MANAQIB AL-‘ARIF BILLAH HADHRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD
UTSMAN AL-ISHAQI RA.
Keterangan foto: Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul Jember), Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi (Surabaya) dan Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi (Kwitang Jakarta)
Daftar Isi:
1.
Muqaddimah
2.
Nasab dan Kelahiran Hadhratus Syaikh
KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
3.
Keistimewaannya Nampak Sejak Kecil
4.
Menginjak Usia Dewasa Dilaluinya
dengan Mengembara Mendalami Ilmu Agama
5.
Awal Mula Diangkat Sebagai Mursyid
Thariqat
6.
Takluknya Sang Pengadu Ayam Kawa’an di
Hadapan Kyai Utsman
7.
Pindahnya dari Jombang ke Ngawi dan Berpulang
ke Surabaya
8.
Hubungan Erat Guru dan Murid
9.
Penggagas Majelis Manaqib
10. Hidupnya Dilimpahi Kecintaan kepada Auliya’ (Wali-wali Allah)
11. Ketinggian Derajatnya Dinyatakan oleh Para Wali
12. Beberapa Karamah Hadhratus
Syaikh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
13. Silsilah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
14. Kewafatan Hadhratus Syaikh
KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
1. Muqaddimah
Dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim kami memulai menyampaikan dan membacakan manaqib
(biografi) Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi. Dengan harapan
semoga Allah turunkan rahmat dan keberkahan untuk kita semuanya. Aamiin.
Dalam kitab al-Lu’lu’ wa al-Marjan karya KH. Abdul Goffar menuliskan: “Manaqib
ini (Manaqib Kyai Utsman) dikumpulkan dari pengakuan dan pernyataan para habaib
serta para ulama yang mengenal Hadratus Syaikh baik secara lahir maupun secara
batin. Diantaranya pengakuan dan pernyataan tersebut berasal dari al-Habib Ali
bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang Jakarta, al-Habib Ali bin Husain bin Muhammad
al-Atthas Bungur Besar Jakarta, al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih Malang,
al-Habib Abdullah al-Haddad, al-Habib Zain al-Jufri, Kyai Hamid Karang Binangun
Lamongan, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Nyai Khadijah dan lain lain.
Juga dari Hadhratus Syaikh Muhammad
Utsman sendiri sebagai Tahadduts bi an-Ni’mah
berdasar firman Allah Swt.: واما بنعمة ربك فحدث . Juga untuk menjaga jangan sampai
ada orang yang mengingkari atau menentangnya atau mencelanya.
Juga terhadap masyayikh yang lain,
menyebut manaqib sendiri semacam ini pernah dilakukan oleh ulama terdahulu
untuk memperkenalkan hal ihwal mereka kepada orang lain agar ditiru, seperti
Syaikh Abdul Ghafir al-Farisi, Syaikh al-Asfahaniy, Syaikh Yaqut al-Hamawy,
Syaikh Abu ar-Rabi’ al-Maliki, Syaikh Shafiyuddin al-Manshur serta Syaikh
Jalaluddin as-Suyuthiy.
Imam as-Suyuthiy umpamanya telah
menyebutkan manaqibnya sendiri dalam kitab-kitab thabaqat yaitu Thabaqat al-Fuqaha’, Thabaqat al-Muhadditsin,
Thabaqat al-Mufassirin, Thabaqat an-Nuhat, Thabaqat ash-Shufiyah dan Thabaqat al-Muqrin.
Imam as-Suyuthiy mengatakan: “Saya menyebutkan manaqibku sendiri hanyalah
mengikuti perbuatan orang-orang salaf yang shaleh, dan untuk memperkenalkan hal
ihwal saya dalam bidang ilmu agar orang lain menirunya, juga untuk Tahadduts bi
an-Ni’mah.”
Adapun manaqib Hadhratus Syaikh yang
terperinci dan mendetail ada di dalam kitab “Syifa’ al-Qulub li Qaul al-Mahbub” yang disusun oleh KH. Abdullah
Faqih Suci Gresik. Dan kemudian disusun kembali ke dalam bahasa Arab secara
sistematis dan praktis dalam kitab “Al-Lu’lu’
wa al-Marjan fi Maniqib asy-Syaikh Muhammad Utsman Ra.”
2. Nasab dan Kelahiran Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
Menurut nasab yang sudah tersusun
rapi di dalam keluarga, Hadhratus Syaikh KH. Utsman al-Ishaqi adalah seorang
sayyid dan seorang habib. Sebab beliau dari jalur ibu adalah keturunan Maulana
Muhammad Ainul Yaqin atau yang biasa disebut sebagai Sunan Giri bin Maulana
Ishaq al-Husaini. Sedangkan ayah beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati yang
juga bermarga al-Husaini. Dengan demikian Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman
al-Ishaqi adalah anak cucu Rasulullah Saw. dengan urutan yang ke-37.
Nasab
beliau
adalah Muhammad Utsman – Surati – Abdullah –
Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng
Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadhlullah
Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana
Ishaq – Ibrahim al-Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin al-Akbar
al-Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi –
Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi –
Ubaidillah – Ahmad al-Muhajir – Isa an-Naqib ar-Rumi – Muhammad an-Naqib – Ali al-Uraidli
– Ja’far ash-Shadiq – Muhammad al-Baqir – Ali Zainal Abidin – Husain – Ali bin Abi
Thalib/Fathimah binti Rasulullah Saw.
Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman
al-Ishaqi dilahirkan di Jatipurwo Surabaya pada hari Rabu bulan Jumadil Akhir
tahun 1334 H. setelah beliau bertapa dalam rahim sang ibunda selama 16 bulan. Dan
selama di dalam rahim ibunya beliau sering bersin, dalam bahasa Arab disebut al-Atthas.
3. Keistimewaannya Nampak Sejak Kecil
Semenjak kecil keistimewaan dan
kekeramatan beliau sudah nampak tatkala Utsman kecil sudah bisa berjalan.
Beliau selalu tidak ada di rumah setelah Maghrib, dan baru pulang setelah jam
11 malam dengan badan yang penuh berlumuran lumpur. Kejadian itu menjadi
pertanyaan sendiri oleh keluarga. Setelah diselidiki, ternyata beliau berada di
sungai didekap oleh seekor Buaya Putih.
Setiap malamnya Utsman kecil selalu
tidur di surau (langgar) bersama sang kakek, Kyai Abdullah. Selain kakeknya, tak
ada seorangpun yang berani mendampingi Utsman kecil tidur. Karena dari kedua mata
Utsman memancarkan sinar yang terang seakan menembus Iangit bagaikan lampu
sorot.
Sejak beliau berumur 4 tahun setiap
pagi pada jam 3.00 waktu Istiwa’, beliau keluar rumah menuju Masjid Jami’ Ampel
Surabaya dengan diantar oleh kakak perempuan beliau yang bernama Nyai Khadijah
untuk membaca Tarhim (panggilan shalat
Fajar) sampai datang waktu Shubuh di menara Masjid.
“Setiap kali beliau sampai di pintu gerbang Ampel, beliau selalu disambut
banyak anak-anak kecil yang memakai kopyah berwarna putih-putih. Sesampainya di
masjid anak-anak kecil tersebut hilang entah ke mana dan baru muncul kembali
sewaktu beliau hendak pulang dari masjid pada jam 7.00 pagi untuk mengantarkan
beliau ke pintu gerbang. Dan setelah itu mereka menghilang kembali.” Ungkap Nyai Khadijah dan Kyai
Anwar.
Ketika beliau berumur 6 atau 7
tahun, pada suatu malam nampak sang rembulan atau bintang-gemintang turun dari
langit seraya memancarkan sinarnya menuju Utsman kecil, dan mengitari beliau
dari segala arah.
Di umur 7 tahun, beliau sudah
mengkhatamkan al-Quran sebanyak 3 kali di bawah asuhan sang kakek, Kyai
Abdullah. Kemudian di suia itu beliau dikhitan (sunat). Setelah itu barulah beliau
berpindah mengaji kepada Kyai Adro’i Nyamplungan.
Semenjak mengaji kepada Kyai Adro’i,
setiap beliau pulang dari Ampel, diteruskan menuju ke Nyamplungan untuk mengaji
al-Quran. Setelah itu beliau menuju ke Madrasah Tashwirul Afkar di Gubbah untuk
mengaji ilmu agama. Dan baru pulang setelah jam 10.00 pagi. Seharinya beliau
hanya mendapatkan sangu (uang saku)
sebesar 5 Sen yang berlobang tengahnya yang beliau tempelkan di kancing baju.
Pernah selama 4 tahun, Utsman kecil
tidak memakan makanan kecuali hanya daun-daunan dan buah-buahan. Pada waktu itu
beliau menentukan untuk kebutuhan belanjanya hanya 1/2 Sen perhari. Beliau
mengatakan: “Pada waktu saya masih kecil,
suatu hari saya bernafsu sekali ingin makan. Maka sayapun makan sekenyang-kenyangnya.
Tetapi sebagai dendanya saya harus mengkhatamkan al-Quran sekali duduk.”
Dan beliau juga menceritakan: “Pada suatu hari saya menangisi diri saya sendiri,
karena ketika saya shalat teringat layang-layang, padahal saya sudah berumur 12
tahun. Berarti 3 tahun lagi saya sudah baligh dan mukallaf, bagaimana kalau
saya masih ingat pada layang-layang pada waktu sholat?!”
4. Menginjak Usia Dewasa Dilaluinya dengan Mengembara Mendalami Ilmu Agama
KH. Ahmad Asrori, putra sekaligus
pengganti KH. Utsman sepeninggalnya, mengatakan bahwa ayah beliau pernah
mengatakan: “Ketika saya menginjak umur
13 tahun, mata saya melihat Ka’bah di Makkah secara sadar dan nyata. Maka mata
sayapun saya usap berkali-kali, tetapi tetap saja yang nampak hanyalah Ka’bah
di Makkah. Kemudian saya berpikir, mungkin mata saya sudah rusak. Saya pun
akhirnya minta dibelikan kaca mata khusus untuk melihat. Akan tetapi hasilnya tetap
sama, Ka’bah di Makkah tetap nampak di pelupuk mata saya.”
“Itulah awal kasyaf yang dialami
oleh Hadhratus Syaikh, dan sejak itu kata Hadhratus Syaikh: “Saya melihat orang dengan segala
kepribadiannya, ada yang menyerupai srigala, ada yang seperti truwelu, ada yang
seperti babi, seperti ayam, kucing dan lain sebagainya menurut pembawaan
nafsunya masing-masing. Tetapi saya tidak berani berkata terus terang, sebab
itu adalah rahasia seseorang.” Ujar KH. Ahmad Asrori bin Utsman al-Ishaqi.
Pada suatu hari Hadhratus Syaikh
sampai larut malam tidak pulang dari madrasah seperti biasanya pada jam 10.00
pagi, sehingga orang-orang tua mengkhawatirkan keadaannya. Maka imam Raudhah
Kyai Nur, atas izin orang tua beliau, berangkat mencari Kyai Utsman, dan oleh
karena diberitakan bahwa Hadhratus Syaikh berada di pondok Kyai Khozin Panji,
maka Kyai Nur pun berangkat ke sana. Tetapi sesampai Kyai Nur di Siwalan Panji,
Hadhratus Syaikh sudah pindah ke pondok Kyai Munir Jambu Madura. Setelah orang
tua beliau mendengar kabar yang demikian itu, beliau mengatakan: “Tidak usah mencari Utsman, yang penting dia
sehat.”
Setelah beberapa lama tinggal di
pondok, beliau sakit keras, maka terpaksa beliau pulang ke rumah. Setelah berobat
beliau akhirnya sembuh kembali. Kemudian Hadhratus Syaikh dipondokkan ke Hadhratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng.
Selanjutnya beliau dipondokkan ke
Kyai Romli Peterongan Jombang. Pada waktu itu Hadhratus Syaikh benar-benar
terikat, beliau mengatakan: “Sewaktu saya dikirim oleh orang tua saya ke pondok,
sarung saya hanya satu lembar. Apabila najis maka saya memakai tikar sebagai
gantinya untuk shalat. Dan selama saya di pondok, saya tidak pernah pulang ke
rumah kecuali badan saya sudah kurus benar. Sebab apabila saya pulang dan badan
saya gemuk, saya dimarahi oleh orang tua dan nenek. Pernah pada suatu hari saya
pulang badan saya gemuk, spontan nenek saya mengatakan: “Kalau kamu tinggal di pondok hanya untuk makan dan minum, lebih baik
tinggal di rumah saja!”
Suatu hari saat kepulangan Hadhratus
Syaikh dari pondok, beliau menyaksikan adanya hubungan-hubungan khusus yang
diselenggarakan oleh tujuh orang pemuda dan tujuh orang pemudi setiap hari di samping
musholla depan rumah beliau.
Melihat hal yang tidak senonoh itu, akhirnya
beliau adukan kepada Kyai Romli dengan mengatakan: “Kyai, saya melihat ada mutiara di dalam air yang keruh dan najis,
apakah saya harus mengentasnya (menyelamatkanya)?”
Kyai Romli menjawab: “Entaslah wahai Utsman! Dengan syarat hatimu
tidak berpaling kepadanya. Kalau hatimu berpaling kepadanya, maka kamu tidak
akan berjumpa denganku besok di Mahsyar.”
Maka beliaupun mengumpulkan pemuda
dan pemudi yang berjumlah 14 orang itu di rumah beliau setiap malam. Beliau ikuti
pembicaraan-pembicaraan mereka yang intim itu sambil beliau masuki urusan
keagamaan mereka. Dan beliau peringatkan kepada mereka akan siksa Allah Swt. Sampai
akhirnya mereka pun bertaubat dengan taubat nasuha..
Kyai Utsman pernah diadukan oleh
seorang ulama kepada Kyai Romli karena beliau diketahui telah mengadu ayam.
Mendengar pengaduan itu Kyai Romli menjawab: “Saya tidak berani melarangnya dan Kyai tidak usah menirunya mengadu
ayam.”
5. Awal Mula Diangkat Sebagai Mursyid Thariqat
Kawan dekat Hadhratus Syaikh yang bernama
KH. Hasyim Bawean pernah bercerita: “Hadhratus
Syaikh dibaiat oleh Kyai Romli pada hari Rabu tanggal 16 Sya’ban tahun 1361
H/1941 M. Setelah beliau dibaiat selama satu minggu beliau menyusun silsilah Thariqat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah atas perintah Kyai Romli yang diberi nama Tsamrat
al-Fikriyyah.”
Hadhratus Syaikh mengatakan: “Saya dibaiat oleh Kyai Romli atas
permintaan Kyai Romli sendiri. Pada waktu itu saya dimasukkan ke kamar Kyai dan
didudukkan di atas Burdah yang putih bersih di atas tempat tidur Kyai dan
dipinjami Tasbih. Padahal waktu itu kaki saya berlumpur karena hujan. Karena sudah
menjadi tradisi, setiap kali saya masuk ke rumah Kyai, kaki saya pasti
telanjang tanpa alas kaki. Dengan demikian sebelum saya jadi Murid saya adalah
Murad dan sebelum saya menjadi Thalib saya adalah Mathlub.”
Dalam kesempatan lain Hadhratus Syaikh
mengatakan akan menghadiri majelis khusus atau wirid khataman selama 4 tahun. “Saya terus menerus berjalan kaki memakai
klompen dari Surabaya ke Paterongan. Barulah kadang-kadang saya naik kendaraan
setelah ketahuan Kyai Hasyim Asy’ari di Mojoagung dan beliau mengatakan: “Jangan
jalan kaki terus-menerus Utsman!”
Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean
mengatakan: “Sewaktu terjadi Perang Dunia
II tahun 1942 M Hadhratus Syaikh sekeluarga pindah sementara ke Peterongan.
Kalau siang hari berada di dalam pondok. Pada suatu hari, yakni hari Selasa,
beliau disuruh menghadap Kyai Romli pada jam 2.00 malam untuk diangkat menjadi
mursyid Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Hadhratus Syaikh waktu itu
mengatakan: “Tidak kuat Kyai.” Tetapi Kyai Romli tetap melaksanakan perintah
Allah, kemudian mengusapkan tangannya di atas kepala Kyai Utsman. Seketika itu
pula Hadhratus Syaikh jatuh pingsan tak sadarkan diri dan langsung jadzab.”
Selama satu minggu Hadhratus Syaikh
mengalami jadzab, beliau tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak buang air
besar maupun kecil dan tidak shalat. Wajah beliau cantik sekali bagaikan bulan
purnama. Tak seorang pun yang berani melihat wajah beliau yang cantik itu.
Setelah Hadhratus Syaikh mengalami
jadzab satu minggu, beliau berkata kepada Kyai Hasyim Bawean: “Nanti malam akan datang tamu-tamu banyak
sekali tidak perlu suguhan makanan atau minuman.” Maka pada jam 8.00 kurang
sepuluh menit malam Hadhratus Syaikh sudah siap menerima para tamu di kamar,
dan menghadap ke pintu. Tidak lama kemudian beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, Wa’alaikumussalam”,
selama kurang lebih lima menit dan nampak seakan-akan Hadhratus Syaikh menjabat
tangan orang-orang sambil menundukkan kepala.
Kemudian beliau mengatakan: “Mulai hari ini saya ditetapkan sebagai
mursyid langsung oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. dan Nabiyullah Khidhir As.
serta oleh sejumlah masyayikh Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dan sejak sekarang
saya diizinkan untuk membaiat”, sambil menyerahkan sepucuk kertas kepada
Kyai Hasyim Bawean.
Kemudian Hadhratus Syaikh menghadap
ke barat sekali lagi dan mengucapkan: “Na’am,
na’am.” Tepat pada jam 8.00 lebih 5 menit malam itu, Hadhratus Syaikh
berdiri menuju ke pintu. Setelah diam sejenak, beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, wa’alaikumussalam.”
Kemudian oleh Kyai Hasyim, Hadhratus
Syaikh disuruh mandi setelah satu minggu tidak mandi. Dan ketika itulah Kyai
Hasyim cepat-cepat pergi ke Kyai Romli untuk mengantarkan sepucuk kertas tadi.
Setelah menerima kertas itu, Kyai Romli spontan menemuinya di luar rumah seraya
mengatakan: “Ada apa? Ada apa? Ada apa?”
Ketika Kyai Romli membaca sepucuk
kertas itu spontan Kyai mengatakan dengan bahasa Madura yang maksudnya: “Alhamdulillah sekarang saya punya anak yang
bisa menggantikan saya (sampai 3 kali).”
Orang tua Kyai Utsman juga pernah
menyatakan kepada salah seorang habib bahwa Hadhratus Syaikh telah mendapatkan
ijazah dari Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra., untuk berdakwah dan diangkat
sebagai khalifahnya tanpa perantara. Pernyataan ini disampaikan pada tahun 1947
M.
6. Takluknya Sang Pengadu Ayam Kawa’an di Hadapan Kyai Utsman
Pada waktu Kyai Utsman tinggal di
Rejoso, ada seorang tukang adu ayam kawa’an
yang sangat populer di Jombang bernama Wak Sud. Dia memiliki jago-jago yang
khusus untuk diadu. Hadhratus Syaikh tertarik untuk menundukkan orang ini
melalui adu ayam. Maka beliau membawa ayam ke Wak Sud dengan maksud untuk mengajak
bertanding adu ayam.
Atas ajakan Kyai Utsman itu Wak Sud
menjawab: “Apabila jagomu menang melawan
jagoku maka semua kekayaanku adalah milikmu. Sebaliknya apabila jagomu kalah
saya tidak menuntut apa-apa darimu.”
Maka Hadhratus Syaikh menjawab: “Apabila jagomu menang kemudian kau ambil
kekayaanku, memang saya tidak mempunyai sesuatu yang patut disebut. Dan apabila
sebaliknya jagoku yang menang maka saya sama sekali tidak butuh kepada
kekayaanmu. Pokoknya begini, apabila jagoku menang kamu harus tunduk dan patuh
di bawah perintahku.” Akhirnya Wak Sud menyetujui tawaran itu.
Dengan kuasaan Allah Swt., menanglah
Hadhratus Syaikh dalam pertandingan itu sekalipun jago miliknya kurus kecil dan
lemah sekali. Berbeda jauh dengan jago kepunyaan Wak Sud yang kekar dan gagah
itu. Alhasil Wak Sud pun harus menerima kesepakatan bersama setelah
kekalahannya. Kini ia tunduk dan patuh pada Hadhratus Syaikh KH. Utsman.
Maka saat Kyai Romli melihat Wak Sud
melakukan shalat, Kyai Romli memegang pundak Kyai Utsman dari belakang seraya
mengatakan dengan nada heran: “Apa yang
kamu lakukan terhadap Wak Sud wahai Utsman, sehingga dia mendatangi shalat
Jum’at. Padahal saya tidak mampu menundukkannya?”
7. Pindahnya dari Jombang ke Ngawi dan Berpulang ke Surabaya
Di Peterongan, Hadhratus Syaikh
tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso atas saran Kyai Romli dengan
maksud agar beliau menjadi imam di Ngelunggih. Akibatnya murid-murid Kyai Romli
banyak yang pindah ke Ngelunggih untuk mendapatkan barokah dari Kyai Utsman
serta ilmu dari beliau. Akhirnya Hadhratus Syaikh disuruh pindah oleh Kyai
Romli ke salah satu desa dekat Gunung Lawu di Ngawi.
Ketika Hadhratus Syaikh sampai di lereng
Gunung Lawu, sangu (bekal) beliau tinggal Rp. 1.70 (satu rupiah tujuh puluh sen)
tidak cukup untuk membeli beras 1 liter sekalipun. Maka untuk mendapatkan rizki,
beliau setiap harinya mengunjungi pesarean (ziarah kubur) yang paling dikenal
oleh orang di desa itu. Karena beliau cinta dan hobi melakukan ziarah kubur, akhirnya
atas kemurahan Allah Swt. beliau sekeluarga mendapatkan rizki yang tidak diduga-duga
sebelumnya.
Diantara orang kampung ada yang
mengundang beliau untuk mengikuti tahlilan, adapula yang minta barokah doa, ada
yang meminta fatwa, sampai akhirnya Hadhratus Syaikh menjadi populer di desa
itu dan kemudian menjadi imam di desa itu.
Di desa barunya itu, suatu hari
beliau bermimpi berjumpa dengan gurunya, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Tebu Ireng, berpamitan kepada beliau dengan mengatakan: “Saya duluan Utsman.” Mimpinya tersebut ternyata sebuah isyarat
akan berpulangnya sang guru ke rahmatullah. Karena esok harinya beliau
mendengar berita bahwa Kyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia.
Menjelang meletusnya Madiun Effer
(peristiwa Madiun pada tahun 1948 M) Kyai Utsman berkali-kali menerima surat
serta saran agar beliau pulang saja ke Surabaya karena situasi yang tidak aman lagi
di daerah itu.
Mendengar kabar pulangnya Hadhratus Syaikh
KH. Utsman ini, sebagian besar penduduk di lereng Gunung Lawu itu keberatan
ditinggalkan oleh beliau. Karena mereka masih amat memerlukan doa, ilmu serta
barokah dari beliau. Bahkan ada warga yang berjanji memberikan 20 hektar kebun
kepada Hadhratus Syaikh agar beliau sudi tetap tinggal di desa itu. Tetapi setelah
beliau melakukan istikharah akhirnya beliau menetapkan kembali ke Surabaya.
8.
Hubungan Erat Guru dan Murid
Ketika Hadhratus Syaikh menjadi santri di pondok Rejoso, beliau
masih muda belia. Masa itu beliau sering dijumpai oleh Nabi Khidhir As.
sehingga beliau laporkan kepada Kyai Romly dan dijawab oleh Kyai: “Mengapa tidak kau minta datang kemari wahai
Utsman.”
Hadhratus Syaikh sejak kecil sampai akan pulang ke rahmatullah
selalu istiqamah dalam segala perilaku, perbuatan serta ucapan yang beliau tiru
dari Rasulullah Saw. Tak pernah terlihat beliau hadats dan semua menyaksikan
bahwa keseluruhan waktunya hanyalah untuk mnemgabdi kepada Allah Swt. Maka pantaslah
kalau beliau dipilih oleh Kyai Romly sebagai Khalifahnya. Dalam hubungan ini
Kyai Romly pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik besar yang
terus menerus berproduksi di bawah pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Muhammad
Utsman. Itulah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang beliau asuh.
Sebelumnya Kyai Romly sering menampakkan dan melahirkan ridhanya
kepada Kyai Utsman, sampai beliau mengatakan: “Alangkah besar ridha saya kepadamu wahai Utsman.” Dan Hadhratus Syaikh
meminta pendapat tentang Khalifah Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. Kyai Romly
tersenyum-senyum sambil melihat dan menunjuk pada Kyai Utsmn. Sebaliknya Kyai
Utsman kepada Kyai Romly juga fanatik dan sering merindukannya apabila berpisah
agak lama.
Pada suatu hari putra beliau yang bernama Abu Luqmanul Hakim
sewaktu masih kecil jatuh dan terbentur pada tepi meja di rumahnya sehingga
dari kepalanya mengalir darah yang banyak sekali yang cukup mengkhawatirkan
keluarga beliau. Maka oleh keluarga beliau supaya beliau mengantarkan putranya
ke rumah sakit Karang Tembok dan kalau tidak berhasil terus ke Simpang. Padahal
Hadhratus Syaikh ketika itu akan pergi ke Rejoso karena sangat rindu kepada
Kyai Romly, maka beliau berkata dalam hatinya: “Saya harus pergi ke Rejoso. Tentang nasib anak saya, saya pasrahkan
kepada Allah.”
Ketika beliau berjumpa dengan Kyai Romly di Rejoso, sang guru
mengatakan: “Anakmu tidak apa-apa.”
Dan benar kata Kyai Romly bahwa anaknya, Abu Luqmanul Hakim, dalam keadaan
sehat wal afiyat, bahkan sedang memakan nasi goreng sekembalinya Kyai Utsman
dari Rejoso berkat ketaatan serta kecintaan beliau kepada gurunya, Kyai Romly Tamim.
Juga pada suatu hari ketika akan menyelenggarakan walimah di rumah
setelah Maghrib, beliau terlebih dahulu meminta izin kepada Kyai Romly. Sesampainya
di Rejoso tepat pada waktu shalat Dzuhur, sesudah shalat berjamaah di masjid, Kyai
Romly mengatakan kepadanya: “Sekiranya kamu
tinggal di pondok seperti yang lalu, maka malam ini saya ajak memenuhi undangan
Manaqiban di Jombang.”
Maka Kyai Utsman menjadi bimbang, antara mendampingi gurunya
memenuhi undangan Manaqiban di Jombang dan pulang ke rumah untuk mengharapkan
tamu-tamu yang beliau undang ke rumah beliau pada malam itu juga. Akhirnya
beliau memantapkan pendiriannya memilih mendampingi sang guru seraya berkata
dalam hati: “Saya pasrah kepada Allah. Toh
nasi-nasi yang telah masak di rumah ada orang-orang yang memakannya, sedangkan
menyertai guru adalah lebih utama.”
Ketika Kyai Romly mengetahui beliau masih ada di masjid setelah shalat
Ashar, berkatalah beliau kepadanya: “Murid
yang terdekat kepada gurunya adalah murid yang tahu akan rahasia-rahasia
gurunya.”
9.
Penggagas Majelis Manaqib
Kegemaran Hadhratus Syaikh adalah berziarah kepada wali-wali Allah
baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, dan beliau mengenal
mereka secara dekat. Bukan hanya nama-nama mereka bahkan nasab mereka dan hubungan
mereka satu sama lain. Sampai-sampai beliau hidup-hidupkan dan beliau semarakkan
peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra.
Sehingga hampir tiada hari yang lewat di kota maupun desa terutama di Jawa
Timur, kecuali di situ terdapat majelis manaqib.
Dalam hal ini Hadhratus Syaikh mentafsirkan qalbun salim dalam ayat: يوم لاينفع مال ولابنون
الا من اتى الله بقلب سليم, sebagai hati yang selamat
dari penyakit batin dan penuh rasa cinta kepada Allah, RasulNya, dan para
wali-waliNya. Sebab, kata beliau, tanpa wali-wali kita tidak mungkin dapat
mengabdi kepada Allah Swt. dengan benar. Maka banyak-banyaklah tawassul kepada
Auliya’, insya Allah hati kita akan menjadi khusu’.
Yang mula pertama kali menyelenggarakan manaqiban adalah Hadhratus Syaikh
dan kemudian direstui oleh Kyai Romly dengan menyatakan: “Baik Man, teruskan Man!”
Mula-mula yang hadir pada majelis manaqiban di Jatipurwo selama 4
tahun hanyalah 7 orang, 3 orang diantaranya pada musim panas udzur (tidak mampu
hadir) karena mengidap penyakit paru-paru.
Pada suatu hari di tengah-tengah Hadhratus Syaikh memimpin istighatsah,
datanglah orang yang tidak dikenal secara tiba-tiba dan langsung menelantangkan
beliau dan melingkarkan pedangnya pada leher beliau yang terlentang di bawah
itu. Peristiwa yang tragis ini diceritakan kepada Kyai Romly, dan beliau hanya
menjawab: “Teruskan apa yang telah kamu
amalkan, orang tersebut tidak berani menancapkan pedangnya pada lehermu, bahkan
dalam waktu dekat ini tidak akan berpisah denganmu sejengkalpun.” Dan
kenyataannya seperti apa yang dinyatakan oleh Kyai Romly.
Tentang keutamaan menaqiban ini, Hadhratus Syaikh mengatakan: “Tidak ada ibadah kepada Allah di muka bumi
ini yang lebih utama daripada mencintai wali-wali Allah.”
Beliau juga mengatakan: “Mencintai
para wali termasuk ketaatan yang terbesar. Dan mereka yang menghadiri majelis
manaqib adalah orang-orang yang cinta kepada mereka dan mencintai mereka adalah
bukti akan adanya rasa cinta kepada Allah Swt.”
10. Hidupnya Dilimpahi Kecintaan kepada Auliya’ (Wali-wali Allah)
Berkah cintanya kepada para Auliya’
maka beliau pun sangat dicintai oleh para habaib dan para ulama, diantaranya adalah
al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, al-Habib Ali bin Husain bin
Muhammad al-Atthas Bungur, al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik. Hadhratus
Syaikh sering berziarah kepada mereka dan menghadiri haul mereka.
Pada suatu hari Hadhratus Syaikh
bermaksud untuk sowan kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf di Gresik.
Beliau berjalan kaki dari Surabaya ke Gresik di tengah-tengah hujan lebat
ditambah suara petir dan guruh yang saling sambar menyambar di tengah malam
yang gelap gulita ditambah angin kencang yang dapat menerbangkan atap rumah. Sehingga
sesampainya di Gresik waktu sudah larut malam dan dalam keadaan basah kuyup. Dengan
mata batin al-Habib Abu Bakar yang tajam sehingga tahu akan ada kunjungan dari
Kyai Utsman, nampak pintu rumahnya masih terbuka lebar-lebar dan penjaga pintu
masih berdiri.
Ketika Hadhratus Syaikh melewati
pintu pagar, penjaga pintu mengatakan bahwa sejak tadi sore Habib menunggu
kedatangan Kyai Utsman dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika beliau
menghadap al-Habib Abu Bakar Assegaf, semua jamaahnya yang mengelilingi habib
semua ta’dzim kepada beliau dan mengelu-elukan kehadiran beliau.
Akhirnya al-Habib Abu Bakar bertanya
tentang apa yang beliau minta kepada Allah dengan perantara Habib, yang
kemudian dijawab oleh Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman Nadil al-Ishaqi: “Minta husnul khatimah.” Al-Habib Abu
Bakar termenung lama memikirkan betapa luhurnya permohonan Kyai Utsman.
Sebelumnya, Hadhratus Syaikh sudah
mempunyai hubungan khusus dengan al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang
Jakarta, seperti pernyataan Habib Hasyim bin Sholeh bin Abdurrahman al-Habsyi
bahwa: “Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman
telah mendapatkan futuh melalui al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pada
suatu hari Kamis tahun 1964.”
Dan pernyataan Kyai Hasyim Bawean
bahwa dia pernah mengantarkan Hadhratus Syaikh KH. Utsman ke al-Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi di Jakarta. Al-Habib Ali menjabat tangan Hadhratus Syaikh
seraya mengatakan: “Kunci Quthb saya
serahkan kepadamu wahai Syaikh Utsman.”
Dan pernyataan putra al-Habib Ali
sendiri yaitu al-Habib Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pada waktu
memberikan sambutan atas wafatnya Hadhratus Syaikh yang ke-40 hari: “Setiap kali Hadhratus Syaikh menemui
kesulitan apa saja beliau selalu pergi ke Jakarta untuk menjumpai al-Habib Ali al-Habsyi
untuk kemudian dapat herhubungan dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi karena
jarak Jakarta-Surabaya begitu jauh maka akhirnya al-Hahib Ali al-Habsyi
menyuruh menjumpai al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf di Gresik saja, yang
sama-sama Wali Quthb.”
Selanjutnya al-Habib Muhammad bin
Ali al-Habsyi menyatakan dalam sambutannya bahwa Hadhratus Syaikh akhirnya
berhubungan langsung sendiri dengan Rasulullah Saw. tanpa perantara sewaktu
mengalami kesulitan.
11. Ketinggian Derajatnya Dinyatakan oleh Para Wali
Hadhratus Syaikh juga sangat dekat
dengan al-Habib Ali bin Husain bin Muhammad al-Atthas Bungur Besar Jakarta. Sehingga
sewaktu al-Habib Ali al-Atthas membaca Khushushiyyah
Wakalimatul Akha’ Syaikh Utsman yang disusun oleh al-Habib Hasan al-Jufri
Bangil, beliau menangis terisak-isak, kemudian beliau gantungkan di atas pintu
rumah seraya mengatan: “Saya letakkan
nadzaman ini di sini agar saya dapat melihat Syaikh Utsman setiap saat.”
Kemudian beliau mendoakan Hadhratus Syaikh
semoga panjang umur, “kalau tidak (kata
habib Ali al-Atthas) siapakah yang menggantikan kedudukannya?” Demikian pernyataan
menantu Hadhratus Syaikh, Abu Lu’lu’, sekembalinya dari Jakarta.
Dan al-Habib Ali bin Husain bin
Muhammad al-Atthas pernah menyatakan: “Sesungguhnya
Syaikh Utsman tiada duanya pada masa sekarang.”
Dan pada waktu Hadhratus Syaikh
berziarah ke sana, di hadapan para hadirin al-habib Ali al-Atthas menyatakan: “Wahai Syaikh Utsman engkau dari keluarga
Nabi. Kekhalifahan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di tanganmu wahai Utsman.”
Dan dalam kesempatan lain beliau
menyatakan: “Saya mendengar dengan kedua telinga saya, paman saya Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi mengatakan: “Sungguh
Utsman di Mahsyar nanti sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw.”
Al-Habib Ali al-Habsyi, al-Habib
Ahmad bin Khalid al-Hamid, al-Habib Umar al-Aydrus dan lain-lainnya, menyatakan
bahwa Hadhratus Syaikh KH. Utsman al-Ishaqi adalah tergolong Ahlul Bait Rasulullah
Saw.
Habib Ahmad bin Hamid al-Habsyi pernah bertanya pada al-Habib Salim
bin Jindan: “Apa yang menyebabkan para habaib
senang pada Kyai Utsman?”
Al-Habib Salim bin Jindan menjawab: “Syaikh Utsman termasuk keluarga Rasulullah Saw. Darahnya adalah darah
saya ini, maka ciumlah tangannya apabila kau bertemu dengannya. Walaupun banyak
orang mendengkinya, toh dia tidak pernah susah akibat didengki orang. Mereka yang
mendengkinya hanyalah rumput-rumput, sedangkan Syaikh Utsman adalah pohon besar
yang rindang.”
Ketika KH. Ahmad Asrori, salah satu putra Syaikh Utsman, masih
kecil, pernah diajak oleh pengasuhnya yang bernama Abdul Hakim Bawean untuk
berkunjung ke al-Habib Ali bin Muhummad bin Alwi ash-Shadiq al-Habsyi cucunya al-Habib
Syaikh Bafaqih Boto Putih Surabaya bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.
Dalam kesempatan itu al-Habib Ali mengatakan kepadanya: “Jangan kau risaukan haliyah (keadaan) orang tuamu. Beliau bagaikan matahari,
apabila sangat dekat dengan kita manusia banyak yang tidak tahan karena saking
panasnya. Tetapi ketika jauh dari kita sinarnya akan membahagiakan kita semua.
Demikianlah keadaan orang tuammu Syaikh Utsman Ra. Seorang Kyai belum dinamakan
Kyai sempurna sebelum ia diingkari oleh orang-orang yang dekat kepadanya dan
sebaliknya dia dicintai oleh orang-orang yang jauh dari padanya.”
Tentang hubungan Kyai Utsman dengan Kyai Hamid Pasuruan, Hadhratus Syaikh
pernah bercerita setelah walimatul haul al-Habib Syaikh Bafagih Boto Putih
Surabaya: “Saya keluar ke teras cungkup
didampingi oleh Kyai Abdul Hamid Pasuruan duduk di tangga cungkup. Pada waktu
itu Kyai Abdul Hamid bercerita: “Tadi sebelum ke sini saya tidur di rumah salah
seorang teman di Surabaya. Ketika saya bangun, di hadapan saya terlihat foto
Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman. Oleh karena saya tahu bahwa yang meletakkan
adalah Agus Mas’ud Kedung Cangkring Sidoarjo, maka saya bertanya kepadanya
tentang maksudnya. Jawabannya hanya Wallahu A’lam.”
Lanjut Kyai Utsman berkata: “Saya
pun diam mendengar cerita itu karera menyangkut masalah maqam (martabat).”
Tiba-tiba Kyai Hamid menjawab sendiri: “Untuk
kepentingan hubungan di Mahsyar nanti.”
Itulah sebabnya, maka dalam suatu walimah Kyai Abdul Hamid Pasuruan
mengharap kepada Hadhratus Syaikh agar ada hubungan yang dekat antara keduanya
di Mahsyar nanti. Dan Hadhratus Syaikh menjawab: “Kyai nanti bersama kami di sisi Allah Yang Maha Kuasa.”
Dan pada walimah yang lalu ada orang meminta barokah doa kepada
Kyai Hamid, sedangkan di sisi beliau adalah Hadhratus Syaikh KH.Utsman. Akhirnya
Kyai Hamid memegang lutut Hadhratus Syaikh Utsman dengan tangan kiri dan berdoa
untuk orang yang meminta doa tadi dengan tangan kanan.
Kyai Asfahani putra Kyai Abdullah Faqih yang mengaji di pondok Kyai
Hamid Pasuruan mengatakan pada suatu ketika: “Kami duduk bersama-sama Kyai
Hamid di ruang tamu, tiba-tiba Kyai Hamid mengatakan kepada kami: “Di Pasuruan ini hanya ada kayu gaharu,
alangkah nikmatnya kalau ada pohonnya Asfahani!” Tiba-tiba Hadhratus Syaikh
Muhammad Utsman datang bertamu ke ruang tamu dan spontan Kyai Hamid
merangkulnya dan mergatakan: “Apa ini pohon
gaharunya!”
Inilah sebagian kecil yang nampak tentang kedudukan Hadhratus Syaikh
Utsman Nadil Ishaqi Ra.
Ketika Haul Akbar Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. tahun 1389 H,
dalam sambutannya al-Habib Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Habsyi menceritakan
tentang perjalanan orang tuanya ke tanah suci dan bertemu dengan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani Ra. yang menyatakan pada al-Habib Ali: “Khalifah saya adalah Utsman Surabaya.”
12.
Beberapa Karamah Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
Diantara kekeramatan Hadhratus Syaikh Utsman yang lain adalah kisah
yang diceritakan oleh Kyai Muhammad Faqih Langitan yang berkata bahwa Kyai Maimoen
Sarang diceritakan oleh ayahnya, Kyai Zubair, Bahwa al-Habib Abdul Qodir bin
Ahmad Bilfaqih bermimpi jumpa dengan Rasulullah Saw. yang sedang menemui 2
orang lelaki. Dan Rasulullah menyatakan kepadanya: “Keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa. Diantaranya adalah dua orang
ini yaitu Romly dan Utsman.”
Kyai Faqih Amin Praban Surabaya, seorang ulama yang pernah menjadi
guru sekaligus kawan Kyai Utsman, beliau mengatakan: “Pada suatu hari saya berkunjung kepada Kyai Utsman, dan dia meminta
saya untuk menjadi muridnya di bawah naungan Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
setelah bertukar pikiran tentang thariqat sampai jam 2 malam. Saya kalah dan
mau menyerah kepada ajakannya dengan syarat tiga burung perkutut yang di dalam
sangkar masing-masing berkicau secara berturut-turut dengan komandonya. Setelah
dikomandoinya, tiba-tiba tiga ekor burung itu berkicau berturut-turut dengan
izin Allah. Maka terasalah dalam diri saya akan kebesaran Hadhratus Syaikh, dan
sejak itu saya memakai bahasa Jawa halus (kromo) sebagai ganti bahasa Jawa
kasar (ngoko). Tiga bulan kemudian saya minta dibaiat.”
Diantara kekeramatan beliau yang lain adalah tatkala salah satu
muridnya hendak menghadap Hadhratus Syaikh, muridnya itu berkata dalam hati: “Mengapa jauh-jauh kulangkahkan kakiku ke pondok
anu. Kemudian ke perguruan tinggi anu, sampai akhirnya ke luar negeri untuk
mencari kebenaran dan keyakinan. Padahal di Surabaya sini terdapat seorang mursyid
yang membimbing saya menempuh jalan akhirat dengan selamat.”
Maka ketika santri itu duduk di ruang tamu, keluarlah Hadhratus Syaikh
dari dalam sambil meletakkan tangan kanannya di atas dada muridnya tersebut
seraya mengatakan: “Diantara guru saya
juga ada yang bukan dari jam’iyyah kita. Tetapi Alhamdulillah saya belum pernah
mengingkarinya sama sekali.” Maka sang murid itu pun merasa malu seraya
menundukkan kepalanya.
Pada tanggal 11 Syawal tahun 1392 H, Hadhratus Syaikh menjamu para
tamu yang menghadiri majelis manaqib di pondok Jatipurwo. Beliau mengatakan
kepada salah satu santrinya: “Wahai Abdul
Ghoffar, ketika kau tinggal di Mesir apakah kau pernah ketemu dengan Syaikh
Hasan Ridhwan seorang wali di Mesir yang dimintai barokah oleh orang Islam
Mesir?”
“Ya, kami pernah menjumpainya
pada suatu hari dalam rangka kuliah umum tasawuf oleh Ir. Abdul Halim Mahmud
yang dihadiri oleh para sufi di balai pertemuan al-Azhar.” Jawab muridnya tersebut.
Kemudian Hadhratus Syaikh berkata kepada para hadirin: “Ketika salah seorang Habib Ampel berkunjung
ke Mesir, dia menjumpai Syaikh Hasan Ridhwan. Dia ditanya tentang negerinya.
Ketika ia menjawab dari Ampel Indonesia, maka Syaikh Hasan Ridhwan mengatakan: “Jadi
rumahmu dekat dengan Syaikh Utsman al-Ishaqi?” Habib menjawab: “Ya.” Lalu Syaikh
Hasan Ridhwan mengatakan kepadanya: “Apabila kamu sampai di rumah,
berkunjunglah ke Syaikh Utsman, dan sampaikanlah salamku kepadanya. Ketahuilah bahwa
saya sering berkunjung ke rumahnya.”
Diantara kekeramatan beliau yang lain, pada suatu hari di bulan
Maulud, Hadhratus Syaikh pergi ke Jakarta naik kereta api untuk menghadiri acara
Maulid Nabi Muhammad Saw. dan haulnya al-Habib Ali al-Habsyi di Kwitang Jakarta.
Ketika kereta api berada di antara Cirebon-Jakarta, karcis Kyai Utsman
diperiksa oleh Polisi KA dengan ketat sekali, termasuk kartu tanda pengenal
beliau yang akhirnya polisi memaksanya untuk menemuinya di restorasi. Haln itu
sampai menimbulkan kemarahan beliau, maka seketika itu pula datanglah hal
beliau dan mengatakan: “Perbuatan ini
menunda sampainya kereta api di Jakarta!”
Spontan kereta api itu berhenti tanpa sebab yang nyata. Anehnya semua
hubungan interlokal maupun bukan interlokal terputus sama sekali dengan stasiun.
Saat itu di belakang gerbong Kyai Utsman terdapat al-Habib Abdul Hadi bin
Abdullah al-Haddar dari Banyuwangi. Maka setelah kereta api macet selama 1 jam,
dia mengirim utusan ke Hadhratus Syaikh seraya mengatakan: “Jam berapa sekarang! Pergilah ke Kyai Utsman, dan mintalah barokah
Fatihah kepadanya agar kita tidak terlambat.”
Akhirnya setelah beliau membaca al-Fatihah barulah beliau sadar
akan diri beliau, dan spontan kereta api berjalan kembali seusai pembacaan al-Fatihah,
demikian pula hubungan yang menyangkut perkerataapian sambung kembali.
Kyai Masduri Ngroto pernah menceritakan tentang sejarah masuknya Thariqat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Ngroto dan sekitarnya sebagai berikut:
“Sejak tahun 1936/1937 M banyak guru-guru thariqat yang berusaha
memasukkan thariqat ke Ngroto. Bahkan ada kyai yang sampai kawin di Ngroto
kemudian terpaksa firaq (pisah)
karena tidak berhasil memasukkan Thariqat. Pada bulan Muharram tahun 1964 M Hadhratus
Syaikh Utsman datang ke Ngroto bersama Kyai Muslih bertepatan dengan Haulnya
Kyai Sirojuddin. Itulah mula pertama beliau datang ke Ngroto. Kemudian untuk
kedua kalinya beliau datang pada tahun 1966 M. Saya dipanggil ke rumah paman,
dan Hadhratus Syaikh menangis dan saya dirangkul seraya mengatakan: “Sabarlah!”
Sejak sekarang Masduri menjadi Kyai di desa sini maka doakanlah semoga panjang
umur.
Sepulangnya Hadhratus Syaikh Utsman, selang 15 hari kemudian paman
saya meninggal, dan atas saran beliau saya kirim surat kepada beliau tentang
wafatnya sang paman. Dan saya mendapatkan balasan agar saya datang ke Surabaya.
Di Surabaya saya dibaiat dan diberi ijazah manaqib secara muthlaq. Setelah itu banyak para ikhwan yang menjadi murid Hadhratus
Syaikh, maka smenjak itu tersebarlah thariqat di Ngroto.
Pada suatu hari di bulan Muharram Hadhratus Syaikh pergi ke Ngroto
menghadiri acara haul, tetapi kendaraan beliau terhalang lumpur di Kemiri 4 km
dari Ngroto. Kalau mobil beliau diarahkan ke Ngroto mogok, tapi kalau diarahkan
ke Surabaya mobil beliau bisa berjalan. Maka Hadhratus Syaikh menetapkan untuk
kembali ke Surabaya. Yang menolong mengentas mobil beliau dari lumpur adalah
masyarakat Kemiri, maka Hadhratus Syaikh mengatakan: “Saya tidak dapat membalas sama sekali. Hanya saya doakan mudah-mudahan
masyarakat di sini selamat semua.”
Maka barokah doa beliau setiap kampung dari Kemiri sampai Ngroto
pasti ada manaqiban dan ada murid-murid beliau, diantaranya desa Tembelingan
yang asalnya tidak ada yang shalat bahkan tidak ada masjid dan mushalla. Tetapi
berkat dilewati oleh Hadhratus Syaikh, Islam tersebar di Tembelingan dan
sekitarnya. Masjid, mushalla serta pemuka-pemuka agama mulai bermunculan serta
sebagian kaum musimin di situ sudah menjadi murid beliau, sehingga Kyai Muslih
Mranggen mengatakan: “Masuknya Hadhratus Syaikh
ke Ngroto sudah pas karena masyarakat Ngroto adalah masyarakat Madura, cocok
dengan kata-kata Syaikh Utsman: “Ngroto adalah bau Madura.” Dan Hadhratus
Syaikh pernah mengatakan: “Saya bermimpi di sebelah timur Semarang ada cahaya. Apakah
ada waliyyullah di sana?” Ternyata benar itulah Kyai Sirojuddin.”
Selanjutnya Kyai Masduri mengatakan: “Sekembalinya saya dari
Surabaya, pada suatu hari saya sakit mata. Walaupun sudah berobat tetap tidak
sembuh kecuali di hari Kamis dan Jum’at saja. Maka pada suatu malam Jum’at saya
membaca al-Fatihah kemudian membaca silsilah, maka malam itu juga saya bermimpi
berjumpa dengan Hadhratus Syaikh, beliau menanyakan kepada saya: “Apakah matamu sakit? Apakah yang sakit
sebelah kanan?” Maka mataku diobati oleh Hadhratus Syaikh dengan jari-jemarinya
dan ternyata Alhamdulillah sembuh betul-betul. Maka esok harinya hari Sabtu
saya pergi ke Surabaya untuk menjumpai beliau. Beliau bertanya: “Apakah matamu sudah sembuh?” Saya menjawab:
“Ya.” Kemudian beliau menyatakan: “Ya saya obati dari sini.”
Selanjutnya Kyai Masduri menceritakan lagi: “Pada suatu hari sewaktu
saya berkunjung ke Hadhratus Syaikh saya disuruh ke Ampel seraya mengatakan: “Pergilah ke Ampel, saya rindu Agus Mas’ud.”
Sesampai saya di Lawang Agung saya bertemu dengan Agus Mas’ud, cepat-cepat
turun dan minta gendong saya.
Pernah Hadhratus Syaikh bercerita kepada Kyai Masduri: “Pada suatu hari Jum’at ada orang hendak
menunaikan shalat Jum’at di masjid Ampel. Kemudian saya panggil, saya ajak shalat
Jum’at di Baitul Ma’mur. Setelah kita melangkah tiga langkah kita sudah sampai
di Baitul Ma’mur. Ini boleh kau ceritakan setelah saya meninggal.”
Kyai Masduri melanjutkan ceritanya: “Saya bermimpi shalat di mushalla
yang penuh dengan orang-orang yang sedang shalat. Karena mereka shalat
semuanya, maka saya mengingkarinya dan Hadhratus Syaikh yang iktu menjadi makmum
tidak tahu siapa yang menjadi imam. Beliau mengatakan kepada saya: “Mereka adalah wali-wali Allah.” Dan saya
bermimpi berjumpa dengan Nabi Khidir As. Beliau mengajak saya ke tepi sungai. Di
sana ada mushalla yang bersinar terang, tahu-tahu di situ ada Hadhratus Syaikh
dan kita bertiga menjadi makmum tetapi saya tidak tahu siapa imamnya.”
Al-Habib Abdullah bin Umar al-Haddar pernah mengatakan kepada Kyai
Abdul Ghoffar: “Pada suatu hari Kamis di bulan Syawal al-Habib Abdul Hadi bin
Abdullah al-Haddar ingin berjumpa dengan Hadhratus Syaikh Utsman sesudah masuk
waktu shalat Ashar. Tetapi sesampai di pondok Jatipurwo beliau tidak menjumpai
Hadhratus Syaikh. Setelah lama menunggu di pondok dan waktu sudah menjelang
Maghrib maka al-Habib Abdul Hadi pun cepat-cepat meninggalkan pondok untuk
menuju ke Ketapang karena setelah shalat Maghrib ada acara pembacaan Burdah di
Ketapang.
Ketika sampai di Karang Tembok becak beliau berpapasan dengan mobil
Hadhratus Syaikh, maka beliau pun kembali lagi ke pondok Jatipurwo untuk
menemui Hadhratus Syaikh. Sesampai di pondok, Hadhratus Syaikh sedang mengimami
shalat Ashar dalam waktu Ashar yang paling akhir. Namun setelah Ashar sempat
membaca semua wirid seperti biasanya sampai tuntas, kemudian Hadhratus Syaikh
menjumpai al-Habib Abdul Hadi bersama saya di ruang tamu. Di ruang tamu al-Habib
Abdul Hadi membaca “Allahu Hu Iiy. Allahu
Hu liy Fani’mal Wali”.
Setelah dijamu secukupnya al-Habib Abdul Hadi mohon pamit kepada
Hadhratus Syaikh untuk pergi ke Ketapang. Dalam hatinya berkata bahwa waktu
telah berlalu untuk mengikuti pembacaan Burdah di Ketapang, tetapi kenyataannya
tidak demikian. Kami sampai di Ketapang orang-orang masih melakukan shalat
Maghrib.”
Sopir pribadi Hadhratus Syaikh pernah bercerita: “Pada suatu hari
sepulangnya Hadhratus Syaikh dari Rejoso, mobil diistirahatkan di Jombang agar
kami makan minum dulu. Sedangkan Hadhratus Syaikh menunggu di salah satu rumah
dekat warung tersebut. Seusai makan minum kami menyatakan kepada Hadhratus
Syaikh bahwa bensin telah habis. Beliaupun terkejut dan menanyakan mengapa
tidak bilang dari tadi sebelum semua uang yang ada di tangan beliau diserahkan
ke pondok Rejoso dan beliau menanyakan sisa uang kami. Kami menjawab hanya
tinggal beberapa puluh rupiah saja. Secara spontan beliau menegaskan: “Kalau memang demikian baiklah isilah tangki
mobil itu dengan air teh tanpa gula semampu uang yang ada padamu!”
Kami pun percaya sepenuhnya kepada beliau dan membeli teh tawar
beberapa ceret dari warung dan langsung kami isikan ke tangki mobil. Setelah
itu kami melapor untuk pulang ke Surabaya. Beliau bertanya: “Sudah kau isi bensin?” Kami menjawab bahwa
mobil sudah diisi sesuai dengan perintah Hadhratus Syaikh. Selanjutnya beliau
mengatakan: “Baiklah, mari pulang ke
Surabaya. Teh-teh juga bisa menjadi bensin.” Akhirnya betul, mobil berjalan
terus sampai ke Surabaya memakai bahan bakar teh.”
Sopir Hadhratus Syaikh yang terakhir yaitu Abdus Syakur juga
mengalami peristiwa serupa yaitu dalam perjalanan antara Pasuruan-Probolinggo. Mobil
Hadhratus Syaikh kehabisan bensin di tengah malam dan dia disuruh mencari
warung untuk mendapatkan teh satu gelas. Setelah didapatkan, teh itu didoakan
oleh Hadhratus Syaikh dan mengatakan: “Sudahlah
isilah dengan teh, sama saja.” Akhirnya bensin teh tadi habis pas saat mobil
sampai di Probolinggo persis di garasi mobil.
Cerita semacam ini terjadi pula pada waktu Hadhratus Syaikh pulang
dari Ngroto Semarang, di tengah perjalanan yang jauh dari keramaian. Pir mobil
putus, tinggal satu pir saja. Dan oli mobil juga habis kering sama sekali. Ini
terjadi di sekitar Caruban menuju Surabaya. Dan Hadhratus Syaikh menyuruh supirnya
mencari teh untuk menggantikan oli yang sudah habis. Setelah diisi dengan teh
mobilpun dapat distater dengan hanya satu pir saja, dapat berjalan terus sampai
di Surabaya dengan selamat biidznillah.
Hadhratus Syaikh pernah menceritakan pengalaman beliau sewaktu ke
Singapura. Melihat banyaknya orang-orang yang menjemput beliau di Airport, ketua
security yang seorang wanita berusaha ingin menyelamatkan beliau dari intervio
para inteljen yang lain. Maka dia pura-pura mengaku sebagai orang tuanya yang
ada di Pontianak. Dan langsung digandeng dari Airport menuju mobil dan diantar
sekalian menuju ke tempat tujuan.
Besoknya dia kembali lagi membawa 2 handuk mandi Hadhratus Syaikh,
tetapi setelah satu hari dipakai mandi dia minta kembali. Demikian pula handuk
yang satu lagi dan menyatakan bahwa handuk itu untuk dia pakai mandi
sehari-hari. Sedang yang satu lagi untuk dia pakai kain kafan sewaktu ia
meninggal nanti. Dan seketika itu dia minta dibaiat oleh Hadhratus Syaikh
sebagai murid Thariqat Qodriyah wa Naqsyabandiyah. Sejak itu Hadhratus Syaikh
selalu dikawal oleh ketua security perempuan itu pulang pergi ke Singapura.
Beliau mengatakan: “Inilah berkat saya
tidak pernah menyakitkan hati ibu saya selama hidup beliau.”
13. Silsilah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
Berikut ini adalah silsilah Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Romo KH. Utsman al-Ishaqi:
40. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman bin Nadiy al-Ishaqi bertalqin dan berbai’at dari:
39. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abi Ishamuddin Muhammad Romliy at-Tamimiy bertalqin dan berbai’at dari:
38. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Kholil Rejoso bertalqin dan berbai’at dari:
37. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Hasbullaah Madura bertalqin dan berbai’at dari:
36. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Ahmad Khothib as-Sambasi bertalqin dan berbai’at dari:
35. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Syamsuddin bertalqin dan berbai’at dari:
34. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Murod bertalqin dan berbai’at dari:
33. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Fattah bertalqin dan berbai’at dari:
32. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Kamaluddin bertalqin dan berbai’at dari:
31. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Utsman bertalqin dan berbai’at dari:
30. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abdurrahim bertalqin dan berbai’at dari:
29. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abu Bakar bertalqin dan berbai’at dari:
28. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Yahya bertalqin dan berbai’at dari:
27. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Chisamuddin bertalqin dan berbai’at dari:
26. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Waliyuddin bertalqin dan berbai’at dari:
25. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Nuruddin bertalqin dan berbai’at dari:
24. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Zainuddin bertalqin dan berbai’at dari:
23. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Syarofuddin bertalqin dan berbai’at dari:
22. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Syamsuddin bertalqin dan berbai’at dari:
21. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Muhammad al-Hataki bertalqin dan berbai’at dari:
20. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Aziz bertalqin dan berbai’at dari:
19. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Qodir al-Jailani bertalqin dan berbai’at dari:
18. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abu Sa’id al-Mubarrok bertalqin dan berbai’at dari:
17. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abu Hasan Ali al-Hakari bertalqin dan berbai’at dari:
16. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abul Faraj ath-Thurthusiy bertalqin dan berbai’at dari:
15. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Wahid at-Tamimi bertalqin dan berbai’at dari:
14. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abu Bakar as-Sibliy bertalqin dan berbai’at dari:
13. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Abul Qosim Junaid al-Baghdadi bertalqin dan berbai’at dari:
12. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Sari as-Siqthi bertalqin dan berbai’at dari:
11. Al-‘Arif
Billaah Hadhratus Syaikh Ma’ruf al-Karkhi bertalqin dan berbai’at dari :
10. Al-‘Arif
Billaah Imam Abul Hasan Ali Ridha bertalqin dan berbai’at dari:
9. Al-‘Arif
Billaah Imam Musa al-Kadzim bertalqin dan berbai’at dari:
8. Al-‘Arif
Billaah Imam Ja’far ash-Shodiq bertalqin dan berbai’at dari:
7. Al-‘Arif
Billaah Imam Muhammad al-Baqir bertalqin dan berbai’at dari:
6. Al-‘Arif
Billaah Imam Ali Zainal Abidin bertalqin dan berbai’at dari:
5. Al-‘Arif
Billaah Sayyidina Husain Ra. bertalqin dan berbai’at dari:
4. Al-‘Arif
Billaah Sayyidina Ali Kw. bertalqin dan berbai’at dari:
3. Sayyidil Mursalin wa Habibi Robbil ‘Alamin, Rasul Allah kepada sekalian makhluk,
Sayyidina Muhammad Saw. bertalqin
dan berbai’at dari:
2. Sayyidina
Jibril As. bertalqin dan berbai’at dari:
1. Allah Swt.
Wallahu A’lam
Sya’roni
As-Samfuriy, Cibitung 23 Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar