PERSOALAN SUNNI DAN SYIAH SUDAH SELESAI
Berikut adalah pernyataan
indah dari seorang Dr. Aidh al-Qarni, penyusun buku “La Tahzan”. Beliau adalah tokoh Salafi-Wahabi yang lunak dibanding
yang lainnya. Patut dicontoh bagi semau ikhwan fillah, khususnya pagi semua
penggemar Dr. Aidh Al-Qarni.
“Selama ini kita
tidak dapat menyelesaikan perbedaan antara Sunni dan Syiah, meski sejarah Islam
telah berjalan puluhan abad. Kita harus akui bahwa persoalan aliran Syiah dan
Sunni sudah selesai dalam kemapanan masing-masing ajaran, dan yang wajib bagi
kita adalah untuk tidak mengembangkan perbedaan itu menjadi konflik berdarah.
Cukup bagi kita
luka dan air mata. Kita sebagai umat Islam tak pernah cukup dengan bencana dan
musibah. Gerakan Zionis Dunia telah menjauhkan kita dan ingin mencerabut kita
dari akar-akar persatuan. Lantas apa manfaat mengulang kembali penghinaan,
pencemaran, hasutan, permusuhan, menyebut kekurangan dan cacat-cacat antara dua
kelompok Sunni dan Syiah? Apa manfaat yang diharapkan dari penumpahan darah
Sunni atau Syiah?
Setiap penganut
Sunni dan Syiah percaya kebenaran ajaran dan ketidakbenaran ajaran lainnya.
Namun, mereka tidak akan mampu mengubah keyakinan orang lain, yang dianggap
sesat atau salah.
Kami kaum Sunni
percaya bahwa ajaran kami berdasar al-Quran dan as-Sunnah Rasulillah. Sementara
Syiah menganggap kami mengkerdilkan hak-hak ahlul bait (keluarga dan keturunan)
Rasulullah.
Kami perlu perjelas
dan tandaskan di sini bahwa kami tidak ada sedikitpun pikiran atau upaya
merendahkan para keturunan Rasulullah itu. Kami tidak menentang mereka apalagi
mencacimakinya. Kami juga meminta kaum Syiah untuk mengurangi cacian dan
cercaan kepada para sahabat Rasulullah. Membela ahlul bait Rasulullah dan para
sahabat Rasulullah adalah kewajiban setiap kaum muslimin, laki-laki dan
perempuan.
Karena itu,
kalangan intelektual dan ulama Sunni dan Syiah wajib menghentikan perselisihan
dan mencegah eskalasi permusuhan, ketidakpercayaan dan intimidasi.
Wahai intelektual
Sunni dan Syiah, redakan dendam dan padamkan api hasutan, dan jangan tambah
kesengsaraan demi kesengsaraan menimpa umat. Wahai pemikir Sunni dan Syiah,
ketahuilah bahwa setiap sesuatu bekerja pada caranya dan segala sesuatu itu
berjalan atas jalannya sendiri, sehingga nanti Allah menjadi hakim yang
memutuskan dengan adil perbedaan antar kita.
Wahai intelektual
Sunni dan Syiah, jangan memberi musuh-musuh Islam alasan untuk menghancurkan
dan menghapusan keberadaan umat serta mengaburkan misi dan menghina kesucian
agama. Wahai intelektual Sunni dan Syiah, cegahlah fatwa perang, penumpahan darah,
menyalakan api kebencian dan perpecahan.
Kami, kaum Muslim
Sunni dan Syiah selama ini selalu mengajak hidup berdampingan secara damai dan
dialog dengan non-Muslim. Lantas apakah kita tidak mampu membuat kedamaian di
rumah sendiri antara Sunni dan Syiah. Seseorang yang tidak mampu memperbaiki
rumahnya sendiri tidak akan mampu memperbaiki rumah orang lain.
Selama ini yang
kita dengar adalah suara-suara liar: “Wahai
Syiah, bunuhlah Sunni, maka kalian akan masuk surga?” Atau suara dari
seberang yang menyatakan: “Hai Sunni,
bunuhlah Syiah sebagai tebusan api neraka.”
Logika apa itu?
Pikiran siapa itu? Mana dasar dan argumennya? Karena itu kami selalu
menyatakan: “Hai Sunni, darah Syiah haram
kalian tumpahkan. Wahai Syiah, darah Sunni haram kalian keluarkan.”
Hemat saya, cara
terbaik untuk menyelesaikan persoalan Sunni dan Syiah adalah meminjam tindakan
Arab Badui ketika terjadi tabrakan mobil antar mereka. Mereka selesaikan kasus
itu dengan cara: “Masing-masing
membereskan mobilnya sendiri-sendiri.” Persoalan selesai, tanpa polisi, tanpa
denda, dan tanpa penjara.
“Wahai Sunni dan wahai Syiah, mari masing-masing
benahi kendaraan masing-masing.”
Allah sangat
memerintahkan kita untuk berlaku baik dengan non-Muslim, kecuali mereka yang
memerangi atau mengusir kita dari rumah kita. Allah berfirman: “Allah tidak melarang kalian memperlakukan
orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir kalian
dari rumah-rumah kalian, untuk berbuat baik dan adil kepada mereka.
Sesungguhnya Allah sangat suka orang-orang yang berbuat adil.”
Berbuat baik kepada
non-Muslim di sini bermakna tidak menyakiti, berkata baik, berhubungan dengan
baik, serta hidup damai berdampingan. Jika kita perlakukan non-muslim dengan
sebaik itu, lantas mengapa kita perlakukan sesama muslim yang hanya berbeda
keyakinan tidak sebaik itu.
Apa yang akan
dikatakan orang lain tentang kami yang saling cerca, saling caci, saling hina
dan saling ejek itu. Kita bersaudara dan berinduk sama. Jika kita tidak
memperbaiki diri sendiri dan berdiri dalam satu barisan, maka risiko permusuhan
dan perpecahan, kegagalan dan kekalahan menjadi masalah kita. Mari kita lupakan
api retorika dan kata-kata penuh kebencian dan hampa itu untuk kembali menyimak
firman Ilahi: “Berpegangteguhlah kalian
semua dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai.”
Sya’roni
As-samfuriy, Tegal 31 Agustus 2013
Keterangan foto:
Tampak seorang tokoh sufi ternama abad ini, ad-Da’i Ilallah al-habib Ali Zainal
Abidin bin Abdurrahman al-Jufriy (Yaman), sedang berbincang-bincang dengan
tokoh Salafi-Wahabi Dr. Aidh al-Qarni.
Dikutip ulang dari:
siapa bilang penulis buku ini seorang ulama salafy ? wong dia pernah dipenjara karena pemikiran khawarijnya
BalasHapus