam penggunaannya masih diperselisihkan para ulama’ (mukhtalaf). Ijtihad Tidak Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Setiap Orang Abu Dawud meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah pernah ada seseorang yang terkena luka pada bagian kepalanya, lalu pada suatu malam yang sangat dingin dia berhadats besar. Orang tersebut meminta fatwa kepada kaum muslimin dan mereka menjawab, ”Mandilah!”. Lalu orang tersebut mandi yang kemudian mengakibatkan dirinya meninggal. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah. Beliau mencela mereka dengan menganggap bahwa mereka telah membunuh orang tersebut dan menyayangkan mengapa tidak menanyakan terlabih dulu perihal tersebut ketika mereka tidak mengetahui hukum yang sebenarnya. Beliau bersabda “Sesungguhnya sudah cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh anggota tubuhnya yang lain”. Seandainya ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang Islam tentu Rasulullah tidak mencela kaum muslimin yang telah memberikan fatwa kepada orang tersebut.[12] [1] Zakâria al-Anshâri, Ghâyah al-Wushûl Syarh Lubb al-Ushûl, (Semarang : Thoha Putra), hal. 147 [2] Syeikh Abdullah al-Habsyi, Maqshid at-Thâlibîn, Dârul Masyârî', cet. ke-1, 2003, hal. 183 [3] Para ulama’ hadits penyusun kitab-kitab mushthalah al-hadits telah menyebutkan bahwa jumlah para shahabat yang memberikan fatwa adalah kurang dari sepuluh orang. Ada pendapat yang menyatakan enam orang. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekitar dua ratus sahabat telah mencapai derajat ijtihad, dan ini adalah pendapat yang paling shahih. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak benar semua orang Islam mencapai derajat ijtihad apalagi di zaman sekarang. Ibid, hal.185 [4] Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syâthiri, al-Wahdah al-Islâmiyyah, hal. 6
[5] Abdul Wahab Khalâf, Ushul al-Fiqh, hal. 216, Muhammad ‘Ali bin Husain al-Makky al-Mâliky, Inârah ad-Dujâ, (Semarang : Thoha Putra), tt., hal. 30
[6] Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal. 379
[7] Ibid, hal. 380
[8] Ibid, hal. 389
[9] Ahmad as-Shâwi, Tafsîr as-Shâwi 'alâ al-Jalâlain, (Beirut : Dâr al-Fikr), vol. II, hal. 162
[10] Abî al-Fadhl bin Abdis Syakûr, Op.Cit., hal. 26
[11] Abdul Wahab Khallâf, Op.Cit., hal. 21
[12] Syeikh Abdullah al- Habsyi, Op.Cit., hal. 188
0 komentar:
Posting Komentar