SESAT ITU
TIDAK GAMPANG
Ada satu hadits bernada murung yang
cukup populer di kalangan kaum muslim: “Umatku
kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu
dari mereka yang selamat.”
Ramalan Nabi dalam hadits tersebut
terasa murung bukan hanya karena perpecahan umat ke dalam beragam aliran
digambarkan sebagai sesuatu yang tak terelakkan, melainkan juga karena sebagian
besar dari mereka oleh hadits tersebut divonis sesat dan bakal masuk neraka.
Hanya satu kelompok saja yang Islamnya benar dan layak masuk surga.
Dalam hadits di atas, Nabi tidak
menegaskan secara eksplisit siapa satu kelompok yang selamat (firqah najiyah)
itu. Ini pada gilirannya membuka peluang bagi golongan Islam tertentu untuk
mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat.
Kosekuensi logisnya, mereka
menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah
teologi Islam, dimana aliran-aliran yang saling bertikai kerap melempar tuduhan
kafir satu sama lain.
Yang paling terkenal adalah sekte Khawarij
yang mengaku sebagai para pembela Islam yang hendak menegakkan kedaulatan hukum
Allah (dengan slogannya La Hukma Illa
Lillah-tidak ada hukum kecuali hukum Allah), tapi ujung-ujungnya
mengkafirkan kubu Ali bin Abi Thalib maupun kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang
terlibat dalam Perang Shiffin, yang berarti mengkafirkan mayoritas sahabat
Nabi.
Di mata kaum Khawarij, kedua kubu
tesrebut telah keluar dari Islam karena menempuh arbitrase demi mengakhiri
perang saudara di antara mereka. Dan arbitrase (tahkim) semacam ini dianggap
identik dengan berhukum berdasar aturan manusia, bukan aturan Allah, suatu
bentuk kekufuran di mata kaum Khawarij.
Di masa sekarang, kaum Wahabi tak
segan-segan menuduh muslim lain yang tidak mengikuti ajaran tauhid mereka
sebagai telah jatuh dalam kemusyrikan.
Singkat kata, ramalan Nabi dalam
hadits di atas secara selintas justru terkesan menjadi dalil pembenar bagi
intoleransi antar sesama muslim dan eksklusivisme di kalangan umat. Tapi apa
betul kesan selintas ini?
Kalau yang kita tanya Imam
al-Ghazali, barangkali ia akan dengan tegas menjawab tidak betul. Dalam traktat
tipisnya, Faisal at-Tafriqah baina
al-Muslim wa az-Zandaqah, al-Ghazali membantah kesimpulan bahwa hadits
ramalan di atas menyuburkan intoleransi dan eksklusivisme dalam berislam dengan
sejumlah alasan:
Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan
hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu
golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan
kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di
neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata lain,
mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua
di akhirat.
Alasan kedua, hadits di atas
bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru
bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “Umatku akan terpecah-pecah ke dalam 73
golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”
Al-Ghazali selanjutnya berargumen
bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada
keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari
kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada
ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut
adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama (furu’), yang apabila
seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.
Al-Ghazali di sini sebenarnya hendak
mengatakan bahwa hampir semua pertikaian pendapat dalam soal-soal teologi
antara kaum Mu’tazilah yang rasionalis versus ahlul hadits yang tesktualis,
atau antara kaum Sunni dan Syi’ah, adalah pertikaian soal-soal sekunder yang masih
dalam koridor keislaman. Dengan kata lain, pertikaian pendapat tersebut
tidak menjadikan mereka sesat. Kalau dalam soal teologi saja begitu jembar
ranah toleransinya, apalagi dalam soal syari’ah dan fiqh.
Pandangan al-Ghazali ini menarik
karena ia membalikkan nada murung ramalan Nabi dalam hadits di atas menjadi
lebih rileks dan cerah. Keragaman aliran Islam diterima sebagai rahmat, bukan
kutukan. Selama mereka masih percaya pada tiga pilar iman di atas, maka silang
pendapat di antara mereka tidak akan menjerumuskannya ke dalam kekafiran.
Spirit toleransi yang disuarakan al-Ghazali
ini tampaknya diamini dan bahkan diperluas oleh Muhammad Abduh. Abduh menulis
dalam kitabnya al-Islam wa an-Nashraniyyah:
“Apabila seorang muslim menyatakan satu
pendapat yang kalau dilihat dari seratus sisi tampak kufur, tapi ada satu sisi
saja yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak bisa dicap
sebagai kafir.” Jadi ternyata, dalam soal-soal keislaman, menjadi sesat itu
tidak gampang.
0 komentar:
Posting Komentar