Habib Ali al-Jufri
pernah bercerita, “Aku pernah berada di kota Aden, berada dalam satu majelis
dengan seorang bekas penguasa/pemimpin yang sangat dzalim, dimana ketika
berkuasa dia melakukan banyak kemungkaran dengan membantai atau membunuh banyak
ulama besar Hadhramaut, diantaranya salah satu yang menjadi korbannya adalah
guru mulia kami asy-Syahid Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahanda dari
guru kami Habib Umar bin Hafidz.
Takdir telah
membawaku untuk bertemu dengannya. Dan ketika aku menatapnya (setelah aku
diberitahu siapa dia) timbul perasaan tidak suka/tidak nyaman yang luar biasa. Bahkan
aku tidak mau berbicara dengannya, meskipun sekadar berdakwah sekalipun. Aku tahu
sikapku ini keliru dan salah, karena memanggil orang ke jalan Allah harus
diutamakan, tak peduli siapa mereka atau apa yang pernah mereka lakukan.
Dan tiba-tiba
saja orang dzalim itu menghampiriku dan berkata, “Aku ingin bertaubat! Apa
yang harus kulakukan?”
Aku pun
berusaha keras untuk menguasai diriku, agar bisa menjawab permintaannya dengan
baik. Dan aku berusaha tersenyum supaya ia tidak pergi menjauh dari kebenaran
yang ia inginkan.
Segera setelah
keluar dari majelis aku tetap merasa sangat terganggu dan tidak nyaman, maka
aku menelepon guruku Sayyidil Habib Umar bin Hafidz serta menceritakan dengan
siapa aku telah bertemu. Dan beliau hanya bertanya, “Apa maunya?”
Aku katakan
keinginan orang itu untuk bertobat dan minta maaf, tapi aku tak mampu
menuntunnya dengan baik karena hatiku sangat tak menyukai dengan apa yang telah
ia lakukan dimasa lalu.
Guru Mulia
Habib Umar bin Hafidz kemudian berkata, “Ali, penuhilah hak Allah atasmu,
yaitu menuntun ia kepada Allah. Tunjukkan kasih sayang dan perhatian atasnya
dari dasar hatimu yang paling dalam. Dan untuk perasaanmu yang tidak suka
berkumpul bersamanya atau ketidaknyamananmu itu, maka alihkan kepada kebencian
terhadap perbuatannya, bukan kepada individu atau orangnya. Karena Rasulullah Saw.
tetap menerima keislaman Wahsyi (orang suruhan Hindun istri Abu Sufyan) yang
telah membunuh paman tercinta Nabi, yaitu Sayyidina Hamzah (dengan cara
menombaknya dari jauh kemudian memutilasinya dan mengeluarkan jantungnya). Tetapi
Nabi Saw. pun tetap memaafkan dan mengampuni Wahsyi, meski beliau mengalami
kesulitan menatap wajah Wahsyi dan berkata jangan biarkan aku melihatnya lagi,
bukan karena benci pada Wahsyi, tetapi karena akan membuat kesedihan beliau
teringat lagi keadaan paman beliau kala syahid.”
Kata-kata Habib
Umar ini sungguh tak ternilai dan sangat amat berharga bagiku, karena beliau
sedang berbicara tentang manusia yang pernah melakukan kejahatan terbesar dalam
hidup beliau sendiri (yaitu membunuh ayah kandung beliau) dan memisahkannya
dengan keluarga beliau akan tetapi masih menerima dan membantunya taubat.”
(Sumber: fiqhmenjawab.net).
0 komentar:
Posting Komentar