Gambar ini
adalah dua contoh gambar Khatam an-Nubuwwah (Stempel-cap-tanda Kenabian),
seperti yang terdapat pada belikat (di antara kedua bahu) Rasulullah Saw.
Keterangan Gambar:
·
Bagian tengah: اللهُ وَحْدَهُ لَاشَريْكَ لَهُ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ “Allahu wahdahu
laa syariika lahu muhammadun ‘abduhu warasuluhu” (Allah Yang Maha Esa tiada
sekutu bagiNya, Nabi Muhammad hamba dan utusanNya).
·
Baris kanan: تَوَجَّهُ حَيْثُ شئْتَ “Tawajjahu haitsu syi’ta”
(Kamu (wahai Muhammad Saw.) menghadap ke arah mana pun).
·
Baris kiri: فَانَّكَ مَنْصُوْرٌ “Fainnaka manshurun” (Maka
sesusungguhnya engkau (Nabi Muhammad Saw.) akan dibantu).
A.
Bentuk
Khatam An-Nubuwwah dan Faidah Memandangnya
Manakala
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. menceritakan sifat-sifat Rasulullah Saw., maka
ia akan bercerita panjang lebar dan akan berkata: “Di antara kedua bahu
Rasulullah Saw. terdapat khatam (tanda) kenabian, yaitu khatam para nabi.”
(HR. Ahmad ‘Ubadah adh-Dhabi, Ali bin Hujr dan lainnya, yang mereka terima dari
Isa bin Yunus dari Umar bin Abdullah dari Ibrahim bin Muhammad yang bersumber
dari salah seorang putera Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw.).
Dari Jabir bin
Samurah Ra. mengemukakan perihal Khatam Nabi sebagai berikut: “Aku pernah
melihat khatam (kenabian), ia terletak di antara kedua bahu Rasulullah Saw.
Bentuknya seperti sepotong daging berwarna merah sebesar telur burung dara.”
(HR. Sa’id bin Ya’qub ath-Thalaqani dari Ayub bin Jabir dari Simak bin Harb
yang bersumber dari Jabir bin Samurah Ra.)
Dalam Syarh
al-Barzanji dikatakan: “Ia (Khatam an-Nubuwwah) adalah daging atau lemak
yang hitam (nampak timbul) bercampur kekuningan (seperti urat), lalu
sekelilingnya itu ada bulu-bulu rambut yang beriring-iringan seperti bulu kuda
(yang halus).
Khatam
an-Nubuwwah atau tanda, cap, stempel kenabian atau biasa disebut sebagai
lambang “tawajjuh” merupakan cap kenabian sebagai salah satu legalitas
tanda kenabian Rasulullah Muhammad Saw. Khatam an-Nubuwwah ini terdapat pada
antara pundak Rasulullah Saw. Munculnya stempel kenabian ini dikatakan sejak
Rasulullah Saw. dilahirkan. Pendapat lain mengatakan munculnya setelah beberapa
saat dilahirkan. Begitu muncul tanda kenabian tersebut bersamaan dengan
keluarnya cahaya yang menjulang tinggi ke atas langit.
Diantara asrar
(rahasia) dari Khatam an-Nubuwwah tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam at-Tirmidzi Ra.: “Siapa yang berwudhu kemudian melihatnya (Khatam an-Nubuwwah)
di waktu Shubuh, maka Allah menjaganya sampai sore hari. Siapa yang melihatnya
di waktu Maghrib, maka Allah menjaganya sampai waktu Shubuh. Siapa yang
melihatnya pada permulaan bulan, maka Allah menjaganya sampai akhir bulan dari
bala’ dan marabahaya. Siapa yang melihatnya pada waktu bepergian, maka
kepergiannya akan menjadi berkah. Dan siapa yang meninggal pada tahun itu juga,
maka Allah menutupnya dengan keimanan. Yang terpenting yang saya kehendaki dari
Allah bahwa orang yang melihatnya dengan pandangan cinta dan iman sepanjang
umurnya sekali saja, maka Allah menjaganya dari semua yang dibenci sampai berjumpa
dengan Allah.” (Madarij ash-Shu’ud Syarh al-Barzanji halaman 50-52).
Imam al-Qurthubi
Ra. berkata: “Dalam hadits-hadits yang shahih menyatakan bahwa Khatam
an-Nubuwwah adalah gumpalan daging berwarna merah terletak dekat dengan bahu
sebelah kiri. Ketika Rasulullah Saw. masih kecil, Khatam an-Nubuwwah tersebut sebesar
telur burung merpati dan kemudian membesar sekira segenggam tangan.” (Imam al-Munawi
dalam Faidh al-Qadir).
Al-Allamah az-Zurqani
dalam al-Mawahib al-Laduniyyah Syarh ‘ala asy-Syamail al-Muhammadiyyah
berkata: “Al-Hakim dan at-Tirmidzi berkata: “Ia (Khatam an-Nubuwwah) bagaikan
telur burung merpati. Di dalamnya tertulis kalimat: “Allahu wahdahu laa
syariika lahu.” Dan di luarnya tertulis: “Tawajjahu haitsu syi’ta. Fainnaka
manshurun.” Sedangkan dalam Tarikh an-Naisabur menambahkan: “ Di dalam
Khatam an-Nubuwwah itu juga tertulis: “Muhammadun rasulullah.” (Al-Mawahib al-Laduniyyah
Syarh ‘ala asy-Syamail al-Muhammadiyya juz 1 halamaman 85).
B.
Hadits-hadits
Tentang Khatam An-Nubuwwah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ قَالَ
سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ قَالَ رَأَيْتُ خَاتَمًا فِي ظَهْرِ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّهُ بَيْضَةُ حَمَامٍ و حَدَّثَنَا ابْنُ
نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا حَسَنُ بْنُ صَالِحٍ
عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ مِثْلَهُ
Jabir bin
Samurah berkata: “Aku melihat sebuah cap (stempel) di punggung Rasulullah Saw. kira-kira
sebesar telur merpati.” (HR. Muslim hadits no. 2344).
وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ قَالاَ حَدَّثَنَا حَاتِمٌ وَهُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ
عَنِ الْجَعْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: سَمِعْتُ
السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ ذَهَبَتْ بِي خَالَتِي إِلَى رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ ابْنَ أُخْتِي
وَجِعٌ فَمَسَحَ رَأْسِي وَدَعَا لِي بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَشَرِبْتُ
مِنْ وَضُوئِهِ ثُمَّ قُمْتُ خَلْفَ ظَهْرِهِ فَنَظَرْتُ إِلَى خَاتَمِهِ بَيْنَ
كَتِفَيْهِ مِثْلَ زِرِّ الْحَجَلَةِ
As-Saib bin Yazid berkata: “Aku dan bibiku pergi
kepada Rasulullah Saw. Lalu bibiku berkata kepada beliau: “Ya Rasulullah,
keponakanku sakit.” Maka beliau Saw. mengusap kepalaku, kemudian beliau
mendoakan keberkahan bagiku. Sesudah itu beliau berwudhu lalu kuminum sisa air
wudhunya. Kemudian aku berdiri di belakang beliau, aku melihat cap kenabian
beliau terletak antara kedua bahu kira-kira sebesar telur burung.” (HR. Muslim hadits
no. 2345).
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي
ابْنَ زَيْدٍ و حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ
كِلاَهُمَا عَنْ عَاصِمٍ اْلأَحْوَلِ ح و حَدَّثَنِي حَامِدُ بْنُ عُمَرَ الْبَكْرَاوِيُّ
وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عَاصِمٌ
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَرْجِسَ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَكَلْتُ مَعَهُ خُبْزًا وَلَحْمًا أَوْ قَالَ ثَرِيدًا قَالَ فَقُلْتُ
لَهُ أَسْتَغْفَرَ لَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ
وَلَكَ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الْآيَةَ {وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ}
قَالَ ثُمَّ دُرْتُ خَلْفَهُ فَنَظَرْتُ إِلَى خَاتَمِ النُّبُوَّةِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ
عِنْدَ نَاغِضِ كَتِفِهِ الْيُسْرَى جُمْعًا عَلَيْهِ خِيلاَنٌ كَأَمْثَالِ الثَّآلِيلِ
Abdullah bin
Sarjis Ra. berkata: “Saya pernah melihat dan makan roti serta daging (atau dia
berkata bubur daging) bersama Rasulullah Saw.” Perawi berkata: “Saya bertanya
kepada Abdullah bin Sarjis: “Apakah Nabi Muhammad memohonkan ampun untukmu?”
Kemudian Abdullah bin Sarjis menjawab: “Ya, dan untuk kamu juga.” Lalu
dia membaca ayat: “Mohonkanlah ampunan (hai Muhammad) atas dosamu dan dosa
orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad ayat 19). Kemudian
Abdullah bin Sarjis berkata: “Lalu saya berputar ke belakang Rasulullah dan
saya melihat tanda kenabian di antara dua pundak beliau, yaitu dekat punuk
pundak kirinya. Pada tanda kenabian itu ada tahi lalat sebesar kutil.” (HR. Muslim
hadits no. 2346).
C.
Pengalaman
Para Sahabat Nabi Saw. Tentang Khatam An-Nubuwwah
1.
Ukasyah
bin Muhshan Ra.
Ibnu Abbas Ra. Meriwayatkan:
“Menjelang hari-hari terakhir wafatnya Rasulullah Saw., beliau memerintahkan
kepada Bilal Ra. untuk mengumandangkan adzan. Orang-orang berdatangan menuju ke
Masjid Nabi. Mereka berkumpul, baik dari golongan kaum Muhajirin maupun Anshar.
Kemudian Rasulullah
Saw. memimpin shalat dua rakaat dengan bacaan yang ringan, atau tidak membaca
ayat-ayat yang panjang. Kaum muslimin yang hadir bermakmum kepada beliau. Usai
shalat, Rasulullah Saw. naik ke mimbar. Beliau membaca hamdalah dan kemudian
menyampaikan beberapa nasihat dengan kata-kata yang tegas.
Para sahabat
yang mendengar suara Rasulullah Saw. saat itu menjadi gemetar hatinya. Perlahan
tapi pasti, mereka semua kemudian menangis.
“Wahai kaum muslimin,”
seru Rasulullah Saw., “sesungguhnya aku ini adalah nabi dan sekaligus penasihat
bagi kalian. Aku ini juga sebagai orang yang mengajak manusia kepada jalan
Allah dengan izinNya. Aku ini bagaikan saudara kandung yang sayang dan laksana
ayah yang welas asih.” Demikian diantaranya bunyi sabda Rasulullah Saw. saat
itu.
“Barangsiapa
yang mempunyai hak atas diriku yang bisa dituntut, maka hendaklah ia berdiri
dan membalas haknya kepadaku saat ini, sebelum aku dituntut balas di hari
kiamat nanti,” lanjut Rasulullah Saw.
Semua hadirin
menjadi terdiam dalam tangis mereka. Tak seorang pun yang berdiri untuk
menuntut balas kepada Nabi yang mereka cintai itu. Sehingga Rasulullah Saw.
merasa perlu untuk mengulang pernyataannya saat itu hingga dua sampai tiga
kali.
Setelah
Rasulullah Saw. mengulang pernyataannya untuk yang ketiga kalinya, maka
berdirilah salah seorang diantara yang hadir. Dia adalah Ukasyah bin Muhshan. “Demi
ayah dan ibuku, ya Rasulullah. Sekiranya engkau tidak mengumumkan hal ini
sampai tiga kali, maka aku tidak akan mengatakan hal ini. Aku pernah bersamamu
pada Perang Badar. Ketika itu, untaku tengah mengikuti untamu. Aku turun dari
untaku dengan maksud untuk mendekatimu dan mencium kakimu,” ujar Ukasyah
menceritakan pengalamannya.
“Akan tetapi,”
lanjut Ukasyah, “tiba-tiba saja engkau mengangkat cambukmu dan memukulkannya ke
arah untamu, agar ia berjalan dengan cepat. Pada saat itu, ujung cambukmu telah
mengenai tiga ruas tulang rusukku. Aku tak tahu, apakah saat itu engkau sengaja
mengenaiku atau tidak,” ujar Ukasyah mengakhiri ceritanya.
Kemudian Rasulullah
Saw. bersabda: “Wahai Ukasyah, sesungguhnya Rasulullah dijauhkan dari bersikap
sengaja memukulmu.” Kemudian Rasulullah Saw. berpaling ke arah sahabat Bilal Ra.
seraya berkata: “Hai Bilal, pergilah ke rumah Fathimah dan ambilkan cambuk
saya.”
Lalu sahabat Bilal
Ra. keluar dari masjid sembari meletakkan tangannya di atas kepalanya. “Rasulullah
telah menyediakan dirinya untuk diqishash,” gumamnya lirih. Setibanya di rumah
Fathimah Ra., Bilal mengetuk pintu. Setelah Sayyidah Fathimah bertanya tentang
siapa yang datang, Bilal menjawab: “Aku Bilal, bermaksud untuk mengambil cambuk
Rasulullah Saw.”
“Bilal, ada
apakah gerangan sehingga ayahku memerlukan cambuknya?” tanya Fathimah Ra.
“Sesungguhnya,
ayahmu telah menyediakan dirinya untuk diqishash,” jawab Bilal Ra.
Mendengar
keterangan Bilal itu, Fathimah Ra. menangis. “Bilal, siapakah gerangan yang
sampai hati akan mengqishash Rasulullah?” Tanya Fathimah Ra. di sela-sela isak
tangisnya sembari menyerahkan cambuk Rasulullah Saw. kepada sahabat Bilal Ra.
Sahabat Bilal Ra.
terdiam. Ia sendiri merasa bersedih dengan kejadian itu. Setelah menerima
cambuk Rasulullah Saw. tersebut, ia segera berlalu dari hadapan Fathimah menuju
ke masjid lagi.
Setibanya Bilal
di masjid, segera cambuk itu diserahkan kepada Rasulullah Saw. Selanjutnya,
beliau Saw. menyerahkan cambuk itu kepada Ukasyah. Detik-detik pelaksanaan
qishash akan segera berlangsung.
Sahabat Abu
Bakar Ra. dan Umar Ra. tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi terhadap
diri Rasulullah Saw. Dengan serentak, kedua sahabat Rasulullah Saw. tersebut
berdiri dan meminta kepada Ukasyah agar menjadikan mereka sebagai penerima
qishash yang ditujukan untuk Rasulullah Saw. tersebut.
“Hai Abu Bakar
dan Umar, kalian duduklah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui tempat kalian
berdua,” ujar Rasulullah Saw.
Sahabat Ali Kw.
pun segera bediri dan berseru kepada Ukasyah: “Ukasyah, selama hidupku, aku
selalu mendampingi Rasulullah Saw. Ini punggung dan perutku, jatuhkanlah
qishash itu padaku. Cambuklah aku saja dengan tanganmu.”
Rasulullah Saw.
pun memerintahkan agar sahabat Ali Kw. untuk duduk kembali. “Duduklah Ali.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui niat dan tempatmu,” perintah Rasulullah Saw.
Dua orang putra
sahabat Ali Kw., yakni Hasan dan Husain, kemudian berdiri menyusul ayah mereka.
Kedua orang ini merupakan cucu kesayangan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. kerap
menggendong mereka dan meredakan tangisan mereka di masa mereka masih berusia
kanak-kanak. Kini, mereka telah menjadi dua pemuda titisan darah Rasulullah
Saw. dan tampil ingin membela kakeknya. “Ukasyah, bukankah engkau mengetahui
betul bahwa kami ini adalah cucu Rasulullah? Oleh karena itu, jika engkau
menjatuhkan qishash tersebut kepada kami, itu sama saja dengan engkau telah mengqishash
Rasulullah Saw.,” ujar kedua cucu Rasulullah Saw. tersebut.
“Buah hatiku,”
tegur Rasulullah kepada Hasan dan Husain, “duduklah kalian berdua,” lanjut
Rasulullah Saw. Keduanya pun mematuhi kata-kata Rasulullah Saw.
Selanjutnya
Rasulullah Saw. memandang Ukasyah yang hanya diam membisu mendengarkan segala
pembelaan dari sahabat dan keluarga Rasulullah Saw. tersebut. “Hai Ukasyah,
sekarang mulailah laksanakan qishashmu. Cambuklah aku,” ucap Rasulullah Saw.
kepada Ukasyah.
Namun Ukasyah
masih mengajukan syarat lainnya. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ketika aku terkena
cambukanmu waktu itu, aku tidak mengenakan pakaian.”
Tanpa
berkata-kata lagi, Rasulullah Saw. langsung membuka pakaiannya. Hingga
tampaklah badan Rasulullah Saw. dari bagian perutnya hingga ke atas. Putih dan
penuh cahaya barakah.
Menyaksikan
pemandangan itu, serentak semua sahabat yang hadir menjerit dan menangis pilu.
Mereka tak sampai hati melihat Rasulullah Saw. diperlakukan seperti itu.
Tetapi, yang demikian itu adalah kehendak Rasulullah Saw. Dan kehendak
Rasulullah Saw. berarti sama juga dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.
Sementara itu,
Ukasyah yang memandang tubuh Rasulullah Saw. dari jarak yang paling dekat,
menjadi gemetar sekujur tubuhnya. Selama beberapa menit, ia telah menahan
gejolak perasaannya untuk memperoleh kesempatan yang diidam-idamkan. Sebuah
keinginan yang sudah tertancap sejak awai keislamannya. Keinginan itu pernah
ingin ia laksanakan pada masa Perang Badar, tetapi tak juga dapat terlaksana.
Bahkan,
gara-gara keinginannya itulah, ia terkena sabetan cambuk Rasulullah Saw. Dan
justru karena sabetan cambuk itulah, maka Allah memberikan kesempatan emas itu
lagi kepadanya. Kasih sayang Allah kepada Ukasyah sudah barang tentu sangatlah
besar. Sehingga, Allah merancang skenario untuk membuat Ukasyah dapat
melaksanakan keinginannya itu.
Keinginan
Ukasyah itu adalah mencium bagian tubuh Rasulullah Saw. Sebab, ia ingin
memperoleh berkah dari tubuh kekasih Allah yang mulia itu. Kini, kesempatan
yang ia peroleh bukan saja sekadar mencium bagian kaki Rasulullah Saw.
Melainkan ia memiliki peluang untuk dapat mencium tanda kenabian Rasulullah
Saw. Ukasyah menangis keras dan memeluk tubuh Rasulullah Saw. dengan penuh
kerinduan.
Ia segera
memeluk tubuh Rasulullah Saw. yang putih bersinar itu dan mencium tanda
kenabian beliau. Tanda kenabian itu terletak di punggung Rasulullah Saw. Tepat
di antara dua belikatnya. Di sana tertulis kalimat “Bakhin bakhin manshurun
tawajjah haitsu syi’ta fa innahu manshur” (Bagus, bagus. Orang yang ditolong,
datanglah menghadap sekiranya engkau kehendaki. Maka, sesungguhnya dia adalah
orang yang ditolong).
Tanda kenabian
itulah yang pernah juga dicium oleh seorang rahib, yang karena hal itu, ia lalu
dimuliakan oleh Allah dan dijamin oleh Allah akan terlepas dari siksa neraka.
Derajat itulah yang diinginkan oleh Ukasyah. Ia ingin terlepas dari siksa
neraka dengan sebab mencium tanda kenabian itu.
“Ya Rasulullah,
aku rela menebus jiwamu dengan jiwaku. Maka, bagaimana mungkin aku sampai hati
mengqishash dirimu. Sungguh, aku melakukan hal ini agar badanku dapat
bersentuhan dengan badanmu. Sehingga, dengan demikian, Allah akan menghindarkan
aku dari siksa api neraka dengan sebab kemuliaanmu,” ujar Ukasyah seraya
menangis tersedu-sedu.
Rasulullah Saw.
kemudian memandang kepada para hadirin seraya bersabda: “Ketahuilah, jika
kalian ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah orang ini.”
Orang yang
dimaksud oleh Rasulullah Saw. itu tak lain adalah Ukasyah, seorang sahabat yang
rela menerima segala kecurigaan para sahabat Rasul lainnya tentang dirinya yang
dianggap ingin mengqishash Rasulullah Saw. Hal itu ia lakukan dengan sabar,
demi untuk dapat mencium tanda kenabian Rasulullah Saw.
Mendengar sabda
Rasulullah Saw. tersebut, para sahabat serempak berdiri mengucapkan selamat
kepada Ukasyah. “Hai Ukasyah, engkau telah memperoleh keuntungan yang sangat
besar dan derajat yang tinggi karena akan berteman dengan Rasulullah Saw. di
surga,” ujar mereka dengan penuh keharuan. Satu per satu mereka memberi selamat
kepada Ukasyah dan mencium keningnya.
2.
Abu
Zaid ‘Amr bin Akhthab Al-Anshari Ra.
Dalam suatu
riwayat, Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri berdialog dengan Abu Zaid ‘Amr bin Akhthab
al-Anshari Ra. Abu Zaid berkata: “Rasulullah Saw. bersabda kepadaku: “Wahai
Abu Zaid mendekatlah kepadaku dan usaplah belakang tubuhku.” Maka belakang tubuhnya kuusap, dan terasa jari
jemariku menyentuh Khatam.”
Aku (Alba’ bin
Ahmar al-Yaskuri) bertanya kepada Abu Zaid: “Apakah Khatam itu?”
Abu Zaid
menjawab: “Kumpulan bulu-bulu.” (Riwayat Muhammad bin Basyar dari Abu
‘Ashim dari ‘Uzrah bin Tsabit yang bersumber dari Alba’ bin Ahmar al-Yasykuri).
3.
Salman
Al-Farisi Ra.
Abu Buraidah Ra.
menceritakan tentang pengalaman Salman al-Farisi Ra. Salman al-Farisi Ra. datang
membawa baki (sebuah wadah) berisi kurma kepada Rasulullah Saw. (sewaktu ia
baru tiba di Madinah). Baki itu diletakkannya di hadapan Rasulullah Saw. Rasulullah
Saw. betanyaa: “Wahai Salman, apa ini?”
Salman
menjawab: “Ini sedekah buat tuan dan sahabat tuan.”
Rasulullah Saw.
bersabda: “Bawalah kembali dari sini, saya tidak memakan sedekah.” Baki
itu pun diangkat oleh Salman.
Keesokan
harinya, ia datang lagi dengan membawa makanan yang serupa dan diletakkan di
hadapan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bertanya: “Apakah ini wahai Salman?”
Salman
menjawab: “Ini adalah hadiah buat tuan.”
Kemudian Rasulullah
Saw. bersabda kepada para sahabatnya: “Hidangkanlah!”
Kemudian Salman
memperhatikan Khatam yang terletak di belakang Rasulullah Saw. (bagian belakang
badan Rasul Saw. sebelah atas), maka ia pun (Salman) menyatakan keimanannya
kepada beliau Saw.
Salman Ra.
adalah budak seorang Yahudi, maka oleh Rasulullah Saw. ia dibeli dengan
beberapa dirham, yakni dengan cara mengupah menanam pohon kurma. Salman bekerja
di kebun itu sampai pohon-pohon kurman itu berbuah. Rasulullah Saw. membantunya
menanam pohon-pohon itu. Diantaranya ada sebatang pohon yang ditanam Umar Ra. Pohon-pohon
itu tumbuh dengan subur, kecuali sebatang pohon yang mati.
Rasulullah Saw.
bertanya: “Kenapa pohon yang satu ini?” Umar Ra. menjawab: “Wahai
Rasulullah, sayalah yang menanamnya.”
Rasulullah Saw.
pun mencabutnya, kemudian menanaminya lagi, dan tumbuhlah dengan baik.” (Riwayat
Abu ‘Ammar bin Harits al-Khuza’i dari ‘Ali bin Husain bin Waqid dari Abdullah
bin Buraidah yang bersumber dari Abu Buraidah Ra.). (Asy-Syamail
al-Muhammadiyyah Bab 2 halaman 21-30).
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 01 Nopember 2013
0 komentar:
Posting Komentar