KH. Moh. Said adalah salah satu ulama pendiri NU. Pernah diberi tugas oleh Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk mengibarkan bendera NU ke penjuru dunia karena beliau termasuk orang yang mahir berbahasa Inggris, Russia, Jerman dan Belanda. Bersama Syaikh Ghanaim dan KH. A. Wahab Hasbullah, beliau berkelana ke luar negeri mengabarkan NU ke dunia internasional. Beliau mengantarkan surat berdirinya NU ke penjuru dunia Eropa.
Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Ketapang Malang, yang telah mendapatkan ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyah-Khalwatiyah sewaktu di Mekkah. Di Mekkah itulah pertama kali beliau berjumpa dengan KH. A. Wahab Hasbullah dkk.
1.
Kelahiran
dan Pendidikan KH. Moh. Said
KH. Moh. Said lahir
di Jl. Tongan Kodya Malang pada tahun 1901 dari pasangan H. Moh. Anwar dan Ny.
Lis.
Pada masa
penjajahan Belanda, Kyai Said termasuk beruntung. Karena pada usia 10 tahun,
beliau dapat mengenyam pendidikan dan berhasil menamatkan pendidikan NIS tahun
1911. 5 tahun kemudian, tahun 1916, menamatkan ELS. Setamat dari ELS beliau
bekerja menjadi Komis Pos di Jember
selama 9 tahun, 1916-1925.
Secara khusus,
awalnya Kyai Said hanya nyantri di beberapa kyai di Malang, seperti ngaji pada
Kyai Mukti Kasin, dan beberapa kyai lainnya. Selain itu, juga pernah nyantri ke
Canga’an Bangil. Kemudian nyantri ke Pondok Pesantren Salafiyah Siwalan Panji
Sidoarjo pada tahun 1926-1931, setahun setelah menikah.
2.
Mendirikan
PPAI Ketapang Kepanjen Malang
KH. Moh. Said pindah
di Kabupaten Malang sejak tahun 1927. Sedangkan Pondok Pesantren PPAI Desa
Sukoraharjo Dusun Ketapang Kepanjen Malang berdiri pada tanggal 28 Oktober 1948
oleh KH. Moh. Said. Pondok ini merupakan pemindahan pondok pesantren dari
daerah Karangsari Bantur, Kabupaten Malang, yang juga didirikan oleh beliau
pada tahun 1931.
Selanjutnya beliau
mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren di Sonotengah, Pakisaji, Kabupaten
Malang selama 16 tahun, 1931-1947. Tahun 1948 beliau mendirikan pesantren pindahan
dari Sonotengah, di daerah Karangsari Bantur guna menyelamatkan santrinya dari
penjajahan Belanda. Beliau berjuang mengusir penjajah Belanda serta menjadi
penggerak tentara Hizbullah dari tahun 1945-1948.
Sebagaimana umumnya
pesantren NU, pondok beliau juga bersistem pengajaran klasikal (Salafiyah). Unit
pendidikan yang tersedia meliputi Sekolah Diniyah Putra-Putri Ibtida’iyah,
Tsanawiyah dan Aliyah.
3.
Anak
Didik KH. Moh. Said
“Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu,
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.” (QS. al-Jatsiyah ayat 18).
Ayat itulah yang
selalu ditanamkan KH. Moh. Said kepada santrinya. Harapannya, agar santri yang
menuntut ilmu di Pondok Pesantren Agama Islam (PPAI) Ketapang, Kepanjen, yang
diasuhnya tidak model-model. “Kalau memang hanya bisa membaca al-Fatihah, ya
ajarkan al-Fatihah itu,” ujarnya kala itu.
Prinsip Kyai Said:
“Sebagai seorang pemimpin harus bisa mencetak atau mengkader santrinya
menjadi pemimpin.” Karenanya, tak heran jika kemudian Kyai Said berhasil
mengkader santrinya menjadi kyai, ustadz dan tokoh masyarakat, seperti:
1.
KH. Abdul Hanan
2.
KH. Alwi
Murtadho (Pengasuh PPAI Al-Ihsan Blambangan Bululawang)
3.
KH. Abdul
Basyir
4.
KH. Drs. Mahmud
Zubaidi (Ketua MUI Kabupaten Malang dan Pengurus NU Cabang Kabupaten Malang)
5.
Ustadz H.
Ismail Qodly (guru agama di SLTP Shalahuddin)
6.
Gus Mad Suyuti
Dahlan (Pengasuh Ponpes Nurul Ulum Kacuk Sukun)
7.
KH. Ahmad Su’aidi
(Pengasuh PPAI Ketapang, menggantikan Kyai Moh. Said)
8.
Dan puluhan
kiai lainnya yang tersebar di Malang dan sekitarnya.
4.
Perjuangan
dan Pengabdian KH. Moh. Said
Sejak masa
muda, beliau memang dikenal sebagai orang yang suka bekerja keras dan tekun
belajar. Selain membantu orangtuanya, juga berdagang serta terkadang bertani.
Beliau menikah
pada tahun 1925 dengan Siti Fatimah, seorang wanita dari Kidul Pasar Malang.
Waktu itu, beliau masih berstatus sebagai pegawai di Kantor Gubernur di
Surabaya tahun 1925-1927. Dalam pernikahan tersebut, Kiai Said tidak sampai
dikarunia anak.
Bekerja menjadi
pegawai pemerintah Belanda, ternyata tidak memuaskan hati beliau, hingga dia
mengundurkan diri. Karenanya, setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren
beliau mendirikan dan mengasuh Pondok Pesanntren Sono Tengah Pakisaji Malang,
pada tahun 1931-1947. Pada tahun 1948, beliau mendirikan Pesantren Karangsari
di Bantur. Setelah itu, sekitar tahun 1949 mendirikan Ponpes PPAI Ketapang,
Kepanjen.
Di masa
pendudukan penjajah Belanda, Kyai Said turut berjuang bersama masyarakat untuk
mengusir penjajah. Bahkan beliau termasuk tokoh yang menggerakkan tentara Hizbullah
pada tahun 1945-1948.
Di kalangan
santri dan masyarakat, beliau dikenal sebagai ulama yang bijaksana. Beliau juga
dekat dengan umara’ dan organisasi, tetap menampakkan pribadi yang alim,
wara’ dan sufi. Selain itu, juga aktif di organisasi NU dan sempat menjadi Rois
Syuriah NU Cabang Malang pada tahun 1950-1965. Bahkan, pernah ditunjuk menjadi
Ketua Misi Ulama se Jatim ke Moskow (Rusia) dan Karachi (Pakistan) mewakili
Partai NU wilayah Jawa Timur.
Menurut Gus Mad
Suyuti Dahlan, Kyai Said itu sosok sufi yang berpendirian teguh, suka
menyendiri dan menjauhi keramaian. Meski beliau lebih menekankan pada syariat
(fiqih), tapi juga mengamalkan Thariqah Khalwatiyah dengan kitab susunannya Khulashah
Dzikr al-‘Ammah wa al-Khasshah, yang didirikan Syaikh Khalwati. “Beliau
itu hampir 27 tahun tidak pernah telat melaksanakan shalat berjamaah. Dan
pelajaran itu, selalu ditekankan pada santri-santrinya,” ujar Almaghfurlah
KH. Suyuti Dahlan (Pengasuh PP Nurul Ulum Kebon Sari Malang).
Demikian juga
dalam bidang pendidikan, beliau sangat memperhatikan para generasi muda. Para
santrinya diarahkan untuk menjadi penganjur agama Islam atau da’i, menjadi
kader-kader dakwah yang memperjuangkan agama Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah serta
menyebarluaskan ajaran pesantren yang sehaluan dengan PPAI Ketapang.
5.
Pertemuan
Dua Wali, KH. Abdul Hamid dan KH. Moh. Said
Pagi itu hampir
beranjak siang, KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid) Pasuruan sudah berada di depan Ndalem
KH. Mohammad Said, Pengasuh PPAI Ketapang Kepanjen Malang, seraya mengucapkan:
“Assalamu’alaikum...” sampai 3 kali, tapi tak ada jawaban.
Tak lama
kemudian, muncul seorang santri datang dari bilik yang tak jauh dari Ndalem mendatangi
Kyai Abdul Hamid yang berada di serambi Ndalem. “Romo Kyai Said wonten?”
Kyai Said ada? Tanya Kyai Hamid.
“Romo Kyai Said
kadose tindakan kolowau kaleh Bu Nyai. Ngapunten, saking pundi?”
Kyai Said sepertinya tadi pergi bersama Bu Nyai. Maaf, Anda dari mana? Tanya
santri tadi.
“Kulo Abdul
Hamid saking Pasuruan”, saya Abdul Hamid dari Pasuruan.
Mendengar
jawaban itu santri tadi langsung bingung tak tahu harus berbuat apa karena sekarang
ia tahu bahwa yang di hadapannya bukan orang biasa, tetapi kyai panutan banyak
orang. Melihat hal itu Kyai Hamid pun langsung berkata kepada santri tadi: “Menawi
ngaten kulo tak ngrantosi Romo Kyai Said ten masjid mawon mpun nak geh”,
kalau begitu sembari menunggu Kyai Said, saya di masjid dulu ya.
Akhirnya Kyai
Hamid pun berjalan menuju masjid yang tak jauh dari Ndalem, kemudian shalat dua
rakaat lalu rebahan tidur di depan mihrab masjid. Sedangkan santri tadi sambil
bingung kembali ke bilik memberi tahu teman-temannya bahwa tamu tadi adalah
Kyai Hamid dari Pasuruan yang alim dan wara’.
Selang hampir
satu jam, melihat kondisi Kyai Hamid yang sedang tidur-tiduran di depan mihrab menunggu
kedatangan Kyai Said, akhirnya santri tadi berinisiatif untuk mencari keluarga
atau abdi ndalem agar bisa membukakan pintu Ndalem Kyai Said. Tujuannya supaya
Kyai Hamid bisa menunggu di Ndalem saja.
Tak lama kemudian
keluarlah Gus Kholidul Azhar, putra angkat Kyai Said, dari dalam Ndalem sambil
kelihatan layu nampak habis bangun tidur. Maka tanpa basa-basi santri tadi
langsung berkata kepada Gus Kholid: “Gus, wonten Kyai Hamid Pasuruan bade
sowan dateng Romo Yai,” Gus ada Kyai Hamid Pasuruan ingin menghadap KH. Said.
“Iyo wis mari
ketemu kok,” iya sudah ketemu kok, jawab Gus Kholid.
“Lho, kepanggih
pripun tho Gus. Lha wong Kyai Hamid sak meniko tasik nenggo Romo Kyai Said
kundur saking tindakan ten masjid ngantos sare wonten ngajenge mihrob”, Sudah
ketemu bagaimana Gus, lha tadi Kyai Hamid masih menunggu Kyai Said yang sedang
keluar di masjid depan mihrab kok.
“Lho, sopo sing
ngomong Abah (Kyai Said) tindak? Wong iki maeng lho aku metu teko kamar (habis
tidur) Abah karo Kyai Hamid isik temon-temonan ndek mbale (ruang tamu) omah”, kata
siapa Abah sedang keluar? Baru saja aku keluar kamar, Abah bersama Kyai Hamid
bertemu di ruang tamu.
“Lho, saestu Gus
Romo Kyai Said tasik tindakan, kulo ningali piambak wau mios ipun. Pramilo Kyai
Hamid nenggo Romo Kyai kundur sakniki ten masjid” beneran
lho Gus, tadi Kyai Said sedang keluar. Saya lihat. Sedangkan Kyai Hamid
menunggunya di masjid.
“Koen iki yokpo
se, dikandani lek Abah karo Kyai Hamid isik temon-temonan ndek mbale kok gak
percoyo?” Kamu ini bagaimana sih, diberi tahu Abah bersama Kyai Hamid masih
bertatap muka di ruang tamu kok tidak percaya.
“Mosok nggeh Gus,
saestu tah? Wong nembe mawon kulo tasik ningali Kyai Hamid wonten masjid, sare
ten ngajenge mihrob. Lan kulo ningali Kyai tindakan lan dereng kondur.” Masak
sih Gus, sungguh? Baru saja saya lihat Kyai Hamid masih di masjid, tiduran di
depan mihrab. Dan saya lihat Kyai Said sedang keluar, belum pulang.
“Koen iki,
dikandani kok gak percoyo.” Kamu itu diberi
tahu kok tidak percaya. Timpal Gus Kholid.
Di tengah
perdebatan antara santri tadi dengan Gus Kholid, tiba-tiba datang mobil Holden Kyai
Said datang dan berhenti di depan Ndalem. Keluarlah dari dalam mobil tadi Kyai
Said dan Ibu Nyai. Melihat pemandangan itu, Gus Kholid dan santri tadi menjadi
bingung. “Lho Gus, niku lho Romo Kyai nembe kondur saking tindakan,” Lho
Gus, itu Kyai Said baru saja pulang, tukas santri tadi.
“Lha terus,
sing tak delok temon-temonan ndek mbale omah iki maeng sopo?” Lha
terus yang barusan saya lihat sedang bercengkerama di ruang tamu itu siapa?
Sela Gus Kholid.
“Lha geh duko Gus,” Ya
tidak tahu, Gus, jawab santri tadi.
Di tengah
kebingungan keduanya, maka Gus Kholid langsung menghampiri Kyai Said yang baru
keluar dari mobil, seraya berkata: “Abah, wonten...”
Belum selesai
berkata, Kyai Said langsung menjawab: “Kyai Hamid? Wis.. wis... Abah wis
ketemu kok.” Kyai Hamid? Sudah, sudah saya temui kok. Sambil berjalan
menuju Ndalem.
Maka makin
bingunglah Gus Kholid dan santri tadi mendengar jawaban Kyai Said tersebut.
Demi untuk menghilangkan kebingungannya, santri tadi langsung berlari ke masjid
memastikan Kyai Hamid masih di depan mihrab. “Tapi kali ini ia tidak
berhasil menemukan Kyai Hamid di sana, dicari ke mana-mana pun tidak ketemu.”
Tutur KH. Achmad Muchtar Gz, santri KH. Moh. Said, mengakhiri kisahnya.
6.
Kewafatan
KH. Moh. Said
Pernah sewaktu
sakitnya, beliau dikunjungi al-Quthb al-Habib Abdul Qadir Bilfaqih, Pengasuh
Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah, yang waktu itu diantarkan oleh Gus Suyuti
Dahlan. Dalam pertemuan itu, Habib Abdul Qadir sempat menawarkan obat dari
Jerman yang sangat istimewa dan mujarab kepada Kyai Said.
Namun, dengan
segala kerendahan hati tawaran sang habib tersebut ditolaknya. Lantas Kyai Said menceritakan, jika
dirinya pernah bermimpi. Hatinya pecah menjadi dua. Pecahan itu kemudian
menjadi tulisan dalam bahasa Arab, yang artinya: “Tidak ada obat untuk
penyakit ini, kecuali dengan dzikrullah.”
“Kalau begitu,
tidak usah saya beri obat Pak Kyai. Dzikir itu saja diteruskan,”
tutur Gus Mad Suyuti menirukan perkataan Habib Abdul Qadir Bilfaqih kepada Kyai
Said waktu itu.
KH. Moh. Said wafat
pada tanggal 1 Desember tahun 1964 dalam usia 63 tahun. Jenazahnya dimakamkan di
lingkungan Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen Malang.
Termakasih sangat membantu
BalasHapusSaya sebagai keluarga mbah said, mengucapkan terimakasih atas di postnya riwayat mbah saya. Semoga bermanfaat untuk teman teman dan saudara sekalian.
BalasHapus