Memahami
bahasa Arab fush-hah (makna sederhananya Bahasa Kitab) sudah sangat
baik. Tetapi kalau berinteraksi dengan orang-orang Arab kalau tidak mahir
bahasa ‘ammiyahnya (bahasa percakapan) bisa repot juga. Bisa jadi salah
faham.
Waktu
di Bekasi, di salah satu rauhah yang dihadiri al-Habib Salim asy-Syathiriy, di
tengah majelis saya ingin keluar karena mau kentut. Tentu saya tidak akan
mengeluarkan bau busuk tubuh saya di dalam majelis agung itu. Saat saya berdiri
dan akan keluar, tentunya tanpa permisi, tanpa rahshah terlebih dahulu
kepada Habib Salim. Habib memandang saya tajam dan bertanya kepada salah
seorang di sampingnya: “Hendak ke mana si fulan itu di tengah rauhah kita?”
Saya
mendengar kata-kata beliau seperti geledek yang menyambar tubuh saya di siang
bolong. Karena saya faham betul, adab seorang murid itu tidak meninggalkan majelis
gurunya tanpa izin guru yang bersangkutan. Rasa ketidaksenangan Habib itu
membuat saya benar-benar masyghul. Sayang sekali saya tidak mampu
menjelaskan duduk perkara sebenarnya karena saat itu saya tidak mahir berbahasa
‘ammiyah (percakapan). Dan saya cukup malu jika bercakap-cakap dengan
beliau memakai bahasa Tarzan.
Ada
pula cerita yang lucu tentang hal semacam ini, seorang kyai Jawa Tengah dengan Abuya
al-Maliki. Nama kyai itu Si Mbah Kyai Muhammadun dari Dukuh Pondowan Pati
Jateng. Mbah Madun, biasa beliau disebut begitu, adalah seorang yang alim.
Mempunyai banyak ta’lifan (karya) termasuk Syarah Alfiyyah Ibnu Malik.
Memang beliau sangat mumpuni di bidang fan alat serta turunannya termasuk balaghah
serta mantiq. Beliau nyaris hafal nadzam-nadzam di ilmu-ilmu bahasa ini beserta
syawahidnya.
Namun
sedemikian alimnya beliau tidak bisa berbahasa Arab percakapan. Sehingga saat hajji
dan berjumpa dengan Abuya al-Maliki, Si Mbah Madun sebagai orang Jawa tulen pun
matur sebagaimana kebiasaan orang Jawa sowan di hadapan gurunya: “Ana ahdhuru
amamaka.” Kalau di-Jawa-kan artinya “Kulo sowan wonten ngarso Panjenengan”
(Saya datang ke hadapan Tuan). Sebuah kata pembuka percakapan yang lazim
diucapkam oleh orang Jawa.
Tetapi
jadi aneh dihadapkan dengan struktur percakapan orang-orang berbahasa Arab. Saking
anehnya kefushahan Mbah Madun itulah Abuya al-Maliki sampai tertawa-tawa
dan bercanda meledek beliau: “Ya Kyai, Enta Sibawaih Jawa. Wa ana ahdhuru
amamaka?” (Anda itu Imam Sibawaihnya Tanah Jawa, tetapi mau ngomong saja ‘Ana
ahdhuru amamaka’?). (Dikutip dari tulisan KH. Muhajir Madad Salim).
KH.
Muhammadun adalah Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Darul Ulum Pondowan Tayu
Pati Jawa Tengah. Beliau juga Abah dari KH. Muhammad Aniq Muhammadun Pengasuh
Pondok Pesantren Manba’ul Ulum (PPMU/Manba’una) Pakis Tayu Pati Jawa Tengah. Bagi
yang belum punya mp3 pengajian Mbah Muhammadun silakan bisa download di link berikut
ini:
Sya’roni As-Samfuriy, Cikarang
Bekasi 24 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar