KUPAS TUNTAS TAWASSUL (Bagian I)
PENGERTIAN TAWASSUL
التوسل بأحباب الله هو جعلهم واسطة الى الله تعالى في قضاء الحوائج لما ثبت لهم عنده تعالى من القدر و الجاه مع العلم بأنهم عبيد و مخلوقون و لكن الله قد جعلهم مظاهر لكل خير و بركة و مفاتيح لكل رحمة
Tawassul adalah memohon kepada allah melalui perantara orang–orang yang dicintai Nya, seperti para nabi,para wali, disebabkan mereka adalah orang-orang yang telah diridloi dan telah diberi derajat yang tinggi di sisi Allah .[1]
Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada Allah dengan menyebutkan sesuatu yang dicintai dan diridlai Allah. Contoh jika kita ingin mendapatkan ampunan Allah, kemudian kita berdoa, “Ya Allah, berkat Nama-Mu rahmân dan ghafûr, ampunilah segala kesalahanku.”atau “Ya Allah, berkat kebesaran Nabi-Mu Muhamad SAW, mudahkanlah segala urusanku yang Engkau ridlai.”
Seseorang yang bertawassul berarti mengakui bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan segala kekurangannya tersebut, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Artinya tawassul adalah salah satu bentuk ungkapan rasa tawadlu’ seorang hamba di hadapan Tuhannya.Oleh Karena itu, ia meminta syafaat kepada sesuatu atau seseorang yang -menurut prasangka baiknya- dicintai Allah. Inilah hakekat tawassul.
DALIL TAWASSUL
Secara umum dalil tawassul adalah firman Allah :
ياَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِتَّقُوْا الله وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ ( المائدة :35 )
Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS Al-Mâ`idah: 35)
Ibnu abbas berkata : yang di maksud wasilah adalah segala hal yang di tujukan untuk mendekatkan diri kepada allah”.
MACAM-MACAM TAWASSUL
Pembagian Tawasul Secara Garis Besar
Secara garis besar tawassul terbagi dua :
1. Tawassul dengan amal shalih
2. Tawassul dengan orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah seperti Nabi, para wali, orang shalih, para syuhada’, dan lain-lain.
Tawassul dengan orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah artinya wasîlah yang kita sebutkan dalam berdoa bukan amal kita tetapi nama seseorang atau kemuliaan seseorang. Contohnya adalah : “Ya Allah, berkat Nabi Muhammad SAW……” “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…..” “Ya Allah, berkat para wali dan shalihin….”
Mereka yang tidak memahami alasan mengapa seseorang bertawassul dengan orang lain akan menuduhnya telah berbuat syirik. Tuduhan semacam ini tidak hanya salah, tetapi sangat berbahaya. Perlu diketahui bahwa bertawassul dengan orang lain sebenarnya bertawassul dengan amal shalih sendiri.
Ketika seseorang bertawassul dengan orang lain, pada saat itu ia berprasangka baik kepadanya dan meyakini bahwa orang tersebut adalah seorang shalih yang mencintai Allah dan dicintai Allah. Ia menjadikan orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia mencintainya. Dengan demikian, sebenarnya ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada orang tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya, Allah, demi kebesaran Rasul-Mu Muhammad SAW.”berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Nabi Muhammad SAW. Atau orang berkata,”Ya Allah, berkat Imam Ghazali…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Imam Ghazali. Kita semua tahu, bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya serta kepada orang-orang yang shalih merupakan amal yang sangat mulai. Dalam shahih Bukhari diceritakan bahwa seorang Badui datang menemui Rasulullah SAW dan berkata , “Ya Rasulallah, Kapan kiamat tiba ?” “Apa yang kamu persiapkan untuk mneghadapinya?” jawab Rasulullah SAW. “Aku tidak mempersiapkan apa-apa, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya” jawab badui tersebut. Rasulullah SAW lantas bersabda :
إنك مع من أحببتَ
Sesungguhnya kau akan bersama dengan yang kau cintai (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad)
Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i....” sebenarnya ia berkata,”Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai Imam Syafi’i, seorang yang sangat mencintai-Mu dan juga beribadah kepada-Mu. Ya Allah, berkat cinta dan prasangka baikku ini, wujudkanlah segala keinginan baikku...” Inilah keyakinan dan suasana hati setiap orang yang bertawassul dengan orang lain, meskipun kalimat di atas tidak mereka ucapkan.
Dengan demikian, setiap orang yang bertawassul dengan orang lain, berarti ia sedang bertawassul dengan amalnya sendiri, yaitu cinta. Sehingga tidak ada bedanya jika orang yang ia jadikan sebagai wasilah tersebut masih hidup atau telah meninggal dunia. Sebab, kematian tidak dapat membatasi cinta seseorang. Cinta kita kepada para rasul dan kaum shalihin tidak hanya ketika mereka hidup.[2]
Maksud dari tawassul dengan para nabi dan oarng-orang shalih adalah bahwa mereka sebab dan perantara dalam mencapai tujuan. Pada hakikatnya pelaku sebenarnya (yang mengabulkan doa) adalah Allah sebagai penghargaan kepada mereka (para nabi dan orang shalih). Ibarat pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari dirinya sendiri karena yang memotong hakikatnya adalah Allah. Pisau hanya menjadi penyebab menurut kebiasaan (sabab ‘âdy), Allah yang menciptakan memotong melalui pisau tersebut.[3] Namun kita tentu menggunakan pisau ketika memotong.
Karena itu dalam bertawassul kita harus melakukan hal-hal berikut :
1. Meyakini bahwa yang mendatangkan manfaat dan madlarat hanya Allah semata bukan yang lain.
2. Tawassul dilakukan karena mengikuti perintah Allah (al-Mâ`idah :35), mengikuti ajaran Rasulullah SAW, para shahabat, orang-orang shalih, dan wujud dari rasa tawadlu’.
Pembagian Tawassul Secara Terperinci
Secara terperinci, tawassul dapat dibagi menjadi :
1. Tawassul Dengan Amal Shalih
Para ulama sepakat bahwa tawassul dengan amal shalih sendiri seperti shalat, puasa, membaca al-Quran, berbakti kepada orang tua, sedekah dan lain sebagainya adalah bagian dari ajaran Islam. Dalilnya adalah hadits riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalihnya. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Allah membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, sampai mereka semua selamat.
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat bahwa bertawassul dengan amal shalih dapat dilakukan.
1. Tawasul dengan Nabi Di Masa Hidup Beliau
Dikisahkan bahwa seorang shahabat yang menderita sakit mata memohon kepada Rasulullah agar diberi kesembuhan. Rasulullah menyuruhnya untuk membaca doa berikut :
"اللهم إنى أسألك وأتوجَّهُ إليك بنبيك محمدٍ نبىِّ الرحمة إني توجَّهْتُ بك إلى ربِّي في حاجتي هذه لِتُقْضَى لي اللهم فشَفِّعْهُ فِيَّ
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) nabi-Mu, Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat Beliau untukku (HR Tirmidzi, an-Nasâ’I, al-Baihaqy dengan sanad shahih)
Dalam hadits tersebut ternyata shahabat bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW bahkan atas rekomendasi Beliau SAW sendiri. Ini menunjukkan bahwa tawassul dengan orang shalih yang masih hidup diperbolehkan.
1. Tawasul dengan Nabi Setelah Beliau Wafat
Tawassul dengan Nabi SAW setelah Beliau wafat juga bagian dari syari’at. Bahkan hal ini sering disarankan oleh para shahabat Nabi. Diantaranya :
) Dalam sebuah hadits disebutkan :
عن سيدنا علي كرم الله وجهه أن سيدنا محمد r لما دفن فاطمة بنت أسد أم سيدنا علي رضي الله عنهما قال اللهم بحقي وحق الأنبياء من قبلي اغفر لأمي بعد أمي ( رواه الطبراني وأبو نعيم وابن حجر الهيثمي )
Dari Sayyidina ‘Ali kw. sesungguhnya Sayyidina Muhammad SAW tatkala Fathimah bint Asad, ibu Sayyidina ‘Ali dimakamkan, Beliau SAW berdoa : “Ya Allah, dengan (perantara) hakku dan hak para Nabi sebelumku, ampunilah ibu setelah ibuku ( Fathimah bint Asad)" (HR at-Thabrâny, Abu Nu’aim, al-Haitsamy)
Dalam hadits tersebut ternyata Rasulullah juga bertawassul dengan para nabi sebelum Beliau. Padahal kita tahu bahwa pada masa itu, para nabi tersebut telah meninggal. Ini menunjukkan bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal juga pernah diajarkan oleh Rasul SAW.
) Diceritakan oleh Imam Thabrâny dengan sanad shahih dan al-Baihaqy, ada seorang lelaki yang sering mengunjungi Khalifah ‘Utsmân ibn ‘Affân ra. untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi Sayyidina ‘Utsmân ra. tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan ‘Utsmân ibn Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. ‘Utsmân ibn Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudlu, mengerjakan shalat dua rakaat di masjid, membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui Sayyidina ‘Utsmân. Doa tersebut adalah :
"اللهم إنى أسألك وأتوجَّهُ إليك بنبينا محمدٍ نبىِّ الرحمة يا محمد إني أتوجَّهُ بك إلى ربِّك لِتُقْضَى حاجتي
Setelah melaksanakan saran ‘Utsmân ibn Hunaif, lelaki itu pergi menghadap Khalifah Utsmân ra. Sesampainya di depan pintu, penjaga menyambutnya dan membawanya masuk dengan menggandeng tangannya. Sayyidina 'Utsmân ra, kemudian mendudukkannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa hajatmu ?” Setelah menyebutkan semua hajatnya Sayyidina ‘Utsman ra.pun memenuhi permintaannya. Kemudian Beliau berkata, “ Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu ? Setiap kali kau butuhkan sesuatu segeralah datang kemari.”
Ketika meninggalkan kediaman Sayyidina 'Utsmân ra. lelaki itu bertemu dengan ‘Utsmân ibn Hunaif ra. “Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun memandangku,” ujar lelaki itu kepada ‘Utsmân ibn Hunaif. “ Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya. Hanya saja aku menyaksikan seorang shahabat datang menemui Rasululah SAW., mengeluhkan kebutuhannya…..(dan seterusnya sampai akhir hadits di atas). [4]
Kisah di atas juga disampaikan oleh Ibn Sunny dalam ‘Amal al-Yaum wa al-lailah, Ibn Hajar al-Haitamy dalam Majma’ az-Zawa`id, al-Mundziry dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb, Ibn Taymiyah dalam at-Tawassul wa al-Wasîlah. Menurut at-Thabrâny dan al-Hakim hadits di atas termasuk kategori shahih. Pendapat ini disetujui oleh al-Haitamy dan al-Mundziry.
) Suatu ketika, masyarakat Madinah mengalami paceklik yang luar biasa. Kemudian mereka mengadu Kepada Sayyidah ‘Aisyah ra. Sayyidah ‘Aisyah menjawab, “Pandanglah makam Rasulullah SAW dan buatlah jendela menghadap ke langit sehingga antara makam Beliau dan langit tidak terhalangi oleh atap.” Masyarakat Madinah melaksanakan saran tersebut dan akhirnya mereka diberi hujan. Demikian diceritakan oleh Imam ad-Dârimy dari Sayyidina Abi al-Jauzâ` Aus ibn Abdullah ra. Sayyid as-Samhûdy mengatakan bahwa kebiasaan mereka (penduduk Madinah) di masa sekarang (masa hidup as-Samhûdy) adalah membuka pintu yang menghadap ke wajah Rasul SAW dan berkumpul di situ. Hal ini tidak dilakukan melainkan dengan tujuan tawassul dengan Nabi SAW dan mengharap syafa’at (pertolongan) Beliau SAW kepada Allah karena ketinggian derajat Beliau SAW di hadapan Allah.
) Diceritakan dari Ali ibn Abi Thâlib bahwa para shahabat kedatangan seorang badui tiga hari setelah wafat Rasulullah SAW. Ia menjatuhkan dirinya ke makam Rasulullah SAW dan menaburkan debu makam di atas kepalanya seraya berkata, “Wahai Rasulallah, Engkau berkata dan kami mendengarkan perkataanmu. Engkau menerima dari Allah dan kami menerima darimu. Termasuk yang diturunkan Allah kepadamu adalah :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ wÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& Î) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqߧ9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJÏm§ ÇÏÍÈ
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS an-Nisâ’:64).
Dan aku telah menzalimi diriku sendiri, aku datang kepadamu minta engkau memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosaku”. Kemudian terdengar suara dari kubur Nabi SAW. : “Allah telah mengampuni dosa-dosamu.” Demikian disampaikan Ibn Hajar dalam al-Jauhar al-Munadham, al-Qurthûby dalam Tafsir al-Qurthûby, Imam Nawawi dalam Kitab al-Îdlâh, Ibn Qudâmah (tokoh madzhab Hanbali) dalam kitab al-Mughny Syarh al-Kabîr, Syeikh al-Manshûr al-Bahûty dalam Kasyâf al-Qinâ’.
Apa yang dilakukan oleh orang badui di atas ternyata tidak diingkari oleh para shahabat. Ini menunjukkan tawassul tersebut diperbolehkan.
) Di masa kekhalifahan Sayyidina Umar ibn al-Khathab, terjadi paceklik yang sangat hebat. Prihatin dengan kondisi demikian, Sayyidina Bilâl ibn al-Hârits datang ke kubur Rasulullah SAW. dan berkata, “Wahai Rasulallah, mintakanlah hujan demi umatmu karena mereka hampir binasa.” Kemudian Sayyidina Bilal ditemui Rasulullah dalam mimpi dan diberi informasi bahwa masyarakat akan diberi hujan. Demikian diriwayatkan oleh al-Baihaqy dan Ibn Abî Syaibah dengan sanad shahih.
Menanggapi kisah di atas, Syeikh Yûsuf an-Nabhâny dalam Syawâhid al-Haq mengatakan bahwa yang menjadi pijakan dalam permasalahan ini bukan mimpi yang terjadi. Karena meskipun mimpi bertemu Nabi SAW adalah benar, namun tetap tidak dapat menjadi sumber hukum. Yang menjadi pijakan adalah tindakan Bilal ibn al-Harits mendatangi makam Rasulullah SAW dan bertawassul di hadapan Beliau SAW padahal Bilal termasuk shahabat. Ini menunjukkan bahwa tawassul dengan Nabi ketika Beliau telah wafat diperbolehkan bahkan juga dilakukan oleh para sahabat.[5]
) Mâlik ad-Dâr, seorang pengawal Sayyidina Umar menceritakan bahwa ketika paceklik melanda di masa Umar ibn Khathâb, seorang lelaki (menurut satu keterangan adalah Bilâl ibn al-Hârits di atas) mendatangi makam Rasululah SAW seraya berkata, “Ya Rasulallah (dalam satu riwayat Yâ Muhammadâh-dengan shîghat istighâtsah), mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka hampir saja binasa.” Kemudian lelaki tersebut ditemui Nabi SAW dalam mimpi dengan bersabda, “Datanglah pada Umar, sampaikan salam, dan kabarkanlah bahwa kalian akan diberi hujan, dan katakanlah kepadanya, 'Engkau mendapat keberuntungan.” Kemudian lelaki tersebut mendatangi Umar dan mengabarkan kejadian tersebut. Umar pun menangis seraya berkata, “Ya Tuhanku, mereka tidak tertimpa kecuali apa yang di luar kemampuanku.” Kisah ini disampaikan oleh Ibn Abî Syaibah dalam al-Mushannaf, al-Bukhâri dalam kitab Târikh, Abû Ya’lâ al-Khalîly dalam al-Irsyâd, al-Baihaqy dalam Dalâ`il an-Nubuwwah, Ibn Hajar al-‘Asqalâni dalam Fath al-Bâri`, dan Ibn Katsîr dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyah dengan sanad shahîh.
Dalam kisah di atas ternyata Sayyidina Umar tidak mengingkari tindakan lelaki tersebut. Ini menunjukkan bahwa beliau setuju dengan hal itu.
) Imam Mâlik suatu ketika ditanya khalifah al-Manshûr ketika ia naik haji dan berziarah ke makam Rasululah SAW., “Ya Abâ ‘Abdillah (Imam Malik), kemanakah aku harus menghadap ketika berdoa (di makam Rasul SAW), apakah aku menghadap ke kiblat atau ke Rasulullah SAW? Imam malik menjawab,
ولِمَ تصرف وجهك عنه وهو وسيلتك ووسيلة أبيك آدم إلى الله تعالى ؟ بل استقبِلْ واستشفع به فيشفعه الله فيك قال الله تعالى "!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ wÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& Î) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqߧ9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJÏm§ "
Mengapa engkau palingkan wajahmu darinya SAW, padahal Beliau adalah wasîlahmu dan wasîlah bapak kamu, Adam kepada Allah SWT.? Bahkan menghadaplah padanya dan mintalah syafaat kepadanya sehingga Allah memberikan izib syafaat kepada Beliau SAW untukmu. Allah berfirman “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”( QS an-Nisâ`:64)
Dawuh Imam Mâlik di atas disampaikan oleh Imam Ibn Hajar dalam al-Jauhar al-Munadham, al-Qasthalâny dalam al-Mawâhib al-Ladunniyah, as-Samhûdy dalam Khulâshah al-Wafâ`, dan Qâdly ‘Iyâdl dalam as-Syifâ` dengan sanad shahih. Ketika Imam Mâlik dawuh seperti di atas, Nabi Muhammad SAW telah wafat. Jelas, Imam Mâlik termasuk ulama yang menyetujui tawassul dengan Nabi setelah Beliau meninggal.
) Dalam kitab Dliyâ` as-Shudûr li Munkirî at-Tawassul bi Ahl al-Qubûr dijelaskan bahwa tatkala Imam Abû Hanîfah berada dalam Raudlah as-Syarîf beliau berdoa demikian :
يا أكـــرمَ الثَّقَلــــينِ يا كنـــــز الورى $ جُدْ لي بجـودك وارْضِِني برضاكا
أنا طامـع بالجــــــود منـك ولم يكن $ لأبــــي حنيــفة فـي الأنـــام سواكا
Wahai paling mulianya jin dan manusia, Wahai perbendaharaan manusia,
Bermurahlah kepadaku dengan kemurahanmu dan ridlailah diriku dengan keridlaanmu.
Aku sangat mengharap kemurahan darimu dan tidak ada,
Bagi Abi Hanifah dari manusia selain dirimu.
Ternyata Imam Abu Hanîfah juga bertawassul dan beristighâtsah. Abu Hanîfah juga mempunyai syi’ir terkenal berisikan tawassul Beliau yang terkenal dengan nama “Qashîdah an-Nu’mâniyah.” Lebih lengkap mengenai qashidah tersebut silahkan lihat dalam Jawâhir al-Asy’âr wa al-Akhbâr karangan Syeikh ‘Abdul Qâdir al-Fadlfary al-Malîbary.[6]
1. Tawassul Dengan Orang Shalih Ketika Hidup
Tawassul dengan orang shalih yang masih hidup termasuk bagian dari syariat. Dalil yang digunakan para ulama adalah hadits riwayat Anas ibn Mâlik :
عن أنس بن مالك t أن عمر t كان إذا قُحِطوا استَسْقَى بالعباس بن عبد المطلب فقال اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقِنا قال فيُسْقَوْنَ ( أخرجه البخاري )
Dari Anas bin Mâlik ra.sesungguhnya Umar ibn al-Khathâb apabila masyarakat mengalami paceklik meminta hujan dengan (tawassul dengan) al-‘Abbâs ibn ‘Abdil Muthallib dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepadamu kami bertawassul dengan Nabi-Mu. Engkaupun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami berdoa kepadamu dengan bertawassul dengan paman Nabi-Mu, maka berilah kami hujan.” Anas mengatakan, “Kemudian mereka diberi hujan.” (HR al-Bukhâri).
Dalam hadits di atas ternyata Sayyidina Umar bertawassul dengan Sayyidina ‘Abbas. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalâny dalam Fath al-Bâri` Syarh al-Bukhâri, hadits di atas menunjukkan terjadinya tawassul dengan Nabi SAW dan diperbolehkan tawassul dengan orang-orang shalih baik dari kalangan ahl al-Bait ( habâ`ib) maupun lainnya.
1. Tawassul dengan Orang Mati
Tawassul dengan orang shalih yang telah meninggal telah dilakukan oleh para ulama, diantaranya :
) Al-Khathîb dalam kitab târikhnya menceritakan dari ‘Ali ibn Maimun bahwa Imam Syâfi’i pernah berkata :
إني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيئ إلى قبره في كل يوم – يعني زائرا- فإذا عَرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما يبعد عني حتى تقضى
Sesungguhnya aku bertabarruk dengan Abi Hanîfah dan datang ke kuburnya –yakni ziarah kubur-. Apabila aku mempunyai hajat, maka aku shalat sunnah dua rakaat kemudian datang ke kuburan Beliau dan meminta hajatku kepada Allah. Tidak lama kemudian hajatkupun terpenuhi.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa Imam Syafi’i ternyata juga bertawassul dengan Abi Hanifah. Hal ini sebagaimana keterangan tegas Imam Ibn Hajar dalam al-Khairât al-Hisân fî Manâqib al-Imâm Abi Hanîfah an-Nu’mân.[7]
) Imam ad-Dzahaby dalam Tadzkirah al-Huffâdh mengisahkan, tatkala Shafwân ibn Sulaim disebutkan di depan Imam Ahmad ibn Hanbal, beliau berkomentar,
هذا رجل ينزل القطر من السماء بذكره
Ini adalah lelaki yang hujan dapat turun dari langit dengan (perantara) menyebut namanya
Ucapan Imam Ahmad ibn Hanbal di atas membuktikan bahwa beliau termasuk pendukung berat praktek tawassul.
1. Tawassul dengan Kemuliaan (jah)
Jah adalah kedudukan atau kemuliaan yang secara khusus diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya seperti kenabian, kerasulan, kewalian. Jâh termasuk sebagian rahmat yang tersebut dalam firman Allah :
ÈtG÷t ¾ÏmÏGyJômtÎ/ `tB âä!$t±o 3 ª!$#ur rè È@ôÒxÿø9$# ÉOÏàyèø9$# ÇÐÍÈ
Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar (QS Âli ‘Imrân :34 ).
Tawassul dengan jah (kemuliaan dan kedudukan) seseorang di mata Allah menurut ahlussunnah diperbolehkan. Dalilnya adalah doa shahabat Dlarîr (orang yang buta) sebagaiamana di muka yang berbunyi,
"اللهم إنى أسألك وأتوجَّهُ إليك بنبيك محمدٍ نبىِّ الرحمة إني توجَّهْتُ بك إلى ربِّي في حاجتي هذه لِتُقْضَى لي اللهم فشَفِّعْهُ فِيَّ
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) nabi-Mu, Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) sesungguhnya aku telah bertawajjuh Kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat Beliau untukku
Menurut keterangan Syeikh ibn ‘Allân dalam Faidl a-Qadîr, kata بك yang terdapat dalam doa di atas bermakna بسبب ذاته أو منزلته من الله ( dengan sebab diri Nabi SAW atau dengan sebab kedudukan Beliau SAW. di hadapan Allah) sehingga menurut para ulama yang dimotori ‘Izz ibn ‘Abdissalam tawassul dengan jah termasuk bagian ajaran agama. Pengharaman tawassul dengan jah baru muncul pada abad VII hijriyah yang dimulai oleh Ibn Taimiyah. Sebelum masa itu, semua ulama sepakat tawassul dengan jah hukumnya boleh.
[1] Al-Habib Zainal ‘Âbidîn al-‘Alawi, al-Ajwibah al-Ghâliyah fî 'Aqîdah al-Firqah an-Nâjiyah, Dâr al-'Ulûm al-Islâmiyah, cet.ke-2, 2005, hal. 68
[2] Novel bin Muhammad Alaydrus, Op.Cit., hal.116-118
[3] Afandi Shiddîqy az-Zahâwy, al-Fajr as-Shâdiq, (Turki : Isik Kitabevi), 1981, hal. 53-54.
[4] Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyûb at-Thabrâny, al-Mu’jâm as-Shaghîr, (Beirut : Maktab al-Islâmy Dâr al-‘Ummâr), cet.ke-1, 1983, vol. I, hal.306
[5] Zainuddin al-Makhdûm al-Fannâny, al-Bunyân al-Marshûsh, (Istanbul : Hakikat Kitabevi),tt., hal. 114-117.
[6] Ibid, hal. 117-118.
[7] Ibid, hal. 119, Yusuf Khaththâr Muhammad, Op.Cit., hal. 114.
Home »
AQIDAH DAN AMALAN AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH
» KUPAS TUNTAS TAWASSUL
KUPAS TUNTAS TAWASSUL
Written By MuslimMN on Minggu, 13 Februari 2011 | 18.05
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar