Menyaksikan
betapa hebat dan indahnya kewafatan Guru Mulia Habibana Mundzir bin Fuad
al-Musawa, tak kuasa diriku menahan air mata dan dada mendadak sesak. Wahai
guru bagi ruhku, wahai idolaku, wahai pujaan hatiku, wahai pejuang sejati,
betapa cepat Allah Swt. memanggilmu. Kami masih membutuhkan bimbinganmu wahai
Habibana.
Cukup...
cukup... cukup... wahai yang bersedih sebab perpisahan antara kekasih dengan
pujaan hati. Bangkit dan bangkit... pujaan hatimu telah berwasiat: “Silaturrahim
batiniah tidak mengenal batasan waktu dan ruang bagi orang-orang muslim yang
saling mencintai. Jika aku wafat mendahului kalian, kutitipkan perjuangan
dakwah sang Nabi Saw. pada kalian, kita akan abadi bersama dalam kebahagiaan
kelak insya Allah tanpa ada perpisahan.”
Aku
jadi teringat dengan taushiyah yang disampaikan al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa
dua tahun lalu di haulnya Syaikh Armia bin KH. Kurdi, Cikura Bojong-Tegal pada tanggal
24 Desember tahun 2011 M berikut ini:
“Sahabat
Anas bin Malik Ra. pernah berkata: “Hari Kamis adalah hari saat mulai
sakitnya Rasulullah Saw. sebelum wafatnya, di saat itu beliau sakit parah dan
pusing berat.”
Rasulullah
Saw. bersabda kepada Sayyidatuna Aisyah Ra.: “Duh kepalaku sakit.”
Para
sahabat Nabi Saw. berhenti kerja,
berhenti dagang, toko tutup, pasar tutup, berkabung atas sakitnya Rasulullah
Saw.
Namun hari Senin, tepatnya malam Senin ba’da Isya, beliau Saw.
tersadar dari berbaringnya, kemudian bersabda kepada Aisyah Ra.: “Ya Aisyah,
apakah para sahabat sudah shalat (Isya)?”
Jawab Aisyah Ra.: “Masih menunggumu wahai Rasulullah.”
Lalu
Rasulullah Saw. meminta bantuan kepada Aisyah Ra.:
“Bangunkan aku, topang tubuhku untuk sampai ke tempat wudhu.”
Di tengah jalan menuju tempat wudhu beliau Saw. roboh,
pingsan lagi. Lalu tengah malamnya beliau Saw. tersadar lagi, bangun lagi dari
pingsannya. “Ya Aisyah, apakah
orang-orang sudah shalat?”
Jawab Aisyah Ra.: “Mereka masih di luar belum shalat
menunggumu wahai Rasul.”
Lantas
Rasulullah Saw. pun meminta bantuan lagi kepada
Aisyah Ra.: “Ayo bawa aku ke tempat wudhu.”
Sampai di depan tempat wudhu beliau Saw. roboh lagi, pingsan
lagi. Sepertiga malam terakhir Rasulullah Saw. bangun tersadar lagi, lalu
bertanya seperti pertanyaan sebelumnya: “Orang-orang sudah shalat belum ya Aisyah?”
Jawab Aisyah Ra.: “Mereka masih menunggumu wahai Rasulullah
(para sahabat tidak bergerak di tempatnya, ada yang tertidur di dalam
menunggunya tetapi tetap tidak bergerak menanti keluarnya Rasulullah Saw.).”
Maka beliau Saw. bersabda: “Perintahkan Sayyidina Abu Bakar
untuk mengimami shalat.”
Di saat para sahabat menjalankan shalat, diriwayatkan di
dalam Shahih Bukhari, tentang rumahnya Rasulullah Saw. Di shaf pertama Masjid Nabawi
itu sudah termasuk pintunya rumah Rasulullah Saw. Para sahabat akan tahu jika Rasulullah
masuk Masjid Nabawi. Kalau pintu rumah terbuka, cahaya terang benderang masuk
menerangi Masjid Nabawi, berarti pertanda Rasulullah Saw. masuk ke dalam
masjid. Pintu itu terbuka dan
Rasulullah Saw. melihat keluar. Melihat para sahabat shalat dengan shaf yang
rata, maka beliau tersenyum.
Kemudian dalam sebuah riwayat, para sahabat seakan-akan shalatnya
hampir batal dikarenakan betapa gembiranya merek melihat Rasulullah Saw. yang
sudah berhari-hari tidak keluar (dari rumahnya).
Namun Rasulullah Saw. memberi isyarat: “Jangan ada yang
brgerak, teruskan shalat.”
Beliau Saw. hanya mmbuka tabir, lalu menutupnya
kembali masuk ke dalam rumah.
Brkata Anas bin Malik Ra.: “Tidak pernah kami melihat
pemandangan yang lebih indah dan lebih menakjubkan dari wajah Nabi Saw. Dan itu
adalah terakhir kali para sahabat melihat Baginda Rasulullah Saw., karena di
waktu Dhuha beliau Saw. wafat.”
Di saat waktu Dhuha, Sayyidatuna Aisyah Ra. memangku Rasulullah
Saw. yang sedang berbaring sakit: “Engkau mau siwak wahai Rasulullah?”
Rasulullah Saw. hanya mengangguk. Lalu dibasahilah siwak itu
oleh Aisyah Ra. dan disiwakkanlah ke bibir Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw.
bersabda: “Laa Ilaaha Illallaah... Sungguh dalam kematian itu kepedihan.”
Kenapa? Padahal para shalihin dan auliya’ tidak pernah
merasakan sakit saat kematian.
Karena saat itu Rasulullah Saw.berdoa: “Wahai
Allah, pedihkan, sakitkan sakaratul mautku. Ringankan untuk ummatku.”
Maka Rasulullah Saw.berteriak: “Betapa pedihnya sakaratul
maut.” Lalu beliau Saw. sendiri yang memegang siwak, lalu tangannya
terjatuh di pangkuan Sayyidatuna Aisyah Ra. Dan tersebarlah kabar wafatnya Rasulullah
Saw.
Sahabat Mu’adz bin Jabal Ra. yang diperintahkan Rasulullah
Saw. menyebarkan Islam di Yaman, telat mendengar kabar wafatnya Rasulullah Saw.
Setelah baru mengetahuinya, Sayyidina Mu’adz Ra. langsung lari tergesa-gesa
menuju ke Madinah, menuju rumahnya Sayyidatuna Aisyah Ra. Sampai di depan rumahnya
Aisyah Ra., Mu’adz bin Jabal Ra. mengetuk pintu, dan dijawab dari dalam rumah
oleh Sayyidatuna Aisyah Ra.: “Siapa orang yang datang tengah malam ketuk-ketuk
pintu?”
“Aku Mu’adz bin Jabal wahai Ummul Mukminin Aisyah. Tolong ceritakan,
aku tidak bisa tahu keadaannya Rasulullah Saw. sampai beliau dimakamkan.” Pinta shabat Mu’adz bin Jabal Ra.
Jawab Sayyidatuna Aisyah Ra.: “Wahai Mu’adz, beruntung
beruntung beruntung engkau tidak melihat wajah Rasulullah Saw. saat menahan
pedihnya sakaratul maut. Kalau kau melihatnya, maka akan hilang seluruh
kenikmatan hidupmu di dunia. Kau tidak akan bisa merasakan nikmatnya makan dan
minum serta seluruh kehidupan hingga engkau wafat.”
Jika melihat dahsyatnya Nabi Saw. menahan pedihnya sakaratul
maut, untuk apa? Untukku dan kalian ummat Sayyidina Muhammad Saw. agar
diringankan sakaratul maut!”
Wahai segenap pecinta Habib Mundzir, bangkit dan bangkitlah.
Teruskan perjuangan dan cita-cita beliau dalam menegakkan panji-panji Sayyidina
Muhammad Saw., menjadikan Ibukota Jakarta menjadi Kota Sayyidina Muhammad Saw.
Tiru dan tirulah akhlak mulia dan semangat beliau dalam berdakwah yang santun
nan indah, menyayangi dan mengayomi semua orang tanpa pandang bulu.
Lahu
al-Fatihah...
Sya’roni
As-Samfuriy, Tegal 17 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar