MENGUAK ISTIGHÂTSAH
PENGERTIAN ISTIGHÂTSAH
Istighâtsah adalah meminta pertolongan baik kepada Allah secara langsung maupun kepada hamba-hamba Allah yang telah mendapat kemuliaan di sisi Allah seperti para nabi dan para wali. Contoh istighâtsah adalah, “Ya Rasulallah, tolonglah kami….” “Ya Syeikh Abdul Qadir, penuhilah hajat kami….” dan sebagainya.
Dari pengertian di atas, istighâtsah dengan para nabi dan para wali sebenarnya sama dengan tawassul. Perbedaan yang ada hanya dalam segi bahasa yang digunakan. Karena orang yang beristighatsahpun meyakini bahwa yang memberi manfaat dan madlarat adalah Allah SWT. Sedang ungkapan meminta tolong kepada selain Allah sebagaimana dalam contoh di atas adalah majaz. Ini sama dengan ucapan “makanlah biar kenyang” “tidurlah biar tidak sakit”. Padahal yang membuat kenyang dan sakit adalah Allah SWT bukan makan atau tidak tidur.
HUKUM DAN DALIL BERISTIGHÂTSAH
Beristighâtsah menurut ahlissunnah hukumnya boleh karena termasuk bagian dari tawassul.
Dasar dari hukum ini adalah :
M Dalam sebuah hadits disebutkan :
عن رَبِيعَةُ بْنُ كَعْبٍ الْأَسْلَمِيُّ قَالَ كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ r فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
Dari Rabî’ah ibn Ka’b al-Aslamy (khâdim Rasul SAW) ia berkata : Aku bermalam bersama Rsulullah SAW. Aku menyediakan air wudlu dan segala kebutuhan Beliau. Rasulullah bersabda kepadaku, “Mintalah !” Aku menjawab, “Aku meminta menjadi teman Anda di surga.” Beliau bersabda, “Atau selain itu?” Aku menjawab, “Hanya itu.” Rasulullah bersabda, “Bantulah dirimu dengan memperbanyak sujud.”(HR Muslim, Abu Dâwud, at-Tirmidzy, an-Nasâ`i, ibn Mâjah).
Meminta surga dari Rasulullah SAW berarti meminta tolong (istighâtsah) dan memohon kepada Rasulullah sesuatu yang hanya mampu diberikan oleh Allah. Ternyata ini tidak diingkari Beliau SAW. Beliau juga tidak mengatakan “Jangan meminta selain kepada Allah!”
M Dalam hadits lain disebutkan :
عَنْ عُتْبَةَ بن غَزْوَانَ عَنْ نَبِيِّ اللَّهِ r قَالَ:"إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئًا أَوْ أَرَادَ أَحَدُكُمْ عَوْنًا وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا أَنِيسٌ فَلْيَقُلْ "يَا عِبَادَ اللَّهِ أَغِيثُونِي يَا عِبَادَ اللَّهِ أَغِيثُونِي فَإِنَّ لِلَّهِ عِبَادًا لا نَرَاهُمْ" (رواه الطبراني وأبو يعلى والهيثمي)
Dari ‘Utbah ibn Ghazawân dari Nabi SAW beliau bersabda, Apabila salah satu dari kalian kehilangan sesuatu atau membutuhkan pertolongan sedang ia berada di sutu daerah tanpa seorang teman, maka ucapkanlah, “Wahai para hamba Allah, tolonglah aku! Wahai para hamba Allah, tolonglah aku! Karena Allah mempunyai beberapa hamba yang tidak dapat kalian lihat (HR at-Thabrâny, Abî Ya’lâ, al-Haitamy dengan redaksi yang berbeda-beda)
Dalam kondisi yang memprihatinkan seperti dalam hadits di atas, ternyata Rasulullah menganjurkan untuk mengucapkan يَا عِبَادَ اللَّهِ bukan يا الله . Ini menunjukkan bahwa istioghâtsah diperbolehkan. Hal ini pernah dicoba oleh Imam at-Thabrâny dan Imam Nawawi.
M Imam ibn Katsîr dalam kitab al-Bidâyah wa an-Nihâyah (6/324) menceritakan bahwa dalam perang Yamâmah ( memerangi Musailamah al-Kadzâb) semboyan kaum muslimin adalah يا محمد . Ternyata dalam perang tersebut para shahabat yang dimotori Sayyidina Khâlid ibn Walîd memanggil nama Rasulullah. Padahal ketika itu Rasulullah SAW telah wafat. Ini menunjukkan istighâtsah dengan orang yang telah wafat diperbolehkan.
Bila ada yang mengatakan : “Itu ‘kan khusus Rasulullah SAW.” Maka perlu diketahui bahwa meminta tolong kepada Rasulullah itu karena memandang kedudukan Beliau di sisi Allah (jah). Sebagaimana diterangkan di muka, baik sifat kenabian, kerasulan, maupun kewalian semuanya adalah anugerah dari Allah sehingga sama-sama dapat digunakan beristighâtsah. Selain itu, tidak ada dalil yang melarang istighâtsah dengan selain Nabi SAW. Sehingga melarang istighâtsah dengan selain Nabi termasuk klaim hukum tanpa dalil.
Dalam hadits-hadits di atas secara jelas dinyatakan bahwa kita boleh meminta tolong kepada Rasulullah SAW maupun hamba-hamba Allah lainnya. Karena itu jika seseorang datang kepada orang yang shalih dan meminta didoakan, itu bukan suatu hal yang aneh. Bahkan merupakan sunnah rasulullah SAW.
CATATAN
Sebagian orang melarang istighâtsah kepada selain Allah dengan berdasarkan hadits yang berisi wasiat Nabi SAW kepada Sayyidina Ibn ‘Abbâs :
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ (أخرجه الترمذي)
Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Apabila engkau meminta tolong, maka minta tolonglah pada Allah
Maka perlu diketahui bahwa hadits di atas tidak dapat dimakan mentah-mentah tanpa ditafsiri. Sebab secara realita kita tidak mungkin lepas dari pertolongan orang lain di dunia ini. Umpama hadits ini tidak kita tafsirkan, maka kita tidak boleh meminta tolong kepada orang lain dalam kondisi apapun. Secara kebiasaan, dapatkah kita hidup tanpa pertolongan orang lain sama sekali ? Karena itu, maksud hadits di atas adalah melarang lupa bahwa segala yang terjadi di dunia ini melalui beberapa sebab adalah dari Allah. Sekaligus perintah untuk mengingat bahwa segala nikmat itu berasal dari Allah dan dengan Allah. Sehingga arti hadits ini adalah : “Apabila engaku ingin meminta tolong dengan seorang makhluk –padahal hal ini tidak dapat kita hindari- maka jadikanlah segala sandaranmu hanya Allah. Jangan sampai sebab dan perantara tersebut membuat engkau lupa dengan Sang Penciptanya.”
Penfsiran ini telah diisyarahkan oleh hadits itu sendiri dalam kelanjutannya :
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
Ketahuilah, sesungguhnya apabila seluruh umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka tidak dapat bermanfaat bagimu kecuali yang telah ditakdirkan Allah bagimu. Seandainya mereka berkumpul untuk mendatangkan madlarat kepadamu dengan sesuatu, maka tidak dapat membahayakanmu kecuali yang telah digariskan Allah kepadamu.
Hadits tersebut menetapkan adanya manfaat dan madlarat yang telah digariskan oleh Allah kepada seorang hamba.
Hadits di atas mirip dengan hadits :
لا تصاحب إلا مؤمنا ولا يأكل طعامك إلا تقي (أخرجه أبو داود والترمذي وغيرهما)
Janganlah berteman kecuali dengan orang mukmin dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa
Apakah dalam hadits di atas dijelaskan bahwa berteman dengan non muslim itu haram ? Aapakah dapat dipahami bahwa memberi makan kepada orang yang tidak bertakwa tidak boleh ? Padahal Allah telah memperbolehkan memberi makan kepada tawanan yang kafir sebagaimana dalam firman-Nya :
tbqßJÏèôÜãur tP$yè©Ü9$# 4n?tã ¾ÏmÎm7ãm $YZÅ3ó¡ÏB $VJÏKtur #·År&ur ÇÑÈ
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan (QS al-Insân:8).
ISTIGHÂTSAH DENGAN ORANG WAFAT
Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah makam waliyullah, seorang yang shalih kemudian berkata, "Wahai syeikh fulan, do'akan agar kami dapat menjadi muslim yang baik, dapat mendidik anak-anak kami dengan benar…". Dan hal-hal yang serupa.
Kalimat yang kami contohkan di atas merupakan salah satu bentuk istighâtsah dengan orang yang telah meninggal dunia. Istighâtsah semacam ini diizinkan oleh syari'at. Sebab, pada intinya tidak ada perbedaan antara istighâtsah dengan yang hidup atau dengan yang telah meninggal dunia. Kami akan menjelaskannya secara singkat.
Pertama, pada hakikatnya, para nabi dan kaum shalihin yang diridlai Allah adalah hidup dikuburnya. Allah SWT mewahyukan :
ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أ مواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون
Dan janganlah kamu kira orang-orang yang gugur dijalan allah itu mati, mereka bahkan hidup disisi Tuhannya dengan mendapatkan rizqi" (Ali-Imran :169)
Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa para syuhada itu hidup di alamnya sana. Jika para syuhada' hidup dan mendapatkan kenikmatan di sisi Allah, maka para nabi dan rasul serta para sahabat dan kaum shalihin yang berkedudukan lebih mulia dari mereka juga hidup seperti mereka. Jika kita oleh syari'at diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita, kepada kaum shalihin, kepada para malaikat, maka meminta tolong kepada mereka yang telah meningggal dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia mereka tetap saudara kita.
Kedua, sebagian orang meyakini bahwa yang mati tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak dapat memberikan manfaat kepada yang hidup. Oleh karena itu, mereka berpendapat istighâtsah dengan yang mati tidak dapat dilakukan. Coba kita bayangkan, benarkah yang mati tidak dapat memberikan manfaat kepada yang masih hidup ?
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إن أعمالكم تعرض على أقربائكم وعشائركم في قبورهم فان كان خيرا استبشروا به وان كان غير ذلك قالوا أللهم ألهمهم أن يعملوا بطعاتك
Sesungguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) melihat amal yang baik, mereka merasa bahagia dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, "Ya Allah, berilah mereka ilham untuk melakukan amal ta'at kepadamu." [1]
Dalam hadits diatas jelas dinyatakan bahwa yang mati masih dapat mendoakan yang hidup. Ini merupakan salah salah satu bukti bahwa mereka masih dapat bermanfaat bagi yang hidup.
Kemudian dalam peristiwa isra' dan mi'raj, disebutkan bahwa Nabi Musa as. memberikan saran kepada Nabi Muhammad SAW untuk meminta keringanan perintah shalat kepada Allah. Allahpun kemudian mengabulkan permintaan Rasulullah SAW., sehingga kewajiban shalat lima puluh waktu diubah menjadi lima waktu yang pahalanya sama dengan lima puluh waktu. Lihatlah, Nabi Musa as. masih bisa memberikan manfaat meskipun beliau telah meninggal dunia.
Ingatkah Anda pada kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidlir as. yang berusaha untuk mendirikan rumah anak yatim yang akan roboh demi menyelamatkan harta warisan mereka yang tersimpan di dalamnya ? Semua itu mereka lakukan karena ayah (kakek ke tujuh) kedua anak yatim tersebut seorang yang shalih. Perhatikanlah, meskipun telah meninggal dunia, mereka masih dapat memberikan manfaat kepada yang hidup hingga Allah mengutus Nabi Musa as. dan Khidlir as untuk menjaga harta warisan tersebut.[2]
Di samping itu, istighâtsah dengan orang mati telah jelas dasar-dasarnya sebagaimana dalam dalil-dalil tawassul dengan orang mati, karena istighâtsah termasuk bagian dari tawassul. Dalam keterangan di muka ternyata Bilal ibn al-Hârits memakai kata وامحمداه . Ini adalah kata istighâtsah. Itu dilakukan bertahun-tahun setelah Nabi SAW meninggal dan ternyata tidak ada yang mengingkari sama sekali.
[1] Ismâ'îl bin ‘Umar bin Katsîr ad-Dimasyqi, Tafsîr Ibnu Katsîr, (Beirut : Dâr al-Fikr), 1401, vol .II, hal 388
[2] Novel bin Muhammad, Op.Cit., hal.131-133.
Home »
AQIDAH DAN AMALAN AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH
» MENGUAK ISTIGHÂTSAH
MENGUAK ISTIGHÂTSAH
Written By MuslimMN on Minggu, 13 Februari 2011 | 18.08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar